Share

Bab 3 Lapar

"Non, Non Indri … bangun, Non!"

Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan mendapati diriku yang tengah dikerumuni banyak orang.

"Aku dimana?" Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling.

"Non Indri sudah sadar? Ini saya, Non, Bi Ratmi. Non Indri kenapa bisa pingsan disini? Kenapa Non bawa-bawa koper? Non mau kemana?" tanya seseorang yang ternyata Bi Ratmi, artku sekaligus Ibu kandung Hana.

"Bi Ratmi," lirihku.

Aku bangkit lalu duduk sambil memegangi kepala dan perut. Rasanya aku lapar dan pusing sekali, karena aku belum sempat sarapan.

"Non kenapa?" tanya Bi Ratmi lagi.

Aku menoleh ke arah Bi Ratmi. Kemudian bergeser menjauh darinya.

Semua orang yang menatapku heran. Aku tidak mau berdekatan dengan Bi Ratmi. Mengingat Hana yang sangat jahat terhadapku. Dan aku yakin, Bi Ratmi juga pasti terlibat dengan masalah ini. Aku harus berjaga-jaga, aku tidak mau terpedaya oleh kebaikan Bi Ratmi. Aku takut mereka bersekongkol membuatku semakin hancur.

"Non Indri kenapa? Kenapa Non seperti ini?" tanya Bi Ratmi lagi.

Berkali-kali Bi Ratmi melontarkan pertanyaan kepadaku. Tapi aku belum sama sekali menjawab pertanyaannya.

"Aku harus pergi," ucapku seraya berdiri, walaupun tubuhku rasanya lemas.

Aku berjalan melewati kerumunan itu. Kemudian melangkah menjauh dari mereka.

"Non Indri," panggil Bi Ratmi.

Aku tidak menggubris panggilan Bi Ratmi. Aku fokus menatap lurus ke depan, tak ingin sampai Bi Ratmi mengejarku. Mereka semua jahat. Mas Andi, Hana, dan Bi Ratmi.

Aku mempercepat langkahku tanpa arah tujuan.

"Ya Tuhan, aku harus pergi kemana?" batinku merasa sedih.

"Non, tunggu!" 

Tiba-tiba tanganku dicekal dan membuat langkahku berhenti.

"Lepaskan, Bi. Aku mau pergi! Sana Bibi nikmati saja harta Ayahku. Sana Bibi puas-puasin bersenang-senang diatas penderitaan ku. Hiks!" bentakku kemudian tangisku pecah.

"Apa maksud Non Indri? Bibi tidak mengerti apa yang diucapkan, Non. Menikmati harta Pak Yudha, bersenang-senang diatas penderitaan Non? Apa-apaan ini, Non? Saya tidak mengerti dan saya tidak akan melakukan itu. Apa alasan saya harus melakukan itu semua? Kenapa Non Indri bisa bicara seperti itu kepada saya?" sanggah Bi Ratmi membela diri.

Aku mengangkat wajahku yang semula menunduk.

"Bibi nggak usah berakting di depanku. Bibi pasti sama saja dengan Hana dan Mas Andi!" bentakku.

Bi Ratmi mengernyitkan dahi, dia menatapku seperti keheranan.

"Sebaiknya kita duduk dulu, Bibi minta penjelasan, apa yang kamu maksud," ajak Bi Ratmi.

Bi Ratmi menarik tanganku menuju tempat duduk di warung kosong yang berada di pinggir jalan.

Setelah kami berdua duduk, Bi Ratmi lanjut menanyaiku.

"Ayok, Non. Jelaskan apa masalahnya? Kenapa Non bisa bicara seperti itu?" tanya Bi Ratmi.

Aku menyoroti manik Bi Ratmi. Aku memastikan apakah dia sedang berakting atau dia memang tidak tahu masalahku dengan putrinya.

"Ayok, Non, bilang sama Bibi. Siapa tahu Bibi bisa bantu masalah Non," pinta Bi Ratmi.

Aku menyeka mataku, dan kemudian menarik nafas panjang.

"Aku diusir dari rumahku sendiri, Bi!" ungkapku.

"Apa?" Tangan Bi Ratmi spontan menutupi mulutnya. Aku menatapnya, dan bisa melihat, Bi Ratmi seperti terkejut mendengar penuturanku.

"Kenapa, Bi? Kenapa Bibi terkejut?" tanyaku.

"Serius Bibi tidak tahu, Bibi dari tadi pagi pergi ke pasar. Karena persediaan bahan makanan di rumah sudah habis. Makanya dari pagi sekali, Bibi pergi ke pasar. Tolong jelasin, ada apa dengan Hana? Terus, kenapa dengan Mas Andi?" tanya Bi Ratmi bersikeras meminta penjelasan ku.

"Oke, Bi, saya akan jelaskan semuanya!" Aku pun menjelaskan semua kronologis tentang masalahku. Dari mulai aku dibangunkan Mas Andi jam 03.00 pagi untuk diminta tanda tangan, sampai tragedi pengusiranku tadi.

"Ya Tuhan … kenapa Hana tega sekali sama Non. Bibi tidak menyangk, anak Bibi sendiri bisa ngelakuin ini semua terhadap Non Indri. Padahal, Non Indri sama Pak Yudha begitu baik kepadanya. Sampai-sampai Pak Yudha rela menampung dan menyekolahkan Hana sampai lulus. Ya Tuhan, Hana … kenapa kamu bisa berubah seperti itu, Nak," ucap Bi Ratmi sembari terisak.

Aku bisa melihat dari ekspresi dan sorot matanya. Bi Ratmi sangat sedih, dan sangat menyayangkan perbuatan anaknya seperti itu.

Aku merangkul Bi Ratmi, berusaha saling menguatkan.

"Maafin Indri, sempat tidak percaya kepada Bibi," lirihku menahan pilu.

Bi Ratmi membalas rangkulanku.

"Bibi yang mestinya minta maaf. Bibi sudah gagal mendidik Hana, sampai dia tega melukai perasaan orang yang pernah menolongnya. Bibi malu, Non!" sahut Bi Ratmi.

"Sudah … ini bukan salah Bibi. Ini semua salah Hana dan Mas Andi. Maaf jika saya bicara seperti itu. Tapi saya sakit hati," ujarku.

"Tidak apa-apa, Non. Bibi mengerti perasaan Non Indri. Bibi mau bicara sama Hana. Bibi mau minta penjelasan kenapa dia bisa bersikap rendahan seperti itu. Pokoknya Bibi harus bisa menyadarkan dia. Bahwa yang dia lakukan adalah kesalahan besar," imbuh Bi Ratmi.

Bi Ratmi berdiri dan mengambil keranjang belanjaannya yang berisi sayur mayur dan bahan makanan lainnya.

"Tunggu, Bi, duduk dulu. Tenangin dulu pikiran Bibi. Menghadapi mereka harus dengan kepala dingin," cegahku.

"Iya, Non Indri benar. Bibi harus tetap tenang. Oh iya, Non Indri ikut sama Bibi, kembali ke rumah Non. Bibi akan meminta Hana untuk mengembalikan semua harta Non Indri. Mungkin jika Hana luluh, Mas Andi juga akan senantiasa mengembalikannya," pungkas Bi Ratmi.

Aku pun mengangguk setuju. Mungkin dengan Bi Ratmi memohon kepada Hana, Hana akan luluh dan bersedia mengembalikkan semua hakku.

Krucuk krucuk krucuk

Aku memegangi perutku karena merasa lapar.

"Non Indri lapar?" tanya Bi Ratmi.

"Iya, Bi, aku belum sempat sarapan," jawabku.

"Kasihan sekali, Non Indri. Pantas saja wajahnya pucat," ucap Bi Ratmi seraya mengusap lembut punggungku.

"Iya, Bi, aku mau makan tapi aku nggak punya uang. Semua uangku ada di kamar. Ponsel juga ketinggalan di atas nakas. Itu juga kalau belum diambil sama Mas Andi dan Hana," sahutku.

Bi Ratmi menatapku iba, kemudian Bi Ratmi menuntunku menuju pedagang nasi uduk yang kebetulan masih buka.

"Kita makan dulu disini, ya! Nggak apa-apa kan?" Imbuh Bi Ratmi.

"Tidak apa-apa, Bi. Terima kasih, aku sudah sangat lapar," ucapku.

Kemudian Bi Ratmi memesan dua porsi nasi uduk. Lalu aku makan dengan begitu lahapnya.

"Ayok, Non, kita pulang sekarang. Bismillah … semoga Hana mau mendengarkan ucapan Bibi," ajak Bi Ratmi, setelah kami berdua selesai makan.

Aku mengangguk, kemudian Bi Ratmi menyetop mobil angkot dan kami langsung menaikinya.

"Sayang sekali, kalau semua perkebunan, sawah yang luas, rumah dan kendaraan milik Non Indri harus jatuh ke tangan Andi. Di kampung ini, Pak Yudha terkenal sangat terpandang dan begitu disegani. Beliau orang baik, orang dermawan. Bibi nggak rela kalau semuanya jatuh kepada orang yang salah. Sekalipun itu anak kandung Bibi sendiri. Bibi juga sangat menyesalkan perbuatan Hana," imbuh Bi Ratmi saat kami berdua sudah berada di dalam angkot.

Di dalam angkot hanya ada kami bertiga. Aku, Bi Ratmi dan sopir angkot.

"Iya, Bi, aku juga sangat sedih. Ini semua salah aku, yang dengan mudahnya percaya dengan tipu muslihat Mas Andi yang licik itu. Semoga saja mereka mendapat balasan atas perbuatan mereka," sahutku.

Tak berselang lama, angkot yang kami tumpangi sudah berada di depan gang rumahku. Kami berdua turun dan berjalan kaki menuju rumahku, yang hanya berjarak seratus meter.

Kami berdua sudah sampai di depan rumahku. Bi Ratmi berjalan duluan masuk ke dalam rumah. Sementara aku mengikutinya dari belakang.

"Hana … Hana!" teriak Bi Ratmi memanggil Hana.

"Hana!" teriak Bi Ratmi lagi yang ketiga kalinya.

"Ada apa sih, Bu? Teriak-teriak begitu kayak ada kebakaran saja. Eh … ada tamu juga ternyata. Nggak malu, ya? Sudah diusir masih berani menginjakkan kaki di rumah saya," imbuh Hana yang baru saja turun dari lantai atas.

"Hana, Ibu mau bicara sama kamu. Apa maksud kamu dan Andi mengusir Non Indri? Kenapa kalian berdua lancang merebut semua harta Non Indri? Ibu mohon, sudahi ini semua sebelum kamu menyesal di kemudian hari," tanya Bi Ratmi.

"Sudahlah, Bu, Ibu nggak usah pikirkan soal ini. Mulai sekarang, Ibu adalah Nyonya besar di rumah ini. Gimana, Ibu senang kan?" sahut Hana.

Plak!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status