Share

Bab 2 Sepasang Benalu

Aku meraih koperku yang tergeletak di depan pintu kamar.

"Loh kok berat," gumamku.

Aku berjongkok hendak membuka koperku yang sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Sehingga terasa berat saat aku akan membawanya ke dalam kamar.

"Bajuku? Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan ini?" imbuhku dengan suara sedikit lantang.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Aku membuka pintu lemari, dan aku kaget saat melihat lemariku sudah kosong.

"Mas Andi!" teriakku memanggil Mas Andi.

Mas Andi tidak terlihat disini, aku pun berniat memanggil yang lain.

"Bi Ratmi! Hana!" teriakku.

Tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Kemana sebenarnya mereka? Kemana Mas Andi? Ada apa ini?

Aku mengambil ponsel berniat menghubungi Mas Andi.

"Ih … Mas, kamu nakal."

Aku terbelalak, telingaku mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya sedang bersama seorang laki-laki di kamar ujung lantai atas, yang terhalang satu kamar dari kamarku. Dan itu adalah kamar almarhum Ayahku.

Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Mas Andi.

Aku berjalan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun.

Aku berdiri di depan pintu kamar itu. Aku mencoba menempelkan telingaku pada daun pintu.

"Mas,top mana? Aku atau si Indri, si perempuan naif itu?"

"Tentu saja kamu sayang, semalam aku hanya main-main saja. Tapi tetap, kamu yang paling top!"

 Refleks tanganku mengepal kuat. Aku menduga, suara lelaki itu adalah Andi. Tapi aku berharap aku salah dengar. Tidak mungkin Mas Andi tega melakukan ini terhadapku.

"Main-main kamu bilang? Tapi kamu suka kan?"

"Iya sih … kan sayang masih disegel!"

"Hahahah!"

Tawaan kedua manusia laknat menggema di ruangan kamar itu.

Aku berjalan mundur, kemudian mengambil meja bulat kecil di sudut ruangan atas.

Aku memindahkan vas bunga dari meja itu ke atas lantai.

Perlahan aku mengangkat meja itu, bermaksud ingin mendobrak pintu kamar itu. Aku yakin, kamar itu pasti dikunci dari dalam.

Dengan hitungan 1, 2, 3.

Brak!!!

Daun pintu terbuka lebar. Yang pertama aku lihat, adalah pemandangan yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa.

"Mas Andi! Hana! Sedang apa kalian?"

Aku syok melihat suamiku bersama Hana, dalam keadaan tidak berbusana.

"Eh, sayang! Kamu sudah bangun?" sapa Mas Andi seraya tersenyum ke arahku.

"Ini ada apa sebenarnya? Ada skandal apa kalian berdua di belakangku? Hana! Kamu lancang sekali berduaan dengan suamiku. Dan kamu, Mas! Sedang apa kamu berduaan dengan Hana di kamar Ayahku?" berangku.

Tanpa ekspresi terkejut, tanpa takut, dan dengan wajah yang seolah tak berdoa. Mereka berdua hanya menatapku santai.

"Aku lagi melakukan sesuatu yang seperti kita lakukan semalam, sayang!" jawab Mas Andi.

Air mataku spontan terjatuh mendengar ucapan menjijikan dari mulut Mas Andi.

"Kurang ajar! Bajingan kau Andi. Kamu juga Hana! Apa maksud kamu melakukan hal ini dengan suamiku?" bentakku sambil menunjuk-nunjuk wajah menjijikan mereka berdua.

"Sayang, sepertinya kamu harus cepat memberikan pengertian deh sama calon mantan istri kamu itu," imbuh Hana.

Mataku membulat, mendengar ucapan Hana.

"Apa maksud kamu, Hana? Calon mantan istri? Coba jelasin sama aku, Mas!" pungkasku.

"Kami berdua sudah menjalin hubungan selama 1 tahun. Dan kamu, dengan sadar hari ini, jam ini, tahun ini dan bulan ini, aku menalak kamu. Jelas?" sahut Mas Andi.

Bagai disambar petir disiang bolong. Aku tak percaya dengan ucapan yang terlontar dari mulut Mas Andi.

Kemarin pagi Mas Andi menikahiku. Bahkan semalam kami berdua menghabiskan malam pertama dengan penuh gairah. Tapi sekarang, Mas Andi dengan teganya menalakku di depan Hana.

Aku tidak menyangka, pernikahanku hanya bertahan 1 hari. Dalam waktu sekejap, aku sudah menjadi janda.

Air mataku mengalir semakin deras, seiring suara sesenggukan dari mulutku.

Duniaku semakin runtuh, setelah kepergian Ayah dan menyaksikan pengkhianatan yang dilakukan Mas Andi dan Hana secara terang-terangan.

"Tidak tahu diri kamu, Hana. Sekarang, kamu keluar dari rumah saya. Kamu juga Mas, sekarang kamu juga angkat kaki dari rumah saya. Kalian telah lancang berbuat seperti itu di kamar Ayahku. Bajingan kalian berdua," bentakku mengusir mereka berdua.

"Hahaha … nggak salah tuh, kamu ngusir kami? Yang ada kamu yang mesti pergi dari rumah kami," imbuh Hana.

"Apa? Rumah kami? Jangan mimpi kamu Hana. Dasar anak pembantu yang tidak tahu diri. Ternyata selama ini Ayahku telah menolong seekor anjing terjepit," makiku terhadap Hana.

"Jelasin, sayang!" tukas Hana.

Mas Andi beranjak dari tempat tidur Ayahku. Terlebih dulu ia menggunakan celana yang tergeletak di sembarang tempat.

Mas Andi berjalan mendekati laci di kamar Ayahku.

Ia kemudian mengambil sebuah map dan menyerahkannya kepadaku.

"Baca!" titah Mas Andi.

Aku pun membaca isi surat yang di dalam map itu.

"Surat penyerahan semua harta kepada atas nama Andika. Rumah, kendaraan, semua lahan sawah dan perkebunan." Aku membaca detail isi surat itu.

Aku membekap mulutku sendiri, saat melihat ada tanda tanganku disana.

Aku teringat, dinihari tadi jam 03.00. Mas Andi membangunkanku hanya untuk meminta tanda tangan dengan alasan ingin mengajukan pinjaman uang ke bank. Ternyata Mas Andi telah menipuku. Menikahiku ternyata semata-mata karena silau dengan harta Ayah. Pantas saja, saat Ayah memintanya menikahiku, Mas Andi dengan cepat tanpa pikir panjang menyetujui permintaan Ayah. Ternyata ini alasannya. Dan masalah hubungannya dengan Hana? Seketika kepalaku terasa pusing memikirkan ini semua.

"Sudah mengerti, kan? Jadi hari ini kamu tidak berhak menempati rumahku," kata Mas Andi.

Tanganku kembali mengepal kuat. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tidak tahu diri itu.

"Saya yakin, itu semua tidak sah!" ucapku penuh keyakinan.

"Tidak sah? Masa? Aku sudah mengurusnya di kantor notaris. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau. Aku terlalu cerdik, dan kamu tidak tahu itu, Indriana!" sahut Mas Andi.

"Kurang ajar kau Andi. Ternyata kamu dan Hana tidak lain adalah penyakit. Penyakit yang mesti dibasmi dari muka bumi ini!" Aku melangkah dengan geram ke arah Mas Andi.

Plak!!!

Satu buah tamparan mendarat di pipi kiri Mas Andi.

Aku belum puas, aku pun berniat untuk kembali menampar lelaki bajingan itu.

"Apa? Mau menamparku lagi?" sanggah Mas Andi menahan tanganku.

Plak!!!

Mas Andi membalas menamparku, sehingga pipiku terasa sakit dan panas.

Kemudian Mas Andi menyeretku keluar dari kamar Ayah. Tidak sampai itu, aku masih diseret menuju keluar rumah.

Hana pun tidak tinggal diam. Ia menarik koperku dan melemparnya keluar.

"Pergi kau Indri, perempuan miskin," ucap Hana dengan nada mencemooh.

"Hana, kamu manusia tak tahu diri. Ternyata Ayahku salah besar sudah mau menampung mu di rumah ini.Tidak ingatkah kamu, saat Ayahku dengan baiknya menyekolahkan kamu. Ayahku yang mengangkat harkat derajat kamu dan ibumu. Dulu kalian sangat miskin, tapi Ayahku yang membuat kalian tidak kekurangan apapun, karena Ayah memberikan pekerjaan layak buat ibumu. Ingat itu baik-baik, Hana," bentakku.

Aku menatapnya nyalang.

"Ayahku … Ayahku … Ayahku. Iya memang, Ayahmu yang mengangkat keluargaku dari jurang kemiskinan. Tapi itu Ayahmu, bukan kamu! Dan kamu juga harus ingat, Ayah kamu sudah mati!" seloroh Hana.

Tanganku mengepal kuat. Ingin rasanya aku menampar mulutnya yang sangat lancang itu.

"Tunggu apa lagi? Sana pergi!" usir Hana.

Mas Andi tersenyum sambil merangkul Hana. Tak ada sedikitpun rasa kasihan terhadapku. Mereka tidak punya hati, dan mereka sangat pantas dijuluki sebagai sepasang benalu.

Aku mulai berdiri dan menyeret koperku keluar dari pekarangan rumah. Rumah yang menjadi saksi hidupku dari mulai aku dilahirkan dan dibesarkan sampai aku seperti sekarang ini.

Sepanjang jalan, tetangga-tetanggaku banyak yang melihatku dengan tatapan heran. Ada pula yang bertanya kenapa aku seperti ini.

Mulutku sudah lelah berbicara, tak ku hiraukan mereka dan aku terus berjalan melewati mereka. Aku berjalan dengan tangisan yang tak kunjung berhenti. Air mataku seakan dikuras.

Setelah aku berjalan cukup lama. Aku pun sudah keluar dari kampungku, dan kini aku sudah berada di pinggir jalan raya.

"Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi seperti ini? Ujian apa yang Engkau berikan kepada hamba?" Aku terus membatin di sepanjang jalan.

"Ya Tuhan … aku-aku rasanya lemas sekali. Tubuhku, tubuhku terasa melayang. Ada apa ini? Ada apa denganku?" gumamku.

Kepala pun terasa pusing dan ….

Bruk!!!

Semuanya menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status