Share

Memberi Pelajaran

Penulis: Auphi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. 

Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 

'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'

Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. 

Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. 

"Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi.

"Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."

Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat shock dengan penuturanku barusan. 

"Kenapa? Aku memang janda tapi nggak semua janda punya daya tarik seperti ini," tukasku sombong

"Maksudku kok tiba-tiba? Sama siapa?"

"Yang jelas sama manusia. Nanti ada waktunya kukenalkan sama-mu. Untuk sekarang, itu aja yang perlu kau tahu."

"Terus kakak nggak buat pesta? Nggak undang keluarga?"

Aku meniup matanya yang masih membelalak kaget, seperti melihat setan lagi shopping. 

"Nggak penting. Aku nggak nikah di catatan sipil aja. Yang penting nikahnya nggak sama monster."

Hartono memang belum menceritakan bagaimana cara pernikahan kami, namun dari sikapnya yang tidak menyukai konsep spritual, bisa kupastikan calon suamiku ini agnostik atau malah atheis, who cares? Orang seperti ini mana peduli dengan ritual pernikahan di rumah ibadah. 

Lelaki tak suka agama ditambah perempuan tidak taat beribadah, sungguh perfect couple made in hell kami ini. 

"Jadi kapan kalian mau nikah?"

"Minggu depan. Doakan aja biar semua lancar," pungkasku dalam nada monoton. 

Di luar sana bisa kulihat Luki sudah mulai mengeluarkan mobilnya dari lahan parkir. Entah dalam rangka apa mereka bisa sampai kemari. 

Akhirnya mobil hitam itu meluncur, makin jauh dan jauh, sampai akhirnya hilang dari pandangan. Dan mataku masih enggan berpaling. 

Dulu pria tampan nan jangkung itu sangat mencintaiku.

Ah, cinta mungkin kurang tepat. Dia tergila-gila padaku, bahkan rela mengesampingkan ibu dan kakaknya demi diriku. Lalu skenario hidup yang rumit membuatku malah menikah dengan Roy, si pezina dan dia menikahi perempuan dajjal bernama Vina. 

"Kak, ayoklah pulang. Kemana mau kuantar?"

"Hmm, anu..antar aku ke hotel aja dulu," sahutku gamang. 

Kemarin Hartono berpesan sesampainya di Batam aku harus tinggal di apartemennya menjelang pernikahan kami. Dia sendiri masih tinggal di Singapura hingga hari ini. Meski kami akan menikah, tetap saja risih rasanya tinggal di rumah seseorang yang masih asing. 

"Kok ke hotel? Ke rumahku aja."

Aku mendelik kesal. Pasti Shania tolol ini ingin mempertemukanku dengan mamak kami, "Tak usah mendebatku. Kalau kau nggak mau antar, ya sudah. Aku pesan taksi saja."

Tak lagi menunggu argumennya yang menyesatkan, aku segera beranjak pergi. Dengan kasar kutarik tas cangklongku yang masih di tangannya. Aku juga bingung dengan perubahan mood yang mendadak ini. Tak biasanya Shanty begini. 

"Woy! chill, chill. Tunggulah! iya, kuantar pun ke hotel! seru Shania panik.

Adikku sedikit berlari mengejarku yang sudah keburu tiba di depan kedai. Sekilas aku menoleh ke belakang. Astaga! Nyaris tak bisa menahan tawaku. Dia terlihat sangat lucu, persis penguin bertubuh gempal yang berlarian di atas salju. 

Begitu tiba di sisiku, langsung ditariknya tas besar yang udah macam trofi bergilir tadi, "Segitu aja ngambek, percuma udah tua!" Tak lama dia menekan kunci mobilnya. Aku sudah bersiap-siap hendak masuk ketika seorang pria dalam setelan gelap tiba-tiba menghampiriku. 

"Maaf Nyonya, saya terlambat menjemput Anda."

Sontak aku menoleh. Di depanku kini berdiri pria bertubuh tegap. Lagi-lagi dengan setelan gelap. Apa mereka ini ikut sekte atau kultus yang mewajibkan anggotanya berpakaian seperti ini tiap saat? 

"Apa saya harus ikut kamu?"

"Ya, Nyonya. Itu perintah tuan."

