Adsila yang sedang menyedot minumannya hampir tersedak boba, "Huk ... huk .... Apa katamu? Pacarmu ... Bu Ariel?"Justin mengangguk sembari menjawab, "Hm, benar!"Adsila kaget setengah mati, di matanya, kedua orang itu berasal dari dunia yang berbeda, bagaimana mungkin mereka bersama?"Kalau begitu ... kamu calon istrinya bosku?" gumam Adsila.Justin tidak senang mendengarnya, dia memprotes, "Istri bos kepalamu! Adsila, otakmu bermasalah, ya? Aku mau dia jadi menantu Keluarga Yanuar, bukan sebaliknya! Istri bos apaan!"Adsila mengisap minumannya lagi, lalu berkata, "Apa bedanya? Tapi, kamu hebat juga bisa berkencan dengan Bu Ariel! Dia itu pecandu kerja yang terkenal, sama sekali nggak menghiraukan pria!"Mata Justin seketika berbinar, "Benarkah? Biasanya dia nggak pernah menghiraukan pria?"Adsila mengangguk, lalu menjelaskan, "Benar! Seringkali ada mitra kerja tampan mencoba mendekati Bu Ariel, mengiriminya bunga maupun tas, tapi Bu Ariel nggak pernah menghiraukannya, hadiahnya kalau
Adsila barusan masih berbincang dengan Justin, tiba-tiba beberapa orang datang dan menyeretnya pergi. Dia belum mencerna situasi yang terjadi, sedotan minuman masih menempel di mulutnya, matanya berulang kali berkedip."Enak sekali, minum teh susu?"Mendengar suara Marlon, Adsila segera tersadar, lalu meletakkan gelas teh susu miliknya.Marlon tersenyum sambil berkata, "Nggak ada yang melarangmu minum, apa yang kamu takutkan? Tapi, kenapa minum sendiri, punyaku mana?"Adsila bangkit menjelaskan, "Hm ... Pak Marlon, bukan aku yang memesannya, rekan dari divisi lain yang mentraktirku. Lagi pula ini teh susu murah, seharusnya nggak sesuai dengan selera lidah Pak Marlon, jadi mereka juga nggak berani memesannya untukmu."Dia menjelaskan dengan hati-hati, takut mencelakakan rekannya.Marlon tersenyum sembari mengangkat alisnya sambil berkata, "Benarkah? Bagaimana kalian tahu nggak sesuai seleraku? Sini, biar kucicipi!"Cicipi? Mereka nggak memesan untuknya, bagaimana dia mencicipinya? Adsil
Marlon menjawab, "Buat menjenguk bibimu, bukankah dia hamil? Kami berencana mengunjunginya sekalian membelikan suplemen."Adsila tidak mengerti, dia berkata, "Kalau mau menjenguk Bibi, kalian tinggal menjelaskan tujuan kedatangan kalian, Keluarga Dirgantara pasti mengizinkan kalian masuk, nggak perlu aku yang membawa kalian juga pasti boleh!"Marlon menggerakkan alisnya sambil berkata, "Lebih terjamin kalau kamu yang membawa kami, kalau sampai kami nggak diizinkan masuk 'kan ada kamu, jadi kedatangan kami nggak sia-sia. Ya, 'kan?"Adsila merasa ada yang aneh, tapi ucapan Marlon masuk akal juga, dia pun tidak mendesak lagi dan mengangguk sambil berkata, "Baiklah! Apa kita berangkat sepulang kerja?"Marlon menjawab, "Nggak usah, kalau kamu ada waktu, sekarang juga kita berangkat!""Buru-buru sekali?" tanya Adsila sambil berkedip, lalu melihat jam di ponselnya, "Hari ini aku nggak ada urusan! Baiklah, ayo kita berangkat sekarang," sambungnya.Adsila mengambil tasnya, memasukkan ponselnya
"Apa Pak Marlon orang yang senang bergosip? Kalaupun aku merasa dia baik, terus kenapa? Kamu mau membantu kami?" tanya Adsila.Marlon mengernyitkan bibir, berkata, "Bukannya nggak bisa, setelah urusan ini beres, aku akan mengaturnya."Adsila terdiam.Dia merasa jengkel karena tak menyangka Marlon akan menyetujuinya.Adsila menjawab dengan ketus, "Pak Marlon nggak perlu repot-repot, aku bisa menanganinya sendiri."Marlon mengerutkan kening sambil menyindir, "Jadi maksudnya, kamu mau berinisiatif mengejarnya lagi?"Adsila mengerutkan kening, berbalik menatap dan berkata dengan serius, "Pak Marlon, aku memang pernah mengejarmu dan memang nggak berhasil, tapi bukan berarti setiap pria perlu aku yang mengejarnya, aku nggak seburuk itu!"Marlon tersenyum sambil berkata, "Benar juga! Dengan kondisi Adsila, seharusnya kamu cukup laku!"Adsila tidak ingin menghiraukannya lagi, dulu dia mengira pria ini lembut dan humoris, selalu berbicara dengan tenang dan tersenyum, sekarang dia merasa pria in
Sudah terlambat ketika Ariel menyadarinya ....Panggilan video sudah tersambung, karena tidak senang, Justin tidak melihat ke arah kamera, dia mengangkat dagunya, berkata dengan arogan, "Kak Ariel, sudahlah, aku sudah memaafkanmu!""Hari ini aku juga bersalah, nggak seharusnya aku mengganggumu bekerja, kamu jadi marah dan melapor pada Kak Jason," sambungnya."Aku nggak akan begitu lagi, lain kali aku akan menemuimu setelah pulang kerja," tambahnya.Marlon mendecakkan lidah, kemudian berkata, "Bagus, Tuan Justin! Tahu Ariel paling nggak suka orang yang mengganggunya bekerja, kamu langsung merenungi kesalahan."Mendengar suara yang berbeda, Justin langsung menatap kamera, lalu berkata, "Kamu lagi, kenapa kamu mengambil ponselnya?"Sebelum Marlon menjawab, Ariel langsung merebut kembali ponselnya dan berkata, "Sudah dulu.""Kak Ariel ...."Suara Justin terpotong karena Ariel memutuskan panggilan dan mematikan ponsel.Kemudian, Ariel mendongak, menatap Marlon yang tangannya kegatalan sambi
Ah, pantas saja dia merasa peralatan yang dibawa para pembantu di belakang terlihat familier. Itu adalah peralatan yang digunakan ketika mengikuti prosedur pemeriksaan di bandara, hanya saja ...."Pak Dimas, kurasa itu nggak perlu? Mereka teman lama aku dan Bibi, bukan orang jahat!" kata Adsila.Pak Dimas bersikeras, "Nona Adsila, ini instruksi yang disampaikan Tuan sebelum berangkat, siapa pun yang datang mengunjungi Nyonya Pamela harus melalui pemeriksaan ini, kami hanya melaksanakan instruksinya."Adsila berkata tak berdaya, "Baiklah kalau begitu, aku sampaikan dulu pada kedua temanku, menanyakan ketersediaan mereka."Pak Dimas menjawab dengan penuh hormat, "Baik."Adsila merasa prosedur pemeriksaan terhadap tamu yang datang ke Kediaman Dirgantara agak keterlaluan, tidak tahu apakah Pak Marlon dan Bu Ariel bisa menerimanya.Dia menghampiri mereka, baru saja mau menjelaskan, Marlon duluan berkata, "Nggak apa-apa, kami bersedia mengikuti prosedur pemeriksaan."Adsila tercengang, lalu
Marlon membaca petunjuk dari mata Pamela, dia tersenyum, "Nona Pamela, maksudmu tanpa kepentingan, kami nggak boleh datang menjengukmu?" jawabnya.Ariel juga ikut menjawab, "Sudah lama nggak bertemu, bosan, ingin mengobrol denganmu."Mereka secara kompak tidak memanggil Pamela dengan sebutan Bos.Pamela juga setuju, "Hm, aku juga bosan, baguslah kalian datang, kita bisa main mahyong bersama untuk menghabiskan waktu."Marlon tersenyum sambil berkata, "Oke!"Adsila juga menjawab, "Oke, oke, Pak Marlon mengizinkanku cuti setengah hari, kebetulan aku ingin belajar bermain mahyong!"Saat ini, Frida keluar dari dapur bersama dua pembantu."Pamela, katanya temanmu datang, Nenek sengaja buatkan cemilan. Ayo, ajak temanmu mencicipinya," kata Frida.Pamela yang selama ini sangat menghormati Frida, kali ini tidak menghiraukan niat baiknya.Adsila bangkit, lalu berkata, "Nyonya Frida, Anda terlalu sungkan."Frida menatap senyuman manis Adsila, "Adsila, ya? Sudah lama kamu nggak datang, aku hampir
