Kepulanganku ke tanah air, tepatnya kota Batam, tak menimbulkan riak berarti. Tak ada sambutan hangat, reuni singkat, atau pun pesan basa-basi yang bertanya 'kapan sampai'.
Bukan salah dunia. Aku yang memilih mengasingkan diri dari kehidupan. Lelah dengan semua kerumitan emosi yang menghantam jiwaku belakangan. Kadang-kadang tidak berharap apapun pada semesta jauh lebih baik, meski itu bukanlah bagian yang cocok untuk perempuan ambisius seperti aku. Begitu tiba di bandara, kudorong koper kecil sembari menenteng sebuah tas cangklong ukuran besar. Kacamata hitam yang tadi kugantung di kerah kaos, kini kembali bertengger manis di puncak hidungku. "Kak, aku disini!"Refleks aku menoleh ke sisi kiri, ternyata adikku Shania sudah berdiri disana dengan senyum lebar yang mirip seringai beruk minta kawin. "Akhirnya kau sampai Kak, dari tadi aku udah pegal nungguin kau," ujarnya dengan napas tersengal karena barusan berlari-lari kecil menghampiriku. "Yang minta kau nunggu aku, siapa?" aku membalas tak acuh. Tatapanku yang tajam menyelidik dari ujung kaki hingga rambut, membuat rasa bersalah jadi terbit di matanya. Wajar dia merasa bersalah. Kalau tebakanku benar, pastilah perempuan tengil ini memantau posisiku lewat pelacak handphone atau email yang belum sempat log-out dari laptopnya yang sempat kupakai kemarin. Betapa menakutkannya teknologi! "Maaf Kak, habis kau nggak pernah kasih kabar. Kalau nggak secara ilegal, kayak mana mau tahu kabarmu?"Ternyata ibu dua anak ini masih berusaha membela diri. Dasar emak-emak keras kepala."Hmmm, iya deh. Nah, silakan kerjakan tugasmu. Siapa suruh datang kemari."Tanpa basa-basi, kulempar tas cangklong besar itu ke depannya. Peduli amat dengan wajah cemberut Shania. Dia berusaha keras mensejajari langkahku. Membawa beban ditambah ukuran tubuh yang cukup subur tentu bukan perkara mudah. Tak lama napasnya mulai tersengal diantara peluh yang terus bercucuran. "Sudah, kemarikan tas itu," ujarku tak tega. Shania satu-satunya manusia yang masih kuanggap kerabat di bumi ini. "Lagian kau parkir kok jauh betul," sungutku lagi. "Hehehe, aku parkir di luar Kak. Malas menyetir ke dalam," gelaknya dalam sikap malu-malu yang kentara. Jelas sekali, kemampuan menyetirnya yang masih di bawah standar. Aku hanya bisa menggeleng. Adikku yang baik ini memang suka merepotkan diri. Sudah tahu belum jago menyetir masih juga memaksakan diri. Apa salahnya menggaji sopir pribadi?Tidak sepertiku, Shania hidup mapan bersama sang suami. Walau tidak tampan, adik iparku tipe pria setia dan pekerja keras. Mampu mencukupi kebutuhan anak-istrinya dengan baik. "Siapa yang menjaga kedua anakmu?" tanyaku ditengah langkah yang makin terseok"Kutitip sama mamak Kak. Beliau lagi dirumah.""Oh, gitu," sahutku singkat. Tak lagi berminat melanjutkan pembicaraan. Jika anak lain selalu mengelu-elukan ibu mereka sebagai sosok penuh kasih tanpa pamrih, tidak demikian dengan kami, aku khususnya. Sejak kecil, wanita yang kami panggil 'mamak' itu selalu mendidik kami untuk satu tujuan : Kehidupan yang kaya dan terhormat. Itulah yang menjadi target hidupku sejak muda -- setidaknya dulu aku berpikir begitu -- sekarang sudah terlambat untuk mengubahnya.Setan cinta uang dalam diriku sudah tumbuh tak terkendali. Menjadi denyut yang menggerakkan urat nadi kehidupanku. "Akhirnya kita sampai." Suara Shania yang terdengar serupa desau angin berucap di belakangku. Aku berhenti sejenak lalu mengikuti langkahnya menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di depan warung penjual makanan.Bau hidangan