Tiga tahun kemudian.
Dari balik kaca pemantau di pintu, aku menatap wanita yang masih tampak cantik di usia tua. Dalam kamarnya yang mewah layaknya kamar hotel bintang lima, tampak cairan infus masih terhubung di pergelangan tangannya.
Penyakit komplikasi menyerang wanita yang kuketahui bernama Nyonya Lim itu. Sudah dua minggu beliau dirawat di kamar ini. Jika bisa kusimpulkan, beliau adalah gambaran dari kesempurnaan ragawi. Rambut kelabu yang tersisir rapi ke belakang, pakaian, serta wajah bersih yang dipoles make up tipis. Tak ketinggalan pangkal hidung yang tampak mencuat dari salah satu sisi wajahnya.
"Selamat pagi, Nyonya."
Aku menyapanya ramah, seraya membawa nampan berisi makanan, obat, dan buku status pasien. Sebagai seorang perawat pasien khusus kamar VVIP di sebuah rumah sakit mewah di Singapura, beginilah kesibukanku tiga tahun terakhir ini.
"Hai, selamat pagi juga." Dia menatapku dengan senyum tipis aristokrat.
"Waktunya sarapan di hari yang indah, Nyonya." Aku berucap lagi sambil membuka tutup nampan lalu menekan tombol pada tempat tidur agar posisi duduknya lebih nyaman.
Sepertinya beliau tidak mau 'membeli' basa-basiku yang murahan. Bisa kulihat dari sudut bibirnya yang terangkat sedikit, seperti mencibir.
"Apa gunanya makanan ini untukku, Suster? Makan apapun pasti jadi racun bagiku."
Makanan bertemakan menu oriental itu ditatapnya tanpa minat.
Kendati demikian, aku tetap tersenyum, berusaha membujuknya. "Makanan ini sudah disesuaikan dengan diet Anda, Nyonya, tak usah khawatir. Perlu dibantu?"
Dia mendesah pelan, lalu mulai mengaduk bubur di depannya. Dalam karir sebagai perawat di rumah sakit, kerap kali kutemukan orang lansia seperti pasien di depanku ini. Manusia yang sudah menyerah untuk hidup, tapi enggan pula mati dengan terus berjuang berobat. Nyonya Lim ini buktinya. Dia yang tinggal di Indonesia, tela berobat hingga ke Singapura.
Melihat dia yang mulai menyentuh jatah sarapannya, aku beralih pada buku status pasien yang kupegang. Mencatat kondisi seperti tekanan darah, denyut jantung hingga kecepatan cairan infus kulakukan dengan teliti.
"Jadi, kamu sudah berumah tangga?" tanyanya tiba-tiba seraya menyuap sesendok bubur ke mulut.
"Maaf?" ujarku tergagap. Buku status pasien yang sedang kuisi sampai tercoret pulpen saking kagetnya. Tak biasanya wanita konglomerat ini menanyakan hal pribadi. Usai bisa menguasai diri, aku menyahut. "Saya masih single."
"Tak ada niatan untuk menikah?"
"Ada, tapi belum ketemu jodohnya." Aku mengerling, kemudian mencoba berbasa-basi. "Apa Nyonya bisa kasih rekomendasi?"
Lagi-lagi dia cuma tersenyum miring seraya mengusap mulut dengan serbet basah. Lekas, kuberikan obat yang harus dimakan beserta segelas air hangat.
Dalam sekali telan, semua pil di tanganku tadi lenyap dalam tenggorokannya dan langsung hanyut terbawa segelas air yang menyusul masuk. Aku sungguh takjub melihat kemampuan beliau menelan pil yang besar-besar itu.
"Tak perlu heran begitu," tukasnya waktu melihat roman mukaku. "Kalau sama duda anak dua kamu mau?" tambahnya kemudian.
Kembali, aku dibuat melongo dengan ucapannya."Ehem, kalau duda, yah ... lihat situasinya juga."
Seolah paham keenggananku, Nyonya Lim hanya tertawa kecil. "Kamu tenang saja, dia masih muda juga tampan. Soal materi tak perlu ragu, lebih dari cukup. Lagipula, dia duda ditinggal mati, bukan duda cerai atau selingkuh."
Aku masih berusaha mencerna tawarannya yang menarik ketika pintu kamar tiba-tiba didobrak dari luar. Tak lama, pekik sorak dua bocah terdengar riuh sebelum menghambur memeluk beliau.