Namun, karena kedua tamu yang datang tidak pernah dia temui sebelumnya, Frida tidak tenang meninggalkan cucu menantunya sendirian di sini.Tentu saja, Frida tahu suasana menjadi dingin karena keberadaannya, tapi dia tidak berencana meninggalkan mereka, dia mengambil teh di atas meja dan menyesapnya, lalu berkata, "Tadi aku dengar kalian mau main mahyong? Aku suka sekali bermain mahyong, apa kalian keberatan kalau aku ikut bermain?"Marlon terdiam.Demikian juga Ariel.Pamela tidak berekspresi, juga tidak mengatakan apa pun.Hanya Adsila yang tersenyum sambil berkata, "Oke! Nyonya Frida bisa satu kelompok denganku, kebetulan aku nggak pandai bermain, aku bisa belajar darimu!"Frida tertawa senang, "Nggak masalah, aku jamin kamu akan menguasainya hari ini! Kalau begitu, kapan kita mulai?"Mereka saling memandang.Akhirnya Pamela buka suara, "Kita mulai setelah makan siang saja. Jarang sekali temanku datang, kita nggak boleh membiarkan mereka bermain mahyong dengan perut kosong."Frida me
Ketakutan masih melanda Phillip ketika dia membayangkan situasi saat itu, Dian meratakan alis pria itu, "Aku tahu kamu pasti akan datang untuk menyelamatkanku, sama seperti sebelumnya.""Aku mencintaimu, Phillip."Sebelumnya Dian sudah menyatakan cintanya, tapi dia mengatakannya dalam keadaan tidak sadar. Sekarang dia sudah sadar, pikirannya jernih, bahkan sambil tersenyum tipis. Ucapannya membuat Phillip tersipu sejenak."Aku juga mencintaimu," balas Phillip.Dian hanya dirawat sebentar di rumah sakit, tak lama kemudian dia kembali ke Kediaman Sanders.Seperti yang mereka katakan, kondisi Dian tidak serius, dirawat di rumah sakit hanya akan memperlambat pemulihannya.Lebih baik dia dirawat di rumah.Phillip tidak pernah menyinggung pekerjaan Dian. Sebaliknya, Dian langsung pergi ke Surat Kabar Sino untuk mengundurkan diri.Kondisinya saat ini tidak sesuai untuk menyelidiki kasus terkait, lagi pula Phillip langsung menyerahkan barang bukti ke kantor polisi, pihak kepolisian yang akan m
"Phillip, aku menyukaimu, aku mencintaimu."Phillip memeluk Dian dengan perasaan sakit yang tiada tara, "Ini salahku, seharusnya aku lebih cepat.""Aku nggak pernah menyalahkanmu. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum. Selama kamu bersedia membiarkanku tetap di sisimu, aku nggak meminta pengakuanmu.""Aku tahu keluargamu menyulitkanmu, aku bisa melihatnya ...."Para pengawal yang ikut menerobos masuk merasa canggung ketika melihat CEO mereka menangis.Namun, yang terpenting saat ini adalah membawa Dian ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik. Setelah lama terikat, aliran darahnya surut, menyebabkan mati rasa yang akan menjadi masalah serius jika tidak bisa pulih.Akhirnya, para pengawal mendorong bos mereka yang sangat pemberani untuk menasihati Phillip. Phillip menundukkan kepala, menyeka air matanya, dia menggendong Dian dengan mudah, tidak membiarkan orang lain turun tangan. Gerakannya sangat lembut, seolah-olah sedang menggendong tuan putri.Untungnya, hasil pemeriksaan menyatakan kon
