Ariel mengangkat kepalanya, lalu berkata sambil melirik ke arah Justin, "Kenapa kamu nggak pergi? Apakah kamu nggak punya uang saku untuk makan? Apakah kamu ingin aku memberimu?"Setelah mendengar Ariel ingin memberinya, Justin yang baru saja merasa diabaikan oleh Ariel menjadi lebih energik lagi. Dia merasa bahwa Ariel jelas-jelas peduli padanya ...."Nggak perlu! Aku punya uang, tapi kamu seharusnya menemaniku makan, jangan tinggalkan aku sendiri!"Alis Ariel kembali mengernyit dengan jijik. "Maaf, menurutku, dunia ini nggak ada kata seharusnya. Hanya anak-anak yang akan terus menekankan kata seharusnya."Justin kembali berkata, "Aku bukan anak kecil!"Ariel berkata sambil mencibir, "Apakah aku mengataimu?"Justin menyilangkan tangannya dan duduk dengan marah. Sebelumnya, Justin belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita. Sementara wanita ini sangat tidak tahu aturan! Justin benar-benar marah!Ariel mengabaikan Justin. Dia menyesuaikan kacamatanya, lalu fokus pada peke
Kemampuan pemahaman bocah ini sepertinya sangat rendah."Aku nggak butuh kamu temani."Justin tidak percaya, dia menggerutu, "Kalian para wanita memang lain di mulut lain di hati, jelas-jelas tadi kamu menyelimuti aku, khawatir aku kedinginan!"Ariel terdiam.Lebih baik diam daripada terus berdebat.Tak mau lagi menghiraukan Justin, Ariel berjalan cepat menuju kantor Marlon.Tidak ada orang di meja sekretaris di depan kantor Marlon, Ariel merasa agak aneh. Sebelum masuk, dia menoleh dan berkata dengan serius pada Justin, "Kamu tunggu di luar, jangan ikut masuk."Justin merasa tidak senang, "Kenapa? Untuk apa kamu menemui Marlon?" tanyanya.Ariel menjelaskan, "Aku sedang bekerja, ini di kantor, Marlon itu rekan kerjaku! Sedangkan kamu bukan karyawan di sini, jadi kamu nggak punya hak ikut mendiskusikan pekerjaan."Melihat keseriusan Ariel, Justin pun memperbolehkan dengan angkuh, "Baiklah! Aku nggak akan mengganggu pekerjaanmu, masuklah. Aku akan menunggu di sini."Setelah menatap dingi
Mereka tidak tahu fungsi peredam suara di kantor Wakil Direktur tidak sebaik yang mereka kira, suara mereka telah menyelinap ke dalam ruangan ....Ariel duduk di seberang meja kerja Marlon, pelipisnya terasa sakit.Marlon justru tersenyum penuh minat sambil menyindir, "Kenapa? Kenapa mukamu masam begitu? Daun mudanya nggak enak?"Ariel menjulingkan mata, lalu berkata, "Berhenti menyindir, kamu pikir aku suka daun muda?"Marlon menopang dagu sambil berkata, "Suka atau nggak, toh kamu sudah memakannya!"Ariel memegangi keningnya sembari berkata, "Satu kesalahan membuat semuanya nggak bisa diperbaiki! Apa kamu punya cara mencampakkannya?"Marlon mengerutkan kening sambil berkata, "Ada sih, tapi menurutku jangan buru-buru mencampakkannya. Zaman sekarang, pria polos seperti Justin sulit ditemukan, kamu nggak mau mencicipinya lagi dulu?""Cicipi kepalamu! Cepat bantu aku melepaskan diri dari bocah itu!" marah Ariel."Itu mudah saja! Hubungi saja kakaknya, Jason Yanuar, bilang Justin menggang
Adsila yang sedang menyedot minumannya hampir tersedak boba, "Huk ... huk .... Apa katamu? Pacarmu ... Bu Ariel?"Justin mengangguk sembari menjawab, "Hm, benar!"Adsila kaget setengah mati, di matanya, kedua orang itu berasal dari dunia yang berbeda, bagaimana mungkin mereka bersama?"Kalau begitu ... kamu calon istrinya bosku?" gumam Adsila.Justin tidak senang mendengarnya, dia memprotes, "Istri bos kepalamu! Adsila, otakmu bermasalah, ya? Aku mau dia jadi menantu Keluarga Yanuar, bukan sebaliknya! Istri bos apaan!"Adsila mengisap minumannya lagi, lalu berkata, "Apa bedanya? Tapi, kamu hebat juga bisa berkencan dengan Bu Ariel! Dia itu pecandu kerja yang terkenal, sama sekali nggak menghiraukan pria!"Mata Justin seketika berbinar, "Benarkah? Biasanya dia nggak pernah menghiraukan pria?"Adsila mengangguk, lalu menjelaskan, "Benar! Seringkali ada mitra kerja tampan mencoba mendekati Bu Ariel, mengiriminya bunga maupun tas, tapi Bu Ariel nggak pernah menghiraukannya, hadiahnya kalau
