POV IndriBruk!Tubuhku ambruk terlempar ke pinggir jalan. Badanku terasa sakit, dan aku mulai membuka mataku."Sakit," gumamku.Aku mencoba bangun walaupun punggungku terasa sakit."Bibi," panggilku.Tak ada sahutan sama sekali dari Bi Ratmi.Aku menoleh ke belakang dan mendapati tubuh yang terbaring dengan kepala berlumuran darah."Bibiiii!" teriakku histeris.Aku bangkit dan berlari tergopoh-gopoh ke arah Bibi. Terlebih dahulu aku melihat satu mobil yang melaju kencang, yang sempat hampir menabrakku.Aku melihat pita panjang melambai-lambai terbawa angin, di depan mobil yang sudah menjauh. Tapi aku tidak bisa membaca nomor polisi mobil itu, karena mobil itu melaju sangat kencang dan sudah menjauh."Bibi, apa yang terjadi, Bi? Kenapa Bibi bisa seperti ini?" tanyaku dengan perasaan panik."Indri, kamu selamat. Syukurlah …." lirih Bi Ratmi dengan suara yang hampir hilang."Apa maksud Bibi? Jangan bilang yang mendorongku itu adalah Bibi. Kenapa Bi? Kenapa Bibi mengorbankan diri Bibi un
POV IndriWiuwiuwiu ….Suara ambulance menggema di sepanjang jalan. Aku sengaja menyewa ambulance dari rumah sakit untuk mengantar kami pulang ke kampung halaman bi Ratmi, supaya bi Ratmi tidak kepanasan ataupun kehujanan.Bahkan sopir pick up tadi, mengikuti mobil ambulans yang kamu tumpangi, dari belakang. Walaupun mereka berdua belum kenal dan baru bertemu dengan kami mungkin sekitar kurang lebih satu jam setengah, tapi kepedulian mereka begitu besar. Mereka orang baik, walaupun kami orang asing."Bibi, ternyata kebersamaan kita harus sesingkat ini. Bibi adalah sosok Ibu yang baik buatku. Ya Tuhan, kenapa orang-orang baik selalu lebih dulu Engkau panggil? Kenalan bukan aku saja yang kay ambil ya Tuhan?" batinku menahan sesak di dada.Aku menatap Bi Ratmi yang sudah terbujur kaku, yang tertutup kain dari ujung kepala sampai ujung kaki. Di rumah sakit, aku hanya menyewa ambulans saja. Untuk prosesi mengurus jenazah, aku akan meminta bantuan kepada warga kampung bibi. Aku melakukan in
POV Andi"Eh saya tidak menyangka loh, kok si Indri ternyata selingkuh, ya! Dia rela mengejar selingkuhannya, sampai-sampai dia menuntut cerai sama suaminya. Ih saya kok jadi ngenes ya sama dia. Padahal yang saya lihat, si Indri itu gadis lugu. Tapi dibalik keluguannya, si Indri ternyata sangat jahat.""Si Hana bilang, kalau si Indri mau nenangin diri di suatu tempat, karena masih bersedih sepeninggal Pak Yudha. Tapi ternyata ya Ibu-ibu, si Indri bukannya nenangin diri. Tapi dia tinggal sama selingkuhannya. Tapi untung ya, Pak Yudha mewariskan semua hartanya kepada Andi, saat dirinya selesai dinikahkan dengan Indri. Kalau tidak, mungkin selingkuhannya sekarang ini dengan bebasnya berfoya-foya menikmati warisan dari Pak Yudha yang mungkin tidak akan habis tujuh turunan.""Iya ya, kasihan Mas Andi. Dia orang baik, dan setia sama Indri. Tapi dia malah dikhianati seperti itu. Dia juga berhak membalas perbuatan si Indri yang keterlaluan itu. Contohnya dengan menikah seperti sekarang ini, t
POV IndriSamar-samar aku mendengar suara orang-orang yang tengah ramai berbicara. Aku membuka mata, dan melihat ada beberapa orang tengah menatapku. Mereka tersenyum melihatku.Aku mengedarkan pandangan ternyata aku ada di dalam kamar Hana. Tapi … tunggu-tunggu. Kenapa ada wanita yang memakai jas putih? Dengan stetoskop yang dikalungkan pada lehernya."Kamu sudah sadar? Syukurlah," imbuh bu Rini, yang berada di samping kiriku."Aku kenapa?" tanyaku.Wanita berjas putih itu tersenyum seraya menjawab pertanyaanku."Kamu tidak apa-apa, kamu tidak perlu khawatir. Mulai sekarang, kamu harus jaga kesehatan, terutama asupan gizi. Supaya janin dalam kandungan kamu tetap sehat," imbuhnya.Aku terperangah mendengar ucapannya."Aku hamil?" lirihku."Iya, kamu hamil, barusan Bu bidan ini telah memeriksa kamu," ujar bu Rini.Tanpa terasa, air mataku menetes. Aku hamil? Ya Tuhan …."Kamu yang sabar ya, memang tidak mudah menjadi orang tua tunggal. Tapi saya yakin kamu pasti bisa. Saya ikut prihati
