“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun
“Apa-apaan dia, menuliskan namanya begini?!”Sebuah kalimat protes langsung Lalita lontarkan tanpa bisa dicegah.Sadar suaranya cukup kencang ketika berkata demikian, dia pun celingukan, memastikan sekitarnya aman, sebelum mengangkat panggilan itu.“Iya, Pak–”“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!” Baru saja diangkat suara dingin pria itu menusuk telinganya. Lalita sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.“M-maaf Pak, saya tidak tahu,” jawabnya tidak memperpanjang omelan Arga. “Ada apa, Pak?” tanyanya lagi.“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengecek, kalau kamu mengerti cara menggunakan ponsel baru itu.”Dua bola mata Lalita berputar. Dia langsung membatin, kesal, karena dengan kata lain Arga pikir dia terlalu bodoh dan gaptek.“Tapi, Pak, sebetulnya tidak perlu membelikan kartu baru. Saya–”“Buang saja kartu lamamu, dan pakai kartu yang aku berikan.” Arga memotong kalimat Lalita dengan cepat.Lalita mengangguk, meski Arga tak bisa melihat. Teringat nama yang tertulis di
E-tiket yang dipesan Damar sudah di tangan Arga. Pria itu jadi tidak sabar menunggu malam tiba. Dia sudah membayangkan keseruannya dengan Lalita.Senyum di wajah dingin itu bahkan terus-terusan merekah. Sungguh satu hal aneh, tetapi ajaib yang kini terjadi pada Arga.“Arga, kenapa kamu gila begini.” Dia bermonolog dengan dirinya sendiri.Saat jam pulang akan tiba, Lalita memasuki ruangan Arga. “Setelah pekerjaanmu selesai, duduklah. Ada yang ingin aku sampaikan.”Meski heran, Lalita menurut. Wanita itu hanya menebak, paling atasannya itu akan memberinya pekerjaan tambahan. “Ada yang perlu saya kerjakan lagi, Pak?”Usai pekerjaannya merapikan ruangan Arga rampung, gadis itu segera melapor. “Duduklah.” Arga bertitah dengan lembut, lalu satu tangannya terjulur memberikan sebuah kotak. “Pakai ini kemudian bersiaplah karena aku akan mengajak kamu menonton.” Kembali Lalita dibuat melongo dengan ucapan Arga, Menonton? Sesaat kemudian wanita itu menatap Arga dan terlontarlah pertanyaan, “
“Siapa Mario?”Wanita itu menghentikan makannya, menatap sang suami dengan rasa takut, “Teman saya sesama OB, Pak." Arga melemparkan tatapan tajamnya. “Siapa yang menyuruhmu menyimpan kontak pria lain!” Entah mengapa dada pria itu bergemuruh, rasa bahagia yang dari kemarin dia rasakan hilang begitu saja.Tau Arga marah, Lalita semakin ketakutan tapi dia juga heran.Menurutnya menyimpan nomor rekan kerja bukanlah sebuah kesalahan, tapi kenapa Arga begitu marah??"Ingat perjanjian kita Lalita, kamu tidak boleh memiliki lelaki lain selama pernikahan ini masih berlangsung." Kembali pria itu mengingatkan sang istri akan perjanjian mereka.“....” Bukan tidak paham atau ingat tapi…. Perjanjian mereka hanya melarang Lalita untuk memiliki pria lain selain Arga, bukan menyimpan nomor atau berteman dengan rekan kerja."Kenapa diam?” Tanya Arga yang membuyarkan lamunan Lalita.Tak ingin berdebat wanita itu mengangguk paham, “Saya faham Pak.” Makan siang yang seharusnya menenangkan dan mengenya
"Tidak melanggar, hanya saja...." Seketika raut wajah Arga berubah. Tatapannya mengarah ke Lalita, "Lalita pasti tau jawabannya.”Mario menatap ke arah Lalita dengan sebelah alisnya yang naik. Sementara itu, Lalita bernapas lega, sebab dia pikir Arga akan membuka status mereka.“Eh, itu–”"Selesaikan makanmu!” Sebelum Lalita sempat menjelaskan, Arga bangkit dari tempat duduknya. Sembari memperbaiki jasnya dia berkata, “Segera kembali ke kantor, ruanganku harus sudah bersih ketika aku pulang nanti!"Arga melangkah pergi, sedangkan Lalita menghela nafas dalam-dalam, dan Mario melongo menatap sahabatnya."Dia begitu mendominasi," cicit Mario.Lalita mengajak Mario untuk bergegas meski waktu istirahat masih cukup lama.Di sisi lain, CEO itu sudah berada di ruangannya. Dengan suasana hati yang buruk, Arga meminta Damar membatalkan meeting tadi.Dia tak peduli berapa banyak kerugian yang mungkin harus dia tanggung. Untuk saat ini, menurutnya yang terpenting adalah kemarahan dan ketidaknyaman