Share

Bab 4 Ada Ular

"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya.

"Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu.

Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik.

"Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana.

"Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tolong, kamu juga bicarakan masalah ini sama Andi. Kamu bujuk Andi.  Ibu mohon, Ibu harap kamu dan Andi mau mengembalikan semua hak Non Indri," tukas Bi Ratmi berusaha memohon.

"Panggil saya Tuan!" timpal seseorang yang berada di atas lantai.

Aku, Bi Ratmi dan Hana melirik ke atas.

Mas Andi, dengan langkah angkuhnya, dia berjalan menuruni anak tangga. Namun bukan itu yang mencuri perhatianku. Tapi pakaian yang dikenakannya adalah pakaian Ayahku.

Tanganku mengepal kuat, rahangku mengeras saat dirinya menatapku angkuh.

'Berani-beraninya benalu itu memakai pakaian Ayahku,' batinku bermonolog.

"Sayang, dia Ibuku, masa harus panggil kamu Tuan. Dia calon Ibu mertua kamu, loh!" seru Hana lalu memegangi lengan Andi.

Hatiku tersentak, sakit sekali saat mendengar Hana menyebut bahwa Mas Andi adalah calon suaminya. Tanpa terasa, air mataku kembali luruh.

Aku sangat mengutuk hubungan mereka. Pasangan selingkuh yang mesti dibasmi, pikirku.

"Apa? Calon suami? Apa-apaan ini, Hana? Kamu mau menikah sama pria ini? Tidak, Ibu sama sekali tidak setuju," bantah Bi Ratmi.

Tampak Bi Ratmi sangat bersitegang dengan Hana dan Mas Andi.

Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Disaat mereka lengah, aku mundur dan menyelinap naik ke atas. Berusaha sebisa mungkin langkahku tidak menimbulkan suara sedikitpun.

Aku masuk ke dalam kamarku, untuk mengambil ponsel dan uang cash beserta kartu ATM yang berada di dalam tas, dan di dalam laci.

Aku mempercepat tujuanku, aku tidak ingin mereka mengetahui aku yang sedang berada di dalam kamarku.

'Alhamdulillah … ponselku masih ada,' batinku girang, saat menemukan ponselku yang ternyata masih berada di atas nakas seperti semula.

Lanjut aku mengambil tas dan sejumlah uang cash di dalam laci. Tidak sampai disitu. Aku pun mengambil ijazah terakhirku. Jaga-jaga bilamana aku membutuhkannya.

Aku bersyukur, barang-barang berhargaku belum mereka apa-apakan. Mungkin mereka masih sibuk bersenang-senang atas kemenangannya. Maksudku, kemenangan sementara. Lihat saja, kalian tidak akan bertahan lama tinggal di rumahku. Tunggu pembalasanku, Hana dan Andi.

Aku keluar dari dalam kamarku. Aku melihat Bi Ratmi terjatuh ke atas lantai.

'Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa Bi Ratmi bisa jatuh seperti itu?' batinku.

Aku kembali mengendap-endap turun dari lantai atas. Aku menyembunyikan ijazahku ke dalam baju, uang dan ponsel ke dalam saku, dan tas, aku sengaja menaruhnya di bawah tangga. Nanti biar aku pikirkan bagaimana untuk mengambilnya.

"Bibi, Bibi kenapa?" tanyaku menghampiri Bi Ratmi.

"Hei, kemana saja, kamu? Baru nyadar kalau art ini jatuh?" tanya Mas Andi.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku membantu Bi Ratmi untuk bangkit.

"Kamu anak durhaka, Hana. Tega-teganya kamu lebih memilih pria ini, dibanding Ibumu sendiri yang sudah susah payah melahirkan kamu," imbuh Bi Ratmi menunjuk-nunjuk wajah Hana dan Mas Andi.

"Ibu," ucap Hana, seperti takut dengan perkataan Bi Ratmi. Namun Mas Andi mampu menenangkannya.

Bi Ratmi menoleh ke arahku.

"Non Indri, Bibi mau pergi dari rumah ini. Bibi sudah tidak mau berada satu atap dengan anak yang tidak tahu diri itu. Bibi mau membereskan baju-baju Bibi," ujar Bi Ratmi.

"Ya sudah, siuh … siuh … sana pergi. Sudahlah Hana, kamu nggak usah memikirkan masalah ini. Sekarang kita rayakan pencapaian terbesar kita. Akhirnya kita bisa hidup bahagia berdua dengan gelimang harta yang mungkin tidak akan habis-habis," imbuh Mas Andi sambil melirik tajam ke arahku.

Aku tidak tahu kenapa Mas Andi sangat membenciku. Jika dia mau harta Ayahku, kenapa dia membenciku? Bukankah kemarin kami berdua sudah menikah? Otomatis aku juga tidak akan melarangnya untuk mengelola kekayaan almarhum Ayahku dan memakai fasilitas di rumah ini.

Aku berdiri menunggu Bi Ratmi selesai mengemas semua bajunya.

Bi Ratmi keluar dari dalam kamarnya, dan berjalan menghampiriku.

"Sebentar, Bi," bisikku di sebelah telinga Bi Ratmi.

"Bi, apa itu yang gerak-gerak? Ya ampun, Bi ada ular. Aaaak ular!" teriakku sambil menunjuk ke bawah tangga.

"Ular, mana ular?"

Semua panik, tidak terkecuali Bi Ratmi.

Hana dan Mas Handi naik ke lantai atas, karena sangat panik.

Aku pun berlari ke bawah tangga.

"Non hati-hati, itu bahaya!" teriak Bi Ratmi.

Aku pun dengan sigap mengambil tasku yang sempat aku simpan disna.

"Sudah, Bi. Aku cuma akting! Aku cuma mau ngambil tasku, yang aku bawa dari kamarku tadi. Sengaja aku teriak ular, biar bisa mengalihkan perhatian mereka. Aku tahu, Mas Andi takut sekali dengan ular. Aku berhasil, ayok kita pergi sekarang," bisikku kepada Bi Ratmi.

Mendengar penuturanku, seketika Bi Ratmi mengerti. Kami berdua keluar dari rumahku, dengan masing-masing membawa koper yang berisi pakaian.

"Sekarang, rencana Non Indri mau pergi kemana?" tanya Bi Ratmi.

"Entahlah, Bi, aku belum ada gambaran mau pergi kemana. Aku bingung mesti tinggal dimana sekarang," jawabku.

"Ya sudah gini aja, Non ikut Bibi saja pulang ke rumah Bibi. Kita tinggal berdua disana," imbuh Bi Ratmi memberikan saran.

Aku pun mengangguk dengan cepat. Kini aku sudah punya tujuan, kemana aku harus pergi. Kebetulan, suami Bi Ratmi sudah lama meninggal. Jadi aku bisa tinggal berdua dengan Bi Ratmi.

"Ya sudah, ayo kita cari bus dulu!" ajak Bi Ratmi.

Kami berdua menaiki angkot, dan berangkat menuju terminal bus.

Sesampainya di terminal bus, kami langsung menaiki bus jurusan kampung tempat tinggal Bi Ratmi.

Di perjalanan, aku tak hentinya menatap jalanan melalui kaca jendela bus. Aku kangen Ayah. Seandainya Ayah masih hidup, dan tahu sifat asli Mas Andi dan Hana. Mungkin kehidupanku tidak akan segetir ini. Dunia begitu kejam, sehingga aku harus mengalami hal seperti ini.

Bi Ratmi mengusap tanganku, mencoba menguatkanku.

"Yang sabar ya, Non! Kita semua sedang diuji, sampai mana tingkat kesabaran kita akan bertahan. Bibi yakin, suatu saat semua hak Non, akan kembali lagi kepada Non Indri. Hanya masalah waktu kita tidak tahu. Berdoa, usaha, hanya itulah yang bisa kita lakukan sekarang." Bi Ratmi terus menerus menyemangatiku. Padahal dirinya pun sedang rapuh, karena Hana lebih memilih berkhianat dan tinggal bersama Andi dibanding Ibunya sendiri.

Setelah perjalanan yang terasa melelahkan. Akhirnya kami sampai di sebuah perkampungan tempat tinggal Bi Ratmi.

Kami berdua turun dari dalam bus, kemudian berjalan kaki menuju rumahnya.

"Eh siapa tuh, siapa tuh yang datang? Bidadari, kah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status