Adsila barusan masih berbincang dengan Justin, tiba-tiba beberapa orang datang dan menyeretnya pergi. Dia belum mencerna situasi yang terjadi, sedotan minuman masih menempel di mulutnya, matanya berulang kali berkedip."Enak sekali, minum teh susu?"Mendengar suara Marlon, Adsila segera tersadar, lalu meletakkan gelas teh susu miliknya.Marlon tersenyum sambil berkata, "Nggak ada yang melarangmu minum, apa yang kamu takutkan? Tapi, kenapa minum sendiri, punyaku mana?"Adsila bangkit menjelaskan, "Hm ... Pak Marlon, bukan aku yang memesannya, rekan dari divisi lain yang mentraktirku. Lagi pula ini teh susu murah, seharusnya nggak sesuai dengan selera lidah Pak Marlon, jadi mereka juga nggak berani memesannya untukmu."Dia menjelaskan dengan hati-hati, takut mencelakakan rekannya.Marlon tersenyum sembari mengangkat alisnya sambil berkata, "Benarkah? Bagaimana kalian tahu nggak sesuai seleraku? Sini, biar kucicipi!"Cicipi? Mereka nggak memesan untuknya, bagaimana dia mencicipinya? Adsil
Marlon menjawab, "Buat menjenguk bibimu, bukankah dia hamil? Kami berencana mengunjunginya sekalian membelikan suplemen."Adsila tidak mengerti, dia berkata, "Kalau mau menjenguk Bibi, kalian tinggal menjelaskan tujuan kedatangan kalian, Keluarga Dirgantara pasti mengizinkan kalian masuk, nggak perlu aku yang membawa kalian juga pasti boleh!"Marlon menggerakkan alisnya sambil berkata, "Lebih terjamin kalau kamu yang membawa kami, kalau sampai kami nggak diizinkan masuk 'kan ada kamu, jadi kedatangan kami nggak sia-sia. Ya, 'kan?"Adsila merasa ada yang aneh, tapi ucapan Marlon masuk akal juga, dia pun tidak mendesak lagi dan mengangguk sambil berkata, "Baiklah! Apa kita berangkat sepulang kerja?"Marlon menjawab, "Nggak usah, kalau kamu ada waktu, sekarang juga kita berangkat!""Buru-buru sekali?" tanya Adsila sambil berkedip, lalu melihat jam di ponselnya, "Hari ini aku nggak ada urusan! Baiklah, ayo kita berangkat sekarang," sambungnya.Adsila mengambil tasnya, memasukkan ponselnya
"Apa Pak Marlon orang yang senang bergosip? Kalaupun aku merasa dia baik, terus kenapa? Kamu mau membantu kami?" tanya Adsila.Marlon mengernyitkan bibir, berkata, "Bukannya nggak bisa, setelah urusan ini beres, aku akan mengaturnya."Adsila terdiam.Dia merasa jengkel karena tak menyangka Marlon akan menyetujuinya.Adsila menjawab dengan ketus, "Pak Marlon nggak perlu repot-repot, aku bisa menanganinya sendiri."Marlon mengerutkan kening sambil menyindir, "Jadi maksudnya, kamu mau berinisiatif mengejarnya lagi?"Adsila mengerutkan kening, berbalik menatap dan berkata dengan serius, "Pak Marlon, aku memang pernah mengejarmu dan memang nggak berhasil, tapi bukan berarti setiap pria perlu aku yang mengejarnya, aku nggak seburuk itu!"Marlon tersenyum sambil berkata, "Benar juga! Dengan kondisi Adsila, seharusnya kamu cukup laku!"Adsila tidak ingin menghiraukannya lagi, dulu dia mengira pria ini lembut dan humoris, selalu berbicara dengan tenang dan tersenyum, sekarang dia merasa pria in
Sudah terlambat ketika Ariel menyadarinya ....Panggilan video sudah tersambung, karena tidak senang, Justin tidak melihat ke arah kamera, dia mengangkat dagunya, berkata dengan arogan, "Kak Ariel, sudahlah, aku sudah memaafkanmu!""Hari ini aku juga bersalah, nggak seharusnya aku mengganggumu bekerja, kamu jadi marah dan melapor pada Kak Jason," sambungnya."Aku nggak akan begitu lagi, lain kali aku akan menemuimu setelah pulang kerja," tambahnya.Marlon mendecakkan lidah, kemudian berkata, "Bagus, Tuan Justin! Tahu Ariel paling nggak suka orang yang mengganggunya bekerja, kamu langsung merenungi kesalahan."Mendengar suara yang berbeda, Justin langsung menatap kamera, lalu berkata, "Kamu lagi, kenapa kamu mengambil ponselnya?"Sebelum Marlon menjawab, Ariel langsung merebut kembali ponselnya dan berkata, "Sudah dulu.""Kak Ariel ...."Suara Justin terpotong karena Ariel memutuskan panggilan dan mematikan ponsel.Kemudian, Ariel mendongak, menatap Marlon yang tangannya kegatalan sambi