Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun
“Apa-apaan dia, menuliskan namanya begini?!”Sebuah kalimat protes langsung Lalita lontarkan tanpa bisa dicegah.Sadar suaranya cukup kencang ketika berkata demikian, dia pun celingukan, memastikan sekitarnya aman, sebelum mengangkat panggilan itu.“Iya, Pak–”“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!” Baru saja diangkat suara dingin pria itu menusuk telinganya. Lalita sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.“M-maaf Pak, saya tidak tahu,” jawabnya tidak memperpanjang omelan Arga. “Ada apa, Pak?” tanyanya lagi.“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengecek, kalau kamu mengerti cara menggunakan ponsel baru itu.”Dua bola mata Lalita berputar. Dia langsung membatin, kesal, karena dengan kata lain Arga pikir dia terlalu bodoh dan gaptek.“Tapi, Pak, sebetulnya tidak perlu membelikan kartu baru. Saya–”“Buang saja kartu lamamu, dan pakai kartu yang aku berikan.” Arga memotong kalimat Lalita dengan cepat.Lalita mengangguk, meski Arga tak bisa melihat. Teringat nama yang tertulis di
E-tiket yang dipesan Damar sudah di tangan Arga. Pria itu jadi tidak sabar menunggu malam tiba. Dia sudah membayangkan keseruannya dengan Lalita.Senyum di wajah dingin itu bahkan terus-terusan merekah. Sungguh satu hal aneh, tetapi ajaib yang kini terjadi pada Arga.“Arga, kenapa kamu gila begini.” Dia bermonolog dengan dirinya sendiri.Saat jam pulang akan tiba, Lalita memasuki ruangan Arga. “Setelah pekerjaanmu selesai, duduklah. Ada yang ingin aku sampaikan.”Meski heran, Lalita menurut. Wanita itu hanya menebak, paling atasannya itu akan memberinya pekerjaan tambahan. “Ada yang perlu saya kerjakan lagi, Pak?”Usai pekerjaannya merapikan ruangan Arga rampung, gadis itu segera melapor. “Duduklah.” Arga bertitah dengan lembut, lalu satu tangannya terjulur memberikan sebuah kotak. “Pakai ini kemudian bersiaplah karena aku akan mengajak kamu menonton.” Kembali Lalita dibuat melongo dengan ucapan Arga, Menonton? Sesaat kemudian wanita itu menatap Arga dan terlontarlah pertanyaan, “
“Siapa Mario?”Wanita itu menghentikan makannya, menatap sang suami dengan rasa takut, “Teman saya sesama OB, Pak." Arga melemparkan tatapan tajamnya. “Siapa yang menyuruhmu menyimpan kontak pria lain!” Entah mengapa dada pria itu bergemuruh, rasa bahagia yang dari kemarin dia rasakan hilang begitu saja.Tau Arga marah, Lalita semakin ketakutan tapi dia juga heran.Menurutnya menyimpan nomor rekan kerja bukanlah sebuah kesalahan, tapi kenapa Arga begitu marah??"Ingat perjanjian kita Lalita, kamu tidak boleh memiliki lelaki lain selama pernikahan ini masih berlangsung." Kembali pria itu mengingatkan sang istri akan perjanjian mereka.“....” Bukan tidak paham atau ingat tapi…. Perjanjian mereka hanya melarang Lalita untuk memiliki pria lain selain Arga, bukan menyimpan nomor atau berteman dengan rekan kerja."Kenapa diam?” Tanya Arga yang membuyarkan lamunan Lalita.Tak ingin berdebat wanita itu mengangguk paham, “Saya faham Pak.” Makan siang yang seharusnya menenangkan dan mengenya
