"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya.
"Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu. Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik. "Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana. "Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tolong, kamu juga bicarakan masalah ini sama Andi. Kamu bujuk Andi. Ibu mohon, Ibu harap kamu dan Andi mau mengembalikan semua hak Non Indri," tukas Bi Ratmi berusaha memohon. "Panggil saya Tuan!" timpal seseorang yang berada di atas lantai. Aku, Bi Ratmi dan Hana melirik ke atas. Mas Andi, dengan langkah angkuhnya, dia berjalan menuruni anak tangga. Namun bukan itu yang mencuri perhatianku. Tapi pakaian yang dikenakannya adalah pakaian Ayahku. Tanganku mengepal kuat, rahangku mengeras saat dirinya menatapku angkuh. 'Berani-beraninya benalu itu memakai pakaian Ayahku,' batinku bermonolog. "Sayang, dia Ibuku, masa harus panggil kamu Tuan. Dia calon Ibu mertua kamu, loh!" seru Hana lalu memegangi lengan Andi. Hatiku tersentak, sakit sekali saat mendengar Hana menyebut bahwa Mas Andi adalah calon suaminya. Tanpa terasa, air mataku kembali luruh. Aku sangat mengutuk hubungan mereka. Pasangan selingkuh yang mesti dibasmi, pikirku. "Apa? Calon suami? Apa-apaan ini, Hana? Kamu mau menikah sama pria ini? Tidak, Ibu sama sekali tidak setuju," bantah Bi Ratmi. Tampak Bi Ratmi sangat bersitegang dengan Hana dan Mas Andi. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Disaat mereka lengah, aku mundur dan menyelinap naik ke atas. Berusaha sebisa mungkin langkahku tidak menimbulkan suara sedikitpun. Aku masuk ke dalam kamarku, untuk mengambil ponsel dan uang cash beserta kartu ATM yang berada di dalam tas, dan di dalam laci. Aku mempercepat tujuanku, aku tidak ingin mereka mengetahui aku yang sedang berada di dalam kamarku. 'Alhamdulillah … ponselku masih ada,' batinku girang, saat menemukan ponselku yang ternyata masih berada di atas nakas seperti semula. Lanjut aku mengambil tas dan sejumlah uang cash di dalam laci. Tidak sampai disitu. Aku pun mengambil ijazah terakhirku. Jaga-jaga bilamana aku membutuhkannya. Aku bersyukur, barang-barang berhargaku belum mereka apa-apakan. Mungkin mereka masih sibuk bersenang-senang atas kemenangannya. Maksudku, kemenangan sementara. Lihat saja, kalian tidak akan bertahan lama tinggal di rumahku. Tunggu pembalasanku, Hana dan Andi. Aku keluar dari dalam kamarku. Aku melihat Bi Ratmi terjatuh ke atas lantai. 'Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa Bi Ratmi bisa jatuh seperti itu?' batinku. Aku kembali mengendap-endap turun dari lantai atas. Aku menyembunyikan ijazahku ke dalam baju, uang dan ponsel ke dalam saku, dan tas, aku sengaja menaruhnya di bawah tangga. Nanti biar aku pikirkan bagaimana untuk mengambilnya. "Bibi, Bibi kenapa?" tanyaku menghampiri Bi Ratmi. "Hei, kemana saja, kamu? Baru nyadar kalau art ini jatuh?" tanya Mas Andi. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku membantu Bi Ratmi untuk bangkit. "Kamu anak durhaka, Hana. Tega-teganya kamu lebih memilih pria ini, dibanding Ibumu sendiri yang sudah susah payah melahirkan kamu," imbuh Bi Ratmi menunjuk-nunjuk wajah Hana dan Mas Andi. "Ibu," ucap Hana, seperti takut dengan perkataan Bi Ratmi. Namun Mas Andi mampu menenangkannya. Bi Ratmi menoleh ke arahku. "Non Indri, Bibi mau pergi dari rumah ini. Bibi sudah tidak mau berada satu atap dengan anak yang tidak tahu diri itu. Bibi mau membereskan baju-baju Bibi," ujar Bi Ratmi. "Ya sudah, siuh … siuh … sana pergi. Sudahlah Hana, kamu nggak usah memikirkan masalah ini. Sekarang kita rayakan pencapaian terbesar kita. Akhirnya kita bisa hidup bahagia berdua dengan gelimang harta yang mungkin tidak akan habis-habis," imbuh Mas Andi sambil melirik tajam ke arahku. Aku tidak tahu kenapa Mas Andi sangat membenciku. Jika dia mau harta Ayahku, kenapa dia membenciku? Bukankah kemarin kami berdua sudah menikah? Otomatis aku juga tidak akan melarangnya untuk mengelola kekayaan almarhum Ayahku dan memakai fasilitas di rumah ini. Aku berdiri menunggu Bi Ratmi selesai mengemas semua bajunya. Bi Ratmi keluar dari dalam kamarnya, dan berjalan menghampiriku. "Sebentar, Bi," bisikku di sebelah telinga Bi Ratmi. "Bi, apa itu yang gerak-gerak? Ya ampun, Bi ada ular. Aaaak ular!" teriakku sambil menunjuk ke bawah tangga. "Ular, mana ular?" Semua panik, tidak terkecuali Bi Ratmi. Hana dan Mas Handi naik ke lantai atas, karena sangat panik. Aku pun berlari ke bawah tangga. "Non hati-hati, itu bahaya!" teriak Bi Ratmi. Aku pun dengan sigap mengambil tasku yang sempat aku simpan disna. "Sudah, Bi. Aku cuma akting! Aku cuma mau ngambil tasku, yang aku bawa dari kamarku tadi. Sengaja aku teriak ular, biar bisa mengalihkan perhatian mereka. Aku tahu, Mas Andi takut sekali dengan ular. Aku berhasil, ayok kita pergi sekarang," bisikku kepada Bi Ratmi. Mendengar penuturanku, seketika Bi Ratmi mengerti. Kami berdua keluar dari rumahku, dengan masing-masing membawa koper yang berisi pakaian. "Sekarang, rencana Non Indri mau pergi kemana?" tanya Bi Ratmi. "Entahlah, Bi, aku belum ada gambaran mau pergi kemana. Aku bingung mesti tinggal dimana sekarang," jawabku. "Ya sudah gini aja, Non ikut Bibi saja pulang ke rumah Bibi. Kita tinggal berdua disana," imbuh Bi Ratmi memberikan saran. Aku pun mengangguk dengan cepat. Kini aku sudah punya tujuan, kemana aku harus pergi. Kebetulan, suami Bi Ratmi sudah lama meninggal. Jadi aku bisa tinggal berdua dengan Bi Ratmi. "Ya sudah, ayo kita cari bus dulu!" ajak Bi Ratmi. Kami berdua menaiki angkot, dan berangkat menuju terminal bus. Sesampainya di terminal bus, kami langsung menaiki bus jurusan kampung tempat tinggal Bi Ratmi. Di perjalanan, aku tak hentinya menatap jalanan melalui kaca jendela bus. Aku kangen Ayah. Seandainya Ayah masih hidup, dan tahu sifat asli Mas Andi dan Hana. Mungkin kehidupanku tidak akan segetir ini. Dunia begitu kejam, sehingga aku harus mengalami hal seperti ini. Bi Ratmi mengusap tanganku, mencoba menguatkanku. "Yang sabar ya, Non! Kita semua sedang diuji, sampai mana tingkat kesabaran kita akan bertahan. Bibi yakin, suatu saat semua hak Non, akan kembali lagi kepada Non Indri. Hanya masalah waktu kita tidak tahu. Berdoa, usaha, hanya itulah yang bisa kita lakukan sekarang." Bi Ratmi terus menerus menyemangatiku. Padahal dirinya pun sedang rapuh, karena Hana lebih memilih berkhianat dan tinggal bersama Andi dibanding Ibunya sendiri. Setelah perjalanan yang terasa melelahkan. Akhirnya kami sampai di sebuah perkampungan tempat tinggal Bi Ratmi. Kami berdua turun dari dalam bus, kemudian berjalan kaki menuju rumahnya. "Eh siapa tuh, siapa tuh yang datang? Bidadari, kah?"Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah.Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi.'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku.Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi."Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu."Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku.Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek"Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang
POV Andi"Tenang, Bu, aku baik-baik saja disini. Aku pastikan, aku akan segera pulang membawa kebahagiaan buat Ibu dan Bapak. Kalian jaga kesehatan, jangan pikirin aku yang tidak-tidak. Pokoknya jangan khawatir, aku bisa jaga diri baik-baik. Aku ini cerdas, Bu, Pak. Kalian juga tahu itu! Tidak seperti anak culun itu, yang sama sekali nggak ada gunanya. Cuma nasib saja yang belum membuatku mujur. Tapi sekarang, kalian berdua pasti akan terkejut. Tapi aku tidak bisa memberitahunya sekarang. Ini bakalan menjadi kejutan besar buat kalian berdua. Sudah ya, Bu, Pak. Aku mau istirahat dulu." Aku memutuskan sambungan telepon setelah melakukan panggilan telepon dengan kedua orang tuaku di kampung.Sebentar lagi aku akan memberikan kejutan besar untuk kedua orang tuaku. Aku yakin, mereka pasti akan bangga dan bahagia melihat anaknya bisa sesukses ini. Aku akan memboyong kedua orang tuaku untuk tinggal di rumah baruku ini.Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa."Indri … Indri. Haih … senang se
POV Andi"Ya, ada apa lagi, Mas?" tanya Hana.Aku mendekati Hana dan memperhatikan sebelah kakinya."Berdarah, kenapa kamu nggak bilang kalau kaki kamu berdarah? Pasti rasanya sakit kan?" tanyaku."Nggak apa-apa, Mas, ini cuma luka kecil. Dipasang plester sudah cukup, nanti juga sembuh," jawab Hana."Ayo ikut aku," ajakku.Aku menarik tangan Hana, dan menyuruhnya naik ke atas motorku. Tak ada penolakan sama sekali dari Hana. Dia hanya berjalan menurutiku."Kita mau kemana, Mas?" tanya Hana, saat dirinya sudah berada di atas motorku. Posisi kami saat ini sedang berboncengan."Ke suatu tempat," jawabku simpel.Aku melakukan motorku ke jalan raya. Hana hanya diam menatap jalanan tanpa banyak bicara.Beberapa menit kemudian, aku menghentikan motorku di depan sebuah apotek."Kita mau ngapain kesini, Mas?" tanya Hana."Aku mau beli obat, kasihan kamu. Kalau dibiarkan, takutnya infeksi," jawabku.Aku dan Hana turun dari motor. Aku menyuruh Hana menunggu di dekat motorku.Setelah obat didapat
POV Indri "Bi, rencana Bibi sekarang apa? Apakah Bibi mau mencari kerja lagi?" tanyaku saat kami berdua duduk di belakang rumah."Bibi belum tahu, sepertinya iya, Bibi akan mencari pekerjaan lagi, demi kelangsungan hidup," jawab Bi Ratmi.Aku langsung merangkul Bi Ratmi dari samping."Sebenarnya aku ada rencana, semoga Bibi suka dan tidak keberatan," ujarku."Rencana apa? Dan keberatan kenapa?" tanya Bi Ratmi."Aku punya rencana, bagaimana kalau kita buka usaha kecil-kecilan? Aku ingin memanfaatkan uangku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin aku dan Bibi bisa mengelola uang yang aku bawa dari rumah. Kita jualan jajanan makanan anak-anak. Gimana, Bi, ide aku?" imbuhku."Menurut Bibi sih itu pemikiran yang bagus. Boleh, kamu buka warung disini. Bibi sangat mendukung niatan kamu," sahut Bi Ratmi."Tapi aku mau Bibi temani aku jualan. Sekalian ajari aku membuat makanan enak seperti yang suka Bibi masakin makanan buat aku," pintaku penuh harap."Em … mau nggak ya?" imbuh Bi Ratmi."Mau dong …
POV Indri "Siapa? Siapa itu?"Aku mengedarkan pandangan, mencari siapa yang baru saja memanggil namaku."Aku … aku ada dimana?" Aku melihat sekeliling. Tempat yang kupijak begitu asing, aku tidak tahu aku sedang dimana. Aku seperti berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Langit berwarnakan jingga, menandakan waktu sudah sangat sore dan akan beranjak malam."Indri!"Sekali lagi aku mendengar seseorang tengah memanggil namaku.Aku berjalan menyusuri tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar."Indri, kesini, Nak!"Lagi-lagi suara itu menggema di telingaku. Tapi setelah didengar secara seksama. Aku baru sadar, bahwa itu adalah suara ayahku."Ayah! Ayahkah itu?" tanyaku.Air mataku berlinang, aku akan bertemu dengan ayah. Benarkah itu?Aku terus berjalan mencari keberadaan ayahku.Lama aku berjalan, sampai langkahku terhenti di sebuah bangunan seperti sebuah rumah. Terlihat bagus tapi terlihat suram dan sepi."Di tengah hutan ada rumah?" batinku berbicara.Aku berjalan mendekati rumah itu. P
POV HanaCetrek brus!Kobaran api melahap semua benda yang ada di dalam tong kecil, tempat membakar sampah."Habis kau Indri, sekalian mati saja kau!" gumamku.Aku membakar semua benda-benda kesayangan Indri. Seperti foto-foto dirinya, dan foto kebersamaannya dengan Pak Yudha.Aku puas melakukan semua ini. Entah kenapa, ada rasa bangga pada diriku sendiri, setelah mendapatkan segalanya yang aku mau. Mas Andi, dan harta kekayaan Indri. Aku bangga akan pencapaian terbesarku ini. Tapi sayang, ibuku tidak mendukung keberhasilanku ini. Ibu memilih pergi meninggalkanku. Aku sangat menyesalkan keputusan ibu."Sayang, lagi apa?" Aku menoleh dan mendapati Mas Andi sedang berdiri di belakangku."Aku habis membakar semua kenangan mantan istri kamu," jawabku santai.Mas Andi mendekatiku dan memelukku dari belakang."Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Andai aku tidak pernah bertemu kamu, mungkin sekarang aku masih menjadi karyawan biasa di pabrik itu. Atau lebih parahnya lagi, mungkin aku sa
"Andi, sebelum Om dipanggil sama yang maha kuasa, Om minta sama kamu, untuk menikahi Indri sekarang. Om percaya sama kamu, kamu anak baik yang Om kenal. Om yakin kamu bisa menjaga anak semata wayang Om. Om serahkan tanggung jawab menjaga Indri sama kamu. Apakah kamu bersedia, mengabulkan permintaan terakhir Om, sebelum Om pergi untuk selama-lamanya?""Baik Om, Om jangan khawatir. Hari ini, tanggal ini, di jam ini juga, saya siap menikahi putri Om. Saya janji akan menjaganya dan mencintainya dengan sepenuh hati. Hubungan kami sudah berjalan cukup lama, dan saya tidak akan ragu-ragu untuk segera menikahinya.""Jangan, jangan bicara seperti itu, Ayah. Ayah akan sembuh, aku mohon!"Sedih, itulah yang aku rasakan saat ini. Ayahku, orang tuaku yang merawat aku dari kecil, semenjak Ibu meninggal dunia. Ayahlah yang menjadi sandaran hidupku.Menikah dengan Mas Andi, tentu suatu kebahagiaan untukku. Hubungan kami sudah berjalan selama 4 tahun. Namun kebahagiaan ini akan menjadi dilema buatku.
Aku meraih koperku yang tergeletak di depan pintu kamar."Loh kok berat," gumamku.Aku berjongkok hendak membuka koperku yang sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Sehingga terasa berat saat aku akan membawanya ke dalam kamar."Bajuku? Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan ini?" imbuhku dengan suara sedikit lantang.Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Aku membuka pintu lemari, dan aku kaget saat melihat lemariku sudah kosong."Mas Andi!" teriakku memanggil Mas Andi.Mas Andi tidak terlihat disini, aku pun berniat memanggil yang lain."Bi Ratmi! Hana!" teriakku.Tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Kemana sebenarnya mereka? Kemana Mas Andi? Ada apa ini?Aku mengambil ponsel berniat menghubungi Mas Andi."Ih … Mas, kamu nakal."Aku terbelalak, telingaku mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya sedang bersama seorang laki-laki di kamar ujung lantai atas, yang terhalang satu kamar dari kamarku. Dan itu adalah kamar almarhum Ayahku.Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Mas A