"Nainai, sudah sehat?" Bocah perempuan yang kelihatannya si sulung mulai bertanya.
"Nai, tadi Jiejie marahin Joan." Bocah lelaki bertubuh gempal segera melapor sambil duduk di depan sang nenek.
Nyonya Lim tersenyum sabar mendengar ocehan keduanya seraya mengelus-elus lembut rambut mereka. Tak tampak sedikitpun ekspresi tak sabar pada wajahnya yang anggun.
Sementara aku? Meski sempat trenyuh dengan pemandangan hangat ini--bagaimanapun, aku juga seorang ibu, perhatianku teralih pada sosok rupawan berwajah muram di belakang kedua anak kecil tadi.
Rahang yang kokoh, tatapan mata yang tajam, hidung yang tinggi, serta tubuh yang atletis, kurasa mampu mendebarkan hati semua kaum hawa yang menatapnya. Dia memang tidak berpakaian layaknya karakter CEO di novel-novel roman. Dia hanya mengenakan jins biru gelap, kaos polo putih, sepatu kets, dan topi baseball. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku enggan berpaling. Untuk sesaat aku hanya terpaku di sana bagai terkena gendam.
"Jadi, Suster... ini anakku, Hartono Lim dan kedua cucuku. Anakku ini sudah ditinggal istrinya tiga tahun silam."
Ucapan nyonya Lim memecah keheningan yang melanda pikiranku.
Aku buru-buru mengulurkan tangan pada pria yang kini berdiri tepat di sisiku. "Shanty," ujarku lirih.
"Hartono."
Dia menyahut singkat dan datar. Namun begitu, cengkeraman erat pada jari-jari ini makin menguatkan dugaanku jika dia seorang Alpha Male.
Setelahnya, aku bergegas membereskan semua peralatan makan pasien lalu pamit pada nyonya Lim yang kini duduk bersandar didampingi cucunya. Sepersekian detik, tatapanku dan Hartono Lim bertemu. Waktu tatapan kami bertemu, ada kilatan tajam di manik matanya. Meski hanya sesaat, cukup membuatku paham jika beliau sedang menyiratkan sesuatu.
Duda yang dimaksud Nyonya Lim barusan pastilah tuan Hartono Lim yang terhormat. Setelah selesai dengan tugasku mencatat status pasien, aku berpamitan dan lekas menutup pintu di belakangku.
Tubuhku bersandar pada daun pintu itu sejenak buat menenangkan debaran jantung yang menggila.
Aku bersorak dalam hati. Ternyata, upaya maksimalku dalam dua minggu ini untuk mendekati Nyonya Lim tidak sia-sia. Aku sengaja bekerja di rumah sakit kelas atas dan melayani pasien ruang VVIP, semuanya demi saat ini.
Apa yang begitu sulit didapat orang lain, bisa kudapat agak mudah. Aku berwajah cantik, bisa berbahasa Inggris dan sedikit Mandarin, serta memiliki kemampuan diplomasi yang baik. Terbukti, tangkapanku kali ini cukup besar!
Hartono Lim yang kutemui di ruangan tadi, sudah lama jadi incaran. Duda kaya seperti dia tentu tidak akan menuntut istri barunya punya anak. Sangat cocok untuk wanita tanpa rahim sepertiku.
Dengan berusaha menarik perhatian Nyonya Lim, aku berhasil sampai di tahap ini. Selama dua tahun bekerja RS ini, sudah empat kali Nyonya Lim berobat ke sini. Dan baru kali inilah beliau mengungkapkan keinginannya - walau tak secara gamblang - untuk mencari ibu baru bagi kedua cucunya.
"Tiinggg... " Bunyi nyaring dari sendok yang jatuh segera menarikku ke dunia nyata. "Huuhh..." Kembali kutarik nafas lega ketika menyadari tak ada yang melihat kelalaianku barusan.
Buru-buru kuletakkan peralatan makan itu di pantry sebelum melanjutkan perjalanan. Selama berjalan kakiku seperti mengawang saking senangnya. Hingga tak sadar sudah tiba saja di tempat yang dituju. Perlahan kuketuk pintu ruangan dokter internis yang menangani pasien VVIP tadi.
"Masuk."
