Share

Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda
Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda
Penulis: Auphi

Awal Mula

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Sial! Ini bukan kamarku!"

Aku menjerit kaget usai melihat ruangan yang tampak asing ini. Perlahan aku menatap sekeliling. Gorden yang lebih lebar dan usang, posisi AC yang tidak sama dengan kamarku yang biasa, sprei asing, dan selimut yang lebih tebal.

Pikiranku seketika teringat pada peristiwa semalam. 'Bukankah semalam aku bersama suamiku?'

Mataku mengerjap lagi dan menatap sisi kanan. Kini, aku sukses terlonjak dari posisi tidur. Didorong rasa kaget yang luar biasa, tubuh ini jadi sadar sepenuhnya. Kutatap pria yang lelap itu, dan nyatalah itu wajah asing, bukan suamiku.

"Apa yang sedang terjadi?!" Aku membatin, mulai histeris.

Apalagi waktu selimut tersingkap, ternyata tubuhku hanya dibalut sepasang bra dan cawat merah. Aku ingat, pakaian ini memang sengaja kupakai semalam demi memancing hasrat suami yang mulai padam. Meski masih bertanya-tanya, alarm di otak menyuruhku segera berpakaian dan keluar dari tempat terkutuk ini.

Kupunguti pakaian yang tercecer di lantai lalu mengenakannya tergesa-gesa. Selama berpakaian, benakku sibuk menerka-nerka apa yang terjadi sesudah candle light dinner semalam dengan suami. Orang jahat mana yang tega mencelakai kami? Dan... di mana suamiku saat ini?

Semua pikiran ini berkelindan di otakku bagai benang kusut yang tak tentu ujung pangkalnya. Setelah memakai kembali blouse satinku, tak menunggu lama aku segera mencari pintu keluar. Namun sayang, belum sempat kenop pintu kusentuh, sekelompok pria dengan seragam polisi mendobrak masuk tanpa aba-aba.

Brak!

"Jangan bergerak, hotel ini sedang dirazia!" Salah satu dari mereka berseru.

Sontak aku bergerak mundur dengan tangan terangkat di atas kepala. Persis anggota gembong pezina yang tertangkap basah di tempat maksiat. Kucoba bersikap tenang, meski tangan yang mengepal sudah gemetaran.

"Saya dijebak Pak, saya nggak tahu apa-apa," ujarku dengan suara yang diberani-beranikan.

Namun, personil polisi yang memborgolku melengos kasar. Dia sudah hendak menyeretku, ketika suara yang akrab di telinga tiba-tiba menyela, membuat duniaku yang kacau balau seketika tenang.

"Tunggu! Aku perlu bicara dengan terduga."

Dalam sekejap, tangan yang terborgol tadi bebas kembali. Aku langsung menghambur ke pelukan pria yang kupanggil suami. Sedangkan, nasib lelaki yang tergeletak di ranjang tadi, aku tak mau tahu. Tak mau juga peduli. Bagiku, dia hanya orang asing. Kami mungkin sama-sama korban dari skandal yang coba diciptakan entah oleh siapa. Namun, akan kupastikan, bajingan itu ditangkap segera.

Tubuhku yang tadi gemetaran perlahan tenang dalam dekapan hangat suamiku. Pagi ini beliau nampak gagah dengan seragam kebesarannya. "Sebentar, aku perlu bicara empat mata dengan Nyonya Shanty," ujarnya lagi pada personil polisi yang hendak memborgolku tadi.

Wajah suamiku terlihat begitu terpukul. Reaksi yang sudah pasti terjadi saat mengalami situasi seperti ini. Gerombolan polisi yang tadi mengerubungi kamar ini akhirnya membiarkan kami--aku dan suami memiliki waktu berdua. Sementara lelaki tadi telah dibawa dengan keadaan yang masih tak sadarkan diri.

Aku sudah nyaris menitikkan air mata lagi, tetapi pikiran buruk lebih dulu menyentak dan membuatku sadar. Jika aku bisa diculik setelah makan malam dengan suami, lantas kenapa beliau bisa ada di sini dalam keadaan aman?

Untuk memastikan, kuteliti lagi wajah suamiku dengan saksama. Ekspresi cemas dan terpukul yang tadi dia tunjukkan, kini tak nampak lagi. Yang kulihat dalam dalam manik matanya yang kelam kini hanyalah ejekan samar.

"Sudah paham apa situasimu sekarang?" tanyanya seraya menyalakan pemantik logam di tangan.

"K-kenapa?"

Dia menyembulkan asap putih pekat sebelum menjawab enteng. "Tentu saja bercerai."

"Tapi kenapa harus menjebakku begini?" tanyaku berusaha tenang meski tubuh ini hampir limbung. Senyum laki-laki yang sekejap lagi akan jadi mantan suami ini segera membangun kesadaran baru, "Apa karena Alex?"

Lagi-lagi dia hanya mendengus seolah aku ini mahkluk paling bodoh sejagad raya. "Kalau hanya karena hak asuh Alex, kau bisa membicarakannya denganku. Mengapa harus repot-repot menghancurkan hidupku seperti ini?"

Tak pernah menyangka, bahkan dalam mimpi terburuk, pria yang menikahiku tega mendorongku dalam jurang kenistaan. Seumur-umur, baru sekarang kutahu ada suami yang tega menghancurkan harga diri istrinya sampai lenyap tak bersisa.

"Perempuan licik seperti kau diajak bicara baik-baik? Mana mungkin! Yang ada, kau pasti memikirkan segala cara untuk memeras kekayaan keluargaku, persis seperti yang kau buat selama ini."

Ucapan kejam darinya membuat aku berpikir ulang. Harta macam apa yang sudah kuhabiskan? Benar, mertuaku pernah memberi aset, tapi kata beliau itu hadiah. Pun kudapat sesudah mengorbankan rahim yang akhirnya harus diangkat demi melahirkan cucu mereka, Alex.

Tangisan tak kuasa lagi kubendung. Kemarahanku juga semakin bergejolak, siap meledak. "Demi apapun, tak pernah ada suami yang tega menjebak istrinya dengan cara hina seperti ini!"

Dia tertawa puas. "Tak semua perempuan yang dinikahi lantas patut menjadi istri, Shanty. Bagiku, kau tak lebih dari trofi kemenangan!"

"Kau pikir Alex tidak akan mencariku, ibunya?"

Kulihat, rahangnya mengetat. "Berhentilah munafik! Memangnya selama ini kau pernah mengurus Alex? Kau malah sibuk dengan semua urusanmu, hampir tak pernah di rumah. Mamakku yang selalu menjaga Alex."

Tak cukup di situ, dia juga menjentikkan abu rokoknya ke wajahku. Perihnya abu rokok yang mengenai pipiku sudah tak kurasa. Otakku malah sibuk memikirkan apa yang kulakukan akhir-akhir ini.

Benar sekali! Aku memang sibuk pergi fitness, juga ke klinik kecantikan. Itu semua kulakukan lantaran pria di depanku ini selalu protes dengan tubuhku yang katanya melar setelah melahirkan.

Sedangkan perkara menjaga Alex, mertua lah yang selalu memaksa untuk momong cucu satu-satunya.

Harus diakui, aku bukan ibu yang sempurna seperti mereka diluaran sana. Namun juga bukan yang tega menelantarkan anak begitu saja. Meski putraku lebih dekat pada neneknya, bukan berarti aku tidak tahu perkembangannya.

"Kau benar-benar bajingan!"

Lelaki itu meludah ke satu sisi, lalu memadamkan puntung rokok itu dengan tapak sepatu kulitnya.

"Sudahlah Shanty sayang, hentikan umpatanmu itu. Sekarang kau hanya punya dua pilihan. Sibuk berkoar-koar lalu menuntutku di pengadilan, atau pergi diam-diam dan kau akan dapat pesangon tiga ratus juta?"

Waktu mengatakan tawarannya, dia tampak begitu bangga, berlagak jadi pria paling murah hati di alam semesta.

Aku menahan dengusan. Pesangon katanya? Memangnya aku ini pegawai habis masa kontrak?

Namun tak urung aku diam juga memikirkan segalanya. Menimbang dalam hati, pilihan apa yang tepat untuk wanita tanpa karir dan harta sepertiku.

Seperti paham jalan pikiranku, dia menukas kejam seperti kebiasaannya selama ini. "Ingat Darling, pengadilan butuh banyak biaya, sedangkan kau tak punya apapun selain bapak-mamak yang tak bisa diandalkan."

"Hahaha..." Ucapannya membuatku tertawa getir dalam kemarahan. Ayah-ibuku memang tak bisa diharapkan. Malah selama ini aku yang menopang hari tua mereka. "Apa harus begini caramu mendepakku? Apa kau yakin, Roy Gultom?" Aku bertanya dengan menyertakan marga kebanggaannya.

"Tentu saja. Kupikir, aku sudah cukup murah hati padamu. Kalau tak puas, silakan mengadu juga pada mantan kesayanganmu. Bukankah selama ini kau selalu mengadu padanya?"

"Oh! Jadi itu alasannya?" Aku tertawa muak. Dia yang pernah kupergoki selingkuh, justru dia melemparkan senjata itu padaku. "Seorang pezina memang akan selalu curiga!"

Lagi-lagi dia hanya mendengus, tak memedulikan ejekanku.

"Baiklah Roy, kalau ini memang keinginanmu. Namun begitu, persiapkan dirimu. Suatu saat, kelakuanmu ini harus kamu bayar lunas berikut...bunga-bunganya. Pada saat itu tiba, lebih baik jangan minta ampun!"

Ini jadi kalimat perpisahanku untuknya. Setelah ini kami hanyalah orang asing kalau bukan musuh.

Kupakai kacamata hitam kebanggaanku seraya beranjak pergi meninggalkan mantan suami dengan langkah gagah. Tak kuhiraukan lagi gelaknya yang memenuhi lorong sempit itu.

'Tunggu dan lihatlah, apa yang bisa kulakukan untukmu!'

Bab terkait

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Tangkapan Besar

    Tiga tahun kemudian. Dari balik kaca pemantau di pintu, aku menatap wanita yang masih tampak cantik di usia tua. Dalam kamarnya yang mewah layaknya kamar hotel bintang lima, tampak cairan infus masih terhubung di pergelangan tangannya. Penyakit komplikasi menyerang wanita yang kuketahui bernama Nyonya Lim itu. Sudah dua minggu beliau dirawat di kamar ini. Jika bisa kusimpulkan, beliau adalah gambaran dari kesempurnaan ragawi. Rambut kelabu yang tersisir rapi ke belakang, pakaian, serta wajah bersih yang dipoles make up tipis. Tak ketinggalan pangkal hidung yang tampak mencuat dari salah satu sisi wajahnya. "Selamat pagi, Nyonya."Aku menyapanya ramah, seraya membawa nampan berisi makanan, obat, dan buku status pasien. Sebagai seorang perawat pasien khusus kamar VVIP di sebuah rumah sakit mewah di Singapura, beginilah kesibukanku tiga tahun terakhir ini."Hai, selamat pagi juga." Dia menatapku dengan senyum tipis aristokrat. "Waktunya sarapan di hari yang indah, Nyonya." Aku beruca

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sebuah Pertemuan

    [Temui aku nanti malam tepat pukul tujuh di Orchard Road]Begitu kalimat pembuka pesan ini yang diikuti alamat sebuah restoran mewah dan nama si pengirim: Hartono Lim.Begitu singkat dan dominan! Seperti pemiliknya. Niatku ingin menyantap lunch selesai sudah. Alih-alih ke kantin, aku malah naik ke rooftop untuk menikmati tiupan angin yang mengantarkan terik mentari untuk berpikir kembali. Langkah apa yang harus aku ambil ke depannya? Apakah langkah ini sudah benar? Usai meyakinkan diri sendiri, aku terhenyak kala mengingat satu hal lain.Astaga! Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan angka satu, artinya waktu makan siang yang berharga sudah selesai. Buru-buru kuhabiskan soft drink yang tinggal separuh setelah menikmati sandwich tuna dalam dua kunyahan besar.Aku bergegas turun. Ms. Jane, kepala ruangan kami, tadi pagi memintaku menemuinya. Firasatku tak enak soal panggilan mendadak ini. Benar saja. Begitu pintu ruang kerjanya terbuka, beliau menatapku dengan ekspresi kesal yan

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Kesepakatan

    "Ini tunjangan dan aset yang kamu dapat jika menjadi istriku."Aku membaca dengan saksama poin-poin alias keuntungan yang kudapatkan jika bergelar nyonya muda Lim. Bahkan, saat berstatus sebagai istri Roy dulu, tak ada tunjangan semurah hati ini.Selain dapat uang saku yang mencapai dua digit perbulan, aku juga mendapat butik dan hotel bintang empat yang bisa kukelola sendiri. Jika ditambah restoran dan klinik kecantikan yang kumiliki saat ini, bisakah aku merasa jadi jutawan kelas kampung?"Tentu saja jika suatu saat kita bercerai, kamu tidak mendapatkan apapun lagi. You are on your own." Pria karismatik itu kini menyandarkan tubuhnya yang tegap, menatapku lekat-lekat, kemudian menjatuhkan bom-nya, "Lalu aku mau bertanya. Apa yang kamu harapkan dariku makanya begitu gigih mendekati mama?"Shit! Jeritku lagi. Mungkin kali ini dia bisa melihat kilatan kaget di mataku, karena setelahnya, dia mencetus lagi, "Aku tahu segalanya, Darling."Sudah kuduga tak akan ada yang luput dari pandanga

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Aku Kembali

    Kepulanganku ke tanah air, tepatnya kota Batam, tak menimbulkan riak berarti. Tak ada sambutan hangat, reuni singkat, atau pun pesan basa-basi yang bertanya 'kapan sampai'. Bukan salah dunia. Aku yang memilih mengasingkan diri dari kehidupan. Lelah dengan semua kerumitan emosi yang menghantam jiwaku belakangan. Kadang-kadang tidak berharap apapun pada semesta jauh lebih baik, meski itu bukanlah bagian yang cocok untuk perempuan ambisius seperti aku. Begitu tiba di bandara, kudorong koper kecil sembari menenteng sebuah tas cangklong ukuran besar. Kacamata hitam yang tadi kugantung di kerah kaos, kini kembali bertengger manis di puncak hidungku. "Kak, aku disini!"Refleks aku menoleh ke sisi kiri, ternyata adikku Shania sudah berdiri disana dengan senyum lebar yang mirip seringai beruk minta kawin. "Akhirnya kau sampai Kak, dari tadi aku udah pegal nungguin kau," ujarnya dengan napas tersengal karena barusan berlari-lari kecil menghampiriku. "Yang minta kau nunggu aku, siapa?" aku

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Memberi Pelajaran

    Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. "Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi."Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat s

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bukan Pernikahan Biasa

    Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless. Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia. Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar. "Masuk," sahutku tanpa menoleh. Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula. Ternyata aku salah!Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar. "Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup. "Kenapa? Kaget melihatku disini?"Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian a

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Malam Pertama

    Di suite mewah ini aku duduk bersandar pada chaise lounge yang empuk. Benar-benar nyaman! Seorang pelayan memijit kaki keramku sedangkan satu lagi membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajah. Kalau ada yang bilang uang tak bisa bikin bahagia, aku yakin mereka hanya tidak pernah ada di posisi senyaman ini. Kalau tidak sudah pasti mereka tak sanggup bilang begitu. "Apa perlu dipijit badannya juga, Bu?" Gadis muda yang sedang memijit kakiku bertanya sopan"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku."Dia mengangguk patuh lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak banyak yang bisa dia siapkan di sana, mengingat bath up di hotel sudah dilengkapi air hangat. Paling hanya perlu menuang essential oil dan menyalakan lilin aroma therapy. Katanya aroma jasmine dan musk sangat cocok untuk membangkitkan gairah pria, but who cares if they don't. Aku malah berharap Hartono tidak menyentuhku malam ini. Jadi kuputuskan saja memakai aroma citrus dan mawar, seperti yang biasa kupakai. "Bu, airn

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bisa Bicara Denganmu?

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan asing. Mata masih separuh terpejam ketika sebuah kesadaran menghantam ingatan. Aku sudah bersuami. Lagi. "Sudah bangun?" sebuah suara segera menyapa. Ternyata sosok asura berpakaian gelap itu sudah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga puluh tahun ini, belum pernah aku bertemu pria yang duduk begitu elegan sekaligus gagah. "Sudah pukul berapa ini?" tanyaku mengalihkan kecanggungan. Begitu tatapan matanya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubungkus tubuh dengan blouse satin yang tergeletak mengenaskan di sisiku. "Kamu punya waktu setengah jam untuk berkemas."Seperti biasa nada memerintah itu penuh otoritas. Tak ada ruang untuk membantah. Entah karena takut atau terburu-buru, rasa sungkan tadi lenyap seketika. Lekas kukenakan celana satin tanpa memperhatikan ketelanjangan tubuh bagian bawah lalu secepatnya kabur ke kamar mandi. Di bawah guyuran air, segala penat yang kurasakan seketik

Bab terbaru

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Epilog

    Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sebuah Pengakuan

    "Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sakit

    Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Umpan

    Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rahasia Gelap

    "Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Labirin

    Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Palau

    Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Pelarian

    Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sepanjang Lengan

    Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa

DMCA.com Protection Status