*Happy Reading*"Nih!" Pria itu menunjukan sebuah kotak bludru berwarna biru dongker. Membuka kotaknya dan menunjukan isinya pada Arletta. "Ini adalah cincin turun temurun di keluarga Hardikusuma. Cincin yang akan diturunkan pada menantu pertama keluarga ini."Arletta terdiam. Menatap takjub benda kecil bersinar yang tampilannya sangat manis itu. Simple tapi elegant. Meski begitu, kilau diatas cincin tersebut jelas menunjukan nilainya yang tak bisa diremehkan."Dulu bunda yang memakainya. Setelah Mas Dewasa, beliau memberikannya sama Mas dan menyuruh memberikannya pada wanita yang akan Mas pilih sebagai istri." Arkana melanjutkan penjelasannya."Oh, ya? Lalu?" Arletta berhasil mengusai kekagumannya pada benda kecil itu. "Sudah kamu tawarkan sama siapa aja tuh cincin?" Arletta kembali mamancing. Berpura tak tertarik dengan cincin dihadapannya. "Ck, kamu ini." Arkana berdecak kesal. Lalu mencubit pelan hidung Arletta gemas. "Kamu kira Mas lagi jualan emas. Pake nawar-nawarin? Ya, nggak
*Happy Reading*"Bunda manggil Ale?" Arletta bertanya setelah menemukan Bunda Reen yang ternyata sedang berada di meja makan. Sepertinya, Bunda Reen baru selesai membereskan bekas sarapan hari ini. Terlihat dari celemek yang masih menghiasi tubuhnya, dan lap pembersih yang masih ada di atas meja. Hebatnya Bunda Reen. Meski seorang dokter kenamaan, nyonya besar dan punya banyak pembantu. Tetapi masalah dapur, tak sungkan turun tangan. Bahkan, sarapan hari ini pun, beliau yang membuatnya. Sungguh ibu rumah tangga idaman.Eits, tapi kalian jangan suudzon dulu. Arletta bukan berniat kurang ajar atau tidak tahu diri sebagai tamu di sini. Sebenarnya, tadi Arletta ingin membantu Bunda Reen, kok, membereskan bekas sarapan hari ini. Tetapi wanita itu melarang, dan malah menyuruh Arletta menemani Arkana saja. Jadi ya, bisa apa gadis itu selain menurut. "Iya, Nak. Kemari?" Bunda Reen tersenyum hangat menyambut kedatangan Arletta. "Duduk sini," titahnya lagi, menepuk kursi sebelahnya setelah A
*Happy Reading*Akhirnya, setelah drama panjang yang tak kunjung usai. Ralat, setelah tangis sang nenek yang tak kunjung usai, dan drama tarik menarik ponsel agar sambungan tak dihentikan. Panggilan itu pun bisa diputuskan dengan tenang. Itupun, setelah Arletta terpaksa berjanji akan menemui sang nenek. Tentu saja dengan catatan, jika sudah ada waktu dan kondisi si nenek yang sudah lebih baik. Meski, Arletta sendiri tak yakin bisa menepatinya atau tidak. "Beliau benar-benar merindukan kamu, Le. Nanti kalau kondisi Dewa sudah membaik, kita ke sana, ya?" Bunda Reen mengusap lembut rambut Arletta, demi meminta atensinya. Arletta memilih tersenyum sama membalas ajakan Bunda Reen. Karena ... sudah dibilang, kan, dia sendiri tak yakin bisa menepati janjinya itu, dan juga ... entahlah. Arletta sudah terlanjur menganggap mereka semua orang asing dalam hidupnya."Oh, ya, Le. Bunda boleh nanya sesuatu?" tanya Bunda Reen tiba-tiba. Tetapi, wajah wanita itu seperti ada keraguan. Tentu saja, h
*Happy Reading*"Shit!"Brak!Arnetta melonjak kaget saat pintu kamar mandinya dibuka kasar dari luar. Semakin kaget saat melihat keberadaan Arletta di ambang pintu, menatapnya penuh marah."A-Ale, lo--"Sret!Kembali, Arnetta terkesiap kala tangan Arletta dengan cepat menarik benda kecil yang sedari tadi ditangisinya. Arnetta seketika gusar dan panik melihat wajah Arletta yang makin keruh menatap benda bergaris dua itu."Ini maksudnya apa? Jelasin!" desak Arletta kemudian. Menatap Arnetta tajam.Tetapi, karena rasa panik dan takut Arnetta tidak bisa berkata-kata. Gadis itu seakan lupa bagaimana cara bicara. Otaknya mendadak kosong. Meski begitu, air matanya sudah kembali mengalir deras dari kedua sisi. Dia menatap Arletta takut di sertai kebingungan yang teramat. "Arnetta! Lo denger gue, kan? Jelasin, buruan. Selagi gue masih meminta dengan baik-baik. Kalau gak, lo tahu gue bisa segila apa, kan?" Arletta semakin mendesak. Mencecar gadis yang mirip sekali dengannya, yang kini terlih
*Happy Reading*Ceklek!"Akhirnya kamu bal--elo?"Arkana yang tadinya sudah sumringah mendengar bunyi pintu terbuka. Tiba-tiba kembali kesal, karena ternyata yang datang bukanlah yang sedang ditunggunya."Biasa aja kali komuk lo. Kek udah lama orgasme aja." Elkava menjawab santai, seraya masuk dan menghampiri si tukang photo.Sialan memang sahabat Arletta ini. Kalau ngomong suka nyebelin. Pake ngingetin perkara orgasme lagi. Gak tahu apa dia, kalau Arkana memang sudah lama puasa main kuda-kudaan di ranjang. Semua itu karena Arletta memang sulit sekali ditaklukan. Juga ... selalu adaaa aja iklan yang lewat, tiap kali Arkana hampir dapat sedikit yang dia inginkan. "Gak usah diingetin. Kek gak tahu aja gimana sahabat lo!" kesal Arkana. Elkava pun sontak tertawa ngakak di tempatnya. "Hebat kan sahabat gue? Mahal banget meski perkara cipokan, ya kan?" Elkava pun menanggapi dengan bangga. "Bukan mahal lagi. Tapi premium banget. Sampai engap gue ngadepinnya." Arkana tanpa sadar malah curh
*Happy Reading*"Kenapa, sih? Kok ngeliatin aku kayak gitu banget? Ada yang aneh sama muka aku?" tanya Arletta, mulai risih dengan si tukang photo yang dari tadi terus menatapnya penuh makna. Padahal mereka hanya gak ketemu setengah hari kemarin. Itupun, karena Arletta butuh waktu sendiri setelah membongkar satu part masa lalunya pada bunda Reen. Tetapi, kelakuan si kang photo udah makin aneh aja. Salah makan atau gimana? Haruskan Arletta tanya Bunda Reen?"Iya, emang aneh.""Apa?" tanya Arletta penasaran. "Aneh, kok kamu bisa secantik ini, ya? Padahal gak pake make up. Apa sih rahasianya?"Tuhaaannn ... ini masih pagi, loh. Arletta sudah si suguhkan sarapan gombalan aja. Resiko punya pacar playboy, begini kali, ya? Saban hari disuguhkan gombalan. Kenyang, kagak. Mual, iya. Kepala Arletta mendadak pening memikirkannya."Kayaknya mulut kamu bakal sariawan ya, Mas, kalau gak nyebar gombal sehari aja. Aku harus benar-benar membiasakan diri." Tetapi, bukan Arletta namanya kalau gampang
*Happy Reading*"Laki lo kenapa?""Apanya?" tanya Arletta bingung, pada pertanyaan Elkava yang tiba-tiba, saat baru saja masuk mobil."Itu, wajahnya tumben cerah banget. Padahal mau ditinggal. Biasanya kan ... pasti ngerajuk lebay kek anak kecil."Ah, itu ternyata. "Mana gue tahu. Kenapa gak lo tanya sendiri tadi sama orangnya?" Arletta beralaskan. Padahal aslinya, hati mendengkus kesal.Terang saja wajah si kang photo cerah, bersinar menyilaukan kek lampu rumah baru ganti. Dia sudah berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Ugh, mengingatnya membuat Arletta kembali kesal. Meski tadi hanya ciuman, itu pun hanya nempel bentaran doang. Tetap saja, Arletta gak ikhlas. Kenapa coba cuma bentar--eh, maksudnya kenapa dia bisa dia kena modus si kang photo. Dasar pria licik!"Lah, lo kan tadi sama dia. Emang dia gak cerita?" Elkava masih kepo."Cerita apa? Lo kan tahu dia kek mana. Emang suka banyak cakap dan kadang gosip. Gue sampai gak tahu harus lebih dengerin yang mana." Arletta masih berki
*Happy Reading*"Wahai Kakekku tersayang. Sekarang aku akan menuntut hak Mama Ajeng dan Mommy Arumi sekaligus dari keluarga Kusuma. Sebagai anak mereka, aku rasa tidak ada yang berhak untuk hal itu selain aku, kan?"Sang Kakek tertegun di tempatnya beberapa saat. Namun, setelahnya pria tua itu pun membuang napas panjang dan mengangguk setuju. "Tentu, Nak. Aku pastikan kau mendapatkan semua yang kau inginkan."Telinga Arletta sebenarnya masih sangat gatal tiap kali mendengar panggilan 'Nak' dari para tetua keluarga Kusuma. Hatinya mengerang kesal, menolak panggilan mereka untuknya itu. Ingin rasanya Arletta berkata untuk jangan memanggil seperti itu. Apa daya, dia sudah janji pada Bunda Reen, untuk berusaha berdamai dengan masa lalunya. Juga perlahan menghilangkan kebencian pada keluarga dari pihak ibunya itu."Tunggu! Apa-apaan ini maksudnya?" Tentu saja, Adiyaksa tak terima begitu saja akan keputusan sang ayah. Karena .... "Enak saja kamu mau minta bagian Ajeng dan Arumi? Memang kam
*Happy Reading*"Mas, bagaimana kondisi Arletta?" Satu jam berselang, Bunda dan Ayah sudah hadir di sana. Bersama Gina yang membawa serta koper yang memang sudah disediakan, persiapan kelahiran Arletta. "Masih di dalam, Yah. Sedang bersiap melakukan operasi." Arkana menjawab singkat. Raut khawatir masih tampak jelas di wajahnya. "Akhirnya operasi secar, ya?" tanya Bunda Reen lagi. "Gak ada pilihan lain, Bun. Usia kandungan Arletta belum sempurna dan bayi kami juga salah satunya ada yang terlilit pusar. Jadinya mau tak mau harus operasi."Sebenarnya, Dokter sudah berusaha memberi induksi pada Arletta agar pembukaannya cepat dan bisa lahiran normal. Hanya saja, karena posisi salah satu bayi sepertinya tak memungkinkan bertahan. Maka dari itu, akhirnya operasi secar pun mau tak mau menjadi pilihan saat ini. "Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting Ale dan bayi kalian selamat." Bunda Reen tak ambil pusing. "Iya benar. Mau sc atau normal. Itu tidaklah masalah. Seorang ibu tetap akan menj
*Happy Reading*"Mas, ayo buruan!" seru Arletta tak sabaran. Melambai pada Arkana. "Iya, iya. Ini juga udah jalan, kok," sahut Arkana santai."Ih, lama, deh!" Gemas pada Arkana, Arletta pun menarik lengan sang suami dan sedikit menyeretnya agar jalan lebih cepat. "Sabar, Sayang. Milla juga gak akan ke mana-mana, kok. Inget, kamu tuh lagi hamil. Gak boleh--""Ck, bawel, deh!" kesal Arletta. "Gak ngerti banget, sih. Namanya juga gak sabar pengen liat anaknya Milla. Kira-kira mirip siapa, ya?"Kemarin malam, Arletta memang baru mendapat kabar kalau Milla sudah melahirkan. Wanita itu pun langsung saja heboh dan meminta pulang ke Jogja malam itu juga. Tak perduli saat itu sudah menjelang subuh. Arletta tetap memaksa suaminya untuk mengantarkan pulang saat itu juga. Namun, karena kondisi Arletta juga sudah hamil tua. Arkana pun tak langsung menurutinya. Bahaya kan melakukan bepergian pada kondisi Arletta saat ini. Makanya, pria itu meminta Arletta berkonsultasi terlebih dahulu kepada dok
*Happy Reading*Arkana memperhatikan Arletta dalam diam. Wanita itu saat ini tengah asik membaca buku yang tebal sekali. Entah buku bertema apa, yang jelas ketebalan buku tersebut bisa mengalahkan al-qur'an atau kitab-kitab sejenis. Okeh, mari lupakan tentang buku tersebut. Karena kini bukan itu yang sedang Arkana pikirkan. Pria itu sebenarnya tengah memikirkan Arletta dan kehamilannya yang sudah menginjak usia kandungan enam bulan. Khususnya kebiasaan yang umumnya terjadi pada ibu hamil. Orang bilang, wanita yang sedang hamil itu sensitif dan kadang memiliki keinginan aneh. Atau sebut saja ngidam. Nah! Masalahnya Arkana tidak menemukan hal itu pada Arletta sepanjang usia kehamilannya.Iya, wanita itu memang sempat mengalami morning sick beberapa minggu saat awal kehamilan. Namun hanya itu saja. Sisanya, Arletta itu tampak biasa saja. Tidak sensitif apalagi ngidam yang aneh-aneh. Kan, Arkana jadi curiga, ya? Ini Arkananya yang kurang perhatian atau Arlettanya yang menahan ngidamnya
*Happy Reading*"Dia mencoba bunuh diri lagi?"Pria di hadapannya mengangguk."Lalu?""Sesuai perintah anda, Bos. Kami menyelamatkannya kembali."Pria bule di balik meja itu tersenyum mendengar hal barusan. Mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap dakunya perlahan. "Bagus," pujinya kemudian. "Pantau terus keadannya. Jangan sampai kecolongan. Mengerti?" "Mengerti, Bos!" sahut pria itu patuh. Setelah pria bule di hadapannya menyuruh pergi, dia pun lalu beranjak dari termpat tersebut. "Sampai kapan kau akan menyiksanya?" Pria lain di sana berbicara selepas kepergian si anak buah. "Bukankah, semakin cepat dia mati, semakin cepat pula tugasmu selesai?""Aku hanya menjalankan amanat dari putrinya," sahut pria bule bernetra hijau itu dengan santai, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Raid Anderson. "Dia tidak ingin bajingan itu mati dengan mudah."Lawan bicaranya terdiam. Lalu mengangguk faham. "Lalu kapan tugasmu akan berakhir jika bajingan itu tidak kau ijinkan mati?" Pria tadi ber
*Happy Reading*Cring! Cring!"Selamat dat--eh, elo Let?"Arletta hanya mengangkat tangan membalas Devi yang menyapa saat melewati pintu. Kemudian menunjuk sebuah meja yang letaknya agak pojok, di mana Arkana tengah berada bersama dua pria dan dua wanita. Devi pun mengangguk faham. "Duduk, deh. Gue bawain minuman nanti." Devi lalu berlalu, melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Sementara itu, Arletta pun mencari tempat duduk yang tak jauh darinya."Nih!" Tak berselang lama. Devi kembali dengan segelas coklat hangat yang langsung di serahkannya pada Arletta. "Kok? Kayaknya gue belum pesen, deh?" Arletta heran. "Laki lo yang pesenin," jawab Devi menunjuk meja Arkana dengan dagunya. Arletta melirik ke arah sana juga. Tetapi Arkana terlihat masih fokus mendengarkan kliennya berbicara."Iyakah?""Iya!" Devi meyakinkan. "Tadi pas laki lo datang, dia langsung bilang begini." Devi menegakkan tubuh sejenak, lalu berdehem. "Kamu kenal istri saya, kan? Nanti kalau dia datang, terus pesen
Short story of Ka-Cha"Menikahlah dengan saya."Cangkir yang sudah menyentuh bibirnya seketika terhenti mendengar ucapan tersebut. Ia terkejut sekaligus bingung mendengar tawaran tadi. Lebih dari itu, ia merasa tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar dari sudut hatinya mendengar kalimat barusan. Membuatnya teringat kembali pada pria-nya yang telah tiada. Mengerjap perlahan beberapa saat, wanita itu pun meletakan kembali cangkir pada tatakannya. Lalu menghela napas panjang diam-diam demi menenangkan hatinya yang tiba-tiba bergemuruh perih. Matanya melirik perutnya yang semakin membesar sekilas."Apa ... Arletta yang menyuruh anda?" tanya balik wanita itu. Dia adalah Karmilla. Sahabat Arletta. "Ini tidak ada hubungannya dengan Arletta," jawab Pria itu tegas. Yang entah kenapa justru semakin membuat Milla makin curiga. "Kalau begitu siapa yang menyuruh anda melakukan ini?" tuntut Milla kemudian. Pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Chakra. Menghela nafas berat pendengar pe
*Happy reading*Setelah mengatur nafas sekali lagi dan membulatkan tekad kembali. Arletta pun mulai melangkah ke arah Milla. Langkah kakinya terasa berat sekali, Arletta rasanya harus bersusah payah hanya demi mengambil langkah satu demi satu. Saat jarak antara mereka sudah menipis. Arletta mengangguk sedikit pada perawat yang berjaga sebagai bentuk salam. Nampaknya perawat itu tahu perihal maksud kedatangan Arletta. Buktinya, setelah membalas salam Arletta dengan anggukan dan senyum. Perawat tersebut pun mengambil jarak agak jauh dari Milla. Seolah mempersilahkan mereka bicara. Awalnya Milla masih belum menyadari keberadaan Arletta. Wanita itu masih tampak sibuk mengusap perutnya dengan sayang dan senyum manis. Tidak ada ucapan atau pun celotehan. Hanya tersenyum dan terus tersenyum sambil mengusap perutnya yang sudah agak membuncit. Kata Bunda Reen, usia kandungan Milla hampir memasuki empat bulan. Berarti beda sekitar dua bulan dengannya. Berarti juga, saat kejadian di Villa. Mi
*Happy Reading*Arkana sebenarnya kurang suka jika Arletta berdekatan dengan Chakra lagi. Alasannya tentu saja karena pria itu pernah ada hati pada istrinya. Bukan tidak percaya pada kesetiaan sang istri. Namun, waspada itu wajib, kan?Hanya saja, jika dihadapkan pilihan antara Chakra dan Frans. Jelas Arkana akan pilih Chakra. Meski terpaksa, setidaknya Chakra itu masih tahu diri. Pria itu tahu Arletta sudah jadi milik Arkana sepenuhnya. Baik itu raga ataupun hatinya. Bahkan, kini sudah hadir buah cinta mereka di rahim Arletta, kan? Jadi, meski katanya sepupu juga masih boleh menikah. Jelas, Chakra sudah kalah telak darinya. Sementara Frans? Melihat dari sifat dan karakternya. Arkana tidak yakin pria itu bisa tahu diri. Atau lebih tepatnya mau tahu diri untuk tak merebut miliknya. Meski Frans memang tak pernah terdengar menyukai Arletta. Namun masalahnya adalah, Arletta itu terlalu istimewa sebagai seorang wanita. Pria mana pula yang rela melewatkannya. Jadi, daripada kecolongan. Le
*Happy Reading*"Ba-bayi ... kita?" beo Arletta dengan bingung setelah beberapa saat tertegun di tempatnya. Senyum Arkana semakin melebar seraya mengangguk pasti. Lalu pria itu mengusap perut Arletta lagi yang sebenarnya masih rata."Iya, sayang. Bayi kita." Arkana meyakinkan. "Di sini, ternyata sudah ada bayi kita."Arletta makin tertegun. Perlahan melirik perutnya sendiri yang sedang di usap lembut Arkana dengan tatap tak percaya. Benarkah ia hamil? Kenapa ia tak merasakan apa-apa?"Wajar jika kamu tidak menyadarinya. Dokter bilang, usianya baru enam minggu," ucap Arkana lagi seakan tahu apa yang Arletta fikirkan. Degh!Benarkah? Kalau begitu saat kejadian di villa waktu itu, ia sebenarnya sudah mengandung. Bahkan saat bertarung melawan anak buah Joshua dan pria itu pun, Arletta sudah dalam keadaan .....Tangis Arletta kembali pecah. Dia merasa bodoh dan jahat sekali. Bagaimana mungkin dia tak menyadari keberadaan janinnya sendiri. Abai dan bahkan hampir membunuh anaknya juga saat