Sebuah suara ramah milik pria yang sudah menjadi partner kerjaku setahun belakangan terdengar menyahut. Begitu daun pintu terkuak, kulihat dokter Vincent Kho dalam sebuah kesempatan langka, sedang berbalas pesan di ponselnya.
"How? Die mahu makan ubat tu?" tanyanya dengan senyum manis terukir di wajah kelimis.
Dia langsung bertanya mengenai kondisi Nyonya Lim hari ini. "Beliau sudah lebih baik, Dok. Bahkan obatnya juga dihabiskan dalam sekali tegukan."
Dokter Vincent tersenyum puas. "Apa saya cakap? Kalau you yang turun tangan, pasti diorang nak dengar. Your charm is not a joke, you faham, kan?"
"Apelah dokter ni. Saye mencube sahaja, only that."
"Itulah kenape saya suka dekat you. Awak kerja serious, muke pun beautiful. Jarang tengok macam tu."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan beliau. Bukannya tak paham dengan sinyal yang diberikan dokter Vincent selama ini. Aku paham betul, dia memiliki rasa tertarik padaku. Pancaran matanya yang selalu berbinar, ditambah tawaran terang-terangannya untuk jadi partnerku.
Sebenarnya, rasa tertarik beliau pun tak bertepuk sebelah tangan. Siapa pula yang tak suka dengan pria cerdas dan punya pekerjaan mentereng? Namun, aku tak berminat dengan hubungan tak jelas macam yang dia tawarkan, partner. Apa bedanya dengan kumpul kebo terselubung?
"So, awak dah fikir pasal cakap saya semalam?"
Dan, yeah... Lagi-lagi dokter duda ini masih mencoba mengikatku dengan tawarannya. Aku tersenyum tipis. Kurasa, dia sudah tahu kalau lagi-lgi yang kuberikan hanyalah penolakan halus. "Uhm, yep. Saya dah fikir banyak dan tak rasa elok. It's just not to my cup of tea."
"Hahaha, tak payah feeling guilty. It's okay, saye dah biase," ucapnya dengan gaya jenaka, "Tapi bila-bila you feel regret, I selalu ready buat you," tambahnya lagi
"Baik dokter, thank you. Kalau macam tu, saya kena pergi dulu. Nak taking lunch."
Tanpa menunggu lama, aku bergegas keluar demi menikmati jam makan siang yang hanya sekejap.
Dulu, setelah mengalami prahara dalam pernikahan, kuputuskan untuk melanjutkan pelatihan keperawatan di Singapura seraya mengambil kelas bahasa Mandarin. Begitu pendidikan usai, aku mencoba peruntungan di sini juga.
Perjuangan yang berat akhirnya membuahkan hasil. Aku bisa bekerja di rumah sakit bonafide ini. Tujuan utama tentu saja bukan uang.
Kalau hanya uang, aku punya klinik kecantikan dan restoran di kota Batam yang bisa membiayai hidupku. Tapi semua ini pastilah tak cukup. Untuk menepati janji pada mantan suami, aku butuh sesuatu yang lebih besar dari uang: kekuasaan.
"Drrrttttt."
Tiba-tiba ponsel di saku seragamku bergetar pelan.
Ternyata ada nomor baru mengirim pesan di aplikasi chat-ku.
[Temui aku nanti malam tepat pukul tujuh di Orchard Road]
[Temui aku nanti malam tepat pukul tujuh di Orchard Road]Begitu kalimat pembuka pesan ini yang diikuti alamat sebuah restoran mewah dan nama si pengirim: Hartono Lim.Begitu singkat dan dominan! Seperti pemiliknya. Niatku ingin menyantap lunch selesai sudah. Alih-alih ke kantin, aku malah naik ke rooftop untuk menikmati tiupan angin yang mengantarkan terik mentari untuk berpikir kembali. Langkah apa yang harus aku ambil ke depannya? Apakah langkah ini sudah benar? Usai meyakinkan diri sendiri, aku terhenyak kala mengingat satu hal lain.Astaga! Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan angka satu, artinya waktu makan siang yang berharga sudah selesai. Buru-buru kuhabiskan soft drink yang tinggal separuh setelah menikmati sandwich tuna dalam dua kunyahan besar.Aku bergegas turun. Ms. Jane, kepala ruangan kami, tadi pagi memintaku menemuinya. Firasatku tak enak soal panggilan mendadak ini. Benar saja. Begitu pintu ruang kerjanya terbuka, beliau menatapku dengan ekspresi kesal yan
"Ini tunjangan dan aset yang kamu dapat jika menjadi istriku."Aku membaca dengan saksama poin-poin alias keuntungan yang kudapatkan jika bergelar nyonya muda Lim. Bahkan, saat berstatus sebagai istri Roy dulu, tak ada tunjangan semurah hati ini.Selain dapat uang saku yang mencapai dua digit perbulan, aku juga mendapat butik dan hotel bintang empat yang bisa kukelola sendiri. Jika ditambah restoran dan klinik kecantikan yang kumiliki saat ini, bisakah aku merasa jadi jutawan kelas kampung?"Tentu saja jika suatu saat kita bercerai, kamu tidak mendapatkan apapun lagi. You are on your own." Pria karismatik itu kini menyandarkan tubuhnya yang tegap, menatapku lekat-lekat, kemudian menjatuhkan bom-nya, "Lalu aku mau bertanya. Apa yang kamu harapkan dariku makanya begitu gigih mendekati mama?"Shit! Jeritku lagi. Mungkin kali ini dia bisa melihat kilatan kaget di mataku, karena setelahnya, dia mencetus lagi, "Aku tahu segalanya, Darling."Sudah kuduga tak akan ada yang luput dari pandanga
Kepulanganku ke tanah air, tepatnya kota Batam, tak menimbulkan riak berarti. Tak ada sambutan hangat, reuni singkat, atau pun pesan basa-basi yang bertanya 'kapan sampai'. Bukan salah dunia. Aku yang memilih mengasingkan diri dari kehidupan. Lelah dengan semua kerumitan emosi yang menghantam jiwaku belakangan. Kadang-kadang tidak berharap apapun pada semesta jauh lebih baik, meski itu bukanlah bagian yang cocok untuk perempuan ambisius seperti aku. Begitu tiba di bandara, kudorong koper kecil sembari menenteng sebuah tas cangklong ukuran besar. Kacamata hitam yang tadi kugantung di kerah kaos, kini kembali bertengger manis di puncak hidungku. "Kak, aku disini!"Refleks aku menoleh ke sisi kiri, ternyata adikku Shania sudah berdiri disana dengan senyum lebar yang mirip seringai beruk minta kawin. "Akhirnya kau sampai Kak, dari tadi aku udah pegal nungguin kau," ujarnya dengan napas tersengal karena barusan berlari-lari kecil menghampiriku. "Yang minta kau nunggu aku, siapa?" aku
Aku kembali menatap jendela di depanku, yang kini nampak makin menarik saja. Satu keluarga harmonis berdiri di sana. Ayah yang menggandeng tangan putrinya dan ibu yang menggendong bayi kecilnya. Entah apa yang mereka percakapkan, yang jelas wanita bernama Vina itu tersenyum sumringah. Aura keibuan yang hangat membuat sosoknya makin menarik. 'Dan Sial! dia masih saja bertubuh ramping.'Perempuan vulgar yang jadi istri Luki, mantan kekasihku itu, terlihat sangat menikmati perannya sebagai ibu dan istri. Sedangkan suami yang berdiri di sisinya membantu dia masuk ke dalam mobil dengan penuh kelembutan. Meski enggan mengakui, secercah rasa iri menyeruak dalam kalbu. "Sudahlah Kak, biarkan saja mereka. Tataplah masa depan kakak." Shania menyentuh pundakku, menghalau rasa tak nyaman yang sempat muncul sekejap tadi."Huh, siapa pula yang nggak move on? Asal kau tahu aja, sebentar lagi aku mau nikah."Sekarang gantian aku yang menepuk pelan pundak Shania. Emak-emak lugu ini nampak sangat s
Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless. Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia. Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar. "Masuk," sahutku tanpa menoleh. Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula. Ternyata aku salah!Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar. "Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup. "Kenapa? Kaget melihatku disini?"Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian a
Di suite mewah ini aku duduk bersandar pada chaise lounge yang empuk. Benar-benar nyaman! Seorang pelayan memijit kaki keramku sedangkan satu lagi membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajah. Kalau ada yang bilang uang tak bisa bikin bahagia, aku yakin mereka hanya tidak pernah ada di posisi senyaman ini. Kalau tidak sudah pasti mereka tak sanggup bilang begitu. "Apa perlu dipijit badannya juga, Bu?" Gadis muda yang sedang memijit kakiku bertanya sopan"Tidak perlu, siapkan saja air mandiku."Dia mengangguk patuh lalu beranjak menuju kamar mandi. Tak banyak yang bisa dia siapkan di sana, mengingat bath up di hotel sudah dilengkapi air hangat. Paling hanya perlu menuang essential oil dan menyalakan lilin aroma therapy. Katanya aroma jasmine dan musk sangat cocok untuk membangkitkan gairah pria, but who cares if they don't. Aku malah berharap Hartono tidak menyentuhku malam ini. Jadi kuputuskan saja memakai aroma citrus dan mawar, seperti yang biasa kupakai. "Bu, airn
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan asing. Mata masih separuh terpejam ketika sebuah kesadaran menghantam ingatan. Aku sudah bersuami. Lagi. "Sudah bangun?" sebuah suara segera menyapa. Ternyata sosok asura berpakaian gelap itu sudah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga puluh tahun ini, belum pernah aku bertemu pria yang duduk begitu elegan sekaligus gagah. "Sudah pukul berapa ini?" tanyaku mengalihkan kecanggungan. Begitu tatapan matanya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubungkus tubuh dengan blouse satin yang tergeletak mengenaskan di sisiku. "Kamu punya waktu setengah jam untuk berkemas."Seperti biasa nada memerintah itu penuh otoritas. Tak ada ruang untuk membantah. Entah karena takut atau terburu-buru, rasa sungkan tadi lenyap seketika. Lekas kukenakan celana satin tanpa memperhatikan ketelanjangan tubuh bagian bawah lalu secepatnya kabur ke kamar mandi. Di bawah guyuran air, segala penat yang kurasakan seketik
Usai pertanyaanku terlontar, gadis kecil itu membuang pandang lalu melengos. "Kamu kira kamu siapa? Are you even deserve my time?" ujarnya sambil bersedekap di depanku. Seandainya jiwa yang ada dalam tubuhku sama dengan tiga tahun silam tentu sudah melayang tanganku ke wajah cantik Joyce. Beruntungnya dia, Shanty yang sekarang jauh lebih sabar dan mawas diri. Kepahitan hidup sudah menempanya sangat baik. "Aku tahu. Tetapi gadis kecil yang terhormat sepertimu tentu tidak akan mengabaikan manusia, walau yang paling hina sekalipun, iya kan?"Ada pergolakan di mata indah itu. Antara mempertahankan rasa benci atau menjaga image sebagai gadis kecil penuh etika. Sebelum dia sempat berpikir lebih jernih aku langsung meruntuhkan pertahanannya. "Sebentar aja, please," ibaku dengan sorot mata minta dikasihani. Joyce, bagaimana pun pintarnya, tetaplah seorang bocah yang pikirannya gampang berubah. "Hmm, baiklah. Hanya sebentar, jangan coba menipuku." Dia berucap penuh penekanan. Segera gadis
Atas desakan Hartono, hari ini kami pergi ke rumah Shania untuk mengunjungi bapak-mamak serta Alex. Agar orangtuaku tak terkejut, status Hartono kami rahasiakan hingga yang mereka tahu, suamiku cuma karyawan kantoran. Setelah basa-basi sejenak, kutinggalkan Hartono meladeni kedua bapak dan mamak, sementara aku sendiri pergi menemui Alex di kamarnya. 'Tenanglah Shan, anakmu tak akan membencimu. Ujarku berulang-ulang di sepanjang jalan menuju kamar Alex. Rasa takut dan gugup yang melandaku tak terkatakan lagi. Kalau bukan karena didorong keinginan yang kuat, maulah rasanya aku kabur detik ini juga. Begitu daun pintu itu kubuka, tampaklah anak kecil yang wajahnya amat mirip denganku itu sedang menggambar sesuatu di bukunya. "Hai Alex..." Sapaku memulai percakapan. Bocah laki-laki berambut lurus itu menatapku datar, lalu duduk dari posisi telungkupnya. Sikapnya yang dewasa dan teratur, bikin aku makin gugup.
"Maksud Ibu?"Sambil menyendok sesuap bubur ke mulutku, Sumiati berkata lagi. "Kudengar, mereka mesti berenang malam-malam biar nggak terpantau anak buah penjahat itu. Lolos dari air, harus melewati ladang ranjau. Anak buah Hartono saja sampai mati tiga orang."Entah Hartono yang menyuruh ibunya bercerita demi merebut simpatiku, namun fakta bahwa dia bisa saja kehilangan nyawa waktu itu, bikin jantungku ketar-ketir. "Apa dia terluka waktu itu, Bu?""Kalau itu aku kurang tahu. Tapi sesudah kita di mansion, ada dokter bolak-balik masuk ke kamar utama selama tiga hari."Pantas muka Hartono pucat waktu itu. Kurasa ada bagian tubuhnya yang tertembus peluru musuh. Kemungkinan ini bikin ulu hatiku jadi ngilu. Suami yang sudah tega mengumpankan kami pada musuhnya, ternyata hampir meregang nyawa juga waktu menyelamatkan kami. "Shanty, cepat pulih ya Nak. Joan dan Joyce sudah rindu." Ujar Sumiati seraya membereskan peralatan ma
Untuk sesaat kami semua terpaku, terlalu bingung mencerna situasi yang kami hadapi. Hingga pada suatu saat, mataku yang sejak tadi terpusat pada Hartono menyaksikan keanehan. Laki-laki kejam yang selalu memandang angkuh pada dunia itu, tiba-tiba tampak gugup seperti orang ketakutan. Tak cukup sampai disitu, dia pun terduduk lemah dengan kedua tangan menutupi kepala. "Jangan... tolong jangan sakiti aku..." Lolongnya seperti hewan sekarat. Aku berusaha menggapainya, berusaha berteriak agar dia sadar. Namun tenagaku seolah lenyap dari tubuh. Mulutku megap-megap mencari udara yang semakin sukar masuk, namun sia-sia saja. Tak ada yang bisa kulakukan. Edbert yang terkulai tadi, mulai bergerak. Seolah menghabiskan semua sisa tenaga ditubuhnya, secepat kilat dia menyambar pisau yang terletak di sisi tubuh Hartono. Aku menutup mata pasrah. Sebentar lagi jiwaku dan Hartono akan bertemu lagi. Pada saat itu terjadi aku akan memakai lak
Jane tersenyum miring lalu menarasikan bagaimana anak buah Hartono memata-matai Alex hingga dirinya tak berani bertindak gegabah lantaran takut operasi bisnisnya jadi ketahuan.Pula, wanita culas ini bercerita anak buah Hartono sibuk mengawasi ibuku waktu dioperasi di Singapura kemarin makanya mereka tak berani berbuat yang tidak-tidak. "Hahaha, he is doing so much for you and you know nothing. Such a stupid fellow." Pungkasnya seraya menatapku geli. Berbeda dengan Jane yang menganggap konyol tindakan Hartono, aku malah terdiam pilu. Selama ini tak terhitung berapa banyak aku meratapi nasib, menyesali diri, bahkan mengutuki Hartono karena kupikir dia tak pernah peduli padaku.Aku selalu merasa sendirian di dunia yang luas ini. Nyatanya, apa yang dilakukan Hartono di belakang layar menampar semua keyakinan yang kubangun selama ini. Dia melakukan lebih banyak dari yang bisa kubuat untuk keselamatan orang-orang yang kukasihi. "N
"Seems like you put too much drugs in that incense.""Hmph, she's just a weakling."Dua suara saling sahut antara pria dan wanita samar-samar memasuki ruang dengarku. Kucoba membuka mata, namun seperti ada yang menghalangi, tubuhku juga seperti tertimpa beban yang amat berat hingga susah sekali digerakkan. Sepertinya aku mengalami ketindihan yang dalam dunia medis dikenal sebagai sleep paralysis. Suatu kondisi dimana kesadaran otak tidak sinkron dengan tubuh. "Let's wake her up." Suara si wanita kembali terdengar. Sepertinya dia benci betul padaku. "Let her be. Why bother yourself with an unconscious lady.""Hmph, I bet you have fallen for her.""Stop spewing nonsense."" ... "Ketika dua manusia ini sibuk berdebat, aku memaksa diri untuk segera sadar dengan memusatkan pikiran pada hal umum yang terbiasa kulakukan. Mamak kami bilang, ketindihan ini disebabkan ada setan yang menimpa badan wa
Perlahan kukucek mata yang tengah mengantuk berat. Dibangunkan waktu hampir memasuki dunia mimpi, rasanya sangat menyebalkan.Sepertinya Joyce paham perasaanku. Disikutnya Joan yang sedang tersenyum lebar mengamatiku menahan kantuk."Dasar nggak bisa baca situasi." Geramnya lirih. "Sudah, sudah, Aunty nggak ngantuk lagi. Ayo kita makan." Leraiku sebelum perang dunia terjadi lagi. Beriringan kami berjalan ke depan rumah. Ternyata mereka berdua sudah menyiapkan makanan di rumah pohon yang cabangnya menjorok ke arah pantai. Edbert yang suka menyendiri, segera mengambil piring dan meletakkan labu, ubi, dan setengah ekor ikan di atasnya. Setelah itu dia bergegas pergi ke rumah pohon yang satunya. Melihat Hartono bersikap biasa saja, aku pun tak meminta Edbert makan bersama. "Aku mau ikan yang paling besar." Ujar Joan sambil meletakkan potongan ubi dan labu ke piringnya.Tentu saja Hartono tak peduli. Dengan gera
Mengikuti permintaan Hartono yang lebih mirip perintah, aku dan anak-anak akhirnya pasrah dibawa entah kemana. Setelah lelah berkendara sekian lama, mataku pun terpejam. Tak tahu berapa lama lelap dalam buai kantuk, ketika suara bariton yang khas terdengar di telingaku. "Bangun, kita sudah sampai." Suara datar Hartono membangunkanku dari tidur lelap.Masih setengah sadar, kuamati sekeliling sambil mengucek-ucek mata. Ternyata kami ada di bandara yang kelewat sederhana untuk ukuran ibu kota negara."Di mana kita?" Tanyaku tanpa minat."Negara kecil di Oceania, Palau.""Apa? Palau?"Ketidaktahuanku membuat Hartono melengos gusar lalu membangunkan Joan dan Joyce yang masih nyenyak seberang kami.Hartono selalu mendorongku agar punya wawasan luas tapi apa salahku kalau tak pernah dengar soal negara kecil ini? Kurasa banyak yang tak tahu ada negara bernama Palau di muka bumi. Bahkan dalam pelajaran ilmu sosial yang kugeluti sejak SD sampai SMA pun tak pernah nama ini singgah di telingaku.
Besoknya, aku masih meringkuk ketakutan di bawah selimut waktu sebuah pesan masuk dari Shania mengganggu hidupku. [Kak, cepat cek media sosial berita lokal]Sejujurnya aku sedang malas melakukan apapun, kejadian semalam masih menghantui pikiranku seperti mimpi buruk. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di kamarku semalam. Namun rasa penasaran akan pesan Shania memaksaku membuka media sosial berita terkini di daerah kami. [Gempar! Sindikat perdagangan anak berkedok penitipan akhirnya diringkus polisi]Bukan berita yang terlalu ' wah' mengingat maraknya kejahatan akhir-akhir ini. Yang bikin nafasku nyaris berhenti adalah kenyataan daycare ini tempat aku menitipkan Alex dan kedua keponakanku kemarin. Apa jadinya kalau mereka bertiga jadi korban dari sindikat juga? Cepat-cepat kuhubungi Shania demi memastikan keadaan anak-anak. "Maaf Dek, sumpah aku tak tahu kalau daycare-nya bermasalah." Ujarku penuh peny
Suara kakek Lim menarik kami semua ke alam nyata. Hartono langsung melepaskan cekalannya pada tanganku lalu mengikuti langkah beliau ke dalam. "Istirahat saja di atas kalau sudah capek." Bisiknya di telingaku sesaat sebelum beranjak. Sementara itu Ming Lan langsung membimbing bibi Yue masuk ke dalam untuk mengikuti pembicaraan rahasia lainnya. Tinggallah aku sendiri mengamati segala yang terjadi di sini. "Geser badannya sedikit." Nanny memberi perintah pada Juni yang nampak cekatan membantunya mengangkat tubuh Lin Hua yang sudah kaku ke atas matras tipis yang mereka sulap jadi tandu darurat. "Bu, ayo masuk, tak usah duduk di sini." Samar-samar kudengar suara Nanny mengajak waktu mereka melewatiku. Namun aku terlalu mati rasa untuk merespon. Mataku malah tertuju pada mayat Jaya yang tergeletak menyedihkan di atas lantai yang dingin.Sebuah kehidupan sudah lenyap begitu saja. Baru beberapa menit tadi paman Jaya tertawa-tawa sa