Mereka tidak tahu fungsi peredam suara di kantor Wakil Direktur tidak sebaik yang mereka kira, suara mereka telah menyelinap ke dalam ruangan ....Ariel duduk di seberang meja kerja Marlon, pelipisnya terasa sakit.Marlon justru tersenyum penuh minat sambil menyindir, "Kenapa? Kenapa mukamu masam begitu? Daun mudanya nggak enak?"Ariel menjulingkan mata, lalu berkata, "Berhenti menyindir, kamu pikir aku suka daun muda?"Marlon menopang dagu sambil berkata, "Suka atau nggak, toh kamu sudah memakannya!"Ariel memegangi keningnya sembari berkata, "Satu kesalahan membuat semuanya nggak bisa diperbaiki! Apa kamu punya cara mencampakkannya?"Marlon mengerutkan kening sambil berkata, "Ada sih, tapi menurutku jangan buru-buru mencampakkannya. Zaman sekarang, pria polos seperti Justin sulit ditemukan, kamu nggak mau mencicipinya lagi dulu?""Cicipi kepalamu! Cepat bantu aku melepaskan diri dari bocah itu!" marah Ariel."Itu mudah saja! Hubungi saja kakaknya, Jason Yanuar, bilang Justin menggang
Adsila yang sedang menyedot minumannya hampir tersedak boba, "Huk ... huk .... Apa katamu? Pacarmu ... Bu Ariel?"Justin mengangguk sembari menjawab, "Hm, benar!"Adsila kaget setengah mati, di matanya, kedua orang itu berasal dari dunia yang berbeda, bagaimana mungkin mereka bersama?"Kalau begitu ... kamu calon istrinya bosku?" gumam Adsila.Justin tidak senang mendengarnya, dia memprotes, "Istri bos kepalamu! Adsila, otakmu bermasalah, ya? Aku mau dia jadi menantu Keluarga Yanuar, bukan sebaliknya! Istri bos apaan!"Adsila mengisap minumannya lagi, lalu berkata, "Apa bedanya? Tapi, kamu hebat juga bisa berkencan dengan Bu Ariel! Dia itu pecandu kerja yang terkenal, sama sekali nggak menghiraukan pria!"Mata Justin seketika berbinar, "Benarkah? Biasanya dia nggak pernah menghiraukan pria?"Adsila mengangguk, lalu menjelaskan, "Benar! Seringkali ada mitra kerja tampan mencoba mendekati Bu Ariel, mengiriminya bunga maupun tas, tapi Bu Ariel nggak pernah menghiraukannya, hadiahnya kalau
Adsila barusan masih berbincang dengan Justin, tiba-tiba beberapa orang datang dan menyeretnya pergi. Dia belum mencerna situasi yang terjadi, sedotan minuman masih menempel di mulutnya, matanya berulang kali berkedip."Enak sekali, minum teh susu?"Mendengar suara Marlon, Adsila segera tersadar, lalu meletakkan gelas teh susu miliknya.Marlon tersenyum sambil berkata, "Nggak ada yang melarangmu minum, apa yang kamu takutkan? Tapi, kenapa minum sendiri, punyaku mana?"Adsila bangkit menjelaskan, "Hm ... Pak Marlon, bukan aku yang memesannya, rekan dari divisi lain yang mentraktirku. Lagi pula ini teh susu murah, seharusnya nggak sesuai dengan selera lidah Pak Marlon, jadi mereka juga nggak berani memesannya untukmu."Dia menjelaskan dengan hati-hati, takut mencelakakan rekannya.Marlon tersenyum sembari mengangkat alisnya sambil berkata, "Benarkah? Bagaimana kalian tahu nggak sesuai seleraku? Sini, biar kucicipi!"Cicipi? Mereka nggak memesan untuknya, bagaimana dia mencicipinya? Adsil
Marlon menjawab, "Buat menjenguk bibimu, bukankah dia hamil? Kami berencana mengunjunginya sekalian membelikan suplemen."Adsila tidak mengerti, dia berkata, "Kalau mau menjenguk Bibi, kalian tinggal menjelaskan tujuan kedatangan kalian, Keluarga Dirgantara pasti mengizinkan kalian masuk, nggak perlu aku yang membawa kalian juga pasti boleh!"Marlon menggerakkan alisnya sambil berkata, "Lebih terjamin kalau kamu yang membawa kami, kalau sampai kami nggak diizinkan masuk 'kan ada kamu, jadi kedatangan kami nggak sia-sia. Ya, 'kan?"Adsila merasa ada yang aneh, tapi ucapan Marlon masuk akal juga, dia pun tidak mendesak lagi dan mengangguk sambil berkata, "Baiklah! Apa kita berangkat sepulang kerja?"Marlon menjawab, "Nggak usah, kalau kamu ada waktu, sekarang juga kita berangkat!""Buru-buru sekali?" tanya Adsila sambil berkedip, lalu melihat jam di ponselnya, "Hari ini aku nggak ada urusan! Baiklah, ayo kita berangkat sekarang," sambungnya.Adsila mengambil tasnya, memasukkan ponselnya
"Apa Pak Marlon orang yang senang bergosip? Kalaupun aku merasa dia baik, terus kenapa? Kamu mau membantu kami?" tanya Adsila.Marlon mengernyitkan bibir, berkata, "Bukannya nggak bisa, setelah urusan ini beres, aku akan mengaturnya."Adsila terdiam.Dia merasa jengkel karena tak menyangka Marlon akan menyetujuinya.Adsila menjawab dengan ketus, "Pak Marlon nggak perlu repot-repot, aku bisa menanganinya sendiri."Marlon mengerutkan kening sambil menyindir, "Jadi maksudnya, kamu mau berinisiatif mengejarnya lagi?"Adsila mengerutkan kening, berbalik menatap dan berkata dengan serius, "Pak Marlon, aku memang pernah mengejarmu dan memang nggak berhasil, tapi bukan berarti setiap pria perlu aku yang mengejarnya, aku nggak seburuk itu!"Marlon tersenyum sambil berkata, "Benar juga! Dengan kondisi Adsila, seharusnya kamu cukup laku!"Adsila tidak ingin menghiraukannya lagi, dulu dia mengira pria ini lembut dan humoris, selalu berbicara dengan tenang dan tersenyum, sekarang dia merasa pria in
Sudah terlambat ketika Ariel menyadarinya ....Panggilan video sudah tersambung, karena tidak senang, Justin tidak melihat ke arah kamera, dia mengangkat dagunya, berkata dengan arogan, "Kak Ariel, sudahlah, aku sudah memaafkanmu!""Hari ini aku juga bersalah, nggak seharusnya aku mengganggumu bekerja, kamu jadi marah dan melapor pada Kak Jason," sambungnya."Aku nggak akan begitu lagi, lain kali aku akan menemuimu setelah pulang kerja," tambahnya.Marlon mendecakkan lidah, kemudian berkata, "Bagus, Tuan Justin! Tahu Ariel paling nggak suka orang yang mengganggunya bekerja, kamu langsung merenungi kesalahan."Mendengar suara yang berbeda, Justin langsung menatap kamera, lalu berkata, "Kamu lagi, kenapa kamu mengambil ponselnya?"Sebelum Marlon menjawab, Ariel langsung merebut kembali ponselnya dan berkata, "Sudah dulu.""Kak Ariel ...."Suara Justin terpotong karena Ariel memutuskan panggilan dan mematikan ponsel.Kemudian, Ariel mendongak, menatap Marlon yang tangannya kegatalan sambi
Ah, pantas saja dia merasa peralatan yang dibawa para pembantu di belakang terlihat familier. Itu adalah peralatan yang digunakan ketika mengikuti prosedur pemeriksaan di bandara, hanya saja ...."Pak Dimas, kurasa itu nggak perlu? Mereka teman lama aku dan Bibi, bukan orang jahat!" kata Adsila.Pak Dimas bersikeras, "Nona Adsila, ini instruksi yang disampaikan Tuan sebelum berangkat, siapa pun yang datang mengunjungi Nyonya Pamela harus melalui pemeriksaan ini, kami hanya melaksanakan instruksinya."Adsila berkata tak berdaya, "Baiklah kalau begitu, aku sampaikan dulu pada kedua temanku, menanyakan ketersediaan mereka."Pak Dimas menjawab dengan penuh hormat, "Baik."Adsila merasa prosedur pemeriksaan terhadap tamu yang datang ke Kediaman Dirgantara agak keterlaluan, tidak tahu apakah Pak Marlon dan Bu Ariel bisa menerimanya.Dia menghampiri mereka, baru saja mau menjelaskan, Marlon duluan berkata, "Nggak apa-apa, kami bersedia mengikuti prosedur pemeriksaan."Adsila tercengang, lalu
Marlon membaca petunjuk dari mata Pamela, dia tersenyum, "Nona Pamela, maksudmu tanpa kepentingan, kami nggak boleh datang menjengukmu?" jawabnya.Ariel juga ikut menjawab, "Sudah lama nggak bertemu, bosan, ingin mengobrol denganmu."Mereka secara kompak tidak memanggil Pamela dengan sebutan Bos.Pamela juga setuju, "Hm, aku juga bosan, baguslah kalian datang, kita bisa main mahyong bersama untuk menghabiskan waktu."Marlon tersenyum sambil berkata, "Oke!"Adsila juga menjawab, "Oke, oke, Pak Marlon mengizinkanku cuti setengah hari, kebetulan aku ingin belajar bermain mahyong!"Saat ini, Frida keluar dari dapur bersama dua pembantu."Pamela, katanya temanmu datang, Nenek sengaja buatkan cemilan. Ayo, ajak temanmu mencicipinya," kata Frida.Pamela yang selama ini sangat menghormati Frida, kali ini tidak menghiraukan niat baiknya.Adsila bangkit, lalu berkata, "Nyonya Frida, Anda terlalu sungkan."Frida menatap senyuman manis Adsila, "Adsila, ya? Sudah lama kamu nggak datang, aku hampir