POV IndriSebulan sudah aku menempati rumah bi Ratmi. Aku mulai merasa nyaman, perlahan aku bisa bangkit lagi.Hampir sebulan juga aku dan bi Ratmi berjualan jajanan makanan anak-anak. Alhamdulillah … anak-anak di kampung sini suka sama makanan buatanku. Tepatnya buatan Bi Ratmi. Aku hanya membantu mengiris dan menyiapkan wadahnya saja. Bahkan orang dewasa pun tak jarang mampir kesini, sekedar untuk membeli cemilan."Alhamdulillah ya, Bi. Uang kita sudah terkumpul lumayan banyak. Kalau begini terus, bisa-bisa kita punya warung beneran, Bi. Aku senang sekali, bisa usaha seperti ini bersama Bibi," ujarku, sambil menghitung sejumlah uang hasil berjualan kami."Iya, Bibi juga senang. Dengan begitu, Bibi tidak perlu jadi art lagi. Ini semua karena kamu yang sudah memberi semangat Bibi. Bahwa menjadi pengusaha sekecil apapun, lebih enak daripada kerja di tempat orang," sahut Bi Ratmi."Oh iya, tadi Bibi berpapasan sama lelaki warga kampung sini, namanya Yusuf. Dia titip salam buat kamu. Dia
POV IndriBruk!Tubuhku ambruk terlempar ke pinggir jalan. Badanku terasa sakit, dan aku mulai membuka mataku."Sakit," gumamku.Aku mencoba bangun walaupun punggungku terasa sakit."Bibi," panggilku.Tak ada sahutan sama sekali dari Bi Ratmi.Aku menoleh ke belakang dan mendapati tubuh yang terbaring dengan kepala berlumuran darah."Bibiiii!" teriakku histeris.Aku bangkit dan berlari tergopoh-gopoh ke arah Bibi. Terlebih dahulu aku melihat satu mobil yang melaju kencang, yang sempat hampir menabrakku.Aku melihat pita panjang melambai-lambai terbawa angin, di depan mobil yang sudah menjauh. Tapi aku tidak bisa membaca nomor polisi mobil itu, karena mobil itu melaju sangat kencang dan sudah menjauh."Bibi, apa yang terjadi, Bi? Kenapa Bibi bisa seperti ini?" tanyaku dengan perasaan panik."Indri, kamu selamat. Syukurlah …." lirih Bi Ratmi dengan suara yang hampir hilang."Apa maksud Bibi? Jangan bilang yang mendorongku itu adalah Bibi. Kenapa Bi? Kenapa Bibi mengorbankan diri Bibi un
POV IndriWiuwiuwiu ….Suara ambulance menggema di sepanjang jalan. Aku sengaja menyewa ambulance dari rumah sakit untuk mengantar kami pulang ke kampung halaman bi Ratmi, supaya bi Ratmi tidak kepanasan ataupun kehujanan.Bahkan sopir pick up tadi, mengikuti mobil ambulans yang kamu tumpangi, dari belakang. Walaupun mereka berdua belum kenal dan baru bertemu dengan kami mungkin sekitar kurang lebih satu jam setengah, tapi kepedulian mereka begitu besar. Mereka orang baik, walaupun kami orang asing."Bibi, ternyata kebersamaan kita harus sesingkat ini. Bibi adalah sosok Ibu yang baik buatku. Ya Tuhan, kenapa orang-orang baik selalu lebih dulu Engkau panggil? Kenalan bukan aku saja yang kay ambil ya Tuhan?" batinku menahan sesak di dada.Aku menatap Bi Ratmi yang sudah terbujur kaku, yang tertutup kain dari ujung kepala sampai ujung kaki. Di rumah sakit, aku hanya menyewa ambulans saja. Untuk prosesi mengurus jenazah, aku akan meminta bantuan kepada warga kampung bibi. Aku melakukan in
"Andi, sebelum Om dipanggil sama yang maha kuasa, Om minta sama kamu, untuk menikahi Indri sekarang. Om percaya sama kamu, kamu anak baik yang Om kenal. Om yakin kamu bisa menjaga anak semata wayang Om. Om serahkan tanggung jawab menjaga Indri sama kamu. Apakah kamu bersedia, mengabulkan permintaan terakhir Om, sebelum Om pergi untuk selama-lamanya?""Baik Om, Om jangan khawatir. Hari ini, tanggal ini, di jam ini juga, saya siap menikahi putri Om. Saya janji akan menjaganya dan mencintainya dengan sepenuh hati. Hubungan kami sudah berjalan cukup lama, dan saya tidak akan ragu-ragu untuk segera menikahinya.""Jangan, jangan bicara seperti itu, Ayah. Ayah akan sembuh, aku mohon!"Sedih, itulah yang aku rasakan saat ini. Ayahku, orang tuaku yang merawat aku dari kecil, semenjak Ibu meninggal dunia. Ayahlah yang menjadi sandaran hidupku.Menikah dengan Mas Andi, tentu suatu kebahagiaan untukku. Hubungan kami sudah berjalan selama 4 tahun. Namun kebahagiaan ini akan menjadi dilema buatku.