"Tidak melanggar, hanya saja...." Seketika raut wajah Arga berubah. Tatapannya mengarah ke Lalita, "Lalita pasti tau jawabannya.”Mario menatap ke arah Lalita dengan sebelah alisnya yang naik. Sementara itu, Lalita bernapas lega, sebab dia pikir Arga akan membuka status mereka.“Eh, itu–”"Selesaikan makanmu!” Sebelum Lalita sempat menjelaskan, Arga bangkit dari tempat duduknya. Sembari memperbaiki jasnya dia berkata, “Segera kembali ke kantor, ruanganku harus sudah bersih ketika aku pulang nanti!"Arga melangkah pergi, sedangkan Lalita menghela nafas dalam-dalam, dan Mario melongo menatap sahabatnya."Dia begitu mendominasi," cicit Mario.Lalita mengajak Mario untuk bergegas meski waktu istirahat masih cukup lama.Di sisi lain, CEO itu sudah berada di ruangannya. Dengan suasana hati yang buruk, Arga meminta Damar membatalkan meeting tadi.Dia tak peduli berapa banyak kerugian yang mungkin harus dia tanggung. Untuk saat ini, menurutnya yang terpenting adalah kemarahan dan ketidaknyaman
Buru-buru Lalita menyembunyikan tangannya, tapi Arga segera menarik tangan wanitanya. “Argh!” Teriakan Lalita karena rasa perih yang menjalar membuat emosi Arga meradang. Pria itu meneliti tangan wanitanya dengan saksama, sebelum bereaksi meluapkan kemarahannya pada pelayan di dapur. “Apa saja yang kalian lakukan di dapur hingga membuat istriku terluka?!!” Teriakan itu, memancing keingintahuan Kakek yang baru akan bergabung ke meja makan. Melihat dua poin–kakek dan kemarahan Arga yang belum pernah dilihatnya, Lalita jadi menyimpulkan jika sikap suaminya kali ini adalah bagian dari peran yang mereka lakoni di depan kakek. Semua pelayan dan koki menunduk, mereka meminta maaf. “Tidak apa-apa, ini bukan salah kalian, tetapi aku yang ceroboh,” ungkap Lalita pada mereka. Namun, berbeda dengan Arga yang enggan menggubris permintaan maaf itu. “Aku tidak menoleransi kesalahan kalian! Mencelakai istriku, berarti kalian siap untuk dipecat!” “Mas, jangan salahkan mereka.” Lalita menggun
Pikiran Arga sangat liar sehingga dia mengajak sang istri bercinta diluar ruangan, Lalita yang awalnya menolak kini justru merasa senang.Sungguh ide suaminya kini sangat brilian, bercinta di bawah sinar rembulan yang diiringi suara ombak benar-benar pengalaman bercinta yang amazing."Ini akan menjadi kenangan yang sangat indah" Arga nampak ngos-ngosan setelah mendapatkan pelepasannya."Iya Mas ternyata seru yw." Ujar Lalita. Sementara Arga dan Lalita menikmati malam panas mereka diluar ruangan, Rangga duduk sendiri di teras villanya yang mengadap kelaut. Dia meminta Gilang untuk membawakan sebotol minuman beralkohol, dia ingin menikmati malam pertama di pulau dewata. Awalnya dia dang Gilang nampak baik-saja tapi beberapa saat kemudian dia mulai tak sadarkan diri. "Lalita." Teriak Rangga. Keesokan harinya, Lalita mengajak Arga untuk pergi ke sebuah pasar tradisional, ada yang ingin dia beli di pasar tersebut. Rangga yang melihat Lalita dan Arga ingik keluar memutuskan untuk
Hari yang ditentukan untuk pergi berlibur telah tiba, Satu jet pribadi khusus untuk CEO dan asistennya satu lagi pesawat pribadi untuk para petinggi kantor. "Mari kita berangkat." Gilang terlihat sangat senang. Dia melangkahkan kaki terlebih dahulu menaiki tangga jet tersebut. Para CEO yang biasanya berpakaian formal kini menjelma pria casual dengan tampilan santainya. Sungguh pemandangan yang sangat meremajakan mata. "Astaga Mas Rangga ganteng banget." Mata Lalita terus menatap Rangga yang berpakaian kasual ala-ala anak muda. Mendengar puja-puji yang keluar dari mulut istrinya tentu membuat Arga cemburu. "Kamu pikir dia saja yang ganteng!" Ujarnya kesal. "Iya lah Mas.... " Tanpa sadar Lalita berkata demikian, namun beberapa detik kemudian wanita itu menutup mulutnya. Dia terkekeh menatap Arga. "Maksud aku setelah kamu Mas." Rangga tersenyum senang, meski tidak bisa memiliki Lalita paling tidak wanita itu ngefans pada dirinya. "Pindah ke pesawat satunya Rangga." Tak senang A