POV HanaApa? Indri hamil? Berarti anak yang dikandung Indri adalah anak Mas Andi? Tidak, aku tidak rela. Aku harus melakukan sesuatu, supaya Mas Andi tidak terpengaruh dan luluh atas kehamilan Indri. Ini tidak boleh terjadi, Mas Andi adalah milikku, hanya milikku. Tidak boleh ada yang memiliki mas Andi selain aku."Mas, sebaiknya kita pulang. Kita tidak usah mendengarkan omong kosong dia, buang-buang waktu saja." Aku mengajak Mas Andi pulang, guna menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja akan dilontarkan Mas Andi kepada Indri, seputar kehamilannya."Sebentar, sayang, aku mau bicara dulu dengan Indri," tolak Mas Andi. Kemudian mas Andi mendekati Indri. Namun Indri beringsut menjauh Tuh kan, apa yang aku takutkan terjadi juga. Jangan sampai Mas Andi luluh. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong aku Tuhan …."Indri, apakah benar kamu sedang hamil?" tanya Mas Andi dengan tatapan serius.Indri menatap Mas Andi dengan tatapan penuh kebencian."Apa peduli kamu, Mas? Mau hamil ata
POV IndriTanpa mendoakan dan tanpa ingin tahu dimana letak makam sang ibu. Hana pergi dengan emosi yang memuncak. Aku menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan perilaku Hana."Sepertinya masalah kalian begitu pelik, kalau misalnya kamu ada kesusahan, cerita sama saya. Siapa tahu saya ada solusi buat kamu," ujar bu Rini."Iya, Bu, terima kasih. Masalah kami memang sangat pelik. Saya pun lelah menghadapi semua ini. Tapi saya juga harus berusaha bangkit dan merebut kembali apa yang menjadi hakku," sahutku."Segala permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Jangan ragu untuk meminta bantuan. Kami disini ada untuk kamu, kamu tidak perlu merasa sendiri," timpal Yusuf.Aku meraba perutku yang masih rata ini. Disatu sisi, aku kecewa kenapa aku hamil. Disisi lain, rasa sayang timbul begitu saja. Mungkin ini yang dinamakan naluri seorang ibu. "Nak, kamu yang sehat ya. Mama doakan, kelak kamu lahir dengan sehat dan menjadi anak yang Soleh atau Solehah," batinku sambil mengusap pelan perutku.
POV Indri"Apa? Apa maksud anda berbicara seperti ini? Ini rumah milik Bi Ratmi, kenapa anda bisa bicara seperti itu, dengan mengaku-ngaku sebagai pemilik baru rumah ini? Siapa anda sebenarnya?" tanyaku merasa heran."Saya adalah juragan Anto. Maaf, Nona, tapi saya sudah membeli rumah ini dari anak pemilik rumah ini. Jadi, saya lebih berhak atas rumah ini," jawab bapak-bapak yang bernama juragan Anto itu."Hana?" lirihku."Ya, saya beli rumah ini dari Bu Hana. Semalam kami bertransaksi jual beli rumah ini. Dan ini sertifikat rumah ini," imbuhnya sembari menunjukkan sertifikat rumah ini.Aku membekap mulutku sendiri, bahkan tak pernah terlintas semua bakalan seperti ini."Silahkan, Nona, angkat kaki dari rumah ini. Atau … saya bisa memberi toleransi, jika Nona masih mau tinggal di rumah ini," pungkasnya.Juragan Anto menatapku lekat dari atas sampai ke bawah. Itu justru membuatku tak nyaman dan merasa risih."Toleransi bagaimana?" tanyaku.Aku mencoba menghindar dari tatapannya yang me
POV YusufAku senang dengan kehadiran Indri, di kampung ini. Kehadirannya seperti warna baru dalam kehidupanku. Belum pernah aku sejatuh cinta ini kepada seorang perempuan. Bisa dibilang, aku adalah orang tertutup dan susah untuk membuka hati kepada perempuan manapun. Tapi dengan Indri, entah kenapa, perasaan itu muncul begitu saja."Gimana, Bi, rujaknya udah dikasih belum? Gimana tanggapannya?" tanyaku pada bi Rini, yang baru saja pulang dari kontrakan yang ditempati oleh Indri."Memangnya kamu ngarepinnya dengan tanggapan apa? Wow, peduli, ketawa, atau like?" imbuh bi Rini."Ck!" Aku berdecak kesal mendengar jawaban bibi, yang tidak serius seperti itu."Aku serius, Bi!" pungkasku."Ya dia sih bilang terima kasih. Terlihat sekali, kalau dia sangat senang menerima rujak itu. Ya … namanya juga orang ngidam. Dikasih rujak aja, senangnya minta ampun," jelas bi Rini.Aku tersenyum lega, mendengar penjelasan dari bi Rini."Bibi mau tanya, memangnya kamu beneran serius suka sama si Indri? B