oriental yang lezat seketika menyapa indra penciumanku, tak pelak Shania yang memang penyuka makana juga berhenti beberapa langkah dari mobilnya lalu menatapku ragu. "Kak, udah makan?"Aku memutar mata jengah. Pura-pura bertanya udah makan apa belum, padahal aku yakin seratus persen kalau cacing dalam perutnya yang sudah teriak-teriak minta diisi. "Bilang aja kalau mau makan. Jangan protes nanti kalau jarum timbanganmu makin ke kanan," balasku pedas tapi adikku hanya mengedikkan bahu. Kami segera memasukkan barang dalam bagasi mobil lalu melangkah memasuki warung sederhana yang dikelola seorang Ayi paruh baya. "Yi, pesan nasi ayam Hainan dua, jus jeruk dua." Shania berucap begitu mendekati pintu masuk. Kami memang sering beradu pendapat dalam banyak hal namun kalau soal makanan selera kami hampir sama, lebih lagi kuliner oriental.Lahir dan besar di kepulauan Riau membuat masakan Tionghoa cukup akrab dilidah, khususnya makanan khas suku khek yang banyak menetap di sini. Tidak seperti kuliner hokkien, masakan khek lebih minim bumbu, mungkin karena pahitnya kehidupan leluhur mereka dulu. "Mau bungkus apa makan sini," sahut Ayi dalam logat khas chindo. "Makan disini aja, " Balas Shania. Setelahnya dia bergabung denganku yang masih sibuk menekuni buku menu di meja, kalau-kalau ada sajian lain yang menarik perhatian dan patut ditambah dalam daftar pesanan. Namun nihil. Seperti kebanyakan tempat makan yang dikelola etnis Tionghoa, yang lebih mengutamakan kualitas menu daripada ragamnya, rupanya disini juga begitu. Tak banyak pilihan tersedia. "Kak, kau nggak mau ketemu mamak?" tanya Shania begitu duduk di depanku"Buat apa? Pasti yang terjadi perang dunia ketiga.""Kau yakin, Kak? Sepertinya mamak pengen kali ketemu sama kau."Pramusaji meletakkan dua gelas air putih dan dua gelas jus di depan kami. Sepertinya nasi ayam harus menunggu lebih lama. Kedai memang lagi ramai. "Hahaha, kau masih saja naif kayak dulu. Dia bukan rindu sama aku, tapi sama uangku," sahutku enteng sambil menyeruput jus jeruk dengan rakus. Cuaca kota Batam yang terik membuat dahaga mencapai titik kulminasi. "Memangnya apa dibilang mamak sama kau?" tak urung aku bertanya jugaShania berdehem lalu berbicara dengan aksen ibuku, "Di manalah kakakmu, ya? Gimana keadaannya sekarang? Risau kalilah mamak.""Pfffttt"Aku nyaris tersedak. Seperti biasa, ibuku paling bisa diandalkan dalam bersandiwara. Ah! Seandainya dulu beliau menekuni dunia peran, sudah pasti saat ini kami jadi anak artis. "Kau masih saja tertipu. Kau ini wanita tambun atau lembu tambun, gampang betul ditipu. Pastilah dia ngomong kayak gitu biar kau buka mulut. Nggak ada kau cerita apa-apa, kan?"Shania hanya menggeleng lemah. Adikku memang selalu berprasangka baik, bahkan terhadap orang yang sudah menyakitinya sejak kecil. Ibu kami, meski tidak memukul, tidak membentak, namun ucapannya selalu pedas dan tajam, mampu merobek asa yang paling dalam. Belum lagi dia selalu membandingkan Shania denganku, bikin adikku ini jadi insecure sama diri sendiri. "Sebenarnya kau buat jasa apa sama tante Sally? Dia loyal kali sama-mu," Adikku mengalihkan cerita untuk meredakan situasi yang mulai memanas gara-gara ibu kami. "Memangnya kenapa dia?""Yah, dia selalu merekomendasikan kliennya supaya skincare-an di tempatmu, udah gitu tiap ada preman yang mau mengganggu klinikmu dia langsung maju pasang badan"Aku tersenyum kecil dan berujar, "Bukan soal kebaikan tapi balas budi."Setelahnya benakku mulai melayang pada peristiwa tiga tahun silam. Waktu itu Sally cuma pemilik salon