"Ini tunjangan dan aset yang kamu dapat jika menjadi istriku."
Aku membaca dengan saksama poin-poin alias keuntungan yang kudapatkan jika bergelar nyonya muda Lim. Bahkan, saat berstatus sebagai istri Roy dulu, tak ada tunjangan semurah hati ini.
Selain dapat uang saku yang mencapai dua digit perbulan, aku juga mendapat butik dan hotel bintang empat yang bisa kukelola sendiri. Jika ditambah restoran dan klinik kecantikan yang kumiliki saat ini, bisakah aku merasa jadi jutawan kelas kampung?
"Tentu saja jika suatu saat kita bercerai, kamu tidak mendapatkan apapun lagi. You are on your own." Pria karismatik itu kini menyandarkan tubuhnya yang tegap, menatapku lekat-lekat, kemudian menjatuhkan bom-nya, "Lalu aku mau bertanya. Apa yang kamu harapkan dariku makanya begitu gigih mendekati mama?"
Shit! Jeritku lagi. Mungkin kali ini dia bisa melihat kilatan kaget di mataku, karena setelahnya, dia mencetus lagi, "Aku tahu segalanya, Darling."
Sudah kuduga tak akan ada yang luput dari pandangannya. Tapi tetap saja mendengar pria yang hendak dijadikan suami terang-terangan menyebut modus operandi-mu, rasanya amat memalukan.
"Kenapa kamu tanya kalau kamu sudah tahu semua?" Aku mencetus berani. Tak sudi rasanya terlihat menyedihkan walau sudah tertangkap basah.
"Karena aku suka kejujuran. Maksudku, aku tidak suka dikelabui," bisiknya seksi meski tercium aroma samar ancaman dalam suara itu.
Susah payah kutelan ludah yang terasa lengket di tenggorokan. "Aku ingin balas dendam pada mantan suami," kujawab akhirnya.
"Wanita penuh dendam, heh?" Ada kilat geli di mata hazel-nya waktu mendengar kalimatku. "Lantas, imbalan apa yang kudapat dari kegiatan balas dendam ini? Kamu pasti paham prinsip no free lunch, iya kan?" Dia berucap seraya memutar gelas berisi wine itu perlahan, persis predator yang menanti mangsanya masuk perangkap.
Tepat dugaanku. Pengusaha besar seperti dirinya pastilah hidup dalam zona abu-abu. Kalau bukan terhubung dengan mafia asli, setidaknya dia pasti punya akses dengan mafia berkedok aparat demi kelancaran bisnis.
Lihatlah betapa santainya dia membicarakan balas dendam, seolah melakukan tindak kriminal pada orang lain bukan masalah besar. Hanya hal remeh sebagaimana berita naik-turunnya nilai saham yang dia pantau setiap hari
"Aku bisa memberikan apapun, termasuk... tubuhku," bisikku Lirih.
Dari ekor matanya dia mengamatiku tak berkedip. Ujung kaki hingga rambut tak luput dari mata elang itu. Tanpa sadar aku berjengit, menundukkan bahu dalam sikap defensif, seolah ada tangan tak kasat yang menggerayangi sekujur tubuhku.
"Hahahaha, wanita cantik dan berani. Sekarang ini jadi menarik!" Perlahan dia menyesap wine itu lalu melanjutkan ucapannya yang terjeda, "Apa kamu pernah menonton Fifty Shades of Grey?"
Aku tercenung lalu membuka lembaran memori yang berkabut. Sepertinya aku pernah mendengar judul ini, entah novel atau film.
Ah! aku ingat sekarang. Film ini bercerita tentang petualangan cinta Christian Grey, seorang pengidap sadomasokis. Dulu film ini sempat booming. Sebelum film itu jadi ramai, aku sudah membaca novelnya duluan di aplikasi online.
"Ya, pernah. Lantas?" balasku santai, meski jantungku sudah berdegup tak karuan.
"Bagaimana kalau ternyata aku seorang Grey, apa kamu bersedia menjadi Anastasia Steele?"
Deg!
Walau sudah mengantisipasi, tetap saja jantungku berdegup kencang, bahkan telapak tanganku mulai berkeringat. Sekilas ingatanku melayang pada scene menjijikkan dalam film brutal berbalut romansa itu.