Dia memang membungkuk hormat. Namun nada tegas dalam suara itu tak terbantahkan. Artinya: sedikit saja ada perlawanan, dia mungkin tak akan sungkan menyeretku ke dalam mobil, entah dalam keadaan sadar atau tidak. 

"Baik, sebentar ya."

Tanpa banyak kata aku menghampiri Shania yang sudah pias. Aku yakin betul, sekarang dia pasti menduga kakaknya anggota geng mafioso. 

"Tenanglah Dek, everything is fine. Aku pamit dulu, nanti kutelepon ya," ujarku merangkul pundaknya. 

Bisa kurasakan tubuhnya yang sempat menegang tadi berangsur tenang walau tatapan khawatir di mata itu tak dapat disembunyikan. 

"Kak, ada apa ini semua? Kok ada orang bertampang mafia mencari kau? Bukan buronan kau, kan? Tak ada kau buat kriminal, kan?"

Aku tersenyum miris mendengarnya. Aku memang buronan dari penjara kehidupan, tak bisa bebas barang sekejap. Mau bagaimana lagi, ini sudah pilihanku. "Bukan, tenanglah. Pokoknya nanti kukabari lagi. Hati-hati dijalan, aku pergi dulu."

Tanpa menunggu persetujuan Shania aku segera beranjak apalagi waktu kulihat orang-orang sudah mulai mengamati pria bersetelan gelap ini. Siapa suruh nggak pakai busana sesuai tempat, menarik perhatian saja. 

Begitu duduk di seat belakang sopir, aku masih sempat mengamati Shania dari balik spion. Adikku itu tergugu di tempatnya, mengamati kepergianku sampai tak lagi bisa terlihat. Perkiraanku pastilah dia pulang dengan rasa cemas. 

"Maaf Nyonya, tadi saya terlambat karena ada urusan mendadak," ucap pria bersetelan gelap tadi. 

Aku mengamati wajahnya tajam lalu membuka mulut, "Sebagai seorang pelayan sudah sepantasnya kau mendahulukan keperluan atasanmu. Aku nggak tahu urusan apa yang membuatmu terlambat, tapi jangan pernah mengulanginya lagi," ucapku tegas. 

"Ya, Nyonya. Anda benar," Dia menyahut rendah. 

Bisa kulihat mimik wajahnya berubah sedikit karena teguranku barusan. Kalau aku tak salah, pastilah pria ini sedang menguji, sejauh apa ambang batas sabarku. Kalau sedikit saja kutunjukkan toleransi bisa jadi aku segera jadi bulan-bulanan dibuatnya. 

Manusia memang makhluk aneh. Kau baik dia ngelunjak, kau perhatian dia menjauh, kau ludahi dia memohon-mohon. Sungguh rumit! 

"Nyonya, kita sudah sampai." Suara itu kembali menyapa. 

Kali ini tak ada lagi arogansi seperti waktu di depan kedai tadi. Bergegas dia turun membukakan pintu lalu mengangkat barang bawaan yang tidak banyak. Kutatap sekilas apartemen yang menjulang tinggi di depanku. Tidak ada yang istimewa. Persis seperti gedung tinggi kebanyakan, angkuh dan dingin. 

"Apa kau saudaranya Edbert?," kataku membuka percakapan begitu kami ada di dalam lift. 

"Dia sepupu saya, Nyonya," sahutnya pula. 

Hmm, pantas saja. Bisikku dalam hati. Wajah mereka punya kemiripan, hanya sikap yang beda. Kalau sikap dingin Edbert membuatmu segan padanya, maka sikap dingin cecunguk satu ini bikin keki, karena perwujudan dari keangkuhan. 

"Ting!"

Terhanyut sesaat dalam pikiranku, tahu-tahu kami sudah sampai di lantai lima. Ruangan yang dimiliki Hartono ada disini. 

Pria yang belakangan kutahu bernama Edwin ini bergegas membukakan pintu untukku. Hawa dingin seketika menyeruak begitu pintu yang kokoh itu terkuak. Perlahan netra mataku menyesuaikan diri dengan cahaya temaram dalam ruangan. 

Tak seperti dugaanku, apartemen jenis penthouse ini tertata rapi, walau tentu saja didominasi warna monoton putih dan abu-abu gelap, seperti pemiliknya. Furniture minimalis serba canggih memberi kesan mahal dan eksklusif. 

Jika saja aku tidak sedang menjejakkan kaki di lantai, pastilah benak ini akan tertipu, mengira dirinya sedang berada dalam salah satu episode film Korea. Sebisa mungkin kubuang sikap canggungku, supaya si Edwin ini tidak memandang rendah diriku yang dikiranya pengemis jalanan.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Nyonya. Masih mau memeriksa usaha Tuan Hartono. Beliau sangat membutuhkan bantuan saya disini."

"Bantuan?" Aku menekan suaraku pada kata itu seraya tersenyum dan berujar, "Bagus! Nanti akan kusampaikan supaya beliau bisa mengucapkan terimakasih secara layak padamu."

Wajah Edwin jadi pias seketika. Dimana pula ada majikan kaku macam Hartono mau mengucapkan terima kasih? Apa yang dilakukan Edwin semata-mata adalah tugasnya sebagai bawahan yang dibayar dengan layak, bukan bantuan seperti klaim-nya barusan. 

"Tak...perlu Nyonya. Ini memang tugas saya sebagai bawahan beliau. Kalau begitu saya pamit dulu."

Sekali lagi dia membungkuk takzim padaku sebelum pergi dengan tergesa. 

Langkah yang terlampau lebar membuat dirinya hampir menabrak pintu yang belum membuka sempurna.

Sungguh pria angkuh yang payah. Mudah-mudahan saja rasa malu yang menderanya hari ini tak lantas membuat dia jadi dendam padaku. Menambah musuh di situasi sulit bukanlah pilihan bijak. 

Ponselku yang tersimpan di dalam tas tiba-tiba bergetar. Ternyata pesan dari Hartono. 

[Sudah sampai?]

Secepatnya kuketik kata 'sudah'

[Bagaimana apartemennya?]

Kubalas lagi dengan kata 'lumayan'

Sesudahnya hening, tak ada lagi balasan. Mungkin dia kesal juga dengan jawabanku yang serba singkat, mirip kuis adu kecerdasan. 

Kupijit keningku sambil merebahkan diri di sofa empuk berukuran besar. Tak terasa tiga jam sudah berlalu sejak aku tiba di bandara tadi. 

Kuputuskan untuk mandi agar rasa lelah ini sedikit berkurang. Namun begitu mata yang terpejam membuka, seraut wajah keibuan yang ramah menyambutku. 

"Perkenalkan Nyonya, saya pelayan disini. Kalau butuh apapun, Anda bisa meminta bantuan saya," cetusnya sopan. 

Kutatap sekilas pakaian bersahaja dibalik apron motif kotak-kotak yang menggantung di bahunya. Entah kenapa, firasatku bilang wanita paruh baya ini bukan sembarang pelayan. Yang paling penting dia juga bukan orang jahat. Aura yang dipancarkannya teduh dan hangat, tanpa kepalsuan. 

"Tak usah memanggilku nyonya, Bu. Panggil saja Shanty," ucapku ramah. Ini benar-benar langka.

"Wah, itu tak patut. Bagaimanapun, Anda calon istri bos saya."

"Kalau begitu cukup memanggilku nyonya di depan orang luar. Kalau cuma kita berdua panggil Shanty saja Ibu," tolakku tegas. 

Akhirnya dia mengalah. Sambil tersenyum ramah dia berucap lagi, "Kalau begitu aku akan lancang menyebut namamu, Nak. Bagaimana kalau kamu makan sekarang, pasti sudah lapar, kan?"

"Tak usah repot-repot Bu, tadi aku sudah makan di luar. Kalau begitu aku pamit dulu. Mau mandi," sahutku lagi sambil mengangkat tubuh dari sofa yang membuai ini. 

Dia hanya mengangguk ramah. 

Tapi ada yang aneh. Meski senyum simpatik itu tak pudar, namun jika ditelisik lebih dekat ada kilatan asing di matanya. Kilat yang memancarkan rasa iba sekaligus... amarah. 

Bab terkait

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bukan Pernikahan Biasa

    Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless. Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia. Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar. "Masuk," sahutku tanpa menoleh. Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula. Ternyata aku salah!Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar. "Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup. "Kenapa? Kaget melihatku disini?"Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian a

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Malam Pertama

    Di suite mewah ini aku duduk bersandar pada chaise lounge yang empuk. Benar-benar nyaman! Seorang pelayan memijit kaki keramku sedangkan satu lagi membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajah. Kalau ada yang bilang uang tak bisa bikin bahagia, aku yakin mereka hanya tidak pernah ada di posisi senyaman ini. Kalau tidak sudah pasti mereka tak sanggup bilang begitu. "Apa perlu dipijit badannya juga, Bu?" Gadis muda yang sedang memijit kakiku bertanya sopan"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku."Dia mengangguk patuh lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak banyak yang bisa dia siapkan di sana, mengingat bath up di hotel sudah dilengkapi air hangat. Paling hanya perlu menuang essential oil dan menyalakan lilin aroma therapy. Katanya aroma jasmine dan musk sangat cocok untuk membangkitkan gairah pria, but who cares if they don't. Aku malah berharap Hartono tidak menyentuhku malam ini. Jadi kuputuskan saja memakai aroma citrus dan mawar, seperti yang biasa kupakai. "Bu, airn

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bisa Bicara Denganmu?

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan asing. Mata masih separuh terpejam ketika sebuah kesadaran menghantam ingatan. Aku sudah bersuami. Lagi. "Sudah bangun?" sebuah suara segera menyapa. Ternyata sosok asura berpakaian gelap itu sudah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga puluh tahun ini, belum pernah aku bertemu pria yang duduk begitu elegan sekaligus gagah. "Sudah pukul berapa ini?" tanyaku mengalihkan kecanggungan. Begitu tatapan matanya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubungkus tubuh dengan blouse satin yang tergeletak mengenaskan di sisiku. "Kamu punya waktu setengah jam untuk berkemas."Seperti biasa nada memerintah itu penuh otoritas. Tak ada ruang untuk membantah. Entah karena takut atau terburu-buru, rasa sungkan tadi lenyap seketika. Lekas kukenakan celana satin tanpa memperhatikan ketelanjangan tubuh bagian bawah lalu secepatnya kabur ke kamar mandi. Di bawah guyuran air, segala penat yang kurasakan seketik

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Musuh Bertemu di Lorong Sempit

    Usai pertanyaanku terlontar, gadis kecil itu membuang pandang lalu melengos. "Kamu kira kamu siapa? Are you even deserve my time?" ujarnya sambil bersedekap di depanku. Seandainya jiwa yang ada dalam tubuhku sama dengan tiga tahun silam tentu sudah melayang tanganku ke wajah cantik Joyce. Beruntungnya dia, Shanty yang sekarang jauh lebih sabar dan mawas diri. Kepahitan hidup sudah menempanya sangat baik. "Aku tahu. Tetapi gadis kecil yang terhormat sepertimu tentu tidak akan mengabaikan manusia, walau yang paling hina sekalipun, iya kan?"Ada pergolakan di mata indah itu. Antara mempertahankan rasa benci atau menjaga image sebagai gadis kecil penuh etika. Sebelum dia sempat berpikir lebih jernih aku langsung meruntuhkan pertahanannya. "Sebentar aja, please," ibaku dengan sorot mata minta dikasihani. Joyce, bagaimana pun pintarnya, tetaplah seorang bocah yang pikirannya gampang berubah. "Hmm, baiklah. Hanya sebentar, jangan coba menipuku." Dia berucap penuh penekanan. Segera gadis

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   The Dark Room

    "Hmph, kenapa kau tak muncul juga?" Bisikku lirih waktu melihat pesan yang kukirim kemarin tetap centang satu. Sejak hari bersejarah itu aku selalu menanti kehadiran Hartono. Namun seperti tahu aku hendak meminta sesuatu, tak sekalipun pria itu menunjukkan batang hidung. Barulah malam ini, setelah dua minggu menunggu, dia muncul tiba-tiba di kamar kami. Itu pun setelah semua penghuni rumah tertidur lelap. Aku yang sejak tiba di Batam ini kembali dirundung insomnia akut, tentu saja belum tidur ketika dia datang. Dalam setelan tiga potong abu-abu pudar, dia terlihat tampan seperti biasa. Namun ada yang berbeda malam ini. Wajahnya memancarkan amarah yang mental seperti asura dari neraka. Pada hari-hari biasa, dia memang tak pernah hangat. Namun aura dingin malam ini sangat menakutkan, seperti ada murka yang teredam didalamnya. Mau tak mau aku jadi takut sendiri, tak berani walau sekedar menyapa. "Ayo ikut aku sekarang juga", suaranya yang datar mampu membekukan gendang telingaku.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rencana

    Aku melengos gusar. Pertanyaan yang dia ajukan terdengar bagai ejekan di kupingku. Setelah apa yang dibuatnya kemarin masih bertanya apa aku baik-baik saja? Kan lucu!Responku yang tidak menyenangkan justru mengundang sebuah tawa dari mulut Hartono. Sambil mengacak rambutnya yang kelimis, dia mencibir kearahku. "Ayolah Shan, kau tidak lagi merajuk kan? Semua yang terjadi kemarin murni transaksi antara dua manusia dewasa. Kenapa mesti pakai drama?"Lagi-lagi dia benar. Apa hak-ku untuk marah? Terlepas dari rasa sakit yang mendera, aku melakukan semuanya secara sadar tanpa paksaan. Kami berdua saling bertukar keuntungan disini. "Sebagai upah atas jasamu kemarin, sebutkan apa keinginanmu", ujarnya pelan diantara kesunyian yang menghantam kamar ini. Ketika dilihatnya responku masih nol, dia berucap tak sabar tanpa peduli situasiku, "Cepatlah, aku sangat sibuk"Tawaran yang murah hati ini sukses membuatku berpaling padanya. Dengan tatapan kosong, kupandangi wajah itu lekat-lekat, meski s

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Siasat Baru

    "Siapa yang menghindar, Mak?", aku menyahut tak acuh sambil memainkan kuku yang dikutek cantik. Ibu kami dari dulu tak suka dibantah, bahkan ketika perintahnya terdengar absurd bagi spesies primata. Lucunya, saat ini beliau tak bergeming. Mungkin sama sepertiku, beliau sudah belajar lebih sabar. Atau ingin minta sesuatu? Kita tunggu saja. "Kalau tak menghindar, kenapa tak pulang-pulang? Sudah tiga tahun lho Shanty. Kenapa kau benci kali sama Mamak?"Ini jadi lucu sekarang. Masak aku nggak bisa sebal sama wanita yang terang-terangan mengusirku waktu baru diceraikan? Maksudnya aku harus tetap memuja beliau terlepas dari perlakuannya yang kejam dulu? Aneh! "Mamak kesini mau apa sebenarnya? Butuh uang lagi?" Aku mencetus tanpa basa-basi. Bisa kulihat pipi ibuku agak memerah. Tahu malu juga ternyata. "Apa maksudmu? Kami hanya khawatir, Nang. Jangan segala hal disangkut-pautkan dengan uang.""Oh, Mamak lagi nggak butuh uang berarti?""Ya.. Nggak gitu juga."Bingo! Aku melirik wajah Shan

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Bahagia yang Semu

    Beberapa hari lewat begitu saja, tak ada yang istimewa. Hanya ada aku dan rencana balas dendamku. Sementara suami? Dia juga sibuk dengan dunianya. Kami ini ibarat dua dunia parallel, terhubung namun juga terpisah pada saat yang sama. Barulah siang ini, waktu lagi enak-enaknya di massage oleh Sally, ponselku tiba-tiba berdering nyaring. Sambil meraba-raba -- karena wajahku ditutupi sheet mask -- benda mungil itu berhasil kuraih lalu ditempelkan ke telinga. "Lagi dimana?"Suara dari seberang sana langsung membuatku sadar jika yang sedang bicara ini Tuan Hartono Lim yang terhormat."Lagi disalon." Aku menyahut pendek."Nanti kalau anak-anak udah pulang sekolah langsung ke taman bermain aja. Edwin udah tahu lokasinya."Klik! Sambungan terputus begitu saja. Jika bukan karena rupiah yang dia jejalkan ke rekeningku setiap bulan, maulah rasanya kutonjok wajah suamiku ini sesekali. Mestinya dia tahu menghargai orang lain, walau jongos sekalipun. "Siapa Dek?"Sally yang sedang serius memas

Bab terbaru

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Epilog

    Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sebuah Pengakuan

    "Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sakit

    Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Umpan

    Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Rahasia Gelap

    "Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Labirin

    Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Palau

    Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Pelarian

    Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny

  • Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda   Sepanjang Lengan

    Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa

DMCA.com Protection Status