langgananku. Kiosnya sederhana, cuma sebuah ruko kecil. Namun kepiawaian Sally dalam urusan rambut, sulam alis, dan bibir tak perlu diragukan. Entah kesalahan apa yang dilakukan Sally di masa mudanya hingga perempuan berbakat seperti dia mesti stuck dengan laki-laki bajingan dalam wujud suaminya. Pria jelek itu, jangankan memberi nafkah malah suka melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal serta penjudi ulung. Segala keburukan diborongnya semua. Disuatu siang yang suram, pria itu tiba-tiba datang ke tempat usaha Sally lalu mengobrak-abrik segala isinya sampai pelanggan berlarian keluar. Penyebabnya tentu pasal rupiah. Kalah taruhan di meja judi membuat dirinya kalap hingga tega menganiaya Sally waktu itu. Tak tahan lagi dengan perlakuan suami yang kombo toxic-nya, Sally memantapkan hati untuk pisah. Tentu saja lelaki sangar itu tak mau, bahkan sampai mengancam Sally.Disinilah peran besarku muncul. Waktu itu Roy yang masih kepincut padaku rela turun tangan. Tak ayal pria pengecut macam suami Sally pun akhirnya mundur teratur. "Ini makanannya Kak, maaf lama, ya," suara ramah pramusaji sontak membuyarkan segala lamunanku. Begitu nasi beserta lauknya terhidang, kami berdua pun makan dalam diam, menikmati setiap kenangan yang mampu dibangkitkan seporsi nasi ayam dalam ingatan. "Ingat nggak dulu pertama kali mamak bawa kita makan nasi ayam?" seraya menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya, Shania menukas. "Mana mungkin aku lupa. Waktu itu mamak baru menjual sepetak tanah warisan oppung. Untuk pertama kali dibawalah kita makan di luar. Biar jangan kentara kali cuma dia yang makan uangnya." Aku menyahut dalam humor yang pahit. "Dih, kakak ini terus aja melihat yang jelek-jelek dari mamak.""Habis aku ini bukan malaikat atau lembu tambun kayak kau.""Ckckck, hina aja terus. Asal kakak tahu, lakik-ku suka perempuan bohay kayak aku bukan tipe tengkorak hidup macam situ!" Terpancing emosi karena terus kuejek, Shania menyahut kasar"Hahaha, iya deh adikku sayang. Jangan diambil hati ya. Aku cuma iri sama-mu Dek. Suami tajir dan baik hati, anakmu sehat dan lucu, sedangkan aku... "Sampai di sini aku sengaja menggantung ucapan demi memberi efek dramatis. Bukannya tidak sedih dengan jalan hidup namun diriku bukan pula jenis manusia yang gemar menyesal dan meratapi nasib. Jadi, lakonku barusan cuma untuk mengurai amarah Shania. Dan, ya! Itu berhasil. Shania yang tadinya cemberut bin galak kini berubah simpatik, "Sudahlah Kak, semua orang punya struggle masing-masing. Yang pahit nggak usah diingat lagi," hiburnya padaku. Aku yang tadi sibuk menunduk seolah berduka kini menatap wajahnya lurus, "Makasih Dek, jangan marah lagi, ya." Adikku melengos tapi hidungnya kembang-kempis juga, terbuai bujuk rayu kakaknya. Terbit jugalah senyum di wajahku. Menenangkan Shania memang selalu mudah. Sifatnya yang mellow itu jadi kelebihan sekaligus kekurangannya.Seraya mengusap mulut, aku membuang pandang ke samping. Tepat pada saat inilah kulihat sesuatu yang sebenarnya belum ingin kulihat. Mataku mengerjap cepat beberapa kali. Tanda paling jelas jika perasaanku sedang tak nyaman. Shania yang akhirnya menyadari tindakan anehku, ikut menatap ke arah yang sama. Dalam sekejap pahamlah dia mengapa diriku tiba-tiba bersikap defensif. "Kau masih mengharapkannya?" Dia menukas hati-hati seraya memandang wajahku. Seperti biasa, diriku hanya melengos kecil. Seolah apa yang dia katakan barusan satire paling mustahil di alam semesta. 'Memangnya aku semenyedihkan itu?'Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. "Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi."Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat s
Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless. Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia. Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar. "Masuk," sahutku tanpa menoleh. Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula. Ternyata aku salah!Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar. "Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup. "Kenapa? Kaget melihatku disini?"Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian a
Di suite mewah ini aku duduk bersandar pada chaise lounge yang empuk. Benar-benar nyaman! Seorang pelayan memijit kaki keramku sedangkan satu lagi membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajah. Kalau ada yang bilang uang tak bisa bikin bahagia, aku yakin mereka hanya tidak pernah ada di posisi senyaman ini. Kalau tidak sudah pasti mereka tak sanggup bilang begitu. "Apa perlu dipijit badannya juga, Bu?" Gadis muda yang sedang memijit kakiku bertanya sopan"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku."Dia mengangguk patuh lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak banyak yang bisa dia siapkan di sana, mengingat bath up di hotel sudah dilengkapi air hangat. Paling hanya perlu menuang essential oil dan menyalakan lilin aroma therapy. Katanya aroma jasmine dan musk sangat cocok untuk membangkitkan gairah pria, but who cares if they don't. Aku malah berharap Hartono tidak menyentuhku malam ini. Jadi kuputuskan saja memakai aroma citrus dan mawar, seperti yang biasa kupakai. "Bu, airn
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan asing. Mata masih separuh terpejam ketika sebuah kesadaran menghantam ingatan. Aku sudah bersuami. Lagi. "Sudah bangun?" sebuah suara segera menyapa. Ternyata sosok asura berpakaian gelap itu sudah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga puluh tahun ini, belum pernah aku bertemu pria yang duduk begitu elegan sekaligus gagah. "Sudah pukul berapa ini?" tanyaku mengalihkan kecanggungan. Begitu tatapan matanya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubungkus tubuh dengan blouse satin yang tergeletak mengenaskan di sisiku. "Kamu punya waktu setengah jam untuk berkemas."Seperti biasa nada memerintah itu penuh otoritas. Tak ada ruang untuk membantah. Entah karena takut atau terburu-buru, rasa sungkan tadi lenyap seketika. Lekas kukenakan celana satin tanpa memperhatikan ketelanjangan tubuh bagian bawah lalu secepatnya kabur ke kamar mandi. Di bawah guyuran air, segala penat yang kurasakan seketik
Usai pertanyaanku terlontar, gadis kecil itu membuang pandang lalu melengos. "Kamu kira kamu siapa? Are you even deserve my time?" ujarnya sambil bersedekap di depanku. Seandainya jiwa yang ada dalam tubuhku sama dengan tiga tahun silam tentu sudah melayang tanganku ke wajah cantik Joyce. Beruntungnya dia, Shanty yang sekarang jauh lebih sabar dan mawas diri. Kepahitan hidup sudah menempanya sangat baik. "Aku tahu. Tetapi gadis kecil yang terhormat sepertimu tentu tidak akan mengabaikan manusia, walau yang paling hina sekalipun, iya kan?"Ada pergolakan di mata indah itu. Antara mempertahankan rasa benci atau menjaga image sebagai gadis kecil penuh etika. Sebelum dia sempat berpikir lebih jernih aku langsung meruntuhkan pertahanannya. "Sebentar aja, please," ibaku dengan sorot mata minta dikasihani. Joyce, bagaimana pun pintarnya, tetaplah seorang bocah yang pikirannya gampang berubah. "Hmm, baiklah. Hanya sebentar, jangan coba menipuku." Dia berucap penuh penekanan. Segera gadis
"Hmph, kenapa kau tak muncul juga?" Bisikku lirih waktu melihat pesan yang kukirim kemarin tetap centang satu. Sejak hari bersejarah itu aku selalu menanti kehadiran Hartono. Namun seperti tahu aku hendak meminta sesuatu, tak sekalipun pria itu menunjukkan batang hidung. Barulah malam ini, setelah dua minggu menunggu, dia muncul tiba-tiba di kamar kami. Itu pun setelah semua penghuni rumah tertidur lelap. Aku yang sejak tiba di Batam ini kembali dirundung insomnia akut, tentu saja belum tidur ketika dia datang. Dalam setelan tiga potong abu-abu pudar, dia terlihat tampan seperti biasa. Namun ada yang berbeda malam ini. Wajahnya memancarkan amarah yang mental seperti asura dari neraka. Pada hari-hari biasa, dia memang tak pernah hangat. Namun aura dingin malam ini sangat menakutkan, seperti ada murka yang teredam didalamnya. Mau tak mau aku jadi takut sendiri, tak berani walau sekedar menyapa. "Ayo ikut aku sekarang juga", suaranya yang datar mampu membekukan gendang telingaku.
Aku melengos gusar. Pertanyaan yang dia ajukan terdengar bagai ejekan di kupingku. Setelah apa yang dibuatnya kemarin masih bertanya apa aku baik-baik saja? Kan lucu!Responku yang tidak menyenangkan justru mengundang sebuah tawa dari mulut Hartono. Sambil mengacak rambutnya yang kelimis, dia mencibir kearahku. "Ayolah Shan, kau tidak lagi merajuk kan? Semua yang terjadi kemarin murni transaksi antara dua manusia dewasa. Kenapa mesti pakai drama?"Lagi-lagi dia benar. Apa hak-ku untuk marah? Terlepas dari rasa sakit yang mendera, aku melakukan semuanya secara sadar tanpa paksaan. Kami berdua saling bertukar keuntungan disini. "Sebagai upah atas jasamu kemarin, sebutkan apa keinginanmu", ujarnya pelan diantara kesunyian yang menghantam kamar ini. Ketika dilihatnya responku masih nol, dia berucap tak sabar tanpa peduli situasiku, "Cepatlah, aku sangat sibuk"Tawaran yang murah hati ini sukses membuatku berpaling padanya. Dengan tatapan kosong, kupandangi wajah itu lekat-lekat, meski s
"Siapa yang menghindar, Mak?", aku menyahut tak acuh sambil memainkan kuku yang dikutek cantik. Ibu kami dari dulu tak suka dibantah, bahkan ketika perintahnya terdengar absurd bagi spesies primata. Lucunya, saat ini beliau tak bergeming. Mungkin sama sepertiku, beliau sudah belajar lebih sabar. Atau ingin minta sesuatu? Kita tunggu saja. "Kalau tak menghindar, kenapa tak pulang-pulang? Sudah tiga tahun lho Shanty. Kenapa kau benci kali sama Mamak?"Ini jadi lucu sekarang. Masak aku nggak bisa sebal sama wanita yang terang-terangan mengusirku waktu baru diceraikan? Maksudnya aku harus tetap memuja beliau terlepas dari perlakuannya yang kejam dulu? Aneh! "Mamak kesini mau apa sebenarnya? Butuh uang lagi?" Aku mencetus tanpa basa-basi. Bisa kulihat pipi ibuku agak memerah. Tahu malu juga ternyata. "Apa maksudmu? Kami hanya khawatir, Nang. Jangan segala hal disangkut-pautkan dengan uang.""Oh, Mamak lagi nggak butuh uang berarti?""Ya.. Nggak gitu juga."Bingo! Aku melirik wajah Shan
Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma
Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak
Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N
"Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa
Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera
Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.
Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny
Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa