Aku meraih koperku yang tergeletak di depan pintu kamar.
"Loh kok berat," gumamku. Aku berjongkok hendak membuka koperku yang sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Sehingga terasa berat saat aku akan membawanya ke dalam kamar. "Bajuku? Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan ini?" imbuhku dengan suara sedikit lantang. Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Aku membuka pintu lemari, dan aku kaget saat melihat lemariku sudah kosong. "Mas Andi!" teriakku memanggil Mas Andi. Mas Andi tidak terlihat disini, aku pun berniat memanggil yang lain. "Bi Ratmi! Hana!" teriakku. Tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Kemana sebenarnya mereka? Kemana Mas Andi? Ada apa ini? Aku mengambil ponsel berniat menghubungi Mas Andi. "Ih … Mas, kamu nakal." Aku terbelalak, telingaku mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya sedang bersama seorang laki-laki di kamar ujung lantai atas, yang terhalang satu kamar dari kamarku. Dan itu adalah kamar almarhum Ayahku. Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Mas Andi. Aku berjalan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun. Aku berdiri di depan pintu kamar itu. Aku mencoba menempelkan telingaku pada daun pintu. "Mas,top mana? Aku atau si Indri, si perempuan naif itu?" "Tentu saja kamu sayang, semalam aku hanya main-main saja. Tapi tetap, kamu yang paling top!" Refleks tanganku mengepal kuat. Aku menduga, suara lelaki itu adalah Andi. Tapi aku berharap aku salah dengar. Tidak mungkin Mas Andi tega melakukan ini terhadapku. "Main-main kamu bilang? Tapi kamu suka kan?" "Iya sih … kan sayang masih disegel!" "Hahahah!" Tawaan kedua manusia laknat menggema di ruangan kamar itu. Aku berjalan mundur, kemudian mengambil meja bulat kecil di sudut ruangan atas. Aku memindahkan vas bunga dari meja itu ke atas lantai. Perlahan aku mengangkat meja itu, bermaksud ingin mendobrak pintu kamar itu. Aku yakin, kamar itu pasti dikunci dari dalam. Dengan hitungan 1, 2, 3. Brak!!! Daun pintu terbuka lebar. Yang pertama aku lihat, adalah pemandangan yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa. "Mas Andi! Hana! Sedang apa kalian?" Aku syok melihat suamiku bersama Hana, dalam keadaan tidak berbusana. "Eh, sayang! Kamu sudah bangun?" sapa Mas Andi seraya tersenyum ke arahku. "Ini ada apa sebenarnya? Ada skandal apa kalian berdua di belakangku? Hana! Kamu lancang sekali berduaan dengan suamiku. Dan kamu, Mas! Sedang apa kamu berduaan dengan Hana di kamar Ayahku?" berangku. Tanpa ekspresi terkejut, tanpa takut, dan dengan wajah yang seolah tak berdoa. Mereka berdua hanya menatapku santai. "Aku lagi melakukan sesuatu yang seperti kita lakukan semalam, sayang!" jawab Mas Andi. Air mataku spontan terjatuh mendengar ucapan menjijikan dari mulut Mas Andi. "Kurang ajar! Bajingan kau Andi. Kamu juga Hana! Apa maksud kamu melakukan hal ini dengan suamiku?" bentakku sambil menunjuk-nunjuk wajah menjijikan mereka berdua. "Sayang, sepertinya kamu harus cepat memberikan pengertian deh sama calon mantan istri kamu itu," imbuh Hana. Mataku membulat, mendengar ucapan Hana. "Apa maksud kamu, Hana? Calon mantan istri? Coba jelasin sama aku, Mas!" pungkasku. "Kami berdua sudah menjalin hubungan selama 1 tahun. Dan kamu, dengan sadar hari ini, jam ini, tahun ini dan bulan ini, aku menalak kamu. Jelas?" sahut Mas Andi. Bagai disambar petir disiang bolong. Aku tak percaya dengan ucapan yang terlontar dari mulut Mas Andi. Kemarin pagi Mas Andi menikahiku. Bahkan semalam kami berdua menghabiskan malam pertama dengan penuh gairah. Tapi sekarang, Mas Andi dengan teganya menalakku di depan Hana. Aku tidak menyangka, pernikahanku hanya bertahan 1 hari. Dalam waktu sekejap, aku sudah menjadi janda. Air mataku mengalir semakin deras, seiring suara sesenggukan dari mulutku. Duniaku semakin runtuh, setelah kepergian Ayah dan menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan Mas Andi dan Hana secara terang-terangan. "Tidak tahu diri kamu, Hana. Sekarang, kamu keluar dari rumah saya. Kamu juga Mas, sekarang kamu juga angkat kaki dari rumah saya. Kalian telah lancang berbuat seperti itu di kamar Ayahku. Bajingan kalian berdua," bentakku mengusir mereka berdua. "Hahaha … nggak salah tuh, kamu ngusir kami? Yang ada kamu yang mesti pergi dari rumah kami," imbuh Hana. "Apa? Rumah kami? Jangan mimpi kamu Hana. Dasar anak pembantu yang tidak tahu diri. Ternyata selama ini Ayahku telah menolong seekor anjing terjepit," makiku terhadap Hana. "Jelasin, sayang!" tukas Hana. Mas Andi beranjak dari tempat tidur Ayahku. Terlebih dulu ia menggunakan celana yang tergeletak di sembarang tempat. Mas Andi berjalan mendekati laci di kamar Ayahku. Ia kemudian mengambil sebuah map dan menyerahkannya kepadaku. "Baca!" titah Mas Andi. Aku pun membaca isi surat yang di dalam map itu. "Surat penyerahan semua harta kepada atas nama Andika. Rumah, kendaraan, semua lahan sawah dan perkebunan." Aku membaca detail isi surat itu. Aku membekap mulutku sendiri, saat melihat ada tanda tanganku disana. Aku teringat, dinihari tadi jam 03.00. Mas Andi membangunkanku hanya untuk meminta tanda tangan dengan alasan ingin mengajukan pinjaman uang ke bank. Ternyata Mas Andi telah menipuku. Menikahiku ternyata semata-mata karena silau dengan harta Ayah. Pantas saja, saat Ayah memintanya menikahiku, Mas Andi dengan cepat tanpa pikir panjang menyetujui permintaan Ayah. Ternyata ini alasannya. Dan masalah hubungannya dengan Hana? Seketika kepalaku terasa pusing memikirkan ini semua. "Sudah mengerti, kan? Jadi hari ini kamu tidak berhak menempati rumahku," kata Mas Andi. Tanganku kembali mengepal kuat. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tidak tahu diri itu. "Saya yakin, itu semua tidak sah!" ucapku penuh keyakinan. "Tidak sah? Masa? Aku sudah mengurusnya di kantor notaris. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau. Aku terlalu cerdik, dan kamu tidak tahu itu, Indriana!" sahut Mas Andi. "Kurang ajar kau Andi. Ternyata kamu dan Hana tidak lain adalah penyakit. Penyakit yang mesti dibasmi dari muka bumi ini!" Aku melangkah dengan geram ke arah Mas Andi. Plak!!! Satu buah tamparan mendarat di pipi kiri Mas Andi. Aku belum puas, aku pun berniat untuk kembali menampar lelaki bajingan itu. "Apa? Mau menamparku lagi?" sanggah Mas Andi menahan tanganku. Plak!!! Mas Andi membalas menamparku, sehingga pipiku terasa sakit dan panas. Kemudian Mas Andi menyeretku keluar dari kamar Ayah. Tidak sampai itu, aku masih diseret menuju keluar rumah. Hana pun tidak tinggal diam. Ia menarik koperku dan melemparnya keluar. "Pergi kau Indri, perempuan miskin," ucap Hana dengan nada mencemooh. "Hana, kamu manusia tak tahu diri. Ternyata Ayahku salah besar sudah mau menampung mu di rumah ini.Tidak ingatkah kamu, saat Ayahku dengan baiknya menyekolahkan kamu. Ayahku yang mengangkat harkat derajat kamu dan ibumu. Dulu kalian sangat miskin, tapi Ayahku yang membuat kalian tidak kekurangan apapun, karena Ayah memberikan pekerjaan layak buat ibumu. Ingat itu baik-baik, Hana," bentakku. Aku menatapnya nyalang. "Ayahku … Ayahku … Ayahku. Iya memang, Ayahmu yang mengangkat keluargaku dari jurang kemiskinan. Tapi itu Ayahmu, bukan kamu! Dan kamu juga harus ingat, Ayah kamu sudah mati!" seloroh Hana. Tanganku mengepal kuat. Ingin rasanya aku menampar mulutnya yang sangat lancang itu. "Tunggu apa lagi? Sana pergi!" usir Hana. Mas Andi tersenyum sambil merangkul Hana. Tak ada sedikitpun rasa kasihan terhadapku. Mereka tidak punya hati, dan mereka sangat pantas dijuluki sebagai sepasang benalu. Aku mulai berdiri dan menyeret koperku keluar dari pekarangan rumah. Rumah yang menjadi saksi hidupku dari mulai aku dilahirkan dan dibesarkan sampai aku seperti sekarang ini. Sepanjang jalan, tetangga-tetanggaku banyak yang melihatku dengan tatapan heran. Ada pula yang bertanya kenapa aku seperti ini. Mulutku sudah lelah berbicara, tak ku hiraukan mereka dan aku terus berjalan melewati mereka. Aku berjalan dengan tangisan yang tak kunjung berhenti. Air mataku seakan dikuras. Setelah aku berjalan cukup lama. Aku pun sudah keluar dari kampungku, dan kini aku sudah berada di pinggir jalan raya. "Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi seperti ini? Ujian apa yang Engkau berikan kepada hamba?" Aku terus membatin di sepanjang jalan. "Ya Tuhan … aku-aku rasanya lemas sekali. Tubuhku, tubuhku terasa melayang. Ada apa ini? Ada apa denganku?" gumamku. Kepala pun terasa pusing dan …. Bruk!!! Semuanya menjadi gelap."Non, Non Indri … bangun, Non!"Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan mendapati diriku yang tengah dikerumuni banyak orang."Aku dimana?" Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling."Non Indri sudah sadar? Ini saya, Non, Bi Ratmi. Non Indri kenapa bisa pingsan disini? Kenapa Non bawa-bawa koper? Non mau kemana?" tanya seseorang yang ternyata Bi Ratmi, artku sekaligus Ibu kandung Hana."Bi Ratmi," lirihku.Aku bangkit lalu duduk sambil memegangi kepala dan perut. Rasanya aku lapar dan pusing sekali, karena aku belum sempat sarapan."Non kenapa?" tanya Bi Ratmi lagi.Aku menoleh ke arah Bi Ratmi. Kemudian bergeser menjauh darinya.Semua orang yang menatapku heran. Aku tidak mau berdekatan dengan Bi Ratmi. Mengingat Hana yang sangat jahat terhadapku. Dan aku yakin, Bi Ratmi juga pasti terlibat dengan masalah ini. Aku harus berjaga-jaga, aku tidak mau terpedaya oleh kebaikan Bi Ratmi. Aku takut mereka bersekongkol membuatku semakin hancur."Non Ind
"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya."Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu.Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik."Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana."Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tol
Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah.Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi.'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku.Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi."Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu."Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku.Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek"Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang
POV Andi"Tenang, Bu, aku baik-baik saja disini. Aku pastikan, aku akan segera pulang membawa kebahagiaan buat Ibu dan Bapak. Kalian jaga kesehatan, jangan pikirin aku yang tidak-tidak. Pokoknya jangan khawatir, aku bisa jaga diri baik-baik. Aku ini cerdas, Bu, Pak. Kalian juga tahu itu! Tidak seperti anak culun itu, yang sama sekali nggak ada gunanya. Cuma nasib saja yang belum membuatku mujur. Tapi sekarang, kalian berdua pasti akan terkejut. Tapi aku tidak bisa memberitahunya sekarang. Ini bakalan menjadi kejutan besar buat kalian berdua. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mau istirahat dulu." Aku memutuskan sambungan telepon setelah melakukan panggilan telepon dengan kedua orang tuaku di kampung.Sebentar lagi aku akan memberikan kejutan besar untuk kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka pasti akan bangga dan bahagia melihat anaknya bisa sesukses ini. Aku akan memboyong kedua orang tuaku untuk tinggal di rumah baruku ini.Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa."Indri … Indri. Haih … senang se
POV Andi"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Hana.Aku mendekati Hana dan memperhatikan sebelah kakinya."Berdarah, kenapa kamu nggak bilang kalau kaki kamu berdarah? Pasti rasanya sakit kan?" tanyaku."Nggak apa-apa, Mas, ini cuma luka kecil. Dipasang plester sudah cukup, nanti juga sembuh," jawab Hana."Ayo ikut aku," ajakku.Aku menarik tangan Hana, dan menyuruhnya naik ke atas motorku. Tak ada penolakan sama sekali dari Hana. Dia hanya berjalan menurutiku."Kita mau kemana, Mas?" tanya Hana, saat dirinya sudah berada di atas motorku. Posisi kami saat ini sedang berboncengan."Ke suatu tempat," jawabku simpel.Aku melakukan motorku ke jalan raya. Hana hanya diam menatap jalanan tanpa banyak bicara.Beberapa menit kemudian, aku menghentikan motorku di depan sebuah apotek."Kita mau ngapain kesini, Mas?" tanya Hana."Aku mau beli obat, kasihan kamu. Kalau dibiarkan, takutnya infeksi," jawabku.Aku dan Hana turun dari motor. Aku menyuruh Hana menunggu di dekat motorku.Setelah obat didapat
POV Indri "Bi, rencana Bibi sekarang apa? Apakah Bibi mau mencari kerja lagi?" tanyaku saat kami berdua duduk di belakang rumah."Bibi belum tahu, sepertinya iya, Bibi akan mencari pekerjaan lagi, demi kelangsungan hidup," jawab Bi Ratmi.Aku langsung merangkul Bi Ratmi dari samping."Sebenarnya aku ada rencana, semoga Bibi suka dan tidak keberatan," ujarku."Rencana apa? Dan keberatan kenapa?" tanya Bi Ratmi."Aku punya rencana, bagaimana kalau kita buka usaha kecil-kecilan? Aku ingin memanfaatkan uangku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin aku dan Bibi bisa mengelola uang yang aku bawa dari rumah. Kita jualan jajanan makanan anak-anak. Gimana, Bi, ide aku?" imbuhku."Menurut Bibi sih itu pemikiran yang bagus. Boleh, kamu buka warung disini. Bibi sangat mendukung niatan kamu," sahut Bi Ratmi."Tapi aku mau Bibi temani aku jualan. Sekalian ajari aku membuat makanan enak seperti yang suka Bibi masakin makanan buat aku," pintaku penuh harap."Em … mau nggak ya?" imbuh Bi Ratmi."Mau dong …
POV Indri "Siapa? Siapa itu?"Aku mengedarkan pandangan, mencari siapa yang baru saja memanggil namaku."Aku … aku ada dimana?" Aku melihat sekeliling. Tempat yang kupijak begitu asing, aku tidak tahu aku sedang dimana. Aku seperti berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Langit berwarnakan jingga, menandakan waktu sudah sangat sore dan akan beranjak malam."Indri!"Sekali lagi aku mendengar seseorang tengah memanggil namaku.Aku berjalan menyusuri tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar."Indri, kesini, Nak!"Lagi-lagi suara itu menggema di telingaku. Tapi setelah didengar secara seksama. Aku baru sadar, bahwa itu adalah suara ayahku."Ayah! Ayahkah itu?" tanyaku.Air mataku berlinang, aku akan bertemu dengan ayah. Benarkah itu?Aku terus berjalan mencari keberadaan ayahku.Lama aku berjalan, sampai langkahku terhenti di sebuah bangunan seperti sebuah rumah. Terlihat bagus tapi terlihat suram dan sepi."Di tengah hutan ada rumah?" batinku berbicara.Aku berjalan mendekati rumah itu. P
POV HanaCetrek brus!Kobaran api melahap semua benda yang ada di dalam tong kecil, tempat membakar sampah."Habis kau Indri, sekalian mati saja kau!" gumamku.Aku membakar semua benda-benda kesayangan Indri. Seperti foto-foto dirinya, dan foto kebersamaannya dengan Pak Yudha.Aku puas melakukan semua ini. Entah kenapa, ada rasa bangga pada diriku sendiri, setelah mendapatkan segalanya yang aku mau. Mas Andi, dan harta kekayaan Indri. Aku bangga akan pencapaian terbesarku ini. Tapi sayang, ibuku tidak mendukung keberhasilanku ini. Ibu memilih pergi meninggalkanku. Aku sangat menyesalkan keputusan ibu."Sayang, lagi apa?" Aku menoleh dan mendapati Mas Andi sedang berdiri di belakangku."Aku habis membakar semua kenangan mantan istri kamu," jawabku santai.Mas Andi mendekatiku dan memelukku dari belakang."Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Andai aku tidak pernah bertemu kamu, mungkin sekarang aku masih menjadi karyawan biasa di pabrik itu. Atau lebih parahnya lagi, mungkin aku sa