*Happy Reading*"Bunda manggil Ale?" Arletta bertanya setelah menemukan Bunda Reen yang ternyata sedang berada di meja makan. Sepertinya, Bunda Reen baru selesai membereskan bekas sarapan hari ini. Terlihat dari celemek yang masih menghiasi tubuhnya, dan lap pembersih yang masih ada di atas meja. Hebatnya Bunda Reen. Meski seorang dokter kenamaan, nyonya besar dan punya banyak pembantu. Tetapi masalah dapur, tak sungkan turun tangan. Bahkan, sarapan hari ini pun, beliau yang membuatnya. Sungguh ibu rumah tangga idaman.Eits, tapi kalian jangan suudzon dulu. Arletta bukan berniat kurang ajar atau tidak tahu diri sebagai tamu di sini. Sebenarnya, tadi Arletta ingin membantu Bunda Reen, kok, membereskan bekas sarapan hari ini. Tetapi wanita itu melarang, dan malah menyuruh Arletta menemani Arkana saja. Jadi ya, bisa apa gadis itu selain menurut. "Iya, Nak. Kemari?" Bunda Reen tersenyum hangat menyambut kedatangan Arletta. "Duduk sini," titahnya lagi, menepuk kursi sebelahnya setelah A
*Happy Reading*Akhirnya, setelah drama panjang yang tak kunjung usai. Ralat, setelah tangis sang nenek yang tak kunjung usai, dan drama tarik menarik ponsel agar sambungan tak dihentikan. Panggilan itu pun bisa diputuskan dengan tenang. Itupun, setelah Arletta terpaksa berjanji akan menemui sang nenek. Tentu saja dengan catatan, jika sudah ada waktu dan kondisi si nenek yang sudah lebih baik. Meski, Arletta sendiri tak yakin bisa menepatinya atau tidak. "Beliau benar-benar merindukan kamu, Le. Nanti kalau kondisi Dewa sudah membaik, kita ke sana, ya?" Bunda Reen mengusap lembut rambut Arletta, demi meminta atensinya. Arletta memilih tersenyum sama membalas ajakan Bunda Reen. Karena ... sudah dibilang, kan, dia sendiri tak yakin bisa menepati janjinya itu, dan juga ... entahlah. Arletta sudah terlanjur menganggap mereka semua orang asing dalam hidupnya."Oh, ya, Le. Bunda boleh nanya sesuatu?" tanya Bunda Reen tiba-tiba. Tetapi, wajah wanita itu seperti ada keraguan. Tentu saja, h
*Happy Reading*"Shit!"Brak!Arnetta melonjak kaget saat pintu kamar mandinya dibuka kasar dari luar. Semakin kaget saat melihat keberadaan Arletta di ambang pintu, menatapnya penuh marah."A-Ale, lo--"Sret!Kembali, Arnetta terkesiap kala tangan Arletta dengan cepat menarik benda kecil yang sedari tadi ditangisinya. Arnetta seketika gusar dan panik melihat wajah Arletta yang makin keruh menatap benda bergaris dua itu."Ini maksudnya apa? Jelasin!" desak Arletta kemudian. Menatap Arnetta tajam.Tetapi, karena rasa panik dan takut Arnetta tidak bisa berkata-kata. Gadis itu seakan lupa bagaimana cara bicara. Otaknya mendadak kosong. Meski begitu, air matanya sudah kembali mengalir deras dari kedua sisi. Dia menatap Arletta takut di sertai kebingungan yang teramat. "Arnetta! Lo denger gue, kan? Jelasin, buruan. Selagi gue masih meminta dengan baik-baik. Kalau gak, lo tahu gue bisa segila apa, kan?" Arletta semakin mendesak. Mencecar gadis yang mirip sekali dengannya, yang kini terlih
*Happy Reading*Ceklek!"Akhirnya kamu bal--elo?"Arkana yang tadinya sudah sumringah mendengar bunyi pintu terbuka. Tiba-tiba kembali kesal, karena ternyata yang datang bukanlah yang sedang ditunggunya."Biasa aja kali komuk lo. Kek udah lama orgasme aja." Elkava menjawab santai, seraya masuk dan menghampiri si tukang photo.Sialan memang sahabat Arletta ini. Kalau ngomong suka nyebelin. Pake ngingetin perkara orgasme lagi. Gak tahu apa dia, kalau Arkana memang sudah lama puasa main kuda-kudaan di ranjang. Semua itu karena Arletta memang sulit sekali ditaklukan. Juga ... selalu adaaa aja iklan yang lewat, tiap kali Arkana hampir dapat sedikit yang dia inginkan. "Gak usah diingetin. Kek gak tahu aja gimana sahabat lo!" kesal Arkana. Elkava pun sontak tertawa ngakak di tempatnya. "Hebat kan sahabat gue? Mahal banget meski perkara cipokan, ya kan?" Elkava pun menanggapi dengan bangga. "Bukan mahal lagi. Tapi premium banget. Sampai engap gue ngadepinnya." Arkana tanpa sadar malah curh