Pria itu segera bangkit, dia mencoba membangunkan Kania tapi agaknya wanita itu tidak mau membuka matanya. Segera Damar menggendong tubuh Kania untuk dibawa ke rumah sakit. "Sayang kamu kenapa!" Damar terlihat begitu panik. Memiliki skil mengemudi yang cukup baik membuat dia dengan cepat tiba di rumah sakit. Segera Damar memanggil suster, dan setelah dilakukan pemeriksaan Dokter mengatakan jika Kania kekurangan nutrisi. "Bagaimana bisa dia kekurangan nutrisi?" Damar begitu syok. "Apa istri anda diet?" tanya Sang dokter. "Sepertinya tidak." Jawab Damar ragu-ragu. Tapi jika diingat lagi, beberapa hari ini dia tidak melihat istrinya makan berbeda dengan sebelumnya. Mengingat hal yang memicu pingsan adalah kekurangan nutrisi Dokter segera mengalihkan pemeriksaan Kania ke dokter kandungan, bagaimanapun juga kondisi calon bayi di dalam harus diperiksa. Ketika dokter melakukan USG, kerutan-kerutan terlihat di dahinya, pemeriksaan awalnya menunjukan satu janin saja tapi mengapa tiba
Seiring berjalannya kehidupan Arga dan Lalita normal kembali, siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang suaminya. "Mas." Lalita berjalan menuju meja kerja sang suami. Sementara Arga yang sangat fokus dengan pekerjaannya tidak menyadari kedatangan sang istri. Dia mengira suara langkah kaki yang mendekat adalah langkah sekertarisnya Mawar. Tanpa meliaht dia mengusir sekertarisnya itu yang sebenarnya adalah sang istri. "Letakkan berkasnya lalu pergilah!" Ujar Arga. Lalita hanya tersenyum melihat sang suami. "Aku baru datang tapi kamu sudah menyuruh pergi saja Mas." Sahut Lalita. Sangat mengenal suara itu dengan jelas, Arga pun mengalihkan pandangannya. Dia terkejut jika yang berada di hadapannya adalah sang istri. "Sayang." Dia pun menjeda pekerjaannya. Senyumam manis Arga tunjukkan. "Aku ngantar makan siang tapi malah diusir." Goda Lalita sambil tertawa. "Maaf Sayang, aku kira sekretaris aku." Arga menjelaskan. CEO itu mengajak Lalita dudu
Lalita terus larut dalam kesedihan, membuat Arga tak tahu lagi harus bagaimana. Dia sudah membujuk Lalita tapi istrinya terus saja bilang dia harus mengerti. "Terserah kamu lah Sayang." Pagi itu Arga pergi ke kantor dengan marah. Dia sudah tidak bisa mentolerir sikap Lalita lagi, bukan tidak boleh bersedih tapi suami juga ada batasannya. Kekecewaan serta kekesalannya kepada sang istri Arga alihkan ke pekerjaan sehingga pria itu perlahan gila kerja kembali. Pagi buta dia berangkat larut baru pulang, tak terasa sudah sebulan dia seperti itu. Malam itu, Arcello demam tinggi. Baby Sitter sangat panik dan bingung. "Bagaimana ini." Seraut wajah bingung terlihat. Dengan langkah cepat dia memberanikan diri mengetuk pintu kamar majikannya. Tak berselang lama, Lalita keluar. "Maaf Bu, Tuan Arcello demam." Lalita sangat panik lalu dia berlari ke kamar sang anak. Segera wanita itu membawa Arcello ke rumah sakit, seusai diperiksa Dokter meminta Arcello agar di rawat mengingat bayi setahu
Pria itu terus menatap istri sahabatnya, meski dokter bilang keadaan Lalita baik-baik saja dia tetap saja khawatir bahkan jika Lalita tak kunjung siuman maka dia akan meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Tak selang lama Lalita siuman, dia menangis lagi mencari ibunya. "Lalita! terimalah kenyataan jika ibu sudah tiada! kamu pastinya paham jika kita tidak boleh meratapi!" Selama kenal dengan Lalita, inilah kali pertama Rangga membentaknya. "Sabar lah, relakan kepergian ibu." Ujar pria itu kemudian. Wanita itu mengangguk, dan untuk kesekian kalinya Rangga membawa wanita rapuh itu ke dalam pelukannya. "Ada aku Lalita, ada suami kamu, biarkan ibu pulang dengan tenang." Rangga semakin mengerutkan pelukannya. Lalita yang terbawa suasana juga memeluk Rangga dengan erat, dia kini bak seorang adik yang tengah memeluk kakaknya. Sementara itu disisi lain, Arga barus selesai rapat. Dia yang lupa tidak membawa ponsel tentu tidak bisa dihubungi. Kedua netra
"Ibu kenapa meminta maaf." Lalita menggenggam tangan ibundanya. Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memercing kesakitan. Melihat keadaan wanita tak berdaya itu, Rangga segera memanggil Dokter. Dia tentu tidak ingin terjadi apa-apa dengan ibunda Lalita. Tak berselang lama, dokter datang. Mereka segera diminta untuk memeriksa ibunda Lalita kembali. Dokter menunduk, Rangga yang tau ekspresi ini mengajak sang dokter bicara diluar. "Apa yang terjadi dengan pasien Dok?" Pria hangat itu bertanya dengan tatapan tajam. Ekspresi ketakutan tersirat di wajah sang dokter sehingga membuat Dokter penyakit dalam itu hanya diam. "Apa yang terjadi?" Suara Rangga mencuat. Segera Dokter menatap orang yang paling berkuasa di rumah sakit itu, "Dari hasil tes pencitraan rontgen, sel berbahaya sudah menyebar ke seluruh tubuh pasien itulah yang menyebabkan kami bingung harus bagaimana Pak Rangga." Ujar dokter. "Kenapa sebagai dokter kamu bingung! cepat bertindak!" Rangga yang tidak ingi
Hari itu Arga datang ke kantor dengan wajah sumringah, dia juga tidak marah-marah seperti beberapa hari sebelumnya. Yang lebih mengejutkannya lagi sikapnya terhadap Damar. "Kalau kamu masih mual pelan-pelan saja Damar kalau tidak selesai bisa kamu kerjakan besok." Ucapan Pria itu membuat kerutan-kerutan di dahi Damar terlihat jelas, dari tatapan matanya juga nampak apabila dia bingung. "Tapi kemarin anda bilang.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Arga menyilangkan jari telunjuk di bibirnya. "Ucapan kemarin jangan diambil hati." Lalu pria itu berjalan keluar ruangan asistennya. Siang itu Lalita datang ke kantor untuk mengantar makan siang untuk Arga. Dia yang masih merasa bersalah ingin menunjukkan perhatiannya kepada sang suami. "Mas." Dengan langkah cepat dia menuju meja kerja suaminya. Melihat istrinya datang, Arga nampak senang. "Sayang." Ujar Arga. Lalita segera memeluk suaminya seraya berkata kangen. "Aku juga sayang," sahut Arga. Beginilah jika
"Bukan aku yang jahat tapi kamu Sayang! kamu terus saja mengabaikan aku!" Emosi Arga memuncak. Lalita tertawa mendengar ucapan suaminya, dia menolak bukan tanpa sebab karena memang sang buah hati dalam fase pertumbuhan. Dari bangun tidur dia tidak berhenti sama sekali, usai mengurus suami dia harus mengurus anak dan itu benar-benar membuatnya lelah. "Kamu tau kan jika alasan aku menolak karena Arcello, aku lelah! tapi kamu malah di hotel dengan sekretaris itu!" Air mata Lalita mengalir, hatinya tergores akan ucapan Arga. Kerutan di kening Arga mulai kentara, pria itu menatap istrinya dengan lekat. "Aku memang di hotel tapi bukan sama sekretaris!" Pria itu menatap Lalita dengan tajam. "Bohong! mana mungkin ada orang pria booking kamar hotel sendiri kalau bukan membawa jalang!" Kata Lalita dengan keras. "Terserah kamu percaya apa nggak! lagipula aku menginap di hotel bukan tanpa alasan." Pria itu mencoba menahan emosinya. Lalita masih tak percaya dan lagi dia semakin