"Takut sekarang?" Dia berucap dengan seringai lebar. Wajah tampannya saat ini persis Vampire dalam film horor Eropa.
"Tak apa. Kamu boleh mundur jika tak berani. Aku selalu bisa menemukan wanita lain." Dia menutup perkataannya.
Perlahan kulepaskan napas yang tertahan. Aku tak bisa lagi mundur. Tidak setiap hari aku bertemu peluang seperti ini.
"Baik, aku bersedia. Tapi aku perlu tahu berapa kali kamu akan melakukan 'itu' padaku," balasku pasrah. Betapapun siapnya, aku perlu tahu berapa kali akan 'dibantai' demi memuaskan nafsu pria sesat ini.
"Aku suka keberanianmu. Sangat sedikit perempuan yang berani mengambil resiko." Ada rasa tertarik samar pada manik matanya yang kelam sebelum dia melanjutkan ucapannya, "Tak banyak. Paling dua atau sekali dalam sebulan, aku tidak sebuas itu."
Entah sadar atau tidak, aku mendesah lega. Paling tidak tubuhku masih sempat menyembuhkan lukanya sebelum 'dibantai' lagi dan lagi. Lagipula aku bisa minta cerai kapan saja begitu 'tugas mulia' yang kuemban selesai.
Seperti bisa membaca pikiranku, lelaki bermata tajam itu berujar lagi, "Tentu saja kamu bisa pergi kapanpun begitu tak sanggup lagi."
"Apa sejelas itu ekspresiku?"
Dia hanya melengos tanpa minat lalu menekan ponselnya, berbicara dengan seseorang di ujung sana, lalu menatapku kembali, "Aku sudah meminta Edbert mengantarmu." Seperti paham dengan tanda tanya di wajahku, dia menukas kembali, "Jangan khawatir, dia asisten pribadiku. Mulai saat ini kamu tidak lagi bisa berkeliaran tanpa mengabariku, mengerti?"
"Baik," sahutku singkat lalu mengikuti langkahnya yang sudah berjalan di depanku.
Aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya mampu membangkitkan getaran di dadaku. Mungkin ini bukan cinta karena aku tidak tahu apa itu. Terpesona mungkin lebih tepat. Ada rasa aman waktu berjalan di sisinya, seolah semua bahaya menjauh seketika.
Sensasi yang kalian dapatkan ketika berjalan di sisi Alpha Male.
Sebuah Bentley sudah nangkring manis di depanku begitu kami keluar dari lift yang menuju parkiran bawah tanah. Dengan gesit, pria muda dalam balutan suit hitam menghampiri kami dan membungkuk di depan Hartono.
"Tolong antar Shanty ke apartemennya, pastikan dia tiba dengan aman di sana."
"Baik Tuan."
Tanpa menunggu lama pria itu membukakan pintu mobil dan mempersilakanku masuk.
Ah, beginikah rasanya jadi nyonya besar yang sesungguhnya? Hmmm, tidak buruk.
"Mau diantar ke mana, Ma'am?" Pria itu bertanya namun matanya tak menatapku, tetap fokus memandang jalanan yang terbentang di depan sana.
"Di pertigaan sana belok kiri, apartemen yang paling pertama."
"Yang dekat swalayan?"
"Betul."
Kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan, bukan yang mencekam seperti dengan Hartono, hanya asing. Mungkin karena aura asisten ini tidak sekuat tuannya.
Sambil memandangi jalanan yang mulai sepi, aku memikirkan kesepakatan dengan Hartono tadi. Jujur, hati ini sangat takut. Meski sebagai tenaga medis, hari-hariku diisi dengan kegiatan yang berhubungan dengan luka, tetap saja menakutkan rasanya bila membayangkan diri sendiri yang berdarah-darah.
"Kita sudah sampai, Ma'am." Suara bariton yang rendah itu memanggilku kembali ke alam nyata.
Sebagaimana yang dilakukannya tadi, kembali dia membukakan pintu untukku dengan sikap hormat. Benar-benar prajurit yang patuh. Aku lekas berjalan menuju lift yang mengarah kelantai empat - ruangan di mana aku tinggal - ketika menyadari sesuatu yang janggal. Asisten berambut plontos itu tetap mengikuti langkahku.
