“Kita sepakat saling menerima. Jadi, jangan pernah tunjukkan wajah sedihmu di hadapan mereka.”
Bisikan bernada memaksa dari Arga membuat Lalita terkejut dan buru-buru menormalkan ekspresinya. Sejak pagi tadi, Lalita mendadak bersedih. Sebab, setelah janji suci nanti, hidupnya akan tergadai oleh Arga. Seminggu usai Lalita menandatangani kontrak perjanjian, pernikahan pun digelar. Rumah Arga dipilih jadi tempat akad, demi kerahasiaan yang lebih terjaga. Konsep pernikahan sederhana tanpa undangan benar-benar terasa. Nampak berbeda dengan pernikahan pada umumnya, yang terlihat di sini hanyalah kedua mempelai. Lalita cantik dengan balutan kebaya warna putih, sedangkan Arga terlihat sangat tampan dengan balutan jas dengan warna yang senada. “Iya, saya paham.” Dia berbisik, dengan lirikan mata tajam ke arah pria yang akan menyandang status sebagai suaminya. “Jika paham, tersenyumlah!” Titahnya dengan penuh penekanan. Arga dan Lalita berjalan menuju tempat akad mereka, keduanya kini tampak sumringah. Tidak terlihat sama sekali jika pernikahan ini adalah pura-pura. Janji suci telah diucap, kini mereka telah sah menjadi suami istri. Melihat anaknya yang sudah menyandang status istri membuat ibunda Lalita menangis bahagia. Wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu merasa haru, sebab akhirnya janji di masa lalu antara Kakek Arga dan kakek Lalita telah ditepati. “Ibu, jangan menangis.” Wanita itu bersimpuh di hadapan sang ibunda, tak menyangka akhirnya dia kini telah menikah meski pernikahan ini adalah pernikahan kontrak. Ibunya tersenyum, dan menghapus jejak air mata. “Ibu menangis bahagia, Nak.” Kemudian, sang ibunda menatap menantunya, "Arga, Ibu titip Lalita. Belajarlah saling mengenal, agar rasa cinta itu tumbuh di hati kalian.” Lalita menoleh dengan wajah harap-harap cemas kepada Arga. Dia khawatir, jika Arga akan bersikap buruk—sebab, inilah kali pertama pria itu bertatap muka dengan ibunya. Namun, di luar dugaan, Arga justru tersenyum ramah menyambut uluran tangan ibunya. "Ibu jangan khawatir, pasti Arga akan menjaga Lalita." Pria itu bertutur lembut, sangat berbeda jauh ketika dia berbicara pada Lalita. “Meski pernikahan ini terkesan terburu-buru, Arga dan Lalita akan berupaya untuk saling mengenal satu sama lain.” Di akhir kalimat, pria itu menatap lembut pada Lalita. Hal yang meski Lalita tahu itu adalah akting semata, tetapi mampu membuat jantungnya beredgup tidak keruan. Syukurlah, sisa ramah-tamah usai akad itu berjalan lancar. Akting mereka tidak mengecewakan, sebab kakek dan ibunya terlihat begitu percaya pada pernikahan dan janji suci mereka. Acara pernikahan itu tidak dibuat lama. Selain karena semakin lama berakting akan khawatir semakin terlihat tidak natural, kesehatan ibu Lalita jadi perhatiannya. Wanita itu tidak boleh terlalu lelah. Sehingga, tidak lama usai percakapan santai antara dua keluarga usai, ibu Lalita pun langsung pulang kembali ke rumah. Setelah Ibunya pulang, Kakek meminta Arga untuk membawa Lalita istirahat di kamarnya yang berada di lantai dua. "Kamar anda bagus dan rapi sekali Pak." Puja-puji keluar dari mulut wanita itu dengan mata yang terus memutar menikmati interior kamar. Bukannya senang akan pujian tersebut, pria itu justru menatap sinis. “Ingat statusmu bila hanya berdua denganku.” Wanita itu menoleh, kekagumannya harus berhenti karena ucapan tajam itu. “Jangan khawatir, saya masih mengingatnya dengan jelas.” “Ingat, jangan sentuh apalagi menggunakan barang pribadiku.” Arga membuka jas yang dia kenakan, lalu melemparnya asal. “Kamu bisa tidur di mana pun, selama itu bukan di ranjangku.” Lalita meradang dalam hati. Dia belum pikun, dan masih ingat apa yang tertuang dalam perjanjian itu. Selain tidak menyinggung teritori pria itu, Lalita juga harus melayani segala keperluan Arga—tentu saja, selain keperluan biologisnya. “Saya tau, sedari awal Anda memang mencari budak, bukan istri kontrak.” Arga tersenyum puas. “Kamu sudah sepakat dan tanda tangan, jadi nikmati saja tanpa mengeluh.” Malam itu, meski malam pertama sebagai pengantin baru, keduanya tidur di tempatnya sendiri. Arga yang terbalut selimut tebal sudah terlelap nyaman di ranjang king size-nya, sementara Lalita meringkuk di sofa yang tidak terlalu panjang. Tanpa selimut, wanita itu menggigil kedinginan karena AC di kamar Arga. “Dasar pria kejam, lihat saja nanti.” Keesokan harinya, Arga dan Lalita bersiap ke kantor. Alasan pengantin baru membutuhkan cuti yang ditawarkan kakek, ditolak mentah-mentah oleh keduanya. Berdalih karena tidak lelah sebab pernikahannya bukan pernikahan mewah dan panjang, baik Arga maupun Lalita bersikukuh untuk tetap bekerja. Lalita juga menolak untuk berhenti kerja meski sudah menjadi istri CEO. Dia sadar, posisinya di sini hanya sementara. Untuk itu, dia tidak ingin bergantung sepenuhnya pada keluarga Winata. Di hadapan Kakek, lagi-lagi mereka bertingkah seperti pasangan suami-istri baru yang sempurna. Arga yang menggandeng lembut Lalita, membukakan pintu untuk sang istri hingga pergi ke kantor dengan mobil yang sama. Namun, di tengah jalan hal tak terduga terjadi. “Tepikan mobilnya.” Titah Arga dingin. Usai sopirnya menepikan mobil, Arga melirik Lalita tajam. “Turunlah.” Lalita menatap Arga tak percaya, “Bapak menyuruh saya turun? Tapi, ini belum sampai.” Tatapan pria itu semakin tajam ke arah Lalita, “Apa kamu berharap kita keluar dari mobil yang sama di depan lobi kantor?” Ucapan Arga sontak membuatnya terdiam. “Benar juga, aku lupa,” gumam Lalita lirih tapi masih bisa didengar oleh Arga. “Jika benar, lantas apa yang masih kamu pikirkan? Cepat turun!” Pria itu berujar lantang memaksa wanita yang baru sehari menjadi istrinya itu untuk cepat-cepat turun. “Baiklah baiklah!” Tak ingin mendebat lagi, Lalita segera turun dari mobil suaminya, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Melihat mobil yang sudah melaju lagi, membuatnya mengumpat, “Dasar pria gila! Awas saja akan aku balas semua!” Menggunakan ojek online, Lalita sampai di kantor. Dia bergegas menuju loker untuk ganti seragam. Karena sudah agak telat, Lalita bergegas mengambil peralatan kerjanya. Akan tetapi, belum dia keluar ruangan OB, atasannya memanggil. “Lalita, mulai hari ini kamu dipindahtugaskan.” Wanita itu bertanya-tanya, akan ditugaskan dimana dia, mengingat semua bagian sudah ada bagiannya masing-masing. “Dipindah? Lalu saya ditugaskan di bagian di mana Bu?” Wanita yang menjadi atasannya memberikan selembar kertas yang menyangkut pembagian kerja semua OB. Lalita menerima mengambil kertas itu dengan firasat tak enak dan benar saja kedua bola matanya membulat sempurna setelah tau bagian apa dirinya. “Apa! Menjadi OB khusus CEO?”"Ingat Lalita jangan melakukan kesalahan sekecil apapun atau nasib kamu seperti OB sebelumnya." Wanita yang umurnya tak jauh darinya itu berusaha menasehatinya, mengingat banyak OB yang dipecat karena kesalahan remeh. "Baik Bu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, dia sudah pasrah akan nasibnya. Suaminya benar-benar ingin menyulitkannya, tidak di rumah tidak di kantor semua kebebasannya akan direnggut. Dengan langkah lemas, Lalita pergi ke ruang CEO, tak lupa dengan peralatan kerjanya. Sesampainya di depan ruang CEO, dia berdiri sejenak memutar mata menelusuri isi ruang itu. "Di mana dia?" gumamnya pelan, ketika mendapati ruangan itu masih kosong. Seharusnya, Arga sudah sampai lebih dulu. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaannya di sini, sekarang. Tak ingin membuang waktu lagi, dia segera masuk dan mulai bersih-bersih. Sebenarnya ruangan CEO tidaklah kotor mengingat ruang itu sangat tertutup, ditambah AC yang terus menyala. Dapat dipastikan tidak ada debu. Namun entah m
Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan. Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan m
“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?”“Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.”Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya.Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia?Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya.Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung.“Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terli
“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
"Pak Rangga kenapa anda disini?" Vina nampak terkejut, pikirannya kemana-mana. Apa dia sudah tau jika yang tidur dengannya malam itu adolah Amira? "Tentu mengunjungi calon istri aku." Rangga malas untuk berdrama lagi, dia ingin segera mengungkap semua kebenarannya. "Mas...." Amira mengkode Rangga agar bisa menahan diri tapi pria itu sudah muak pada Vina terlebih Vina telah membunuh calon bayinya. "Apa anda sudah tau semuanya?" Ucap Vina gugup. "Menurutmu!" Sahut Rangga. Wajah Vina menjadi pucat pasi, tak ada harapan lagi akhirnya dia meminta maaf. Wanita itu juga memohon pada Amira agar dimaafkan. "Aku sangat mencintai Pak Rangga Mir mangkanya aku berbohong." Vina memegang tangan Amira. Namun Amira yang sudah kecewa dan sakit hati pada sahabatnya dengan segera melepas tangan Vina. "Amira kita kan sahabat." Vina kembali berekspresi sedih berharap Amira berubah pikiran namun Amira tidak mau tertipu lagi. Mungkin jika dia hanya ingin bersama Rangga tidak masalah tapi
Sore itu sepulang dari kantor, Rangga pergi ke Villa untuk menemui Vina, dia tidak bisa mengulur waktu lagi untuk mengungkap kedok wanita jahat itu. Rencananya dia akan menjebak Vina agar mengakui semua di hadapannya dan Amira. Melihat kedatangan Rangga, Vina sangat senang. Dia langsung menyambut mantan atasannya itu. "Sore Pak Rangga." Sapanya dengan tersenyum manis. Rangga membalas senyuman Vina. meski sebenarnya hatinya enggan bersikap manis terhadap wanita yang telah membunuh calon bayinya. "Sore." Dia duduk lalu menyandarkan kepalanya dia sofa. "Vina, waktu itu di club aku tidak memakai pengaman apa kamu tidak merasakan tanda-tanda kehamilan?" Pertanyaan Rangga membuat Vina berpikir, bagaimana bisa hamil sedangkan yang tidur dengan Rangga adalah Amira. "Memangnya kenapa Pak?" tanya Vina was-was. "Tidak apa-apa, aku ingin mengumumkan pernikhaan secepatnya." Jawaban Rangga membuat Vina senang, saking bahagianya dia segera memeluk CEO itu. "Sudah lepas,
Dari rumah sakit Rangga kembali ke kontrakan Amira lagi, dia mengkonfirmasi Amira terkeit obat penggugur kandungan. Mendengar ucapan Rangga, Amira sangat shock. Bagaimana bisa vitamin menjadi obat penggugur kandungan? "Aku sungguh tidak tahu." Dengan raut wajah sedih Amira menunduk. Sementara Rangga berpikir keras, secara logika tidak mungkin ada dokter yang sengaja memberikan obat penggugur kandungan, pihak farmasi juga tidak mungkin melakukan kelalaian yang fatal jadi permasalahannya di Amira. Apakah obat itu tertukar atau gimana? "Apa ada yang kesini sebelum kamu keguguran?" Tanya Rangga dengan menatap sang wanita. Amira terperangah menatap Rangga, dia baru menyadari kedatangan Vina beberapa hari lalu. "Mas Vina datang kesini, dia menginap juga." Ucapan Amira membuat Rangga mengepalkan tangan, dia yakin Vina lah yang membunuh calon bayinya. "Beraninya dia melenyapkan calon bayiku." Ujar Rangga. Rangga bangkit, dia ingin membuat perhitungan dengan Vina, dia
Amira terus kesakitan, dia mencoba menghubungi Rangga tapi Pria itu tidak mengangkat panggilannya. Berkali-kali Amira menghubungi Rangga tapi tetap sama, Rangga tidak menerima satu pun panggilan darinya. Sakit yang semakin menusuk membuat Amira tak tahan. Saat bersamaan terdengar pintu diketuk. Sambil menahan rasa sakit, wanita itu membukakan pintu. "Andi." Kata Amira pelan. Melihat sahabatnya yang sangat pucat dan kesakitan membuat Andi khawatir, "Kamu kenapa Amira?" tanyanya panik. "Perut aku sakit." Jawabnya. Tak tahan akan sakit di perutnya, Amira lalu pingsan. Andi sempat kebingungan hingga akhirnya dia membawa Amira ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan tangannya Andi membawa tubuh Amira masuk ke dalam. "Dokter Dokter! " Teriak Andi. Beberapa dokter yang mendengar teriakan segera sigap, lalu menggiring Andi ke ruang gawat darurat.Tau jika pasien mengalami keguguran, Dokter segera melakukan tindakan. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Andi cem
Tatapan Lalita kini mengarah ke Amira, dia tersenyum melihat Rangga datang dengan seorang wanita. "Kekasih kamu ya Mas." Goda Lalita. Rangga tersenyum lalu mengangguk. Lalita cukup senang akhirnya Rangga sudah menemukan wanita. Masih mempertahankan senyumannya Lalita duduk di samping Amira. "Hay, aku Lalita." Dia menyodorkan tangan pada Amira. "Hay, saya Amira." Amira melakukan hal yang sama. Lalita dan Amira mengobrol, dan bersamaan dokter keluar dari ruang operasi. "Bagaimana keadaan istri saya Dok?" Damar segera bertanya. "Baik, kedua bayinya juga sehat." Ucapan Dokter membuat Damar menitikkan air mata, kini statusnya berubah menjadi seorang ayah. Rangga yang melihat teman serta rekan kerjanya bahagia pun turut bahagia, dia dapat merasakan kebahagian Damar. "Selamat atas kelahiran anak kamu." Ujarnya dengan senyuman hangatnya. "Terima kasih Pak Rangga." Pria itu memeluk Rangga. Tak selang lama, dua orang suster keluar membawa dua bayi mungil,
Mual dan muntah semakin parah, hingga Amira ijin tidak masuk karena lemas. "Apa yang kamu perlukan Amira? akan aku belikan." Vina menunjukkan wajah khawatirnya. Bukan khawatir karena sahabatnya sakit tapi dia khawatir jikalau Amira hamil. "Tidak perlu Vin, terima kasih." Ujar Amira. Karena harus kembali ke villa, Vina pun pamit dan sebelum pergi dia bilang jika akan datang lagi. Amira mengangguk, meski dia sedikit heran dengan sikap Vina yang tiba-tiba berubah jadi perhatian. Tak ingin ambil pusing, Amira mengabaikan kecurigaannya.Di sisi lain, Rangga yang mendengar kabar jika Amira sakit jadi panik, dia segera pergi ke kontrakan Amira untuk menjenguk kekasihnya itu. "Pak Rangga." Kedua bola mata Amira membulat melihat kedatangan sang pria. "Masih saya panggil Pak." Rangga menjentikkan jarinya pelan dia dahi sang wanita. Amira menggosok dahinya dengan tangan, meski jentikn tangga Rangga tidak sakit tapi dia sedikit lebay di hadapan CEO itu. "Iya Mas." Ujarnya. Ingat akan