Aku meraih koperku yang tergeletak di depan pintu kamar."Loh kok berat," gumamku.Aku berjongkok hendak membuka koperku yang sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Sehingga terasa berat saat aku akan membawanya ke dalam kamar."Bajuku? Apa-apaan ini? Siapa yang melakukan ini?" imbuhku dengan suara sedikit lantang.Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Aku membuka pintu lemari, dan aku kaget saat melihat lemariku sudah kosong."Mas Andi!" teriakku memanggil Mas Andi.Mas Andi tidak terlihat disini, aku pun berniat memanggil yang lain."Bi Ratmi! Hana!" teriakku.Tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Kemana sebenarnya mereka? Kemana Mas Andi? Ada apa ini?Aku mengambil ponsel berniat menghubungi Mas Andi."Ih … Mas, kamu nakal."Aku terbelalak, telingaku mendengar suara seorang perempuan yang sepertinya sedang bersama seorang laki-laki di kamar ujung lantai atas, yang terhalang satu kamar dari kamarku. Dan itu adalah kamar almarhum Ayahku.Aku mengurungkan niatku untuk menghubungi Mas A
"Non, Non Indri … bangun, Non!"Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata, dan mendapati diriku yang tengah dikerumuni banyak orang."Aku dimana?" Aku mengedarkan pandangan, menatap sekeliling."Non Indri sudah sadar? Ini saya, Non, Bi Ratmi. Non Indri kenapa bisa pingsan disini? Kenapa Non bawa-bawa koper? Non mau kemana?" tanya seseorang yang ternyata Bi Ratmi, artku sekaligus Ibu kandung Hana."Bi Ratmi," lirihku.Aku bangkit lalu duduk sambil memegangi kepala dan perut. Rasanya aku lapar dan pusing sekali, karena aku belum sempat sarapan."Non kenapa?" tanya Bi Ratmi lagi.Aku menoleh ke arah Bi Ratmi. Kemudian bergeser menjauh darinya.Semua orang yang menatapku heran. Aku tidak mau berdekatan dengan Bi Ratmi. Mengingat Hana yang sangat jahat terhadapku. Dan aku yakin, Bi Ratmi juga pasti terlibat dengan masalah ini. Aku harus berjaga-jaga, aku tidak mau terpedaya oleh kebaikan Bi Ratmi. Aku takut mereka bersekongkol membuatku semakin hancur."Non Ind
"Ibu! Kenapa ibu menampar aku!" bentak Hana, sembari memegangi pipinya menahan sakit dan panas di sebelah pipinya."Hana, kamu sudah sangat keterlaluan. Janganlah begitu, Nak, Ibu mohon. Kita disini hanya menumpang dan kerja. Jadi kamu bersikaplah sewajarnya, selayaknya anak Ibu yang seorang art. Jangan bikin Ibu kecewa, Nak," ujar Bi Ratmi dengan wajah yang terlihat sendu.Aku kasihan sama Bi Ratmi, ada gurat kekecewaan dalam wajahnya. Aku tahu, pasti Bi Ratmi sangat sedih melihat tingkah anaknya yang seperti ini. Hana yang dulu, Hana yang baik, penurut dan lugu. Tapi sekarang, Hana seperti ular dan terlihat sangat licik."Kecewa apa, Bu? Ibu seharusnya bangga dengan ini semua. Kita bisa menjadi nyonya, tanpa harus capek-capek menjadi art. Aku sudah bosan hidup miskin, Bu. Adakalanya aku juga ingin menjadi orang kaya," bantah Hana."Sadar, Nak, sadar … kita disini hanya bekerja. Keluarga Non Indri itu sangat baik kepada kita. Jadi Ibu mohon, Nak, kembalikan semua harta Non Indri. Tol
Di sepanjang jalan menuju rumah Bi Ratmi. Orang-orang menatapku dan ada pula yang tersenyum ramah.Aku senang, jika tetangga Bi Ratmi semuanya baik dan ramah.Mulai hari ini, aku akan memulai hidupku yang baru dengan Bi Ratmi. Di tempat ini, di kampung ini, hari ini, jam ini, aku bertekad ingin menghapus semua kenanganku bersama Mas Andi.'Mas Andi, terima kasih karena kamu sudah membuatku benci kepadamu. Aku sudah tak percaya cinta. Aku sudah muak dengan kamu. Lihat saja, aku akan bangkit. Tunggu saja tanggal mainnya.' batinku.Aku terus berjalan berbarengan dengan Bi Ratmi."Nah, itu rumah Bibi! Maaf rumah Bibi seperti ini. Tapi lumayan daripada Non tidak ada tempat tujuan," tunjuk Bi Ratmi ke sebuah rumah berdinding bilik bambu."Tidak apa-apa, Bi. Ini nyaman kok, yang penting kita bisa sama-sama," sahutku.Bi Ratmi mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya.Terlebih dahulu Bi Ratmi membuka kuncinya. Ceklek"Silahkan masuk, Non. Maaf rumahnya kotor, karena baru hari ini Bibi pulang