"Maaf Ma'am, tapi ini perintah. Saya harus memastikan anda tiba dengan selamat," ujarnya begitu mata kami bertemu. Mungkin dia tak enak hati melihat roman mukaku yang kurang nyaman.
Di mana pula karyawan sepertiku dikawal begini, jelas saja aku risih. Namun kubiarkan saja dia mengikuti. Buat apa berdebat dengan kacung yang tidak punya kewenangan. Paling-paling dia akan membawa-bawa nama atasannya lagi.
Untung lantai tempatku tinggal itu tak jauh, cuma di lantai empat yang tertulis sebagai tiga A di lift. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, angka empat itu membawa sial karena pengucapannya bersinonim dengan kematian.
"Kamu boleh pergi sekarang. Aku sudah sampai di depan pintu kamarku, " ujarku sembari memasukkan kartu yang berfungsi sebagai kunci.
"Baik, Ma'am. Kalau begitu saya pamit dulu, selamat malam."
Aku mengangguk sembari menatap kepergiannya. Setelah bayangannya hilang ditelan malam, barulah aku berani membuka pintu kamar.
**
Aku sedang sibuk merapikan barang-barang ketika Jane mendadak memasuki ruangan. Dari balik kacamata berbingkai gelap itu, aku bisa merasakan tajam tatapan matanya.
"Huh, akhirnya kamu benar-benar pergi dari sini."
Begitu kalimat pembuka yang diucapkannya seraya bersedekap di ambang pintu. Kubiarkan saja betina itu dengan segala tingkahnya. Sebentar lagi aku akan hengkang dari sini, buat apa menghabiskan tenaga dengan manusia nggak penting macam dia.
Dua hari lalu aku memang sudah menyampaikan surat resign pada direktur kami. Beliau hanya menanyakan alasan pindah dadakan ini sekilas, lalu memberi basa-basi semoga berhasil di tempat yang baru. Sungguh aku tidak kecewa. Dari awal sudah paham betapa dingin suasana kerja di sini.
Malah aku juga sengaja tidak berteman dekat dengan siapa pun. Semakin banyak teman, semakin banyak beban. Bergaul membuatmu harus mengeluarkan tenaga extra untuk memikirkan masalah orang lain, perayaan penting orang lain, perasaan orang lain. Demi apapun aku tak punya cukup tenaga lagi. Sebelum Roy mendapat balasan dari perbuatannya, tidak ada tempat untukku berleha-leha di bumi.
"You anggap aku sampah sekarang?!"
Ups, ternyata nyonya besar mulai kesal dicueki mantan kacungnya.
"Maaf Ma'am, saya sibuk. Bisa ulangi yang Ma'am cakap barusan?"
Jane paling kesal diminta mengulang ucapannya, dan itulah persisnya yang kulakukan saat ini. Wajahnya yang sangat biasa itu sudah merah seperti tomat busuk, saking kesalnya barangkali.
"Oh really? You mulai berani, ya?" Tanpa menunggu responku dia melanjutkan ujarannya yang tak berguna, "Jadi Shanty, jaga perilakumu. Jangan nak belagak. You bukan orang kaya, jangan nak merasa hebat sangat. Muka you juga tak cantik sangat, " tambahnya dalam kegilaan yang makin menjadi.
Dari pengalaman selama bekerja di sini, bisa kusimpulkan kalau nona Jane Yeoh yang malang adalah epitome dari kesuraman. Bukan lantaran dia sangat payah, namun dia gemar membuat dirinya terlihat payah.
Wajahnya itu, meski biasa saja, sebetulnya bisa ditutupi dengan kulit putih bersihnya dan tubuh yang padat berisi. Tapi entah kenapa gadis ini suka sekali merusaknya dengan sikap angkuh dan tutur kata kasar, terlebih pada mereka yang punya status sosial di bawahnya.
Otak Jane, meski tidak terlalu pintar, sebenarnya bisa didukung dengan gelar akademik yang didapat. Asalkan dia nggak usah banyak bicara, pasti orang nggak akan tahu kemampuannya yang pas-pasan. Tapi entah kenapa pula gadis satu ini suka betul mengajari orang lain, padahal apa yang dia ucapkan selalu salah.
Untungnya dia keponakan yang punya rumah sakit, jadi amanlah hidupnya sebagai kepala ruangan di sini. Privilege sejak lahir.
"Terima kasih Miss Jane. Semoga sesudah saya pergi nanti, dokter Vincent propose you." Sebelum senyum terbit di wajahnya, kutancapkan bisa dalam lisanku, "Meski aku nggak yakin sih, soalnya dokter Vincent pernah cakap 'Kamu bukan tipenya ...jadi aku rasa, you are hopeless," tambahku lalu mengangkat box warna biru yang isinya cuma seuprit.
Dari sudut pandang yang terbatas, bisa kulihat mata Jane mulai berkaca-kaca sedangkan tangannya mengepal erat. Waktu berjalan ke pintu, mau tak mau aku harus berpapasan dengannya. Dia berbisik begitu aku melewatinya, "Tunggu saja, you akan dapatkan balasan untuk mengejekku!"
Kepulanganku ke tanah air, tepatnya kota Batam, tak menimbulkan riak berarti. Tak ada sambutan hangat, reuni singkat, atau pun pesan basa-basi yang bertanya 'kapan sampai'. Bukan salah dunia. Aku yang memilih mengasingkan diri dari kehidupan. Lelah dengan semua kerumitan emosi yang menghantam jiwaku belakangan. Kadang-kadang tidak berharap apapun pada semesta jauh lebih baik, meski itu bukanlah bagian yang cocok untuk perempuan ambisius seperti aku. Begitu tiba di bandara, kudorong koper kecil sembari menenteng sebuah tas cangklong ukuran besar. Kacamata hitam yang tadi kugantung di kerah kaos, kini kembali bertengger manis di puncak hidungku. "Kak, aku disini!"Refleks aku menoleh ke sisi kiri, ternyata adikku Shania sudah berdiri disana dengan senyum lebar yang mirip seringai beruk minta kawin. "Akhirnya kau sampai Kak, dari tadi aku udah pegal nungguin kau," ujarnya dengan napas tersengal karena barusan berlari-lari kecil menghampiriku. "Yang minta kau nunggu aku, siapa?" aku
Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. "Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi."Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat s
Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless. Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia. Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar. "Masuk," sahutku tanpa menoleh. Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula. Ternyata aku salah!Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar. "Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup. "Kenapa? Kaget melihatku disini?"Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian a
Di suite mewah ini aku duduk bersandar pada chaise lounge yang empuk. Benar-benar nyaman! Seorang pelayan memijit kaki keramku sedangkan satu lagi membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajah. Kalau ada yang bilang uang tak bisa bikin bahagia, aku yakin mereka hanya tidak pernah ada di posisi senyaman ini. Kalau tidak sudah pasti mereka tak sanggup bilang begitu. "Apa perlu dipijit badannya juga, Bu?" Gadis muda yang sedang memijit kakiku bertanya sopan"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku."Dia mengangguk patuh lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak banyak yang bisa dia siapkan di sana, mengingat bath up di hotel sudah dilengkapi air hangat. Paling hanya perlu menuang essential oil dan menyalakan lilin aroma therapy. Katanya aroma jasmine dan musk sangat cocok untuk membangkitkan gairah pria, but who cares if they don't. Aku malah berharap Hartono tidak menyentuhku malam ini. Jadi kuputuskan saja memakai aroma citrus dan mawar, seperti yang biasa kupakai. "Bu, airn
