Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.
Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah. Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi. 'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku. Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi. "Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu. "Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku. Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek "Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang. Ya sudah, sebelum Non istirahat, Bibi mau bersihkan dulu rumahnya. Non duduk saja dulu disini," imbuh Bi Ratmi. "Aku mau bantu, Bi. Mana sapunya?" timpalku. "Jangan, Non kan capek habis perjalanan jauh," cegah Bi Ratmi. "Tidak apa-apa kok, Bi. Aku mau bantu Bibi beres-beres. Oh iya, mulai sekarang, Bibi nggak usah panggil aku, Non. Cukup Indri saja," pungkasku. "Ta-tapi …." "Tidak apa-apa, aku sudah bukan majikan Bibi lagi. Aku mau Bibi anggap aku sebagai anak Bibi. Bibi mau kan?" tanyaku. Mata Bi Ratmi berkaca-kaca mendengar ucapanku. Perlahan Bi Ratmi mendekatiku dan dengan cepat memelukku. "Terima kasih, Non. Bibi juga sudah anggap Non anak Bibi sendiri. Non baik, Bibi sangat menyayangi Non. Bibi harap, suatu hari nanti Hana kembali dan Bibi akan mempunyai dua putri yang cantik-cantik," tukas Bi Ratmi dengan menangis sesenggukan. "Terima kasih, Bi. Kita doakan semoga Hana menyadari semua kesalahannya. Yang sabar ya, Bi!" sahutku membalas pelukannya. "Iya, Non!" Aku mengurai pelukanku, dan sedikit menjauh dari Bi Ratmi. "Lepasin, Bi!" selorohku. Bi Ratmi mengernyitkan dahinya. Dia tampak keheranan. Ya, aku sangat kesal dengan Bi Ratmi. "Non Indri kenapa?" tanya Bi Ratmi terlihat bingung. "Aku marah sama Bibi, aku kesal. Kenapa masih panggil aku, Non? Bukannya aku ini Putri Bibi?" pungkasku sambil melipat kedua tangan di atas dada. Bibirku pun sengaja aku buat mengerucut. "Hehehe … maaf, Bibi lupa." Bi Ratmi kembali memelukku. Pelukan hangat Bi Ratmi sungguh membuatku merasa nyaman. Aku seperti menemukan sosok Ibu, yang selama ini aku rindukan. "Ya sudah, ayo cepetan kita beres-beres. Habis ini aku mau mandi, gerah banget, Bi," pungkasku. Aku dan Bi Ratmi mulai membereskan dan membersihkan seluruh sudut rumah. Banyak debu yang menempel di lantai, karena Bibi jarang pulang kesini. Setelah lama kami beres-beres dan bersih-bersih rumah. Aku lanjut berniat untuk mandi. "Kamar mandinya mana, Bi?" tanyaku. "Ada di belakang, di bawah pohon nangka. Kamu bisa nggak, nimba air? Soalnya disini masih menggunakan sumur," jawab Bi Ratmi. "Sumur, ya? Em … jangan panggil Indri, kalau aku nggak bisa nimba," imbuhku menyombongkan diri. Bi Ratmi hanya tertawa kecil melihat tingkahku. Aku keluar lewat pintu belakang. Lanjut mencari kamar mandi yang dimaksud oleh Bi Ratmi. 'Itu kali ya, apakah disitu akan aman?' batinku. Aku melihat kesana kemari, guna memastikan keadaan aman. Ketakutan ku jika aku tidak tahu disaat aku sedang mandi, ada yang sengaja mengintip. Jangan sampai …. Aku menaruh perlengkapan mandiku di dalam kamar mandi. Kemudian lanjut aku meraih ember yang terikat di ujung tali yang menjuntai pada alat untuk menimba air. "Dalam sekali sumurnya," gumamku. Perlahan aku mulai menurunkan ember itu sampai ke dasar sumur. Kemudian menariknya setelah ember itu terisi penuh oleh air sumur itu. "Huh … berat sekali, tapi aku harus bisa. Aku nggak boleh ngeluh," ucapku seorang diri. Setelah beberapa menit, aku pun berhasil menimba air hingga bak yang ada di dalam kamar mandi terisi penuh. Aku kegirangan melihat ini semua. Ternyata aku bisa melakukan ini, padahal dari kecil aku belum pernah menyentuh apa itu sumur dan alat timba. Lanjut aku mandi dengan begitu segarnya. Sore hari Setelah aku berganti pakaian, aku menemui Bi Ratmi di dapur. "Sedang apa, Bi?" tanyaku. "Ini, Bibi mau masak air. Kebetulan tabung gas punya Bibi hilang. Nggak tahu siapa yang ngambil. Jadi Bibi masak di tungku saja," jawab Bi Ratmi. "Apakah ada bahan makanan, Bi? Kalau nggak ada, biar aku beli di warung. Kebetulan, tadi di rumahku aku menyelinap masuk ke dalam kamar waktu Bibi, Hana dan Mas Andi sedang berdebat. Maafin aku ya, Bi, sempat ninggalin Bibi. Tapi kalau nggak gitu, aku tidak akan punya uang sama sekali. Aku tadi mengambil sejumlah uang cash dan ATM. Aku juga membawa ponselku serta ijazah," ungkapku. "Tidak apa-apa, justru Bibi sangat mendukung tindakan kamu. Sudah, simpan saja uang itu untuk kamu, Indri. Biar Bibi saja yang beli bahan makanan," tolak Bi Ratmi secara halus. "Nggak, Bi, pokoknya pakai saja uangku." Aku bersikukuh ingin membelikan bahan makanan memakai uangku sendiri. "Ya sudah kalau begitu, tapi tidak usah banyak-banyak. Kasihan kamunya," ujar Bi Ratmi. Aku pun mengangguk, lalu mengambil uangku di dalam tas yang aku letakkan di dalam kamar Hana. Aku mencari-cari warung terdekat. Aku melihat sebuah warung yang terdapat beberapa Ibu-ibu yang sedang duduk sambil mengobrol. Aku tersenyum ramah saat aku melewati mereka. "Bu, aku mau beli beras, telur, dan mie instan," imbuhku, saat aku sudah berada di warung. "Iya, sebentar saya bungkusin ya, Neng," sahut pemilik warung. "Eh Ibu-ibu … udah lihat status wa si Hana, belum?" "Belum, memangnya kenapa, Bu Rima?" "Ini loh, si Hana memposting fotonya di depan mobil. Bagus banget, Ibu-ibu mobilnya. Terus aku tanya aja, itu mobil siapa? Terus dia jawab begini, 'ya mobil aku lah,' gitu katanya." "Wah, masa iya? Si Hana punya mobil? Ibunya aja bekerja sebagai art. Mana mungkin si Hana bisa kebeli mobil bagus. Tapi kalau iya, hebat juga sih si Hana. Saya nggak nyangka aja. Dulu dia suka banget ngutang disini. Tapi sekarang, ck ck ck …." timpal pemilik warung sambil membungkus pesanan belanjaanku. "Mana coba? Saya jadi penasaran," sahut salah satu Ibu-ibu berkacamata bulat. Aku tidak sengaja menguping pembicaraan Ibu-ibu itu. Aku menduga, Hana yang dimaksud adalah Hana anaknya Bi Ratmi. "Nah ini dia fotonya." Aku sedikit melirik ke arah ponsel yang memperlihatkan foto yang di maksud ibu-ibu tadi. Wajahku memerah menahan amarah. Mobil yang berada di dalam foto itu adalah mobil kesayangan Ayah. Itu adalah mobil kesayangan Ayah.POV Andi"Tenang, Bu, aku baik-baik saja disini. Aku pastikan, aku akan segera pulang membawa kebahagiaan buat Ibu dan Bapak. Kalian jaga kesehatan, jangan pikirin aku yang tidak-tidak. Pokoknya jangan khawatir, aku bisa jaga diri baik-baik. Aku ini cerdas, Bu, Pak. Kalian juga tahu itu! Tidak seperti anak culun itu, yang sama sekali nggak ada gunanya. Cuma nasib saja yang belum membuatku mujur. Tapi sekarang, kalian berdua pasti akan terkejut. Tapi aku tidak bisa memberitahunya sekarang. Ini bakalan menjadi kejutan besar buat kalian berdua. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mau istirahat dulu." Aku memutuskan sambungan telepon setelah melakukan panggilan telepon dengan kedua orang tuaku di kampung.Sebentar lagi aku akan memberikan kejutan besar untuk kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka pasti akan bangga dan bahagia melihat anaknya bisa sesukses ini. Aku akan memboyong kedua orang tuaku untuk tinggal di rumah baruku ini.Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa."Indri … Indri. Haih … senang se
POV Andi"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Hana.Aku mendekati Hana dan memperhatikan sebelah kakinya."Berdarah, kenapa kamu nggak bilang kalau kaki kamu berdarah? Pasti rasanya sakit kan?" tanyaku."Nggak apa-apa, Mas, ini cuma luka kecil. Dipasang plester sudah cukup, nanti juga sembuh," jawab Hana."Ayo ikut aku," ajakku.Aku menarik tangan Hana, dan menyuruhnya naik ke atas motorku. Tak ada penolakan sama sekali dari Hana. Dia hanya berjalan menurutiku."Kita mau kemana, Mas?" tanya Hana, saat dirinya sudah berada di atas motorku. Posisi kami saat ini sedang berboncengan."Ke suatu tempat," jawabku simpel.Aku melakukan motorku ke jalan raya. Hana hanya diam menatap jalanan tanpa banyak bicara.Beberapa menit kemudian, aku menghentikan motorku di depan sebuah apotek."Kita mau ngapain kesini, Mas?" tanya Hana."Aku mau beli obat, kasihan kamu. Kalau dibiarkan, takutnya infeksi," jawabku.Aku dan Hana turun dari motor. Aku menyuruh Hana menunggu di dekat motorku.Setelah obat didapat
POV Indri "Bi, rencana Bibi sekarang apa? Apakah Bibi mau mencari kerja lagi?" tanyaku saat kami berdua duduk di belakang rumah."Bibi belum tahu, sepertinya iya, Bibi akan mencari pekerjaan lagi, demi kelangsungan hidup," jawab Bi Ratmi.Aku langsung merangkul Bi Ratmi dari samping."Sebenarnya aku ada rencana, semoga Bibi suka dan tidak keberatan," ujarku."Rencana apa? Dan keberatan kenapa?" tanya Bi Ratmi."Aku punya rencana, bagaimana kalau kita buka usaha kecil-kecilan? Aku ingin memanfaatkan uangku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin aku dan Bibi bisa mengelola uang yang aku bawa dari rumah. Kita jualan jajanan makanan anak-anak. Gimana, Bi, ide aku?" imbuhku."Menurut Bibi sih itu pemikiran yang bagus. Boleh, kamu buka warung disini. Bibi sangat mendukung niatan kamu," sahut Bi Ratmi."Tapi aku mau Bibi temani aku jualan. Sekalian ajari aku membuat makanan enak seperti yang suka Bibi masakin makanan buat aku," pintaku penuh harap."Em … mau nggak ya?" imbuh Bi Ratmi."Mau dong …
POV Indri "Siapa? Siapa itu?"Aku mengedarkan pandangan, mencari siapa yang baru saja memanggil namaku."Aku … aku ada dimana?" Aku melihat sekeliling. Tempat yang kupijak begitu asing, aku tidak tahu aku sedang dimana. Aku seperti berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Langit berwarnakan jingga, menandakan waktu sudah sangat sore dan akan beranjak malam."Indri!"Sekali lagi aku mendengar seseorang tengah memanggil namaku.Aku berjalan menyusuri tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar."Indri, kesini, Nak!"Lagi-lagi suara itu menggema di telingaku. Tapi setelah didengar secara seksama. Aku baru sadar, bahwa itu adalah suara ayahku."Ayah! Ayahkah itu?" tanyaku.Air mataku berlinang, aku akan bertemu dengan ayah. Benarkah itu?Aku terus berjalan mencari keberadaan ayahku.Lama aku berjalan, sampai langkahku terhenti di sebuah bangunan seperti sebuah rumah. Terlihat bagus tapi terlihat suram dan sepi."Di tengah hutan ada rumah?" batinku berbicara.Aku berjalan mendekati rumah itu. P
POV HanaCetrek brus!Kobaran api melahap semua benda yang ada di dalam tong kecil, tempat membakar sampah."Habis kau Indri, sekalian mati saja kau!" gumamku.Aku membakar semua benda-benda kesayangan Indri. Seperti foto-foto dirinya, dan foto kebersamaannya dengan Pak Yudha.Aku puas melakukan semua ini. Entah kenapa, ada rasa bangga pada diriku sendiri, setelah mendapatkan segalanya yang aku mau. Mas Andi, dan harta kekayaan Indri. Aku bangga akan pencapaian terbesarku ini. Tapi sayang, ibuku tidak mendukung keberhasilanku ini. Ibu memilih pergi meninggalkanku. Aku sangat menyesalkan keputusan ibu."Sayang, lagi apa?" Aku menoleh dan mendapati Mas Andi sedang berdiri di belakangku."Aku habis membakar semua kenangan mantan istri kamu," jawabku santai.Mas Andi mendekatiku dan memelukku dari belakang."Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Andai aku tidak pernah bertemu kamu, mungkin sekarang aku masih menjadi karyawan biasa di pabrik itu. Atau lebih parahnya lagi, mungkin aku sa
"Andi, sebelum Om dipanggil sama yang maha kuasa, Om minta sama kamu, untuk menikahi Indri sekarang. Om percaya sama kamu, kamu anak baik yang Om kenal. Om yakin kamu bisa menjaga anak semata wayang Om. Om serahkan tanggung jawab menjaga Indri sama kamu. Apakah kamu bersedia, mengabulkan permintaan terakhir Om, sebelum Om pergi untuk selama-lamanya?""Baik Om, Om jangan khawatir. Hari ini, tanggal ini, di jam ini juga, saya siap menikahi putri Om. Saya janji akan menjaganya dan mencintainya dengan sepenuh hati. Hubungan kami sudah berjalan cukup lama, dan saya tidak akan ragu-ragu untuk segera menikahinya.""Jangan, jangan bicara seperti itu, Ayah. Ayah akan sembuh, aku mohon!"Sedih, itulah yang aku rasakan saat ini. Ayahku, orang tuaku yang merawat aku dari kecil, semenjak Ibu meninggal dunia. Ayahlah yang menjadi sandaran hidupku.Menikah dengan Mas Andi, tentu suatu kebahagiaan untukku. Hubungan kami sudah berjalan selama 4 tahun. Namun kebahagiaan ini akan menjadi dilema buatku.
Aku meraih koperku yang tergeletak di depan pintu kamar."Loh kok berat," gumamku.Aku berjongkok hendak membuka koperku yang sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Sehingga terasa berat saat aku akan membawanya ke dalam kamar."Bajuku? Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan ini?" imbuhku dengan suara sedikit lantang.Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Aku membuka pintu lemari, dan aku kaget saat melihat lemariku sudah kosong."Mas Andi!" teriakku memanggil Mas Andi.Mas Andi tidak terlihat disini, aku pun berniat memanggil yang lain."Bi Ratmi! Hana!" teriakku.Tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Kemana sebenarnya mereka? Kemana Mas Andi? Ada apa ini?Aku mengambil ponsel berniat menghubungi Mas Andi."Ih … Mas, kamu nakal."Aku terbelalak, telingaku mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya sedang bersama seorang laki-laki di kamar ujung lantai atas, yang terhalang satu kamar dari kamarku. Dan itu adalah kamar almarhum Ayahku.Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Mas A
"Non, Non Indri … bangun, Non!"Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan mendapati diriku yang tengah dikerumuni banyak orang."Aku dimana?" Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling."Non Indri sudah sadar? Ini saya, Non, Bi Ratmi. Non Indri kenapa bisa pingsan disini? Kenapa Non bawa-bawa koper? Non mau kemana?" tanya seseorang yang ternyata Bi Ratmi, artku sekaligus Ibu kandung Hana."Bi Ratmi," lirihku.Aku bangkit lalu duduk sambil memegangi kepala dan perut. Rasanya aku lapar dan pusing sekali, karena aku belum sempat sarapan."Non kenapa?" tanya Bi Ratmi lagi.Aku menoleh ke arah Bi Ratmi. Kemudian bergeser menjauh darinya.Semua orang yang menatapku heran. Aku tidak mau berdekatan dengan Bi Ratmi. Mengingat Hana yang sangat jahat terhadapku. Dan aku yakin, Bi Ratmi juga pasti terlibat dengan masalah ini. Aku harus berjaga-jaga, aku tidak mau terpedaya oleh kebaikan Bi Ratmi. Aku takut mereka bersekongkol membuatku semakin hancur."Non Ind