Setelah itu, Lesti pergi tanpa menoleh, sama sekali tidak menunjukkan keraguan.Masa depan dirinya dan Fabian ada dalam kandungannya, tidak mungkin dia menyerahkan semua hartanya pada Ririn.Karena putrinya tidak menurut, maka dia akan mengandalkan putra dalam kandungannya.Bukankah Ririn senang menemui Juko? Kalau begitu, biarkan saja mereka hidup bersama.Lagi pula dia sudah menghabiskan banyak usaha untuk membesarkan putrinya itu.Ririn menghabiskan paruh pertama hidupnya bersama Lesti, paruh kedua hidupnya sudah seharusnya menjadi giliran Juko.Satu-satunya hal yang membuat Phillip bersyukur adalah Juko tidak mempermainkannya, tampaknya dia masih peduli pada putrinya.Phillip bersama para pengawalnya berhasil menemukan rumah bobrok itu.Pelaku cukup waspada, mereka memilih rumah bobrok di pinggiran desa.Setelah pintu didobrak, Phillip menemukan Dian terbaring sendirian di lantai, tanpa ada yang menghiraukannya.Penjahat yang berjaga menunggu instruksi Juko, tanpa perintah darinya,
Lesti meneteskan air mata, duduk bersila dan terdiam, tidak ingin membela diri.Ririn satu-satunya orang yang masih berusaha memberikan penjelasan, tapi apa pun yang dia katakan, Fabian tidak lagi memercayainya.Hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali dan setiap kali Fabian selalu memilih memercayai Lesti dan putrinya.Namun kini dia menyadari bahwa dia sepenuhnya salah.Dian dulunya sangat perhatian dan berperilaku baik, tetapi setelah Lesti dan Ririn memasuki hidup mereka, dia merasa putrinya mulai bermulut tajam dan selalu bertingkah di hadapannya.Sekarang dia baru menyadari, semua itu Dian lakukan untuk mendapatkan lebih banyak perhatian darinya atau setidaknya hanya ingin dia memperlakukan dirinya dan Ririn secara adil.Hanya saja dia tidak pernah menyadarinya. Sebaliknya, dia merasa Dian harus mengalah pada Ririn karena lebih tua."Karena kamu begitu menyukai ayah kandungmu, mulai sekarang kamu bisa hidup bersamanya.""Jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Sedangkan ibumu,
Ririn buru-buru bertanya, "Ibu tertipu?""Kenapa Ibu menghubungi Juko?""Sekarang mereka tahu keberadaan Dian, Ibu mengacaukan rencanaku, apa yang ada di kepala Ibu?"Namun Lesti tidak menggubris, dia menangis dan menampar Ririn, "Kamu membuat Ibu takut setengah mati. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ibu harus bagaimana? Susah payah Ibu membesarkanmu, apa Ibu harus melihatmu mati?""Ibu 'kan sudah bilang, jangan menemui Juko Sanders, kenapa kamu masih diam-diam menemuinya, bahkan menyuruhnya melakukan hal seperti ini, apa kamu sudah gila?""Ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan damai bersamamu, kenapa kamu nggak mau mendengarkan Ibu?"Ririn sangat kecewa pada ibunya. Sejak hamil, Lesti tidak pernah lagi memberi pelajaran pada Dian.Namun, Ririn tidak terima, Dian bagaikan duri yang menancap di matanya, duri itu harus disingkirkan agar dia merasa lega."Apa Ibu nggak tahu aku menyukai Phillip?""Aku yang duluan menyukai Phillip, tapi Dian merampasnya. Mana mungkin aku melepaskannya.
Ingin sekali Lesti menamparnya, untuk apa dia bicara seperti itu?Jika dulu pria itu tidak melakukan tindak kekerasan padanya, hubungan mereka tidak mungkin jadi seburuk ini.Sekarang beraninya dia mengatakan berbuat seperti ini demi putrinya, dia kira nyawa Dian bisa diambil semudah itu?Dian adalah Nona Besar Keluarga Sandiga, belum lagi dia sudah menikah dengan Phillip Sanders, sekarang dia adalah istri dari pemilik Perusahaan Sanders. Juko kira siapa dirinya? Beraninya dia menculik Dian!Napas Lesti tidak teratur, dia tersentak, "Kalau kamu nggak percaya, dengarkan saja teriakan putrimu.""Aku nggak bisa menyelamatkannya, nyawanya ada di tanganmu. Lagi pula aku sedang mengandung anak Fabian. Tanpa Ririn sekalipun, aku masih punya anak yang lain, tapi nggak denganmu!"Phillip sangat mengagumi Lesti. Di saat seperti ini, dia tidak lupa mengungkapkan kesetiaannya pada Fabian, secara tidak langsung memberi tahu Fabian bahwa dia selalu berpihak padanya, sungguh hebat.Di ujung telepon,
Phillip menaikkan alisnya sambil berkata, "Jangan khawatir, paling-paling hanya jari tangannya yang disentuh, nggak akan jadi masalah besar. Cedera otot dan tulang akan pulih dalam beberapa bulan. Kalian bisa merawatnya dengan baik di rumah, dijamin dia akan segera pulih."Lesti tidak tega mendengarnya, dia bergegas ke arah Phillip untuk memukulnya, tetapi sebelum berhasil mendekat, pengawal sudah menghentikannya.Fabian juga khawatir, dia segera memeluk Lesti erat-erat ke sisinya, "Kalau benar nggak ada hubungannya dengan Ririn, dia pasti akan keluar dengan selamat, tetapi kalau sebaliknya, kamu harusnya tahu ...."Suara Fabian tiba-tiba berubah dingin. Dia tidak pernah menyangka penculikan putri kandungnya ternyata berhubungan dengan putri tirinya ini.Namun, dia juga tidak terlalu bodoh dan langsung bertanya, "Bagaimana seorang gadis seperti Ririn bisa membawa Dian?""Bahkan kaca mobilnya pecah, pasti ada yang membantunya.""Mungkinkah ada hubungannya dengan ayah kandung Ririn?"Phi
"Benar aku menemui ayah kandungku, tapi hanya satu kali, aku nggak berniat kembali ke sisinya!""Kalau nggak, aku pasti sudah dari dulu meninggalkan Keluarga Sandiga, tapi aku peduli padamu, Ayah. Ayah sudah menjagaku selama bertahun-tahun, aku sudah menganggapmu sebagai ayah kandungku. Kenapa Ayah memperlakukan kami seperti ini?""Sekarang Phillip berbicara nggak bermoral dan melimpahkan semua kesalahan padaku. Ayah harus melihat kebenarannya!"Lesti mengangguk berulang kali, tapi di saat bersamaan, dia penasaran, kapan Ririn menemui Juko?Gadis itu tidak mengatakan apa pun padanya, tapi malah tertangkap oleh Phillip.Sepertinya kejadian yang menimpa Dian memang berhubungan dengannya. Lesti hanya ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya agar Phillip tidak berlama-lama di sana.Dia sama sekali tidak punya pemikiran seperti itu, apalagi untuk rujuk dengan Juko.Dia hanya ingin melahirkan putranya dengan selamat di Keluarga Sandiga. Kelak Keluarga Sandiga akan menjadi milik putranya, d
Phillip paling benci ditunjuk orang saat berbicara dengannya. Dia bangkit dari duduknya, seketika tubuhnya lebih tinggi dari Fabian."Kamu masih berani mengaku sebagai ayah kandungnya Dian, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih diam dan menyingkir.""Demi putri orang lain, kamu menuduhku mengancam Ririn. Dari ekspresi bersalahnya saja sudah cukup membuktikan kalau masalah ini berhubungan dengannya.""Sekalipun nggak percaya padaku, minimal gunakan otakmu. Pantas saja Perusahaan Sandiga semakin terpuruk, cepat atau lambat akan tamat di tanganmu."Phillip tidak lagi memberi muka. Saat mengucapkan kata-kata ini, dia mundur berulang kali, memegangi dadanya dan hampir kehabisan napas.Lesti melupakan tubuh lemahnya dan maju beberapa langkah, "Begini caramu berbicara dengan ayah mertuamu? Apa Ririn pernah menyinggungmu? Sebelumnya dia bahkan menyukaimu, Ririn masih kecil, kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?"Dia mengatakannya berulang kali, tetapi sikap Phillip sudah jelas dan para pen