"Sa-saya.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya Rangga sudah menjatuhkan bibirnya, hal ini membuat Amira terkejut lalu mendorong tubuh Rangga. "Pak, jangan seperti ini." Katanya dengan marah. "Kamu telah membohongi aku Amira." Rangga menatap sendu Amira. Melihat tatapan Rangga, Amira nampak iba. Dia tahu dia berbohong tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa. "Dimana letak salahnya Pak, kita juga tidak ada hubungan apa-apa." Ujar Amira. Pria itu mematung, memang benar mereka tidak ada hubungan apa-apa tapi apa yang telah dia lakukan seharusnya Amira paham jika itu adalah bentuk dari rasa cintanya. "Meskipun tidak diungkap, seharusnya kamu bisa merasakan gelagatku Amira," ungkap Rangga. "Iya Pak," cicit Amira pelan. Untuk mengikat Amira, akhirnya Rangga mengungkap perasaannya, dia juga mengajak wanita itu untuk melanjutkan ke tahap yang serius mengingat ucapannya dulu jika dia akan bertanggung jawab. #### Hari ini semua bagian desain sangat sibuk, terlebih Moni
"Hubungi Amira suruh datang ke pameran." Titah Rangga. "Tapi kita masih disini Pak." Gilang mencoba protes. Rangga hanya melempar tatapannya. Tak ingin membantah asisten itu menuruti kemauan sang CEO. Niat awalnya, Rangga ingin datang ke Villa untuk mengambil sesuatu tapi setelah melihat Amira dan Andi, pria itu meminta Gilang putar balik dan kembali. Sementara itu, Amira tidak membuka pesan yang Gilang kirim dia juga tidak menerima panggilan dari asisten CEO-nya itu. Setelah susah payah mencari akhirnya Amira dan Andi, berhasil menemukan alamat Vina. "Pantas nggak ketemu," kata andi. Amira segera memencet bel lalu seorang satpam membukakan pagar. Setelah memberi tahu tujuannya, satpam meminta mereka masuk. Di depan rumah, Andi dan Amira menunggu Vina. Tak selang lama Vina keluar. "Kalian!" Mata Vina terbelalak melihat kedua sahabatnya datang. Dengan wajah gugup dia mendekat. "Bagaimana bisa kalian mendapatkan alamat Villa ini?" tanya Vina dengan menatap A
"Masih di atas tempat tidur, Rangga dan Amira berbincang tentang langkah selanjutnya, apa langsung meminta Vina mengaku? atau membuat permainan dan mengikuti alur Vina? " Bagaimana menurut kamu Amira?" tanya Rangga. "Kita lihat saja rencana Vina Pak Rangga setelah Anda tidak bisa menikahinya, tapi anda jangan bilang kalau saya sudah mengakui semua." Pinta Amira. Rangga mengangguk, jika itu yang Amira minta. Kalau sebenarnya dari dia pribadi ingin langsung mengusir Vina. Keesokannya, sepulang dari kerja Andi menemui Amira kembali bahkan kali ini Andi ikut Amira pulang. Di kontrakan, mereka berbincang kembali tentang Vina. "Andi apa Vina pernah dendam atau sakit hati padaku?" Dengan wajah nanar Amira menatap Andi yang duduk di sebelahnya. "Dendam gimana maksud kamu?" tanya Andi. "Barangkali aku pernah menyakitinya sehingga dia pergi dan seolah tidak menganggap aku temannya padahal selama ini kita selalu bersama." Jawab Amira. Andi menggeleng, dia tidak tahu. Selama