Share

Bukan Pernikahan Biasa

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-09 21:02:29

Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless.

Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia.

Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar.

"Masuk," sahutku tanpa menoleh.

Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula.

Ternyata aku salah!

Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar.

"Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup.

"Kenapa? Kaget melihatku disini?"

Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian atasnya. Kesan rapi sekaligus liar ditampilkan dalam satu frame yang sempurna.

Aku menelan ludah susah payah.

Bukannya aku perempuan penggila seks, tapi tetap saja ada lelaki yang punya daya tarik berlebihan. Berdiri didekatnya saja sudah mampu membuat hidung mengendus feromon di udara.

Sialnya, calon suamiku adalah salah satu dari pria langka ini.

"Kenapa tersenyum begitu?"

"Tak mengapa. Ayoklah berangkat," tanggapku cepat. Belum terbiasa bermanja ria dengan lelaki yang masih asing bagiku.

Dia menatapku penuh selidik. Walau tak diucapkan aku bisa mengenali rasa kagum yang terpancar di matanya. "Hmm, kurasa kamu cukup pintar menyesuaikan busana denganku walau tak diminta."

Komentarnya yang mendadak ini bikin aku tanpa sadar menatap pakaian yang kukenakan. Benar saja, kami berdua sama-sama pakai blue jeans. Bedanya kemeja putih yang dia pakai polos sedangkan punyaku masih ada motif polkadotnya.

"Terimakasih," sahutku singkat lalu beranjak mengikuti langkahnya yang lebar tapi mantap.

Sepanjang perjalanan ke dinas catatan sipil, kami diam saja, tak ada topik pembicaraan yang sekiranya mampu menyatukan kami. I know nothing about him and so does he.

Sebenarnya bisa saja petugas catatan sipil kami undang ke venue pernikahan, namun aneh rasanya. Mengingat kami tidak melibatkan pemuka agama manapun dalam pernikahan ini.

"Jam berapa nanti kita ke hotel?" tanyaku akhirnya.

"Begitu selesai tanda tangan berkas, kita langsung kesana." Dia menyahut sambil tetap fokus mengamati jalanan.

"Bagaimana dengan Joyce dan Joan?"

Dari sudut mata bisa kulihat ekspresi wajahnya melembut waktu nama kedua anaknya kubawa dalam percakapan.

"Mereka akan datang sore nanti sama Mama."

Aku hanya mengangguk sekilas. Nyonya Lim dan kedua cucunya memang tinggal di sebuah komplek perumahan elite, bukan di apartemen.

Penthouse yang kutempati selama ini hanya salah satu unit yang dimiliki Hartono dalam apartemen yang sahamnya delapan puluh persen dia miliki.

Beberapa kalimat singkat serta kesunyian yang panjang, nyatanya sukses juga membawa kami di depan kantor catatan sipil. Begitu turun dari mobil, seorang petugas bergegas membawa Hartono ke dalam sebuah ruangan.

Begitu tiba di dalam, Hartono menyerahkan sebuah map yang berisi berkas-berkas penting, bahkan surat nikah secara agama pun bisa didapatkannya dari sebuah klenteng, padahal aku tak pernah ada disana. Pegawai yang bertugas menyerahkan dua lembar dokumen tanpa banyak tanya, lalu kami pun resmi sebagai pasangan suami-istri secara hukum.

Betapa luar biasanya kekuatan uang!

"Persiapkan dirimu dengan baik, resepsi akan dimulai pukul enam sore, " ujarnya lagi waktu kami sudah ada di dalam mobil.

Aku hanya berdehem lalu melempar pandangan dari balik jendela kaca, memandangi gedung-gedung yang tampak bergerak oleh ilusi, seperti keadaanku saat ini.

***

Di ballroom yang mewah itu telah hadir tamu undangan, tak banyak, hanya seratus orang. Untuk ballroom yang berkapasitas tiga ratus rasanya jadi sedikit lengang.

Para tamu yang merupakan kerabat dan rekan bisnis itu dipersilakan menikmati makanan mereka lebih dulu, sebelum akhirnya MC memanggil seorang kerabat dari pihak suami yang memberi kata sambutan singkat. Selanjutnya ada acara pemotongan kue pengantin yang sejak awal tercipta karena paksaan ibu mertua.

"Kepada pengantin yang berbahagia, kami sangat menanti senyum terbaik dari kalian."

Terdengar ajakan MC dari pengeras suara. Sudah pasti aku-lah orang yang dimintanya untuk tersenyum lebar. Mana mungkin dia berani menyuruh manusia kayu macam pria yang berdiri di sampingku saat ini.

"Wah, ternyata senyuman sang putri mampu membuat seluruh dekorasi di ruangan ini tampak usang," ujarnya lagi.

Basa-basi dari MC membuat beberapa orang tampak tertawa sementara sebagian besar lainnya memilih diam atau menampilkan senyum kecut. Bisa dipahami, mengingat sebagian besar putri konglomerat yang hadir disini pernah punya kisah atau bahkan masih berharap jadi perempuan yang berdiri di sisi Hartono detik ini.

Mereka tidak tahu saja pernikahan ini dibayar dengan jiwaku.

"Jangan gugup, tenanglah," bisik Hartono dengan suara seraknya yang terdengar bagai musik surgawi di telingaku. Untuk ukuran pria kaku, dukungannya yang murah hati ini sudah jauh melebihi ekspektasi.

"Terima kasih," balasku singkat lalu menelan kue yang dia suapkan. Kini giliranku pula menyuapkan kue padanya. Akhirnya acara yang sejak awal tidak diniatkan ini berakhir sudah.

Selanjutnya, MC memandu kami untuk menyajikan teh pada tetua - Jing Cha - sebagaimana lazimnya dalam tradisi Tionghoa. Jika kebanyakan keluarga sudah memakai teh biasa bahkan teh instan, ibu mertuaku entah dengan alasan apa, berkeras memakai teh kurma merah. Menurut tradisi, ini simbol harapan agar pengantin punya pernikahan yang manis dan segera punya momongan.

Sedikit miris, mengingat aku berhasil menjadi menantu berkat rahim yang sudah diangkat.

Aku membungkuk lalu menyajikan teh dalam mangkok porselen kecil kepada Nyonya Lim. Beliau tersenyum meminumnya lalu memberikan angpao seraya berucap, "Semoga jadi keluarga yang damai dan harmonis, penuh kekayaan dan kemuliaan"

"Terimakasih, Popo," balasku singkat.

Selanjutnya aku menyajikan teh pada paman dari suami, yang disapa sebagai shushu olehnya. Saat ini bisa kurasakan tubuh Hartono sedikit menegang di sisiku. Sepertinya, dia tak menyukai paman ini.

Pria berwajah kelimis itu tersenyum simpatik namun tak dapat disangkal aku juga tak suka dengan fitur wajah beliau. Mata memanjang dengan sudut yang terangkat biasanya orang licik.

"Semoga mendapat keberkahan dalam rumah tangga," ujarnya.

Bibirku tak mampu berucap apapun selain seulas senyum. Istrinya yang duduk di sebelahnya juga mengucapkan kata basa-basi yang tak kalah garing dengan kerupuk yang ditabur di atas lontong sayur.

Tak seperti paman, istrinya tipikal perempuan lemah yang kerap ditindas dalam opera sabun yang selalu ditonton emak-emak berdaster di waktu luang. Dari sorot matanya yang sendu aku hanya bisa menduga-duga betapa banyak beban yang dia tanggung selama menjadi istri dari pria bernama Jaya Lim itu.

Selesai dengan acara Jing Cha, Hartono membimbingku duduk di satu kursi empuk. Lega rasanya bisa lepas dari momen yang melelahkan tadi.

"Apa sesulit itu?" Hartono tiba-tiba bertanya begitu bokongku menyentuh kursi.

Aku tersenyum masam. Tentu saja sulit, terlebih bagi menantu perempuan yang latar belakang hidupnya sangat jomplang dengan suami.

Setelah basa-basi yang ramai dari MC, akhirnya penghujung acara pun tiba.

Pada saat ini Hartono mengajakku berdiri dan bersalaman dengan tamu undangan.

"Tersenyum sewajarnya. Tak usah berusaha terlalu ramah. Orang-orang ini memandang rendah kaum yang berusaha keras cari perhatian."

Kembali bisikan merdu menggelitik telingaku. Apa definisi menggoda tanpa berusaha? Jelas momen ini. Aku benci setengah mati pada Hartono yang mampu bikin jantungku ketar-ketir. Aku tersenyum sangat manis padanya. Sorot mata yang dalam ini semestinya sudah cukup menunjukkan rasa terima kasihku.

Pihak pertama yang naik ke atas panggung tentu mertua dan kedua anak tiriku, Joyce dan Joan.

Joyce ini gadis kecil dengan wajah cantik, kecuali raut muka yang cemberut, tak ada yang bisa dicela dari fitur wajahnya. Dengan langkah mantap, bocah tujuh tahun itu menggandeng adiknya yang masih tiga tahun.

"No need." ucapnya pelan waktu aku berusaha menarik tangannya agar berdiri di sebelahku. Lekas dia menarik tangan adiknya juga untuk berdiri di sebelah ayah mereka. Sepertinya akan sulit mendapatkan hati Joyce.

Tidak seperti kakaknya, Joan meski terseok mengikuti langkah Joyce, masih sempat melempar senyum hangat padaku.

Nyonya Lim yang mengamati semua itu, berusaha menenangkan hatiku, "sabar ya Shan, mereka butuh waktu," ucapnya lalu mengelus punggung tanganku.

Aku tersenyum maklum. Belum masuk ke rumah mereka, sudah ada penolakan dari Joyce. Salahku juga kenapa mau-maunya jadi ibu tiri. Dimana-mana image ibu tiri pastilah jahat dan culas.

Penolakan seorang anak belum seberapa dibanding penolakan orang dewasa. Dan ini terbukti tak lama sesudahnya.

Para kerabat jauh bahkan kenalan keluarga Lim memandang sinis padaku. Tak yakin setan apa yang merasuki Hartono hingga mau menikahi entitas tak berarti sepertiku.

'Tenanglah Shan, sebentar lagi semuanya akan berakhir.'

Berulang-ulang kubisikkan mantra ini dalam hati.

Tatapan merendahkan sudah jadi santapan sehari-hari sejak kecil dulu, karenanya aku sudah kebal. Senyum manis tak luntur dari wajahku, kecuali untuk manusia yang satu ini.

Tak disangka-sangka, aku bertemu Jane si nenek sihir disini. Tak seperti penampilan sinisnya di rumah sakit, saat ini dia tampil penuh senyum, bak peri manis yang tersesat ke dunia fana.

"Hmm, tak sangka perempuan hodoh macam korang ni boleh dapat good catch," bisiknya waktu menjabat tanganku.

Dari kejauhan pasti orang mengira kami ini kawan akrab, kalau bukan saudara kandung yang lama terpisah.

"Ya, nggak semua orang beruntung sepertiku. Lagipula saat ini sebaiknya kau memanggilku nyonya muda Lim, iya kan nona Jane?"

Bisa kulihat betapa marah dia saat ini. Ekspresi wajahnya mengeras di balik kacamata yang dia pakai. Bahagia sekali rasanya bisa membuat orang yang menindasku selama ini tak berkutik.

"Jangan nak happy dulu. Kita belum tahu lagi for how long you can hold that tittle, Yiniang"

Kata yiniang -- berarti selir -- diucapkan penuh dengki. Tak heran memang. Manusia insecure seperti dia akan selalu penuh dengki.

"Terimakasih atas doa baiknya," balasku tak kalah.

Setelahnya dia mendengus kasar, lalu berjalan dengan langkah anggun mengikuti pasangan paruh baya yang adalah paman dan bibinya -- pemilik rumah sakit tempatku bekerja di Singapura dulu --

Melihat sikap Jane aku mendesah maklum. Dimana-mana kerabat penguasa selalu lebih sombong dari penguasanya.

Selesai berurusan dengan Jane, aku kembali berperan jadi ratu sehari yang bahagia, penuh senyum dan cinta.

Tamu terakhir masih berjabat tangan denganku, ketika tiba-tiba pria yang sudah sah jadi suamiku mencondongkan tubuh dan berbisik pelan di telingaku.

"Selesai acara, kamu ke kamar duluan, ya."

Bab terkait

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Malam Pertama

    Di suite mewah ini aku duduk bersandar pada chaise lounge yang empuk. Benar-benar nyaman! Seorang pelayan memijit kaki keramku sedangkan satu lagi membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajah. Kalau ada yang bilang uang tak bisa bikin bahagia, aku yakin mereka hanya tidak pernah ada di posisi senyaman ini. Kalau tidak sudah pasti mereka tak sanggup bilang begitu. "Apa perlu dipijit badannya juga, Bu?" Gadis muda yang sedang memijit kakiku bertanya sopan"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku."Dia mengangguk patuh lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak banyak yang bisa dia siapkan di sana, mengingat bath up di hotel sudah dilengkapi air hangat. Paling hanya perlu menuang essential oil dan menyalakan lilin aroma therapy. Katanya aroma jasmine dan musk sangat cocok untuk membangkitkan gairah pria, but who cares if they don't. Aku malah berharap Hartono tidak menyentuhku malam ini. Jadi kuputuskan saja memakai aroma citrus dan mawar, seperti yang biasa kupakai. "Bu, airn

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bisa Bicara Denganmu?

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan asing. Mata masih separuh terpejam ketika sebuah kesadaran menghantam ingatan. Aku sudah bersuami. Lagi. "Sudah bangun?" sebuah suara segera menyapa. Ternyata sosok asura berpakaian gelap itu sudah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga puluh tahun ini, belum pernah aku bertemu pria yang duduk begitu elegan sekaligus gagah. "Sudah pukul berapa ini?" tanyaku mengalihkan kecanggungan. Begitu tatapan matanya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubungkus tubuh dengan blouse satin yang tergeletak mengenaskan di sisiku. "Kamu punya waktu setengah jam untuk berkemas."Seperti biasa nada memerintah itu penuh otoritas. Tak ada ruang untuk membantah. Entah karena takut atau terburu-buru, rasa sungkan tadi lenyap seketika. Lekas kukenakan celana satin tanpa memperhatikan ketelanjangan tubuh bagian bawah lalu secepatnya kabur ke kamar mandi. Di bawah guyuran air, segala penat yang kurasakan seketik

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Musuh Bertemu di Lorong Sempit

    Usai pertanyaanku terlontar, gadis kecil itu membuang pandang lalu melengos. "Kamu kira kamu siapa? Are you even deserve my time?" ujarnya sambil bersedekap di depanku. Seandainya jiwa yang ada dalam tubuhku sama dengan tiga tahun silam tentu sudah melayang tanganku ke wajah cantik Joyce. Beruntungnya dia, Shanty yang sekarang jauh lebih sabar dan mawas diri. Kepahitan hidup sudah menempanya sangat baik. "Aku tahu. Tetapi gadis kecil yang terhormat sepertimu tentu tidak akan mengabaikan manusia, walau yang paling hina sekalipun, iya kan?"Ada pergolakan di mata indah itu. Antara mempertahankan rasa benci atau menjaga image sebagai gadis kecil penuh etika. Sebelum dia sempat berpikir lebih jernih aku langsung meruntuhkan pertahanannya. "Sebentar aja, please," ibaku dengan sorot mata minta dikasihani. Joyce, bagaimana pun pintarnya, tetaplah seorang bocah yang pikirannya gampang berubah. "Hmm, baiklah. Hanya sebentar, jangan coba menipuku." Dia berucap penuh penekanan. Segera gadis

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   The Dark Room

    "Hmph, kenapa kau tak muncul juga?" Bisikku lirih waktu melihat pesan yang kukirim kemarin tetap centang satu. Sejak hari bersejarah itu aku selalu menanti kehadiran Hartono. Namun seperti tahu aku hendak meminta sesuatu, tak sekalipun pria itu menunjukkan batang hidung. Barulah malam ini, setelah dua minggu menunggu, dia muncul tiba-tiba di kamar kami. Itu pun setelah semua penghuni rumah tertidur lelap. Aku yang sejak tiba di Batam ini kembali dirundung insomnia akut, tentu saja belum tidur ketika dia datang. Dalam setelan tiga potong abu-abu pudar, dia terlihat tampan seperti biasa. Namun ada yang berbeda malam ini. Wajahnya memancarkan amarah yang mental seperti asura dari neraka. Pada hari-hari biasa, dia memang tak pernah hangat. Namun aura dingin malam ini sangat menakutkan, seperti ada murka yang teredam didalamnya. Mau tak mau aku jadi takut sendiri, tak berani walau sekedar menyapa. "Ayo ikut aku sekarang juga", suaranya yang datar mampu membekukan gendang telingaku.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-11
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rencana

    Aku melengos gusar. Pertanyaan yang dia ajukan terdengar bagai ejekan di kupingku. Setelah apa yang dibuatnya kemarin masih bertanya apa aku baik-baik saja? Kan lucu!Responku yang tidak menyenangkan justru mengundang sebuah tawa dari mulut Hartono. Sambil mengacak rambutnya yang kelimis, dia mencibir kearahku. "Ayolah Shan, kau tidak lagi merajuk kan? Semua yang terjadi kemarin murni transaksi antara dua manusia dewasa. Kenapa mesti pakai drama?"Lagi-lagi dia benar. Apa hak-ku untuk marah? Terlepas dari rasa sakit yang mendera, aku melakukan semuanya secara sadar tanpa paksaan. Kami berdua saling bertukar keuntungan disini. "Sebagai upah atas jasamu kemarin, sebutkan apa keinginanmu", ujarnya pelan diantara kesunyian yang menghantam kamar ini. Ketika dilihatnya responku masih nol, dia berucap tak sabar tanpa peduli situasiku, "Cepatlah, aku sangat sibuk"Tawaran yang murah hati ini sukses membuatku berpaling padanya. Dengan tatapan kosong, kupandangi wajah itu lekat-lekat, meski s

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-11
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Siasat Baru

    "Siapa yang menghindar, Mak?", aku menyahut tak acuh sambil memainkan kuku yang dikutek cantik. Ibu kami dari dulu tak suka dibantah, bahkan ketika perintahnya terdengar absurd bagi spesies primata. Lucunya, saat ini beliau tak bergeming. Mungkin sama sepertiku, beliau sudah belajar lebih sabar. Atau ingin minta sesuatu? Kita tunggu saja. "Kalau tak menghindar, kenapa tak pulang-pulang? Sudah tiga tahun lho Shanty. Kenapa kau benci kali sama Mamak?"Ini jadi lucu sekarang. Masak aku nggak bisa sebal sama wanita yang terang-terangan mengusirku waktu baru diceraikan? Maksudnya aku harus tetap memuja beliau terlepas dari perlakuannya yang kejam dulu? Aneh! "Mamak kesini mau apa sebenarnya? Butuh uang lagi?" Aku mencetus tanpa basa-basi. Bisa kulihat pipi ibuku agak memerah. Tahu malu juga ternyata. "Apa maksudmu? Kami hanya khawatir, Nang. Jangan segala hal disangkut-pautkan dengan uang.""Oh, Mamak lagi nggak butuh uang berarti?""Ya.. Nggak gitu juga."Bingo! Aku melirik wajah Shan

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-11
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bahagia yang Semu

    Beberapa hari lewat begitu saja, tak ada yang istimewa. Hanya ada aku dan rencana balas dendamku. Sementara suami? Dia juga sibuk dengan dunianya. Kami ini ibarat dua dunia parallel, terhubung namun juga terpisah pada saat yang sama. Barulah siang ini, waktu lagi enak-enaknya di massage oleh Sally, ponselku tiba-tiba berdering nyaring. Sambil meraba-raba -- karena wajahku ditutupi sheet mask -- benda mungil itu berhasil kuraih lalu ditempelkan ke telinga. "Lagi dimana?"Suara dari seberang sana langsung membuatku sadar jika yang sedang bicara ini Tuan Hartono Lim yang terhormat."Lagi disalon." Aku menyahut pendek."Nanti kalau anak-anak udah pulang sekolah langsung ke taman bermain aja. Edwin udah tahu lokasinya."Klik! Sambungan terputus begitu saja. Jika bukan karena rupiah yang dia jejalkan ke rekeningku setiap bulan, maulah rasanya kutonjok wajah suamiku ini sesekali. Mestinya dia tahu menghargai orang lain, walau jongos sekalipun. "Siapa Dek?"Sally yang sedang serius memas

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-12
  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Perlahan Hancur

    Kengerian semalam akhirnya lewat juga.Tak perlulah kuceritakan lagi penyiksaan macam apa di Dark Room itu. Jangankan kalian, aku saja muak. Tak hanya pada Hartono, terlebih pada diri sendiri. Aku muak kenapa tidak lari dari kepahitan ini, padahal tak ada yang menghalangiku pergi. "Kau memang sialan." Ujarku lirih pada udara yang kuhirup. Betul kata orang-orang. Sekali kau izinkan dirimu melewati batas, lama-lama tak akan ada lagi batasan. Segala hal jadi biasa. Meski tak pingsan lagi, kayak waktu pertama kali ke Dark room dulu, tetap saja badanku sakit semua. Padahal dosis anestesi yang disuntikkan cukup tinggi, sampai kesadaran hampir hilang.Samar-samar telingaku menangkap suara tirai yang digeser. Setelahnya seseorang duduk berlutut di sisi ranjang. Mataku yang sudah hampir membuka, buru-buru kututup. Lagi tak sudi berbasa-basi dengan manusia manapun. "Ma...maafkan Ibu Shanty. Anakku sudah membuatmu susah."Deg! Suara lirih Sumiati yang sesenggukan sukses membuatku tercekat.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-12

Bab terbaru

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Epilog

    Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sebuah Pengakuan

    "Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sakit

    Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Umpan

    Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rahasia Gelap

    "Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Labirin

    Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Palau

    Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Pelarian

    Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sepanjang Lengan

    Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa

DMCA.com Protection Status