*Happy Reading*"Kenapa, sih? Kok ngeliatin aku kayak gitu banget? Ada yang aneh sama muka aku?" tanya Arletta, mulai risih dengan si tukang photo yang dari tadi terus menatapnya penuh makna. Padahal mereka hanya gak ketemu setengah hari kemarin. Itupun, karena Arletta butuh waktu sendiri setelah membongkar satu part masa lalunya pada bunda Reen. Tetapi, kelakuan si kang photo udah makin aneh aja. Salah makan atau gimana? Haruskan Arletta tanya Bunda Reen?"Iya, emang aneh.""Apa?" tanya Arletta penasaran. "Aneh, kok kamu bisa secantik ini, ya? Padahal gak pake make up. Apa sih rahasianya?"Tuhaaannn ... ini masih pagi, loh. Arletta sudah si suguhkan sarapan gombalan aja. Resiko punya pacar playboy, begini kali, ya? Saban hari disuguhkan gombalan. Kenyang, kagak. Mual, iya. Kepala Arletta mendadak pening memikirkannya."Kayaknya mulut kamu bakal sariawan ya, Mas, kalau gak nyebar gombal sehari aja. Aku harus benar-benar membiasakan diri." Tetapi, bukan Arletta namanya kalau gampang
*Happy Reading*"Laki lo kenapa?""Apanya?" tanya Arletta bingung, pada pertanyaan Elkava yang tiba-tiba, saat baru saja masuk mobil."Itu, wajahnya tumben cerah banget. Padahal mau ditinggal. Biasanya kan ... pasti ngerajuk lebay kek anak kecil."Ah, itu ternyata. "Mana gue tahu. Kenapa gak lo tanya sendiri tadi sama orangnya?" Arletta beralaskan. Padahal aslinya, hati mendengkus kesal.Terang saja wajah si kang photo cerah, bersinar menyilaukan kek lampu rumah baru ganti. Dia sudah berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Ugh, mengingatnya membuat Arletta kembali kesal. Meski tadi hanya ciuman, itu pun hanya nempel bentaran doang. Tetap saja, Arletta gak ikhlas. Kenapa coba cuma bentar--eh, maksudnya kenapa dia bisa dia kena modus si kang photo. Dasar pria licik!"Lah, lo kan tadi sama dia. Emang dia gak cerita?" Elkava masih kepo."Cerita apa? Lo kan tahu dia kek mana. Emang suka banyak cakap dan kadang gosip. Gue sampai gak tahu harus lebih dengerin yang mana." Arletta masih berki
*Happy Reading*"Wahai Kakekku tersayang. Sekarang aku akan menuntut hak Mama Ajeng dan Mommy Arumi sekaligus dari keluarga Kusuma. Sebagai anak mereka, aku rasa tidak ada yang berhak untuk hal itu selain aku, kan?"Sang Kakek tertegun di tempatnya beberapa saat. Namun, setelahnya pria tua itu pun membuang napas panjang dan mengangguk setuju. "Tentu, Nak. Aku pastikan kau mendapatkan semua yang kau inginkan."Telinga Arletta sebenarnya masih sangat gatal tiap kali mendengar panggilan 'Nak' dari para tetua keluarga Kusuma. Hatinya mengerang kesal, menolak panggilan mereka untuknya itu. Ingin rasanya Arletta berkata untuk jangan memanggil seperti itu. Apa daya, dia sudah janji pada Bunda Reen, untuk berusaha berdamai dengan masa lalunya. Juga perlahan menghilangkan kebencian pada keluarga dari pihak ibunya itu."Tunggu! Apa-apaan ini maksudnya?" Tentu saja, Adiyaksa tak terima begitu saja akan keputusan sang ayah. Karena .... "Enak saja kamu mau minta bagian Ajeng dan Arumi? Memang kam
*Happy Reading*"Sudah! Sudah! Hentikan!" Nenek berteriak lagi dengan khawatir, saat Arletta tak juga melepaskan sang paman. Elkava pun membantu menepuk bahu Arletta. Seakan memberikan isyarat untuk menghentikan situasi ini. Arletta mendengkus kesal. Terpaksa melepaskan mainannya. Di tempatnya, Adiyaksa pun turut mendengkus kesal, sambil berusaha segera bangun. Pria itu geram luar biasa karena merasa di permalukan seorang bocah ingusan.Bagaimana tidak merasa begitu? Faktanya, Adiyaksa itu sebenarnya mempunyai tubuh tinggi, besar dan kekar melebihi Arletta. Badannya dua kali lebih besar dari keponakan barunya. Lebih dari itu, Adiyaksa juga bisa bela diri meski bukan seorang ahli. Tetapi lihatlah apa yang sudah terjadi? Bisa-bisanya dia tak bisa berkutik melawan si gadis ingusan itu.Sialan! Sialan! Sialan! Kebencian Adiyaksa pada Arletta pun semakin bertambah. Lihat saja, Adiyaksa tak akan melepaskan si bocah ingusan begitu saja. "Tuhan, leher kamu kenapa, Adi? Kenapa berdarah?" Sa