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan asing. Mata masih separuh terpejam ketika sebuah kesadaran menghantam ingatan. Aku sudah bersuami. Lagi. "Sudah bangun?" sebuah suara segera menyapa. Ternyata sosok asura berpakaian gelap itu sudah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga puluh tahun ini, belum pernah aku bertemu pria yang duduk begitu elegan sekaligus gagah. "Sudah pukul berapa ini?" tanyaku mengalihkan kecanggungan. Begitu tatapan matanya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubungkus tubuh dengan blouse satin yang tergeletak mengenaskan di sisiku. "Kamu punya waktu setengah jam untuk berkemas."Seperti biasa nada memerintah itu penuh otoritas. Tak ada ruang untuk membantah. Entah karena takut atau terburu-buru, rasa sungkan tadi lenyap seketika. Lekas kukenakan celana satin tanpa memperhatikan ketelanjangan tubuh bagian bawah lalu secepatnya kabur ke kamar mandi. Di bawah guyuran air, segala penat yang kurasakan seketik
Usai pertanyaanku terlontar, gadis kecil itu membuang pandang lalu melengos. "Kamu kira kamu siapa? Are you even deserve my time?" ujarnya sambil bersedekap di depanku. Seandainya jiwa yang ada dalam tubuhku sama dengan tiga tahun silam tentu sudah melayang tanganku ke wajah cantik Joyce. Beruntungnya dia, Shanty yang sekarang jauh lebih sabar dan mawas diri. Kepahitan hidup sudah menempanya sangat baik. "Aku tahu. Tetapi gadis kecil yang terhormat sepertimu tentu tidak akan mengabaikan manusia, walau yang paling hina sekalipun, iya kan?"Ada pergolakan di mata indah itu. Antara mempertahankan rasa benci atau menjaga image sebagai gadis kecil penuh etika. Sebelum dia sempat berpikir lebih jernih aku langsung meruntuhkan pertahanannya. "Sebentar aja, please," ibaku dengan sorot mata minta dikasihani. Joyce, bagaimana pun pintarnya, tetaplah seorang bocah yang pikirannya gampang berubah. "Hmm, baiklah. Hanya sebentar, jangan coba menipuku." Dia berucap penuh penekanan. Segera gadis
"Hmph, kenapa kau tak muncul juga?" Bisikku lirih waktu melihat pesan yang kukirim kemarin tetap centang satu. Sejak hari bersejarah itu aku selalu menanti kehadiran Hartono. Namun seperti tahu aku hendak meminta sesuatu, tak sekalipun pria itu menunjukkan batang hidung. Barulah malam ini, setelah dua minggu menunggu, dia muncul tiba-tiba di kamar kami. Itu pun setelah semua penghuni rumah tertidur lelap. Aku yang sejak tiba di Batam ini kembali dirundung insomnia akut, tentu saja belum tidur ketika dia datang. Dalam setelan tiga potong abu-abu pudar, dia terlihat tampan seperti biasa. Namun ada yang berbeda malam ini. Wajahnya memancarkan amarah yang mental seperti asura dari neraka. Pada hari-hari biasa, dia memang tak pernah hangat. Namun aura dingin malam ini sangat menakutkan, seperti ada murka yang teredam didalamnya. Mau tak mau aku jadi takut sendiri, tak berani walau sekedar menyapa. "Ayo ikut aku sekarang juga", suaranya yang datar mampu membekukan gendang telingaku.
Aku melengos gusar. Pertanyaan yang dia ajukan terdengar bagai ejekan di kupingku. Setelah apa yang dibuatnya kemarin masih bertanya apa aku baik-baik saja? Kan lucu!Responku yang tidak menyenangkan justru mengundang sebuah tawa dari mulut Hartono. Sambil mengacak rambutnya yang kelimis, dia mencibir kearahku. "Ayolah Shan, kau tidak lagi merajuk kan? Semua yang terjadi kemarin murni transaksi antara dua manusia dewasa. Kenapa mesti pakai drama?"Lagi-lagi dia benar. Apa hak-ku untuk marah? Terlepas dari rasa sakit yang mendera, aku melakukan semuanya secara sadar tanpa paksaan. Kami berdua saling bertukar keuntungan disini. "Sebagai upah atas jasamu kemarin, sebutkan apa keinginanmu", ujarnya pelan diantara kesunyian yang menghantam kamar ini. Ketika dilihatnya responku masih nol, dia berucap tak sabar tanpa peduli situasiku, "Cepatlah, aku sangat sibuk"Tawaran yang murah hati ini sukses membuatku berpaling padanya. Dengan tatapan kosong, kupandangi wajah itu lekat-lekat, meski s
Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma
Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak
Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N
"Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa
Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera
Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.
Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny
Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa