"Andi, sebelum Om dipanggil sama yang maha kuasa, Om minta sama kamu, untuk menikahi Indri sekarang. Om percaya sama kamu, kamu anak baik yang Om kenal. Om yakin kamu bisa menjaga anak semata wayang Om. Om serahkan tanggung jawab menjaga Indri sama kamu. Apakah kamu bersedia, mengabulkan permintaan terakhir Om, sebelum Om pergi untuk selama-lamanya?"
"Baik Om, Om jangan khawatir. Hari ini, tanggal ini, di jam ini juga, saya siap menikahi putri Om. Saya janji akan menjaganya dan mencintainya dengan sepenuh hati. Hubungan kami sudah berjalan cukup lama, dan saya tidak akan ragu-ragu untuk segera menikahinya." "Jangan, jangan bicara seperti itu, Ayah. Ayah akan sembuh, aku mohon!" Sedih, itulah yang aku rasakan saat ini. Ayahku, orang tuaku yang merawat aku dari kecil, semenjak Ibu meninggal dunia. Ayahlah yang menjadi sandaran hidupku. Menikah dengan Mas Andi, tentu suatu kebahagiaan untukku. Hubungan kami sudah berjalan selama 4 tahun. Namun kebahagiaan ini akan menjadi dilema buatku. Antara bahagia dan sedih. Ayah meminta Mas Andi menikahiku, di saat dirinya sudah berada di ambang menyerah antara hidup dan mati. "Indri, kamu harus siap menjalani ini. Ayah yakin, dengan kamu menikah dengan Andi, kamu akan bahagia. Hana, tolong kamu hubungi penghulu. Saya mau menyaksikan Indri dan Andi menikah, sebelum saya dipanggil oleh-Nya," imbuh Ayah kepada Rihana atau biasa dipanggil dengan Hana, anak Bibi Ratmi yang bekerja sebagai asisten rumah tangga, di rumah Ayah. "I-iya, Tuan. Saya akan panggilkan Pak penghulu sekaligus saksi untuk pernikahan Non Indri," sahut Hana, seraya mengambil ponselnya dari saku celana. Terlihat wajah Hana memerah dengan mata berkaca-kaca. Aku memaklumi, mungkin Hana juga merasakan kekhawatiran terhadap Ayah. mengingat Ayah sudah sangat baik terhadapnya, yang dengan sukarela meminta Bu Ratmi mengajaknya untuk tinggal bersama di rumah kami. Ayah juga tanpa keberatan, beliau menyekolahkan Hana sampai dia lulus. Karena sebelumnya, Rihana telah putus sekolah, karena terhalang oleh. Biaya. Aku bangga sama Ayah, dan aku sangat mencintai dan menyayanginya. Aku terduduk di samping Ayah. Aku tidak kuasa menahan sedih, karena Ayah sudah sangat lemah dan nyaris menyerah. Dokter yang menangani Ayah, berdiri tak jauh dari tempat Ayah berbaring. Setengah jam kemudian, datang tiga orang pria paruh baya memasuki ruangan tempat Ayahku dirawat. "Ada apa, Pak Yuda, apa yang bisa saya bantu?" tanya Pak penghulu, saat berada di hadapan Ayahku. "Tolong nikahkan putri saya dengannya sekarang juga," tunjuk Ayah ke arahku dan Mas Andi. Keadaan Ayah semakin kritis, dan itu berhasil membuatku rapuh saat itu juga. Tak hentinya aku menangis dan ketakutan seketika mendera dalam jiwaku. "Baik, Pak Yudha. Akan saya nikahkan mereka berdua," sahut Pak penghulu. Kini, dihadapan Ayah yang terbaring lemah. Andi berjabat tangan dengan Pak penghulu. Dengan mas kawin seadanya, akhirnya pernikahan ini terjadi. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Andika bin Alex dengan Ananda Indriana binti Yudha. Dengan mas kawin uang sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Indriana binti Yudha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan satu tarikan nafas, akhirnya Mas Andi sudah sah menjadi suamiku. "Gimana para saksi, sah?" tanya Pak penghulu. "Sah … sah!" jawab kedua saksi. "Alhamdulillah …." Pang penghulu membacakan doa yang diamini oleh kami semua. "Terima kasih …." lirih Ayah. Kami semua menoleh ke arah Ayah. Senyuman damai terbit di kedua sudut bibir Ayah. Namun senyuman Ayah berbeda yang aku lihat saat ini. Perlahan tatapan Ayah mulai meredup. Kepalanya lunglai dan terkulai ke sebelah kanan. "Ayaaaah!" – "Kamu yang sabar, sayang. Ayah sudah tenang dan bahagia di alam sana. Sekarang, yang harus kamu lakukan adalah mendoakannya. Mendoakan supaya beliau dijauhkan dari siksa kubur. Kamu jangan nangis lagi, ya. Ikhlaskan Ayah pergi," imbuh Mas Andi, saat kami tengah berada di depan makam Ayah. "Aku tidak menyangka saja, Mas. Aku tidak percaya kalau Ayah akan pergi secepat itu. Disaat aku bahagia menikah dengan kamu, disaat bersamaan pula, Ayah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya," sahutku dengan beruraian air mata. Mas Andi merangkulku mencoba menenangkan aku yang rapuh ini. Penyakit jantung itu, telah merenggut duniaku, yakni Ayah. Harta peninggalan Ayah begitu banyak. Sehingga aku tidak akan kesusahan apabila bertahan hidup. Namun tetap, hati ini begitu sakit kehilangan Ayah. Setelah aku dan Mas Andi menaburkan bunga di atas makam Ayah. Mas Andi mengajakku untuk pulang. "Mas, kita pulang ke rumah aku aja. Mulai hari ini, kamu tinggal di rumahku," ujarku. "Iya, sayang terima kasih banyak. Nanti setelah kamu tenang, aku akan ajak kamu ke rumah Ibu dan Bapakku. Mereka pasti akan sangat bahagia, mempunyai menantu seperti kamu," ucap Mas Andi. Kami berdua menaiki mobil peninggalan Ayah. Sampai di rumah, Mas Andi mengajakku untuk makan siang. Awalnya aku enggan untuk makan, karena tidak bernafsu. Tapi Mas Andi memaksaku. – Malam hari "Sayang, boleh kan?" tanya suamiku saat kami berada di dalam kamar. Saat itu di rumahku telah selesai menggelar acara tahlilan. Aku yang mengerti menganggukkan kepala. Perlahan Mas Andi menaiki tempat tidur dan berbaring di sebelahku. Mas Andi mulai membelai rambutku, dan menyibakkan anak rambut yang berada dekat dengan telingaku. "Sayang, besok aku akan kembali kerja di pabrik. Tidak enak juga kalau lama-lama libur," imbuh Mas Andi sambil membelai rambut hingga wajahku. Aku mengangguk, mengiyakan. Aku mengerti, Mas Andi juga tidak bisa berlama-lama libur seperti ini. Mas Andi hanya karyawan biasa di sebuah pabrik yang tak begitu besar di kampung ini. Mas Andi adalah pria yang baik. Jadi, status sosial bukan halangan untuk hubungan kami. Terlebih Mas Andi sangat dekat dengan Ayah dan sering main ke rumah. Maka tak heran, Ayah sedikit besarnya tahu sifat dan sikap yang ditunjukkan oleh Mas Andi. Tak berselang lama, Mas Andi memulai aksi malam pertama kami. Setengah jam kira-kira, kami bergelut mencari kepuasan bersama. Sampai pada akhirnya, kami berdua ambruk dengan perasaan bahagia yang teramat. Sejenak aku bisa melupakan kesedihan atas kehilangan Ayah. Mas Andi begitu lihai membahagiakanku, walaupun ini adalah pengalaman pertama kami. Kami berdua tertidur pulas dengan berjuta kepuasan yang didapat. Prak Aku terbangun karena mendengar benda jatuh. Aku menatap jam weker yang terpajang di atas meja kecil. Jam sudah menunjukkan waktu tengah malam. Aku melihat ke sisi kananku. Mas Andi ternyata tidak ada di sampingku. Aku berpikir mungkin Mas Andi sedang berada di kamar mandi. Aku kembali memejamkan mata, karena tidak kuat menahan kantuk. "Sayang, bangun!" Samar-samar aku mendengar suamiku membangunkanku. Aku membuka mata, dan benar saja. Senyuman manis tersungging di bibir Mas Andi. "Huam … sudah pagi ya, Mas?" tanyaku seraya menggeliatkan tubuh. Mas Andi tidak menjawab, namun ia menyerahkan sebuah kertas yang entah untuk apa. "Ini kertas apa, Mas?" tanyaku, dengan mata yang masih lengket menahan kantuk. "Em … ini aku mau mengajukan pinjaman ke bank, untuk usaha kecil-kecilan. Ini untuk usaha sampingan selain aku kerja di pabrik. Kamu maukan tanda tangan surat ini? Aku butuh tanda tangan kamu, supaya semuanya dipermudah," jawab Mas Andi. "Tapi … kok tanda tangannya disini. Kan bisa nanti di bank. Emang bisa seperti ini? Lagi Pun, aku bisa kok, memberikan modal untuk kamu, tanpa kamu harus pinjam uang ke bank. Huam …." Aku berbicara pada suamiku sambil menahan kantuk. Berkali-kali kepalaku mengangguk-angguk karena mata terasa berat. "Bisa sayang, karena ada teman aku yang bekerja di bank. Katanya bisa seperti ini. Kamu cukup tanda tangan aja sekarang, kamu nggak perlu ikut ke bank. Aku tahu kamu masih berkabung atas kepergian Ayah. Aku cuma mau punya usaha dengan hasil jerih payahku. Biarlah semua uangmu kamu yang simpan dan gunakan. Aku mau mandiri dan bisa membahagiakanmu dengan hasil keringatku sendiri. Sekarang, aku mau kamu tanda tangani surat ini," sahut suamiku. Aku merasa aneh dengan penjelasan suamiku. Baru kali ini mengajukan pinjaman uang ke bank seperti ini caranya. Tapi aku nggak mau berpikiran aneh-aneh, aku tahu, maksud suamiku itu baik. Aku pun menerima pulpen dari tangan suamiku dan menandatangani surat itu tanpa membacanya terlebih dahulu. "Huam … aku ngantuk, Mas. Loh, ini masih jam 03 00 rupanya. Aku mau tidur lagi, ya! Aku ngantuk banget. Tanda tangan juga nggak fokus. Entah bagus atau jelek," ujarku. "Nggak apa-apa, sayang, bagus kok. Kamu tidur saja. Aku juga mau tidur lagi. Tapi aku mau ke dapur dulu ngambil minum. Haus banget," sahut Mas Andi. Aku mengangguk, kemudian kembali berbaring tidur. Tidak membutuhkan waktu lama, aku langsung tertidur kembali dengan pulas. – Sinar matahari masuk menembus di sela-sela lubang ventilasi. Aku terbangun dengan tubuh segar dan langsung beranjak dari tempat tidurku. Aku berjalan hendak keluar kamar, untuk minum di dapur. Ceklek Aku membuka pintu kamar, namun sesuatu membuatku bingung. "Kenapa ada koper aku disini? Siapa yang menaruh koperku disini?" batinku.Aku meraih koperku yang tergeletak di depan pintu kamar."Loh kok berat," gumamku.Aku berjongkok hendak membuka koperku yang sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Sehingga terasa berat saat aku akan membawanya ke dalam kamar."Bajuku? Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan ini?" imbuhku dengan suara sedikit lantang.Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Aku membuka pintu lemari, dan aku kaget saat melihat lemariku sudah kosong."Mas Andi!" teriakku memanggil Mas Andi.Mas Andi tidak terlihat disini, aku pun berniat memanggil yang lain."Bi Ratmi! Hana!" teriakku.Tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Kemana sebenarnya mereka? Kemana Mas Andi? Ada apa ini?Aku mengambil ponsel berniat menghubungi Mas Andi."Ih … Mas, kamu nakal."Aku terbelalak, telingaku mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya sedang bersama seorang laki-laki di kamar ujung lantai atas, yang terhalang satu kamar dari kamarku. Dan itu adalah kamar almarhum Ayahku.Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Mas A
"Non, Non Indri … bangun, Non!"Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan mendapati diriku yang tengah dikerumuni banyak orang."Aku dimana?" Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling."Non Indri sudah sadar? Ini saya, Non, Bi Ratmi. Non Indri kenapa bisa pingsan disini? Kenapa Non bawa-bawa koper? Non mau kemana?" tanya seseorang yang ternyata Bi Ratmi, artku sekaligus Ibu kandung Hana."Bi Ratmi," lirihku.Aku bangkit lalu duduk sambil memegangi kepala dan perut. Rasanya aku lapar dan pusing sekali, karena aku belum sempat sarapan."Non kenapa?" tanya Bi Ratmi lagi.Aku menoleh ke arah Bi Ratmi. Kemudian bergeser menjauh darinya.Semua orang yang menatapku heran. Aku tidak mau berdekatan dengan Bi Ratmi. Mengingat Hana yang sangat jahat terhadapku. Dan aku yakin, Bi Ratmi juga pasti terlibat dengan masalah ini. Aku harus berjaga-jaga, aku tidak mau terpedaya oleh kebaikan Bi Ratmi. Aku takut mereka bersekongkol membuatku semakin hancur."Non Ind
"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya."Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu.Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik."Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana."Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tol
Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah.Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi.'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku.Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi."Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu."Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku.Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek"Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang
POV Andi"Tenang, Bu, aku baik-baik saja disini. Aku pastikan, aku akan segera pulang membawa kebahagiaan buat Ibu dan Bapak. Kalian jaga kesehatan, jangan pikirin aku yang tidak-tidak. Pokoknya jangan khawatir, aku bisa jaga diri baik-baik. Aku ini cerdas, Bu, Pak. Kalian juga tahu itu! Tidak seperti anak culun itu, yang sama sekali nggak ada gunanya. Cuma nasib saja yang belum membuatku mujur. Tapi sekarang, kalian berdua pasti akan terkejut. Tapi aku tidak bisa memberitahunya sekarang. Ini bakalan menjadi kejutan besar buat kalian berdua. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mau istirahat dulu." Aku memutuskan sambungan telepon setelah melakukan panggilan telepon dengan kedua orang tuaku di kampung.Sebentar lagi aku akan memberikan kejutan besar untuk kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka pasti akan bangga dan bahagia melihat anaknya bisa sesukses ini. Aku akan memboyong kedua orang tuaku untuk tinggal di rumah baruku ini.Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa."Indri … Indri. Haih … senang se
POV Andi"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Hana.Aku mendekati Hana dan memperhatikan sebelah kakinya."Berdarah, kenapa kamu nggak bilang kalau kaki kamu berdarah? Pasti rasanya sakit kan?" tanyaku."Nggak apa-apa, Mas, ini cuma luka kecil. Dipasang plester sudah cukup, nanti juga sembuh," jawab Hana."Ayo ikut aku," ajakku.Aku menarik tangan Hana, dan menyuruhnya naik ke atas motorku. Tak ada penolakan sama sekali dari Hana. Dia hanya berjalan menurutiku."Kita mau kemana, Mas?" tanya Hana, saat dirinya sudah berada di atas motorku. Posisi kami saat ini sedang berboncengan."Ke suatu tempat," jawabku simpel.Aku melakukan motorku ke jalan raya. Hana hanya diam menatap jalanan tanpa banyak bicara.Beberapa menit kemudian, aku menghentikan motorku di depan sebuah apotek."Kita mau ngapain kesini, Mas?" tanya Hana."Aku mau beli obat, kasihan kamu. Kalau dibiarkan, takutnya infeksi," jawabku.Aku dan Hana turun dari motor. Aku menyuruh Hana menunggu di dekat motorku.Setelah obat didapat
POV Indri "Bi, rencana Bibi sekarang apa? Apakah Bibi mau mencari kerja lagi?" tanyaku saat kami berdua duduk di belakang rumah."Bibi belum tahu, sepertinya iya, Bibi akan mencari pekerjaan lagi, demi kelangsungan hidup," jawab Bi Ratmi.Aku langsung merangkul Bi Ratmi dari samping."Sebenarnya aku ada rencana, semoga Bibi suka dan tidak keberatan," ujarku."Rencana apa? Dan keberatan kenapa?" tanya Bi Ratmi."Aku punya rencana, bagaimana kalau kita buka usaha kecil-kecilan? Aku ingin memanfaatkan uangku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin aku dan Bibi bisa mengelola uang yang aku bawa dari rumah. Kita jualan jajanan makanan anak-anak. Gimana, Bi, ide aku?" imbuhku."Menurut Bibi sih itu pemikiran yang bagus. Boleh, kamu buka warung disini. Bibi sangat mendukung niatan kamu," sahut Bi Ratmi."Tapi aku mau Bibi temani aku jualan. Sekalian ajari aku membuat makanan enak seperti yang suka Bibi masakin makanan buat aku," pintaku penuh harap."Em … mau nggak ya?" imbuh Bi Ratmi."Mau dong …
POV Indri "Siapa? Siapa itu?"Aku mengedarkan pandangan, mencari siapa yang baru saja memanggil namaku."Aku … aku ada dimana?" Aku melihat sekeliling. Tempat yang kupijak begitu asing, aku tidak tahu aku sedang dimana. Aku seperti berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Langit berwarnakan jingga, menandakan waktu sudah sangat sore dan akan beranjak malam."Indri!"Sekali lagi aku mendengar seseorang tengah memanggil namaku.Aku berjalan menyusuri tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar."Indri, kesini, Nak!"Lagi-lagi suara itu menggema di telingaku. Tapi setelah didengar secara seksama. Aku baru sadar, bahwa itu adalah suara ayahku."Ayah! Ayahkah itu?" tanyaku.Air mataku berlinang, aku akan bertemu dengan ayah. Benarkah itu?Aku terus berjalan mencari keberadaan ayahku.Lama aku berjalan, sampai langkahku terhenti di sebuah bangunan seperti sebuah rumah. Terlihat bagus tapi terlihat suram dan sepi."Di tengah hutan ada rumah?" batinku berbicara.Aku berjalan mendekati rumah itu. P