"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya."
Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah mengapa banyak yang dipecat gara-gara tidak becus bersih-bersih. Dirasa sudah bersih, Lalita keluar untuk meletakkan peralatan kerjanya, sebab setelahnya dia harus menyajikan kopi untuk Arga. Sesaat kemudian dia kembali, dia mendapati ruang CEO sudah tertutup, yang artinya si empunya ruangan sudah datang. Tok. Tok. Lalita mengetuk pintu sebelum masuk. "Permisi Pak." Wanita itu meletakkan kopi panas buatannya di meja kerja pria itu. Melihat Lalita yang mengantar kopi membuat CEO tampan itu heran, "Kenapa kamu yang mengantar kopi?" Pertanyaan Arga memunculkan rasa kesal yang dipendam, sontak wanita itu berdecak, dan berujar agak lantang, "Bukankah anda yang menjadikan saya OB khusus CEO?" Kerutan di dahi Arga bermunculan, "Aku?" Dia tidak merasa menjadikan Lalita OB khusus dirinya. Namun sesaat kemudian, pria itu justru tersenyum licik. Dewi fortuna benar-benar berpihak kepadanya. Niatnya hanya mempersulit Lalita di rumah, tapi kini dia malah mendapatkan jalan mempersulit wanita itu juga di kantor. Arga menyandarkan tubuhnya di kursi masih menatap Lalita, "Bukankah seharusnya kamu senang menjadi OB khusus CEO?" Wanita itu terlihat terkejut dengan kalimat tersebut, kemudian dia berbisik sendiri, "Senang apanya." Pelan tapi masih bisa didengar oleh Arga. Tak ingin terlibat percakapan lebih jauh, Lalita memutuskan untuk kembali ke ruang OB. Tapi baru saja di ambang pintu, terdengar suara Arga menghentikannya. "Tunggu." Lalita membalikkan badan, dia berjalan kembali ke meja kerja milik Arga. "Ada apa Pak?" "Ini kopi atau kolak? Manis sekali. Kamu ingin membuat aku terkena diabet?!" Arga melemparkan tatapan tajamnya kepada Lalita. Wajah Lalita memucat melihat wajah CEO-nya, segera dia mengambil secangkir kopi itu, "Maaf Pak saya akan buatkan yang baru." Dia bertanya takaran kopi yang pas menurut selera pria itu, sebelum kemudian terburu-buru kembali menuju pantry untuk segelas kopi baru. Sayangnya, nyaris tiga kali Lalita bolak-balik membuatkan kopi, komentar Arga selalu tak puas. “Masih terlalu manis! Buat yang baru.” Padahal, Lalita sudah membuat sesuai takaran yang pria itu berikan. "Pak, apa anda mempermainkan saya?!" Dengan mengabaikan rasa takutnya kini Lalita berujar lantang di depan Arga. "Untuk apa aku mempermainkan OB, aku suruh ganti baru karena memang takaran kopinya kurang pas di lidahku." Masih dengan ekspresi datar tanpa rasa iba. Tidak punya kuasa untuk membantah, dia yang hanya bawahan pria itu lantas mengalah. Kini, sudah cangkir keempat yang dia bawa. Jika takaran kali ini masih kurang pas, dia tak tahu lagi harus berkata apa. "Semoga pas di lidah anda Pak," ujarnya kesal. Dengan senyuman liciknya, Arga menyesap kopi itu. "Sebenarnya masih kurang tapi sudahlah." "Kalau begitu saya pamit." Lalita segera keluar dari ruangan CEO-nya. Pertama bekerja sebagai OB khusus CEO, membuat wanita itu kelelahan. Arga benar-benar mempersulitnya tanpa belas kasihan. Mendekati jam pulang, Lalita kembali dipanggil sang CEO untuk membersihkan ruangannya yang masih sangat bersih itu. Lalu, sementara Lalita bersih-bersih, pria itu terlihat mengemas barang, bersiap untuk pulang. "Aku tunggu di tempat tadi kamu turun,” katanya ketika melewati posisi Lalita berdiri. Saya masih bersih-bersih Pak, anda pulang terlebih dahulu," sahutnya tanpa menatap sang suami. Kalimat Lalita membuat Arga menatapnya, "Kamu ingin Kakek melihat kita pulang sendiri-sendiri?" Akhirnya, Lalita berusaha secepat kilat untuk membersihkan ruangan, juga berganti baju untuk pulang. Namun, lagi-lagi, ketika sampai di rumah, deritanya sebagai budak Arga belum berhenti. Pria itu memerintahnya untuk menyiapkan makan malam. "Pak, bukankah di rumah ini ada banyak pelayan?! tidak bisakah mereka yang menyiapkan makan malam?" Lalita melenguh, lelah. Dia baru saja merebahkan diri di sofa, tapi pria itu sudah diminta bekerja kembali. Namun pria otoriter itu hanya menjawab, “Apa kamu sudah lupa dengan perjanjiannya." Wanita itu mengusap rambutnya frustasi, belum genap dua hari menjadi istri Arga, dia sudah tak tahan. Sepanjang menuruni tangga, Lalita terus mengumpat, merutuki suami CEO-nya yang berlaku kejam. Setibanya di dapur, kedatangannya membuat para koki dan pelayan kebingungan. "Apa anda sudah lapar, Nyonya?" Salah satu dari mereka mendekat sembari menunduk. "Tidak, saya hanya ingin memasak untuk Mas Arga," jawabnya. Mereka semua melarang Lalita, tapi wanita itu tetap bersikeras memasak untuk prianya. Singkat cerita, semua masakannya telah siap. Ketika Lalita terlihat sibuk menata semua menu di meja, seruan seseorang membuatnya menoleh. "Lalita, apa yang kamu lakukan?" “Kakek?” Wanita itu sejenak terkejut, tetapi langsung mengukir senyuman manis, “Menyiapkan makan malam untuk suami Kek.” Kening Kakek mengerut, “Lain kali, tidak perlu repot-repot. Kamu kan lelah baru pulang kerja. Percayakan saja semua pada pelayan dan koki kita.” Lalita mengukir senyum lebar yang kaku. "Iya, Kek tapi Mas Arga...." "Arga sudah melarangnya Kek.” Tahu-tahu, pria itu datang dan memotong kalimat Lalita. “Tapi dia keras kepala ingin memasak sendiri untuk Arga," lanjut pria itu sambil tangannya merangkul pundak sang istri. Kakek Arga hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan pasangan pengantin baru ini. Luput dari pandangan Kakek, tangan Arga di pundak Lalita itu perlahan memberikan penekanan. Arga mendekatkan bibirnya pada kuping Lalita dan berbisik. "Jangan sekali-kali mengadu ke Kakek, atau lihat sendiri apa yang bisa aku lakukan."Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m
“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?”“Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.”Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya.Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia?Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya.Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung.“Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terli
“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem