Share

Rentenir Gila

Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing.

"Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.

Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."

Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!"

"Ah, jangan, jangan. Biar saya saja yang ambil. Tapi ... dimana orang itu?" ucap Wilona pelan.

"Orang itu? Siapa yang nona maksud?" tanya pelayan itu kebingungan.

"Ya, yang punya rumah ini. Siapa namanya? Saya lupa," kata Wilona sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Oh, tuan sudah pergi, Nona. Dia berpesan, sebelum pulang, nona harus mandi dan sarapan terlebih dahulu." Pelayan itu tampak wibawa dan tegas, sehingga Wilona sungkan untuk bertanya kembali.

"Oh, baiklah. Aku mau mandi dulu, habis itu sarapan, lalu pergi. Terima kasih ya, dan maaf sudah merepotkan," kata Wilona malu-malu.

"Tidak apa-apa, Nona. Ini sudah menjadi tanggung jawab saya."

"Yah, dia sama sekali nggak ngasih tahu namanya," gerutu Wilona sambil berjalan menuju kamarnya.

Setelah mandi dan merasa segar kembali, Wilona duduk di ruang makan menikmati sarapan yang telah disiapkan. Sambil makan, pikirannya melayang mengingat kembali kejadian semalam dan percakapan dengan Rayan. Hatinya masih bingung dengan kebaikan yang tiba-tiba datang dari pria asing itu.

"Dia ternyata orang baik, tapi aku lupa siapa namanya, ya? Perasaan saat di mobil dia ngasih tahu, tapi kenapa aku malah lupa!" Lagi-lagi Wilona menggerutu kenapa bisa lupa dengan nama Rayan, padahal baru tadi malam sudah disebutkan.

Setelah selesai sarapan, Wilona memutuskan untuk pulang. Dia berterima kasih kepada para pelayan dan meninggalkan rumah Rayan dengan perasaan campur aduk. Antara senang dan cemas. Senang karena diperlakukan seperti ratu di rumah itu, cemas karena hari ini jatuh temponya utang satu miliar kepada rentenir.

"Ya, Tuhan. Aku harus bagaimana? Sepeserpun aku gak punya. Sekarang pasti para rentenir itu datang lagi, ini hari ke dua dan utang harus segera dibayar. Kalau tidak ... mungkin kah aku jadi santapan mereka?" kata Wilona dalam hatinya. Sepanjang jalan dirinya melamun terus dan tidak tahu harus berbuat apa lagi, selain memasrahkan diri.

Sementara di rumahnya, beberapa ketukan pintu yang begitu keras mengganggu pendengaranya pak Sadam. Dia bergegas hendak membuka pintu dan melihat sekelompok pria berwajah garang—para rentenir sedang menunggu dirinya untuk keluar.

"Pak Sadam, buka pintunya. Mana uang yang kau janjikan itu?" salah satu dari mereka menggeram dan akhirnya pintu itu terbuka lebar.

Pak Sadam menggigil ketakutan. "Tolong, beri kami waktu sedikit lagi."

"Kamu pikir kami punya waktu?" Pria itu mendorong Pak Sadam, membuatnya tersungkur. "Dimana putrimu?"

"Aku ... aku tidak tahu, semalam dia tidak pulang!" kata pak Sadam terbata-bata.

"Salah satu rentenir itu menarik kerah baju pak Sadam, "Kau jangan bohongi kami pak tua, kalau sampai berbohong, kau akan tahu akibatnya."

"Su-sumpah! Anakku sedang tidak ada di rumah!" kata pak Sadam ketakutan. "Dia ... dia pasti akan membawa uangnya, itu pasti. Anakku tidak pernah ingkar janji."

Tiba-tiba, salah satu pria kekar itu menerima sebuah telepon. Dia mendengarkan dengan serius, lalu mengangguk. "Baiklah. Kita pergi dulu. Tapi ingat, ini belum selesai," katanya, memberi isyarat kepada yang lainnya untuk pergi.

Pak Sadam terkejut dan bingung melihat mereka pergi. Dengan tangan gemetar, dia menutup pintu dan merosot ke lantai. Dia tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tetapi satu hal yang pasti, rasa kelegaan yang sementara menyelimuti hatinya.

"Wilona, di mana kamu, Nak. Jangan sampai bertemu dengan mereka, ayah takut terjadi sesuatu sama kamu," kata pak Sadam lirih.

Dan beberapa menit kemudian, Wilona datang menghampirinya, "Ayah!"

"Wilona!" teriak pak Sadam. "Para rentenir itu kembali ke sini, kamu tidak bertemu dengan mereka, kan?"

"Tidak, aku tidak bertemu dengan mereka. Tapi Ayah tidak apa-apa, kan?" tanya Wilona cemas.

"Tidak, ayah tidak apa-apa. Semalam kamu kemana saja? Ayah sangat khawatir!" seru Pak Sadam sambil memeluk putrinya. Dia sangat lega akhirnya putrinya kembali ke rumah.

"Aku minta maaf, Ayah. Semalam ada kejadian yang tidak terduga," jawab Wilona dengan suara lembut. "Tapi ayah tenang saja, aku baik-baik saja kok."

Pak Sadam menatap putrinya dengan penuh pertanyaan. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Wilona menghela napas dan menceritakan yang terjadi pada dirinya, kecuali tentang pertemuannya dengan Rayan. Dia malah menceritakan pertemuannya dengan pak Ahmad. Sehingga, membuat pak Sadam tenang. Karena ia tahu, pak Ahmad adalah orang yang sangat baik, dia juga mempunyai putri seusia Wilona. Dia pikir, Wilona menginap di rumah temannya itu.

Pak Sadam terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kita sangat beruntung, Wilona. Tapi kita tidak bisa terus bergantung pada bantuan orang lain. Kita harus mencari cara untuk membayar utang ini sendiri."

Wilona mengangguk setuju. "Aku tahu, Ayah. Aku akan bekerja lebih keras lagi untuk membantu keluar dari situasi ini. Pak Ahmad hanya memberikan kartu alamat saja, dan aku tahu bagaimana harus membalas kebaikannya dia. Jadi, Ayah tidak usah khawatir, oke!"

******

Di sisi lain, keluarga Kirey semakin mendesak untuk melanjutkan perjodohan yang selama ini selalu tertunda terus. Kedua orang tua Kirey menuntut penjelasan dari keluarga Rayan, membuat situasi semakin tegang dan tidak terkendali.

"Kita harus segera menyelesaikan masalah ini, Kirey," kata pak Arif—ayahnya Kirey dengan tegas. "Selain Rayan, masih ada pria kaya dan mapan yang rela menunggumu. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini. Kau harus cepat menghubungi keluarganya dan meminta kepastian. Ingat, orang kaya raya bukan hanya dia saja, ayah percaya kamu bisa mengatasinya."

"Ayah tenang saja, aku pasti bisa mengatasinya sendiri," kata Kirey dengan percaya diri. Dia pun segera menghubungi keluarga Rayan. Dan pada saat itu, yang menerima telepon adalah pak Hendi.

"Kirey?" Hendi menjawab dengan hati-hati. "Rayan masih belum pulang, ta-tapi saya bisa menyampaikan pesanmu pada dia," jawab pak Hendi saat Kirey menanyakan keberadaan Rayan.

Di ujung telepon sana, Kirey menghela napas dan berkata, "Tolong katakan padanya bahwa aku tidak akan menunggu lebih lama lagi. Jika dia tidak bisa memutuskannya sekarang, aku akan menganggap perjodohan ini batal."

"Tu-tunggu, Nak. Jangan terburu-buru, aku pastikan Rayan akan segera melamarmu, oke!" kata Pak Hendi seakan tidak ingin perjodohan anaknya batal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status