"Non, Non Indri … bangun, Non!"
Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan mendapati diriku yang tengah dikerumuni banyak orang. "Aku dimana?" Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling. "Non Indri sudah sadar? Ini saya, Non, Bi Ratmi. Non Indri kenapa bisa pingsan disini? Kenapa Non bawa-bawa koper? Non mau kemana?" tanya seseorang yang ternyata Bi Ratmi, artku sekaligus Ibu kandung Hana. "Bi Ratmi," lirihku. Aku bangkit lalu duduk sambil memegangi kepala dan perut. Rasanya aku lapar dan pusing sekali, karena aku belum sempat sarapan. "Non kenapa?" tanya Bi Ratmi lagi. Aku menoleh ke arah Bi Ratmi. Kemudian bergeser menjauh darinya. Semua orang yang menatapku heran. Aku tidak mau berdekatan dengan Bi Ratmi. Mengingat Hana yang sangat jahat terhadapku. Dan aku yakin, Bi Ratmi juga pasti terlibat dengan masalah ini. Aku harus berjaga-jaga, aku tidak mau terpedaya oleh kebaikan Bi Ratmi. Aku takut mereka bersekongkol membuatku semakin hancur. "Non Indri kenapa? Kenapa Non seperti ini?" tanya Bi Ratmi lagi. Berkali-kali Bi Ratmi melontarkan pertanyaan kepadaku. Tapi aku belum sama sekali menjawab pertanyaannya. "Aku harus pergi," ucapku seraya berdiri, walaupun tubuhku rasanya lemas. Aku berjalan melewati kerumunan itu. Kemudian melangkah menjauh dari mereka. "Non Indri," panggil Bi Ratmi. Aku tidak menggubris panggilan Bi Ratmi. Aku fokus menatap lurus ke depan, tak ingin sampai Bi Ratmi mengejarku. Mereka semua jahat. Mas Andi, Hana, dan Bi Ratmi. Aku mempercepat langkahku tanpa arah tujuan. "Ya Tuhan, aku harus pergi kemana?" batinku merasa sedih. "Non, tunggu!" Tiba-tiba tanganku dicekal dan membuat langkahku berhenti. "Lepaskan, Bi. Aku mau pergi! Sana Bibi nikmati saja harta Ayahku. Sana Bibi puas-puasin bersenang-senang diatas penderitaan ku. Hiks!" bentakku kemudian tangisku pecah. "Apa maksud Non Indri? Bibi tidak mengerti apa yang diucapkan, Non. Menikmati harta Pak Yudha, bersenang-senang diatas penderitaan Non? Apa-apaan ini, Non? Saya tidak mengerti dan saya tidak akan melakukan itu. Apa alasan saya harus melakukan itu semua? Kenapa Non Indri bisa bicara seperti itu kepada saya?" sanggah Bi Ratmi membela diri. Aku mengangkat wajahku yang semula menunduk. "Bibi nggak usah berakting di depanku. Bibi pasti sama saja dengan Hana dan Mas Andi!" bentakku. Bi Ratmi mengernyitkan dahi, dia menatapku seperti keheranan. "Sebaiknya kita duduk dulu, Bibi minta penjelasan, apa yang kamu maksud," ajak Bi Ratmi. Bi Ratmi menarik tanganku menuju tempat duduk di warung kosong yang berada di pinggir jalan. Setelah kami berdua duduk, Bi Ratmi lanjut menanyaiku. "Ayok, Non. Jelaskan apa masalahnya? Kenapa Non bisa bicara seperti itu?" tanya Bi Ratmi. Aku menyoroti manik Bi Ratmi. Aku memastikan apakah dia sedang berakting atau dia memang tidak tahu masalahku dengan putrinya. "Ayok, Non, bilang sama Bibi. Siapa tahu Bibi bisa bantu masalah Non," pinta Bi Ratmi. Aku menyeka mataku, dan kemudian menarik nafas panjang. "Aku diusir dari rumahku sendiri, Bi!" ungkapku. "Apa?" Tangan Bi Ratmi spontan menutupi mulutnya. Aku menatapnya, dan bisa melihat, Bi Ratmi seperti terkejut mendengar penuturanku. "Kenapa, Bi? Kenapa Bibi terkejut?" tanyaku. "Serius Bibi tidak tahu, Bibi dari tadi pagi pergi ke pasar. Karena persediaan bahan makanan di rumah sudah habis. Makanya dari pagi sekali, Bibi pergi ke pasar. Tolong jelasin, ada apa dengan Hana? Terus, kenapa dengan Mas Andi?" tanya Bi Ratmi bersikeras meminta penjelasan ku. "Oke, Bi, saya akan jelaskan semuanya!" Aku pun menjelaskan semua kronologis tentang masalahku. Dari mulai aku dibangunkan Mas Andi jam 03.00 pagi untuk diminta tanda tangan, sampai tragedi pengusiranku tadi. "Ya Tuhan … kenapa Hana tega sekali sama Non. Bibi tidak menyangk, anak Bibi sendiri bisa ngelakuin ini semua terhadap Non Indri. Padahal, Non Indri sama Pak Yudha begitu baik kepadanya. Sampai-sampai Pak Yudha rela menampung dan menyekolahkan Hana sampai lulus. Ya Tuhan, Hana … kenapa kamu bisa berubah seperti itu, Nak," ucap Bi Ratmi sembari terisak. Aku bisa melihat dari ekspresi dan sorot matanya. Bi Ratmi sangat sedih, dan sangat menyayangkan perbuatan anaknya seperti itu. Aku merangkul Bi Ratmi, berusaha saling menguatkan. "Maafin Indri, sempat tidak percaya kepada Bibi," lirihku menahan pilu. Bi Ratmi membalas rangkulanku. "Bibi yang mestinya minta maaf. Bibi sudah gagal mendidik Hana, sampai dia tega melukai perasaan orang yang pernah menolongnya. Bibi malu, Non!" sahut Bi Ratmi. "Sudah … ini bukan salah Bibi. Ini semua salah Hana dan Mas Andi. Maaf jika saya bicara seperti itu. Tapi saya sakit hati," ujarku. "Tidak apa-apa, Non. Bibi mengerti perasaan Non Indri. Bibi mau bicara sama Hana. Bibi mau minta penjelasan kenapa dia bisa bersikap rendahan seperti itu. Pokoknya Bibi harus bisa menyadarkan dia. Bahwa yang dia lakukan adalah kesalahan besar," imbuh Bi Ratmi. Bi Ratmi berdiri dan mengambil keranjang belanjaannya yang berisi sayur mayur dan bahan makanan lainnya. "Tunggu, Bi, duduk dulu. Tenangin dulu pikiran Bibi. Menghadapi mereka harus dengan kepala dingin," cegahku. "Iya, Non Indri benar. Bibi harus tetap tenang. Oh iya, Non Indri ikut sama Bibi, kembali ke rumah Non. Bibi akan meminta Hana untuk mengembalikan semua harta Non Indri. Mungkin jika Hana luluh, Mas Andi juga akan senantiasa mengembalikannya," pungkas Bi Ratmi. Aku pun mengangguk setuju. Mungkin dengan Bi Ratmi memohon kepada Hana, Hana akan luluh dan bersedia mengembalikkan semua hakku. Krucuk krucuk krucuk Aku memegangi perutku karena merasa lapar. "Non Indri lapar?" tanya Bi Ratmi. "Iya, Bi, aku belum sempat sarapan," jawabku. "Kasihan sekali, Non Indri. Pantas saja wajahnya pucat," ucap Bi Ratmi seraya mengusap lembut punggungku. "Iya, Bi, aku mau makan tapi aku nggak punya uang. Semua uangku ada di kamar. Ponsel juga ketinggalan di atas nakas. Itu juga kalau belum diambil sama Mas Andi dan Hana," sahutku. Bi Ratmi menatapku iba, kemudian Bi Ratmi menuntunku menuju pedagang nasi uduk yang kebetulan masih buka. "Kita makan dulu disini, ya! Nggak apa-apa kan?" Imbuh Bi Ratmi. "Tidak apa-apa, Bi. Terima kasih, aku sudah sangat lapar," ucapku. Kemudian Bi Ratmi memesan dua porsi nasi uduk. Lalu aku makan dengan begitu lahapnya. "Ayok, Non, kita pulang sekarang. Bismillah … semoga Hana mau mendengarkan ucapan Bibi," ajak Bi Ratmi, setelah kami berdua selesai makan. Aku mengangguk, kemudian Bi Ratmi menyetop mobil angkot dan kami langsung menaikinya. "Sayang sekali, kalau semua perkebunan, sawah yang luas, rumah dan kendaraan milik Non Indri harus jatuh ke tangan Andi. Di kampung ini, Pak Yudha terkenal sangat terpandang dan begitu disegani. Beliau orang baik, orang dermawan. Bibi nggak rela kalau semuanya jatuh kepada orang yang salah. Sekalipun itu anak kandung Bibi sendiri. Bibi juga sangat menyesalkan perbuatan Hana," imbuh Bi Ratmi saat kami berdua sudah berada di dalam angkot. Di dalam angkot hanya ada kami bertiga. Aku, Bi Ratmi dan sopir angkot. "Iya, Bi, aku juga sangat sedih. Ini semua salah aku, yang dengan mudahnya percaya dengan tipu muslihat Mas Andi yang licik itu. Semoga saja mereka mendapat balasan atas perbuatan mereka," sahutku. Tak berselang lama, angkot yang kami tumpangi sudah berada di depan gang rumahku. Kami berdua turun dan berjalan kaki menuju rumahku, yang hanya berjarak seratus meter. Kami berdua sudah sampai di depan rumahku. Bi Ratmi berjalan duluan masuk ke dalam rumah. Sementara aku mengikutinya dari belakang. "Hana … Hana!" teriak Bi Ratmi memanggil Hana. "Hana!" teriak Bi Ratmi lagi yang ketiga kalinya. "Ada apa sih, Bu? Teriak-teriak begitu kayak ada kebakaran saja. Eh … ada tamu juga ternyata. Nggak malu, ya? Sudah diusir masih berani menginjakkan kaki di rumah saya," imbuh Hana yang baru saja turun dari lantai atas. "Hana, Ibu mau bicara sama kamu. Apa maksud kamu dan Andi mengusir Non Indri? Kenapa kalian berdua lancang merebut semua harta Non Indri? Ibu mohon, sudahi ini semua sebelum kamu menyesal di kemudian hari," tanya Bi Ratmi. "Sudahlah, Bu, Ibu nggak usah pikirkan soal ini. Mulai sekarang, Ibu adalah Nyonya besar di rumah ini. Gimana, Ibu senang kan?" sahut Hana. Plak!!!"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya."Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu.Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik."Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana."Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tol
Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah.Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi.'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku.Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi."Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu."Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku.Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek"Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang
POV Andi"Tenang, Bu, aku baik-baik saja disini. Aku pastikan, aku akan segera pulang membawa kebahagiaan buat Ibu dan Bapak. Kalian jaga kesehatan, jangan pikirin aku yang tidak-tidak. Pokoknya jangan khawatir, aku bisa jaga diri baik-baik. Aku ini cerdas, Bu, Pak. Kalian juga tahu itu! Tidak seperti anak culun itu, yang sama sekali nggak ada gunanya. Cuma nasib saja yang belum membuatku mujur. Tapi sekarang, kalian berdua pasti akan terkejut. Tapi aku tidak bisa memberitahunya sekarang. Ini bakalan menjadi kejutan besar buat kalian berdua. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mau istirahat dulu." Aku memutuskan sambungan telepon setelah melakukan panggilan telepon dengan kedua orang tuaku di kampung.Sebentar lagi aku akan memberikan kejutan besar untuk kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka pasti akan bangga dan bahagia melihat anaknya bisa sesukses ini. Aku akan memboyong kedua orang tuaku untuk tinggal di rumah baruku ini.Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa."Indri … Indri. Haih … senang se
POV Andi"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Hana.Aku mendekati Hana dan memperhatikan sebelah kakinya."Berdarah, kenapa kamu nggak bilang kalau kaki kamu berdarah? Pasti rasanya sakit kan?" tanyaku."Nggak apa-apa, Mas, ini cuma luka kecil. Dipasang plester sudah cukup, nanti juga sembuh," jawab Hana."Ayo ikut aku," ajakku.Aku menarik tangan Hana, dan menyuruhnya naik ke atas motorku. Tak ada penolakan sama sekali dari Hana. Dia hanya berjalan menurutiku."Kita mau kemana, Mas?" tanya Hana, saat dirinya sudah berada di atas motorku. Posisi kami saat ini sedang berboncengan."Ke suatu tempat," jawabku simpel.Aku melakukan motorku ke jalan raya. Hana hanya diam menatap jalanan tanpa banyak bicara.Beberapa menit kemudian, aku menghentikan motorku di depan sebuah apotek."Kita mau ngapain kesini, Mas?" tanya Hana."Aku mau beli obat, kasihan kamu. Kalau dibiarkan, takutnya infeksi," jawabku.Aku dan Hana turun dari motor. Aku menyuruh Hana menunggu di dekat motorku.Setelah obat didapat
POV Indri "Bi, rencana Bibi sekarang apa? Apakah Bibi mau mencari kerja lagi?" tanyaku saat kami berdua duduk di belakang rumah."Bibi belum tahu, sepertinya iya, Bibi akan mencari pekerjaan lagi, demi kelangsungan hidup," jawab Bi Ratmi.Aku langsung merangkul Bi Ratmi dari samping."Sebenarnya aku ada rencana, semoga Bibi suka dan tidak keberatan," ujarku."Rencana apa? Dan keberatan kenapa?" tanya Bi Ratmi."Aku punya rencana, bagaimana kalau kita buka usaha kecil-kecilan? Aku ingin memanfaatkan uangku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin aku dan Bibi bisa mengelola uang yang aku bawa dari rumah. Kita jualan jajanan makanan anak-anak. Gimana, Bi, ide aku?" imbuhku."Menurut Bibi sih itu pemikiran yang bagus. Boleh, kamu buka warung disini. Bibi sangat mendukung niatan kamu," sahut Bi Ratmi."Tapi aku mau Bibi temani aku jualan. Sekalian ajari aku membuat makanan enak seperti yang suka Bibi masakin makanan buat aku," pintaku penuh harap."Em … mau nggak ya?" imbuh Bi Ratmi."Mau dong …
POV Indri "Siapa? Siapa itu?"Aku mengedarkan pandangan, mencari siapa yang baru saja memanggil namaku."Aku … aku ada dimana?" Aku melihat sekeliling. Tempat yang kupijak begitu asing, aku tidak tahu aku sedang dimana. Aku seperti berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Langit berwarnakan jingga, menandakan waktu sudah sangat sore dan akan beranjak malam."Indri!"Sekali lagi aku mendengar seseorang tengah memanggil namaku.Aku berjalan menyusuri tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar."Indri, kesini, Nak!"Lagi-lagi suara itu menggema di telingaku. Tapi setelah didengar secara seksama. Aku baru sadar, bahwa itu adalah suara ayahku."Ayah! Ayahkah itu?" tanyaku.Air mataku berlinang, aku akan bertemu dengan ayah. Benarkah itu?Aku terus berjalan mencari keberadaan ayahku.Lama aku berjalan, sampai langkahku terhenti di sebuah bangunan seperti sebuah rumah. Terlihat bagus tapi terlihat suram dan sepi."Di tengah hutan ada rumah?" batinku berbicara.Aku berjalan mendekati rumah itu. P
POV HanaCetrek brus!Kobaran api melahap semua benda yang ada di dalam tong kecil, tempat membakar sampah."Habis kau Indri, sekalian mati saja kau!" gumamku.Aku membakar semua benda-benda kesayangan Indri. Seperti foto-foto dirinya, dan foto kebersamaannya dengan Pak Yudha.Aku puas melakukan semua ini. Entah kenapa, ada rasa bangga pada diriku sendiri, setelah mendapatkan segalanya yang aku mau. Mas Andi, dan harta kekayaan Indri. Aku bangga akan pencapaian terbesarku ini. Tapi sayang, ibuku tidak mendukung keberhasilanku ini. Ibu memilih pergi meninggalkanku. Aku sangat menyesalkan keputusan ibu."Sayang, lagi apa?" Aku menoleh dan mendapati Mas Andi sedang berdiri di belakangku."Aku habis membakar semua kenangan mantan istri kamu," jawabku santai.Mas Andi mendekatiku dan memelukku dari belakang."Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Andai aku tidak pernah bertemu kamu, mungkin sekarang aku masih menjadi karyawan biasa di pabrik itu. Atau lebih parahnya lagi, mungkin aku sa
POV IndriSebulan sudah aku menempati rumah bi Ratmi. Aku mulai merasa nyaman, perlahan aku bisa bangkit lagi.Hampir sebulan juga aku dan bi Ratmi berjualan jajanan makanan anak-anak. Alhamdulillah … anak-anak di kampung sini suka sama makanan buatanku. Tepatnya buatan Bi Ratmi. Aku hanya membantu mengiris dan menyiapkan wadahnya saja. Bahkan orang dewasa pun tak jarang mampir kesini, sekedar untuk membeli cemilan."Alhamdulillah ya, Bi. Uang kita sudah terkumpul lumayan banyak. Kalau begini terus, bisa-bisa kita punya warung beneran, Bi. Aku senang sekali, bisa usaha seperti ini bersama Bibi," ujarku, sambil menghitung sejumlah uang hasil berjualan kami."Iya, Bibi juga senang. Dengan begitu, Bibi tidak perlu jadi art lagi. Ini semua karena kamu yang sudah memberi semangat Bibi. Bahwa menjadi pengusaha sekecil apapun, lebih enak daripada kerja di tempat orang," sahut Bi Ratmi."Oh iya, tadi Bibi berpapasan sama lelaki warga kampung sini, namanya Yusuf. Dia titip salam buat kamu. Dia
(Double POV)POV AndiDua Minggu kemudian, hari yang sangat aku tunggu-tunggu yang rasanya lama sekali menuju hari ini.Dari pagi aku sudah mempersiapkan diri untuk acara pernikahan aku dengan Indri.Rencana pernikahan yang diadakan secara sederhana, tanpa mengundang siapa pun. Bahkan ibu dan bapak pun tak tahu jika aku akan menikah lagi dengan Indri. Karena jika mereka tahu, bisa kacau semuanya. Bisa saja mereka akan memberitahu Hana dan Hana akan membuat pernikahanku dengan Indri hancur."Mas, kamu wangi sekali. Mau kemana?" tanya Hana sambil memomong anaknya."Mau kerja, nggak usah interogasi aku. Aku mau kerja, jelas?" pungkasku."Aku cuma nanya saja, Mas. Kamu jawabnya terlalu ketus. Kamu kenapa, Mas? Sikap kamu benar-benar berubah seperti itu? Apa ini gara-gara perempuan itu? Kamu jadi seperti ini sama aku?" tanya Hana.Aku berbalik badan dan menghadap ke arah Hana."Nggak usah sangkut pautkan itu dengan Indri. Kamu pikir sendiri, kenapa aku bisa seberubah ini sama kamu!" Aku me
POV IndriAku berada di dalam mobil Andi. Andi ingin mengantarkanku pulang, karena dia sudah mengetahui rumahku. Namun aku mengiyakan saja, padahal dalam hati aku tertawa, dia tidak tahu saja kalau aku sudah pindah ke kontrakan yang jauh dari rumahku."Kenapa kamu senyum-senyum? Bahagia banget kayaknya?" tanya Andi."Nggak apa-apa, aku cuma senang karena sebentar lagi kita akan menikah," jawabku.Rencanaku beberapa langkah lagi akan berhasil, semoga saja.Aku akan mendiskusikan lagi rencanaku dengan Leo alias Adit, setelah Andi pulang nanti.Awalnya aku takut rencanaku gagal setelah aku bertemu dengan kedua orang tua angkat Leo. Pasalnya beberapa bulan lalu ibu angkat Leo pernah memergoki aku yang sedang menyelinap di rumahku yang dulu. Tapi syukurlah, sepertinya dia tidak mengenali aku. Karena waktu itu aku tidak menampakkan wajahku karena memakai masker.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.Mobil yang dikemudikan Andi sudah berada di depan rumahku. Aku buru-buru keluar dan hen
POV AndiAku tak menyangka anakku lahir seperti itu. Aku kembalikan anak itu ke gendongan Hana."Kenapa, Mas?" tanya Hana. Sepertinya Hana bisa membaca pikiranku."Tidak, tidak mungkin. Ini bukan anakku, tidak!" sanggahku."Mas, ini anak kita, darah daging kamu." Hana berusaha membujukku supaya aku mau mengakui anak itu."Tidak, anakku tidak mungkin seperti itu. Tidak!"Aku mundur beberapa langkah hingga ujung pintu.Blag!Aku keluar dan menutup pintu dengan cukup keras."Andi, kenapa kamu? Apakah bayinya baik-baik saja?" tanya Ibu dan Bapak, yang belum tahu keadaan anak itu.Aku tidak menjawab, aku melewati mereka dan pergi secepat mungkin dari rumah sakit."Ya Tuhan, bagaimana kalau orang-orang tahu, kalau aku mempunyai anak seperti itu. Tidak, ini tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak boleh tahu," batinku.Aku memutuskan untuk menemui Indri di rumahnya saja. Aku memacu mobilku menuju kediaman Indri.Sampai disana, aku langsung mengetuk pintunya.Tok! Tok! Tok!Aku menunggu Indri memb
POV AndiProk! Prok! Prok!"Bagus, Mas, bagus sekali. Ternyata kecurigaanku benar dan semuanya terbukti," imbuh Hana.Hana yang ditemani oleh Fina, berdiri dengan menatapku nyalang."Ha-Hana, sejak kapan kamu disini?" tanyaku tergugup."Sejak kamu memberikan cincin itu kepada wanita sial*n itu. Maaf Mas, aku bukan orang bodoh yang dengan seenaknya kamu bohongi. Kamu teledor, Mas, aku sempat melihat cincin itu yang bertuliskan nama perempuan itu. Hebat kamu, Mas, sungguh kamu pemain yang hebat. Omongan kamu selama ini hanya omongan kosong. Mengaku membenci Indri, tapi pada kenyataannya kamu melamarnya hari ini.Oke, nikmatilah kebahagiaan kamu yang sementara ini, Mas. Karena ini bisa menjadi bom waktu buat kamu. Cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar." Hana mengeluarkan semua unek-uneknya yang justru membuatku ketar-ketir.Hana mendekati Indri, dan berdiri menatapnya dengan tatapan sinis. Aku khawatir jika Hana akan melakukan sesuatu kepada Indri.Plak!Aku terperanjat saat Hana m
POV AndiAku berdiri sambil mengetuk pintu rumah yang ditempati Indri. Lumayan lama aku berdiri disitu, tapi tidak ada tanda-tanda Indri membukakan pintu untukku."Kemana Indri? Apakah dia marah karena aku mengetahui alamat rumahnya? Tapi apa masalahnya? Kenapa juga Indri marah padaku jika aku mengetahui rumahnya? Bukankah aku dan dia akan segera menikah?" batinku.Aku mencoba menghubunginya untuk memastikan apakah dia ada di dalam rumah ini atau tidak.Setelah tersambung dan Indri mengangkat telepon dariku, akhirnya perasaanku merasa lega, tatkala Indri memberitahuku dia sedang berada di luar kota, di tempat kerabat jauhnya. Dia juga berpesan kepadaku, agar aku menjaga hatiku untuknya, selama dia jauh dariku. Entahlah, hanya mendengar kata-kata itu saja membuat hatiku berbunga-bunga.Aku pun pulang ke rumah, karena percuma saja aku tetap disini, karena Indri tidak ada.Aku menaiki mobilku, dan keluar dari gang rumah Indri. Sebelum aku pulang, aku mampir ke toko mas, untuk mengambil c
POV Pak Samsudin "Iya betul, Adit adalah anak saya. Dia anak bungsu kami," jawab pak Edi.Mendengar jawabannya, sama sekali tak membuatku puas."Tolong jawab yang jujur, Pak Edi. Saya mohon, sekali lagi saya tanya sama Bapak, apakah benar Adit adalah anak Bapak?" Aku mengulang pertanyaan."Saya serius, Pak. Ini Adit anak saya! Ini sebenarnya ada apa, Pak Sam? Kenapa Bapak bisa bertanya demikian kepada saya?" tanya Pak Edi.Aku kemudian mengambil dompetku dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya."Coba Bapak lihat ini," tunjukku. Aku memperlihatkan sebuah foto berukuran kecil yang selalu aku bawa kepada pak Edi dan istrinya. Foto anakku yang masih sangat kecil sebelum tragedi hilangnya anakku terjadi."Adit," lirih pak Edi.Aku menatap pak Edi dengan intens. Melihat ekspresinya aku yakin, dia memang terkejut setelah melihat foto itu."Bapak dapat dari mana foto anak saya?" tanya pak Edi.Dari pertanyaannya saja sudah membuatku yakin jika Adit adalah anakku yang hilang."Satu lagi!" Aku
POV IndriAku buru-buru menghampiri Adit, dan bertanya ada apa."Adit, ada apa ini? Kok Bapak ini marahin kamu?" tanyaku.Aku menoleh ke arah pria paruh baya itu."Ajarin pacar kamu, untuk lebih sopan terhadap orang yang lebih tua. Gara-gara dia, tangan saya tersiram kuah sup panas. Ponsel saya juga terjatuh, untung saja tidak sampai pecah. Bukan hanya itu, pacar kamu juga pernah menyerempet mobil saya hingga lecet," ujar pria paruh baya itu dengan menatap bengis."Tapi ini bukan salah saya, Pak! Bapak sendiri yang jalannya tidak hati-hati. Berjalan menunduk sambil main ponsel. Kenapa malah nyalahin saya? Soal mobil itu, saya minta maaf. Saja akan ganti rugi, hitung saja berapa kerugian yang Bapak alami," timpal Adit penuh emosi."Jangan sombong kamu, cuma sopir angkot saja lagaknya seperti orang kaya. Contoh kakak kamu, bukan pecicilan seperti ini," cetus pria itu."Maaf, Pak! Tidak usah membanding-bandingkan saya dengan kakak saya. Anda tidak tahu saja seperti apa kakak saya." Adit
POV Indri Setengah perjalanan kembali, perutku terasa lapar. Tadi pagi aku dan Adit belum sempat sarapan, karena kami berdua terlalu fokus dengan tujuan kami."Aku lapar," imbuhku sambil memegangi perut."Oke, kita makan dulu. Itu ada pedagang nasi uduk, lebih baik kita makan disana," ajak Adit.Kami berdua turun dari dalam mobil. Kemudian menghampiri penjual nasi uduk.Kring! Kring! Kring!Aku mengabaikan telepon darinya. Rasanya aku malas untuk mengangkatnya."Kenapa nggak diangkat?" tanya Adit."Nggak ah malas, ini telepon dari Andi. Pasti dia ngajak ketemuan lagi. Ah … terlalu sering membuat aku bt," jawabku.Adit mengangguk sambil memakan nasi uduk pesanan kami.Aku pun berinisiatif mengirim pesan kepada Andi, supaya dia tidak menelponku lagi."Maaf, Mas, aku sedang berada di luar kota. Aku sedang menjenguk kerabat jauhku. Aku kangen sama mereka. Jaga hatimu untuk aku, ya selama aku jauh dari kamu." (Send).Aku mendelik dan bergidik saat mengirim pesan itu."Sudah selesai sarapa
POV Adit"Apa? Kamu serius?" tanyaku memastikan."Ya beneran, secepatnya kita mesti menggalinya. Aku masih ingat betul dimana tempat aku waktu itu mengubur baju bi Ratmi," jawab Indri."Oke kalau begitu, besok subuh kita ke tempat bi Ratmi. Supaya kita bisa cepat-cepat menyelesaikan permasalahan ini," ajakku."Oke, baiklah! Semoga keadaan disana masih sama. Karena rumah bi Ratmi sudah dijual oleh Hana," sahut Indri."Ya sudah, lebih baik kita istirahat dulu. Supaya besok subuh kita nggak telat. Nanti aku jemput kamu. Jangan lupa, pas aku jemput kamu, kamu sudah bersiap," ucapku."Oke, see you!" sahut Indri.Aku mematikan sambungan telepon. Bergegas aku tidur supaya besok aku tidak telat.Tak membutuhkan waktu lama, ternyata mataku sudah mulai berat dan aku tertidur dengan cepatnya.Kumandang adzan sudah terdengar dari masjid di area tempatku tinggal. Aku memaksakan diri untuk bangun, walaupun aku masih sangat mengantuk.Secepatnya aku mandi dan tidak sarapan terlebih dahulu. Biarlah,