"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya."
Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah mengapa banyak yang dipecat gara-gara tidak becus bersih-bersih. Dirasa sudah bersih, Lalita keluar untuk meletakkan peralatan kerjanya, sebab setelahnya dia harus menyajikan kopi untuk Arga. Sesaat kemudian dia kembali, dia mendapati ruang CEO sudah tertutup, yang artinya si empunya ruangan sudah datang. Tok. Tok. Lalita mengetuk pintu sebelum masuk. "Permisi Pak." Wanita itu meletakkan kopi panas buatannya di meja kerja pria itu. Melihat Lalita yang mengantar kopi membuat CEO tampan itu heran, "Kenapa kamu yang mengantar kopi?" Pertanyaan Arga memunculkan rasa kesal yang dipendam, sontak wanita itu berdecak, dan berujar agak lantang, "Bukankah anda yang menjadikan saya OB khusus CEO?" Kerutan di dahi Arga bermunculan, "Aku?" Dia tidak merasa menjadikan Lalita OB khusus dirinya. Namun sesaat kemudian, pria itu justru tersenyum licik. Dewi fortuna benar-benar berpihak kepadanya. Niatnya hanya mempersulit Lalita di rumah, tapi kini dia malah mendapatkan jalan mempersulit wanita itu juga di kantor. Arga menyandarkan tubuhnya di kursi masih menatap Lalita, "Bukankah seharusnya kamu senang menjadi OB khusus CEO?" Wanita itu terlihat terkejut dengan kalimat tersebut, kemudian dia berbisik sendiri, "Senang apanya." Pelan tapi masih bisa didengar oleh Arga. Tak ingin terlibat percakapan lebih jauh, Lalita memutuskan untuk kembali ke ruang OB. Tapi baru saja di ambang pintu, terdengar suara Arga menghentikannya. "Tunggu." Lalita membalikkan badan, dia berjalan kembali ke meja kerja milik Arga. "Ada apa Pak?" "Ini kopi atau kolak? Manis sekali. Kamu ingin membuat aku terkena diabet?!" Arga melemparkan tatapan tajamnya kepada Lalita. Wajah Lalita memucat melihat wajah CEO-nya, segera dia mengambil secangkir kopi itu, "Maaf Pak saya akan buatkan yang baru." Dia bertanya takaran kopi yang pas menurut selera pria itu, sebelum kemudian terburu-buru kembali menuju pantry untuk segelas kopi baru. Sayangnya, nyaris tiga kali Lalita bolak-balik membuatkan kopi, komentar Arga selalu tak puas. “Masih terlalu manis! Buat yang baru.” Padahal, Lalita sudah membuat sesuai takaran yang pria itu berikan. "Pak, apa anda mempermainkan saya?!" Dengan mengabaikan rasa takutnya kini Lalita berujar lantang di depan Arga. "Untuk apa aku mempermainkan OB, aku suruh ganti baru karena memang takaran kopinya kurang pas di lidahku." Masih dengan ekspresi datar tanpa rasa iba. Tidak punya kuasa untuk membantah, dia yang hanya bawahan pria itu lantas mengalah. Kini, sudah cangkir keempat yang dia bawa. Jika takaran kali ini masih kurang pas, dia tak tahu lagi harus berkata apa. "Semoga pas di lidah anda Pak," ujarnya kesal. Dengan senyuman liciknya, Arga menyesap kopi itu. "Sebenarnya masih kurang tapi sudahlah." "Kalau begitu saya pamit." Lalita segera keluar dari ruangan CEO-nya. Pertama bekerja sebagai OB khusus CEO, membuat wanita itu kelelahan. Arga benar-benar mempersulitnya tanpa belas kasihan. Mendekati jam pulang, Lalita kembali dipanggil sang CEO untuk membersihkan ruangannya yang masih sangat bersih itu. Lalu, sementara Lalita bersih-bersih, pria itu terlihat mengemas barang, bersiap untuk pulang. "Aku tunggu di tempat tadi kamu turun,” katanya ketika melewati posisi Lalita berdiri. Saya masih bersih-bersih Pak, anda pulang terlebih dahulu," sahutnya tanpa menatap sang suami. Kalimat Lalita membuat Arga menatapnya, "Kamu ingin Kakek melihat kita pulang sendiri-sendiri?" Akhirnya, Lalita berusaha secepat kilat untuk membersihkan ruangan, juga berganti baju untuk pulang. Namun, lagi-lagi, ketika sampai di rumah, deritanya sebagai budak Arga belum berhenti. Pria itu memerintahnya untuk menyiapkan makan malam. "Pak, bukankah di rumah ini ada banyak pelayan?! tidak bisakah mereka yang menyiapkan makan malam?" Lalita melenguh, lelah. Dia baru saja merebahkan diri di sofa, tapi pria itu sudah diminta bekerja kembali. Namun pria otoriter itu hanya menjawab, “Apa kamu sudah lupa dengan perjanjiannya." Wanita itu mengusap rambutnya frustasi, belum genap dua hari menjadi istri Arga, dia sudah tak tahan. Sepanjang menuruni tangga, Lalita terus mengumpat, merutuki suami CEO-nya yang berlaku kejam. Setibanya di dapur, kedatangannya membuat para koki dan pelayan kebingungan. "Apa anda sudah lapar, Nyonya?" Salah satu dari mereka mendekat sembari menunduk. "Tidak, saya hanya ingin memasak untuk Mas Arga," jawabnya. Mereka semua melarang Lalita, tapi wanita itu tetap bersikeras memasak untuk prianya. Singkat cerita, semua masakannya telah siap. Ketika Lalita terlihat sibuk menata semua menu di meja, seruan seseorang membuatnya menoleh. "Lalita, apa yang kamu lakukan?" “Kakek?” Wanita itu sejenak terkejut, tetapi langsung mengukir senyuman manis, “Menyiapkan makan malam untuk suami Kek.” Kening Kakek mengerut, “Lain kali, tidak perlu repot-repot. Kamu kan lelah baru pulang kerja. Percayakan saja semua pada pelayan dan koki kita.” Lalita mengukir senyum lebar yang kaku. "Iya, Kek tapi Mas Arga...." "Arga sudah melarangnya Kek.” Tahu-tahu, pria itu datang dan memotong kalimat Lalita. “Tapi dia keras kepala ingin memasak sendiri untuk Arga," lanjut pria itu sambil tangannya merangkul pundak sang istri. Kakek Arga hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan pasangan pengantin baru ini. Luput dari pandangan Kakek, tangan Arga di pundak Lalita itu perlahan memberikan penekanan. Arga mendekatkan bibirnya pada kuping Lalita dan berbisik. "Jangan sekali-kali mengadu ke Kakek, atau lihat sendiri apa yang bisa aku lakukan."Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m
“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?”“Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.”Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya.Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia?Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya.Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung.“Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terli
“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
"Ketoprak datang.... " Pria itu membawa sebungkus ketoprak yang Lili minta. Mencium aroma kacang membuat saliva Lili mengucur dengan deras. Di samping Lili Revan membuka bungkusan ketopraknya. "Makanlah." Segera Lili mengambil sendok dan memakan ketoprak yang dibawa Revan, dalam sekejam sebungkus ketoprak tandas, "Enak Mas." Ujar Lili dengan tersenyum. Melihat ada sisa makanan di mulut Lili Revan pun mengambilnya. "Seperti anak kecil makan meninggalkan sisa." Kata pria itu dengan tersenyum pula. Lili yang malu menundukkan kepala, kembali dia naik ke awan, dan mungkin dia harus siap-siap terjun bebas kembali. Selepas itu, Revan pamit kembali ke kamarnya. Dia lelah dan harus istirahat. Pagi itu di teras rumah, Kirana dan Mama Revan duduk bersantai, Lili yang ingin menghirup udara segar memutuskan untuk bergabung bersama. Melihat cara orang tua Revan yang menyayangi Kirana entah mengapa membuat Lili iri, seharusnya dia lah yang mendapatkan cinta itu karena dia yang meng
"Revan siapa wanita hamil ini? kenapa kamu membawanya pulang?" Mama Revan menatap anaknya tajam. Revan dan Kirana saling tatap, lalu Revan tersenyum. "Dia adalah Lili Ma, istri anak buah Revan. Suaminya baru meninggal. Karena usia kehamilannya sama seperti Kirana alangkah baiknya jika dia turut hadir." Ujar pria itu. Respon orang tua Revan justru diluar dugaan, mama Revan iba terhadap Lili lalu dia membawa Lili masuk ke dalam rumah. Revan dan Kirana saling senyum, lalu mereka masuk. Mama Revan yang sangat bahagia memperlakukan Kirana dengan sangat baik, begitu pula dengan Lili. Mendapatkan kasih sayang dari Mama Revan, diam-diam Lili menangis hal ini membuat panik Mama Revan. "Kamu kenapa Lili?" tanya Mama Revan dengan menatap Lili. "Tidak kenapa-kenapa Tante, saya hanya terharu karena saya tidak pernah dipeluk oleh ibu." Ucapnya. "Kasian sekali kamu Lili." Rasa iba Mama Revan semakin besar. Memang dari kecil Lili sudah yatim piatu, dia diasuh oleh paman dan bibinya. Ketidaka
Hari minggu datang dengan cepat, pagi itu seperti biasa Lili membuatkan kopi untuk Revan. Dengan senyum yang mengembang dia berniat membawakan secangkir kopi itu langsung ke suaminya yang kini berada di taman samping rumah tapi senyumnya perlahan menghilang. Wajah sumringah berubah menjadi mendung. Di taman samping rumahnya, Revan dan Kirana melakukan video call, Revan nampak mengelus perut Kirana, ternyata mereka berakting seolah Kirana tengah hamil. Sebenarnya sah sah saja tapi entah mengapa hati Lili sangat sakit. "Aku yang seharusnya kamu akui sebagai ibu anak kamu Mas." Ucap Lili lalu dia membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Mendengar Kirana mengklaim kehamilannya, Lili tak terima meski ini sudah disepakati bersama. Rasa cintanya kepada Revan membuat Lili terus merasa tak terima dengan apa yang Kirana lakukan. Di dalam kamarnya wanita malang itu menangis, meratapi kesakitan yang setiap hari menghujamnya. "Kenapa semua tidak adil padaku!" Wanita itu berteria
Arga masih belum puas, dia terus mempertanyakan perihal makan siang yang dibawakan oleh Lalita tadi. "Astaga Mas, ya aku berikan pada Mas Rangga daripada mubazir." Jawab Lalita. Pria itu mengepalkan tangannya, merasa dicurangi oleh Rangga. Namun Lalita menurunkan emosinya, "Sudahlah Mas, aku baik pada Mas Rangga karena dia teman kamu, aku tidak memiliki niat lebih, aku bisa menjaga batasanku." Wanita itu mengelus punggung suaminya. "Tapi dia mencintai kamu." Sahut Arga ketus. "Dia yang mencintai aku bukan aku." Hanya satu cara agar Arga tidak marah lagi yaitu membuat pria itu berhasrat dan meluapkan semua di atas ranjang. ##### Tak terasa kandungan Lili sudah terlihat, perut yang semula rata kini terlihat berisi. Bahkan pergerakan bayi bisa dirasakan. Revan sangat senang karena kini dia bisa merasakan kehadiran calon bayinya. "Dia bergerak." Pria itu sangat girang. Lili tersenyum melihat Revan yang seperti ini. Seperti anak kecil yang diberi mainan. Saking senang
"Eh Mas Rangga." Lalita tersenyum menatap Rangga. Terlihat Rangga begitu bahagia, jika ponselnya tak tertinggal mana mungkin bertemu dengan Lalita. "Kamu ngapain?" Rangga berbasa-basi. "Ini ngantar bekal makan siang tapi Mas Arga kelihatannya sedang makan siang diluar." Wanita itu sedikit terlihat kecewa karena surprisenya gagal kali ini. "Iya Arga dan teman-teman makan sedang keluar makan siang." Ujar Rangga. Melihat Rangga yang tiba-tiba datang Lalita mengira jika pria itu juga mencari suaminya seperti tempo dulu yang tanpa dia tahu pria itu datang untuk mengambil ponselnya. "Pak Rangga pasti mencari Mas Arga ya." Terka Lalita. Rangga hanya tersenyum lalu berjalan menuju sofa tempat dia dan teman-temannya tadi mengobrol.Melihat bekal yang dibawakan Lalita, Rangga pun berbasa-basi. "Sayang sekali bekal makan siangnya." Sambil menatap Lalita. "Iya tahu gini, aku tak perlu pakai surprise segala." Dia terkekeh merasa konyol dengan dirinya sendiri. "Oh ya kalau Mas Rangga kala
"Kalau pas di lidah kamu maka mulai dari sekarang kopi itu akan ada di meja setiap pagi." Wanita itu tersenyum lalu mengambilkan Revan makanan. Keduanya makan sambil mengobrol di meja makan hingga Kirana datang dan bergabung dengan mereka. "Duh asiknya." Entah ungkapan sindiran atau tidak tapi setelah kedatangan Kirana, Revan agak kikuk. Kirana menarik kursi lalu bergabung dengan mereka. Revan yang awalnya aktif bertanya pada Lili kini mulai aktif dengan Kirana sehingga membuat keberadaan Lili seperti tak dianggap. Buru-buru Lili menyelesaikan makan paginya lalu bergegas kembali ke kamar. "Kamu mau kemana Lili?" tanya Kirana. "Ke kamar Kirana, perutku agak kurang nyaman." Jawab Lili lalu mrninggalkan mereka. Kirana dan Revan agak panik, mereka takut terjadi apa-apa dengan kandungan Lili. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja Mas?" Bukannya tidak setuju dengan keinginan Kirana tapi pagi ini Revan ada meeting penting. "Bagaimana jika kamu yang membawanya sayang, pagi in
Lili terhuyung kebelakang lalu berjalan mundur sedangkan pria yang ada di hadapannya terus menatapnya dengan tatapan memangsa. "Aku tahu Revan menyembunyikan kamu disini." Ujarnya dengan terus melangkah maju. "Keluarlah! Mas Revan tidak di rumah!" Lili meninggikan ucapannya. Namun bukannya pergi pria itu terus melangkah kan kaki mengikuti langkahnya. "Aku sudah tahu dia tidak di rumah jadi aku kesini untuk menemani kamu Lili." Dengan tersenyum licik. Lili membalikkan badannya, dia ingin berlari tapi tangan teman Revan itu memeganginya. "Aku sudah kecanduan tubuh kamu Lili, aku yakin kamu juga rindu pelanggan setia kamu ini." Ujar pria itu yang berusaha mencium Lili. Lili mendorong dengah kuat pria itu, lalu dia berlari namun lagi-lagi pria jahat itu dapat menangkap tubuhnya. "Aku mohon, aku bukan seperti yang dulu." Dengan menangis Lili mencoba meminta belas kasihan pria itu. "Bagiku sama saja, tubuhmu sudah dinikmati banyak orang lagipula Revan tidak akan tahu kamu melay
"Apa? sepupu kamu?" Revan shock mendengar kenyataan itu dari mulut Lili. Mengingat profesi Lili sebelumnya, bagaimana bisa sepupu seorang Triliuner menjadi seorang wanita penghibur seperti Lili. "Kamu yakin Arga CEO Winata Group adalah sepupu kamu Lili?" Kembali Revan menanyakan. "Yakin Mas, Arga Rahardi Winata nama lengkapnya, tinggal bersama kakek satu-satunya yang bernama Winata, menikah dengan seorang wanita yang bernama Lalita dan sekarang memiliki seorang bayi." Lili menjelaskan semua agar Revan yakin. Revan mengangguk paham, kini dia percaya jika Lili benar-benar sepupu Arga tapi apa yang membuat wanita cantik seperti Lili terjebak dalam genggaman sekarang mucikari??? entahlah. Ynag jelas sebesar apapun keingintahuannya, Revan tidak mau lagi mengungkit masa lalu Lili."Ya sudah, ayo tidur. Sudah malam." Dengan lembut Revan meminta Lili untuk segera tidur. Sebelum keluar tak lupa Revan mengelus perut Lili hal membuat wanita itu memejamkan mata, dia melayang ke awan, namu
"Kamu mau kemana Mas?" Tanya Lalita ketika Arga berganti pakaian semi formal. Dapat undangan makan malam dari teman Sayang." Jawab pria itu. "Pulangnya malam kah Mas?" Kembali Lalita bertanya. "Bisa jadi Sayang karena pasti disana kami akan mengobrol." Jawaban Arga membuat Lalita lesu, padahal rencananya malam ini dia ingin bermanja-manja dengan suaminya. Wanita itu memeluk sang suami, dia mengungkap keinginannya. Mendengar itu Arga tersenyum, "Setelah pulang nanti kita bermain." Bisiknya. "Kalau aku sudah tidur bagaimana?" Tangan wanita itu menggoda suaminya. "Langsung serang saja."Arga tertawa lalu mencubit pipi sang istri.Di bawah Damar sudah menunggu, sehingga Arga buru-buru keluar kamarnya. Singkat cerita, kini mereka semua telah tiba di rumah Revan, mereka dipersilahkan masuk oleh pelayan keluarga Revan. "Selamat malam semua." Revan yang baru turun segera menyambut teman bisnisnya itu. Tak selang lama, Kirana keluar dengan membawakan mereka minuman serta camilan. "