Share

Bahagia yang Semu

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Beberapa hari lewat begitu saja, tak ada yang istimewa. Hanya ada aku dan rencana balas dendamku. Sementara suami? Dia juga sibuk dengan dunianya. Kami ini ibarat dua dunia parallel, terhubung namun juga terpisah pada saat yang sama.

Barulah siang ini, waktu lagi enak-enaknya di massage oleh Sally, ponselku tiba-tiba berdering nyaring. Sambil meraba-raba -- karena wajahku ditutupi sheet mask -- benda mungil itu berhasil kuraih lalu ditempelkan ke telinga.

"Lagi dimana?"

Suara dari seberang sana langsung membuatku sadar jika yang sedang bicara ini Tuan Hartono Lim yang terhormat.

"Lagi disalon." Aku menyahut pendek.

"Nanti kalau anak-anak udah pulang sekolah langsung ke taman bermain aja. Edwin udah tahu lokasinya."

Klik!

Sambungan terputus begitu saja. Jika bukan karena rupiah yang dia jejalkan ke rekeningku setiap bulan, maulah rasanya kutonjok wajah suamiku ini sesekali. Mestinya dia tahu menghargai orang lain, walau jongos sekalipun.

"Siapa Dek?"

Sally yang sedang serius memas
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Perlahan Hancur

    Kengerian semalam akhirnya lewat juga.Tak perlulah kuceritakan lagi penyiksaan macam apa di Dark Room itu. Jangankan kalian, aku saja muak. Tak hanya pada Hartono, terlebih pada diri sendiri. Aku muak kenapa tidak lari dari kepahitan ini, padahal tak ada yang menghalangiku pergi. "Kau memang sialan." Ujarku lirih pada udara yang kuhirup. Betul kata orang-orang. Sekali kau izinkan dirimu melewati batas, lama-lama tak akan ada lagi batasan. Segala hal jadi biasa. Meski tak pingsan lagi, kayak waktu pertama kali ke Dark room dulu, tetap saja badanku sakit semua. Padahal dosis anestesi yang disuntikkan cukup tinggi, sampai kesadaran hampir hilang.Samar-samar telingaku menangkap suara tirai yang digeser. Setelahnya seseorang duduk berlutut di sisi ranjang. Mataku yang sudah hampir membuka, buru-buru kututup. Lagi tak sudi berbasa-basi dengan manusia manapun. "Ma...maafkan Ibu Shanty. Anakku sudah membuatmu susah."Deg! Suara lirih Sumiati yang sesenggukan sukses membuatku tercekat.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Dalam Pusaran

    Sepertinya semesta sedang murah hati padaku. Setelah kabar baik yang dibawa Hartono kemarin, sebuah nomor lama yang masih tersimpan di buku telepon-ku tiba-tiba membuat panggilan. Sekali, dua kali, tak kuacuhkan panggilannya. Biar saja dia mengiraku sombong. Ponselku pun berhenti berdering.Kukira manusia jahat itu menyerah. Ternyata di sore hari dia kembali berulah. "Halo? Dengan siapa?" sahutku ogah-ogahan" Saya Susi Bu, suster yang dulu bekerja di rumah. Apa ibu masih ingat saya?"Suara di seberang sana menyahut lembut, terlalu santun untuk wanita yang sudah terang-terangan menggoda suami orang. Tentu aku ingat! Mana mungkin bisa lupa dengan manusia sepertinya. Jangankan nama, bahkan cara dia menatap mantan suami pun masih kuingat jelas. "Oh, kukira entah siapa. Ada apa Susi?" Aku menyahut tanpa minat, seolah dirinya wabah yang harus dihindari. "Saya perlu ketemu Ibu. Ada hal penting yang harus saya sampaikan."Aku memandangi kuku tangan yang dicat nude. Kuku itu terlihat ber

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Tak Terduga

    Setelah Susi pergi, aku masih duduk di cafe ini.Menikmati angin yang samar-samar membawa uap air laut sepertinya bukan gagasan buruk di siang yang terik. Jadi kupesanlah secangkir kopi pahit dan kudapan manis untuk dinikmati sambil bersantai di sisi cafe yang menghadap laut lepas. Kuambil ponsel lalu menekan sebuah nomor yang tertera disana. Teleponku diangkat hampir seketika. "Halo Kak, ada apa?"Aku tersenyum mendengar suara lembut mendayu di seberang sana. Wanita sepertiku saja langsung meleleh apalagi pejantan busuk macam Roy. "Hai Velly, kerja bagus! Aku barusan ketemu Susi, nampaknya dia sangat putus asa."Suara tawa merdu langsung menyerbu telinga begitu kalimatku usai. Sepertinya Velly sangat bangga akan dirinya. "Tak masalah Kak. Sudah tugasku untuk bekerja sesuai kontrak."Ckckck, sangat mengesankan! Lihatlah betapa profesional kaum penghibur sekarang, sampai pakai kontrak segala. Padahal yang bekerja baik-baik saja kadang tak punya kontrak, hingga bisa diperlalukan sem

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Menguak Masa Lalu

    Hidup berjalan sebagaimana mestinya sampai di satu titik aku merasa ada yang tak wajar. Ibu mertua yang biasanya stay di kota ini -- meski jarang dirumah --, mendadak tidak nongol sampai tiga hari lamanya. Pun dengan Edwin yang kemarin mengajukan cuti demi urusan keluarga, tetap tidak ada kabarnya sampai detik ini. Yang bikin hati makin gundah, Hartono pamit ke Macau untuk seminggu namun sampai saat ini juga belum kembali. Padahal sepuluh hari sudah berlalu. Aku sangat bingung sekarang, terlebih karena tak ada teman bertukar pikiran. Ditengah kemelut otak yang makin menjadi, sebuah panggilan dengan kode negara Singapura, menyapa ponselku. "Halo, dengan siapa?" sahutku separuh bingung. "Hello, this is with Memorial Hospital."Ternyata suara di seberang sana asalnya dari sebuah rumah sakit swasta di Singapura. Pun kebetulan yang aneh jika rumah sakit ini tempatku bekerja dulu.Tak banyak yang bisa kutangkap dari pembicaraan ini, yang jelas wanita di ujung sana bilang Hartono sedang

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Hambar

    Sejak pengakuan Hartono di rumah sakit dua bulan lalu, ada yang berbeda dalam hubungan kami secara emosional. Aku yang tadinya selalu risih bahkan untuk sekedar bicara dengannya kini mulai bisa memahami jalan pikiran suami. Seperti pagi ini, kala aku bersiap untuk menghadiri sidang terakhir perihal gugatan hak asuh yang kulayangkan pada mantan suami, Hartono duduk bersamaku di kamar ini.Aku menatap tampilan diriku dalam balutan rok sepan krem dan kemeja putih dengan leher beranda. Kupulaskan kembali gincu fuchsia di bibir yang kelewat nude. Aku tak mau terlihat pucat di depan Roy hari ini. "Selesai persidangan langsung pulang ke rumah, kalau mau ke tempat lain harus mengabariku lebih dulu." Suara maskulin yang empuk itu menyapa telingaku. "Tentu saja." Aku menyahut seraya berbalik menatapnya. Tidak seperti tampilannya yang selalu santai, hari ini dia terlihat formal dan kelimis salam setelan tiga potong warna gelap, membuat keseluruh

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Penyekapan

    "Kau kenapa akhir-akhir ini?""Hah?" Sontak aku kaget bukan buatan sampai eyeliner yang sedang kuukir di mata jadi meluber kemana-mana. "Maksudmu?" Aku kembali bertanya pada suami yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu. "Apa perlu kuulang lagi?" ucapnya penuh penekanan. Roman mukanya yang tegas mau tak mau membuatku jadi berpikir ulang tentang segala tindakanku belakangan ini, lebih tepatnya setelah bertemu Alex kemarin. Putraku memang tidak tinggal dengan kami -- sesuai kesepakatan di awal -- tapi bersama adikku Shania. Untungnya iparku tak keberatan. Selama hidup dengan keluarga mereka, atas persetujuanku Shania membawa Alex ke psikolog anak. Dari hasil pemeriksaan dokter, Alex punya trauma berat. Masih dari cerita Shania, anakku kerap terbangun di tengah malam sambil mengigau kadang cuma terisak-isak. Semua ini membuat otakku yang biasanya berpikir logis jadi berantakan. Puncaknya ketika kami sedang di Dark Room, aku

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Peringatan

    Tak tahu berapa lama aku tertidur, namun rintik hujan yang memukul kaca jendela dalam nada beriramalah yang menarik jiwaku dari alam mimpi.'Tempat ini seperti tak asing...'Kubuka mata perlahan hingga langit-langit ruangan nampak samar di depan mata.Mendadak sekelumit bayangan menyeruak dalam benakku. Astaga! Aku ingat sekarang. Semalam aku diculik tiga pria bertopeng, tapi kenapa… kenapa saat ini aku ada dalam ruangan yang terasa akrab bagiku?Mataku mengerjap lagi. Nyatalah ini memang kamar yang kutempati di apartemen Hartono. Perlahan aku mencoba bangkit, tetapi kepala sangat pening, rasanya seperti ada beban berat menghantam tempurung kepalaku. “Just lay down.” Suara dingin yang akrab tiba-tiba menyapa telingaku.Aku menoleh ke sana. Ternyata Hartono sedang berdiri di dekat jendela dengan posisi kedua tangan di dalam saku celana.Tubuh yang tadinya membelakangiku, kini berbalik hingga aku bisa melih

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Kenalan Penuh Misteri

    “Anda … kenapa bisa di sini?” Tanyaku terperangah, tak menyangka salah satu dosen tamu favorit di tempatku berkuliah dulu bisa muncul tiba-tiba.“Do you not ask me to sit first?”Aku berdehem kecil menyadari kegugupanku. Tanpa banyak tanya lagi segera kupersilakan dia duduk. Senyumnya masih sehangat dulu, meski ada sesuatu yang berbeda darinya. Garis wajahnya yang tampan makin tegas termakan usia.“Saya dengar … awak sudah berkahwin, ya?”“Ya, Mr. Yeoh. Belum sampai setahun.” Balasku sambil menyesap jus jeruk yang tinggal sedikit itu hingga tandas.Raut wajah Steven Yeoh agak mengernyit melihat gayaku menghabiskan minuman segar tadi hanya dalam sekali teguk. Bagi pria aristokrat sepertinya pastilah tindakanku ini tidak elegan sama sekali.Jangan salah. Meski Steven Yeoh cuma dosen tamu yang sesekali mengisi perkuliahan kami, latar belakang beliau cukup misterius. Pakaiannya memang selalu sederhana pun aksesoris yang dipakai. Tetapi mereka yang terbiasa hidup dalam kemewahan pasti paham

Bab terbaru

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Epilog

    Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sebuah Pengakuan

    "Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sakit

    Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Umpan

    Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rahasia Gelap

    "Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Labirin

    Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Palau

    Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Pelarian

    Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sepanjang Lengan

    Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa

DMCA.com Protection Status