Wilona merasa tubuhnya membeku mendengar kata-kata Rayan. Matanya terbelalak, dan pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar dari situasi yang tiba-tiba menjadi semakin rumit. "Apa? Kau—kau bercanda, kan?" katanya dengan suara yang bergetar.
Rayan tidak mengalihkan tatapannya, matanya dingin namun tegas. "Tidak. Aku sangat serius. Kau butuh uang untuk melunasi utang keluargamu, dan aku memberikannya. Sekarang, sebagai gantinya, kau harus membantuku menjadi istriku." Wilona memalingkan wajahnya, mencoba menghindari tatapan tajam Rayan. "Ini gila! Kau tidak bisa begitu saja mengatur hidupku. Aku tidak bisa menikah denganmu hanya karena kau melunasi utang keluargaku!" Rayan mendesah pelan, masih mempertahankan posisinya yang tenang dan terkendali. "Dengar, Wilona. Ini bukan soal perasaan. Ini tentang kesepakatan. Aku memberimu kebebasan dari utang yang bisa menghancurkan keluargamu, dan sebagai gantinya, aku meminta sesuatu yang hanya kau bisa berikan." Wilona menggigit bibirnya, rasa takut dan marah bercampur menjadi satu. "Kau ingin mempermainkanku? Kau pikir aku barang yang bisa kau beli?" Rayan menatap Wilona lebih dalam, ada kilatan emosi yang sulit diterjemahkan di matanya. "Aku tidak mempermainkanmu, Wilona. Ini kesempatan bagimu untuk memulai hidup baru, bebas dari utang dan masalah. Lagipula, bukankah aku yang menyelamatkan keluargamu?" Wilona terdiam sejenak, hatinya dilanda kebimbangan. Benar, dia memang sangat berterima kasih pada Rayan, akan tetapi permintaannya untuk menikah begitu tiba-tiba dan mendadak. Rasa hutang budi tak seharusnya menjadi alasan untuk menyerahkan hidupnya pada seseorang yang ia tidak cintai. "Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan ini," akhirnya ia berkata, suaranya melemah. Rayan menatap Wilona sejenak, lalu mengangguk. "Baik, aku akan memberimu waktu. Tapi jangan lama-lama, Wilona. Waktumu tidak banyak." "Baiklah, tiga hari. Hanya tiga hari saja," kata Wilona sambil melirik ke arah Rayan. "Kelamaan!" sahut Rayan dengan tenang. "Kalau begitu, dua hari!" "tiga jam saja. Aku tidak ingin menunggu lama," ucap Rayan dengan tegas. "Apa! Tiga jam?" kata Wilona membelalakkan matanya. "Yang benar saja." "Terserah, kesepakatan kita sudah jelas. Aku akan menjemputmu kembali untuk mendaftar pernikahan kita." Mobil melaju dengan tenang, meninggalkan Wilona dalam kebingungan yang lebih dalam dari sebelumnya. Hatinya bergejolak, berjuang antara rasa syukur karena terbebas dari beban utang dan ketidaknyamanan karena harus menghadapi tuntutan Rayan yang tak terduga. "Aragh ... kenapa aku harus bertemu dengan pria seperti itu. Dasar belo, tukang maksa!" ***** Saat tiba di kantor, Wilona masih memikirkan tawaran Rayan. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Bagaimana mungkin seseorang yang melunasi utangnya kini menuntut balasan sebesar ini? Wilona merasa bimbang, tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan membuat keputusan tanpa memikirkan segala konsekuensinya terlebih dahulu. Pernikahan bukan hal yang bisa dianggap enteng, apalagi jika ia tidak memiliki perasaan pada orang itu. Sekarang pikirannya melayang-layang, tidak mampu fokus pada pekerjaan yang ada di depan matanya. Di meja kerjanya, layar komputer menampilkan laporan yang harus ia selesaikan sebelum siang, namun matanya hanya menatap kosong. Telinganya masih berdengung dengan suara Rayan yang memintanya untuk menjadi istri sebagai balasan dari pelunasan utangnya. Tawaran itu terus terngiang di benaknya, dan ia tidak tahu harus bagaimana. "Menikah dengan Rayan?" gumamnya lirih. "Apakah aku sanggup?" Tanpa sadar, Wilona telah menghabiskan hampir satu jam hanya menatap layar tanpa berbuat apa-apa. Tiba-tiba, suara ketukan sepatu yang tajam terdengar semakin mendekat. Luna, atasan Wilona, muncul di balik pintu dengan tatapan tajam. Luna adalah seorang wanita karier yang tegas dan ambisius, selalu menuntut kesempurnaan dari timnya. Banyak yang mengagumi kecerdasannya, tapi tidak sedikit juga yang merasa dia terlalu sombong dan sulit didekati. "Wilona," suara Luna terdengar dingin dan tegas. "Apa yang sedang kamu lakukan?" Wilona terkejut, buru-buru merapikan duduknya dan mencoba fokus pada layar komputer. "Maaf, Bu Luna. Saya sedang menyelesaikan laporan ini, hanya sedikit—" "Sedikit apa? Berkhayal?" potong Luna dengan nada tajam, matanya menyorot penuh ketidakpuasan. "Saya sudah perhatikan dari tadi. Kamu tidak fokus. Ini bukan kali pertama saya lihat kamu begitu, Wilona. Kamu tahu betul, di sini kita tidak punya waktu untuk bersantai atau melamun." Wilona merasa darahnya berdesir. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud melamun, hanya ada sedikit masalah pribadi." Luna mengangkat alisnya, wajahnya tampak semakin dingin. "Masalah pribadi? Kamu pikir saya peduli dengan itu? Di sini, saya hanya peduli pada hasil kerjamu. Jika masalah pribadimu membuatmu tidak bisa bekerja dengan baik, mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk berhenti kerja." Wilona menunduk, merasa terpojok. "Saya minta maaf, Bu. Saya akan segera menyelesaikannya." Luna mendekat dan menatap Wilona tajam. "Pastikan kamu selesaikan laporan itu sebelum rapat dimulai. Kalau tidak, jangan harap kamu bisa bertahan lama di sini." Setelah Luna pergi, Wilona menghela napas panjang. Hatinya kacau. Bukan hanya karena teguran Luna, tapi juga karena pikirannya masih dipenuhi oleh tawaran Rayan. Tawaran itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Rayan jelas bukan tipe orang yang akan menunggu dengan sabar, apalagi jika dia sudah mengatakan bahwa waktunya hanya tiga jam. "Astaga, dua jam lagi. Aku harus bagaimana ini!" Ia mencoba fokus kembali ke layar komputernya, tapi otaknya sudah terlalu penuh dengan konflik batin. Sekarang bukan hanya soal pekerjaannya, tapi hidupnya terasa seolah berada di ujung tanduk. Wilona mencoba menarik napas dalam-dalam dan fokus kembali ke pekerjaannya. Namun, pikirannya terus berputar. Bayangan Rayan dan tuntutannya tidak henti-hentinya menghantui. Jam di dinding terus bergerak, tapi laporan yang harus ia selesaikan tak kunjung mendekati selesai. Wilona benar-benar tak bisa fokus. Ia terus-menerus memikirkan tawaran Rayan yang begitu tiba-tiba. Itu bukan sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja. Saat ia sedang larut dalam pikirannya, suara ketukan sepatu Luna kembali terdengar di lorong kantor. Wilona segera menegakkan punggungnya dan kembali menatap layar komputer, berpura-pura sibuk. Namun, kali ini Luna datang dengan tatapan yang lebih tajam daripada sebelumnya. "Wilona!" Luna menyebut namanya dengan nada tegas. Wilona langsung merasa ada sesuatu yang salah. Luna berdiri di depan mejanya, tangan bersedekap, menatapnya seolah menilai sesuatu. "Saya sudah bilang laporan itu harus selesai sebelum makan siang," lanjut Luna. "Dan sekarang sudah hampir jam satu, tapi kamu bahkan belum setengah jalan." Wilona merasa gugup. "Maaf, Bu Luna. Saya akan segera—" "Tidak ada kata akan, Wilona. Kamu sepertinya tidak paham betapa pentingnya deadline ini," potong Luna tajam. "Apa kamu pikir perusahaan ini bisa berjalan dengan baik kalau setiap orang bekerja seceroboh ini?" Wilona menggigit bibirnya, merasa semakin terpojok. "Saya benar-benar minta maaf, Bu Luna. Ada hal yang membuat saya sedikit terganggu, tapi saya berjanji akan menyelesaikan—" "Terganggu?" Luna menyeringai sinis. "Ini tempat kerja, Wilona. Kalau kamu tidak bisa memisahkan masalah pribadimu dari pekerjaan, maka kamu tidak layak ada di sini." Wilona hanya bisa menunduk, merasa seluruh tubuhnya gemetar. Luna tidak peduli dengan alasan apapun. Ia hanya peduli pada hasil dan efisiensi. "Baik, begini saja," kata Luna setelah beberapa detik hening yang terasa begitu lama. "Karena ini bukan pertama kalinya kamu membuat masalah, aku beri kamu pilihan. Selesaikan laporan ini setelah makan siang, atau kamu harus mempertimbangkan posisi kamu di perusahaan ini.""Ada apa ini?" tanya Wilona Yamuzie, sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang memenuhi ruang tamunya.Baru saja pulang bekerja, Wilona yang kelelahan dan mengantuk malah disuguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakkan hati. Ada beberapa rentenir berdiri di depan ayahnya untuk menagih utang yang telah jatuh tempo. Wajah ayahnya terlihat pucat, menunjukkan ketidakberdayaannya."Wilona!" seru Pak Sadam saat melihat putrinya datang.Wilona merasakan hatinya berdesir mendengar suara lemah ayahnya. Ia segera mendekat, "Ada apa ini, Yah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas.Salah satu rentenir, dengan senyum sinis, menatap Wilona. "Wah, Pak Sadam ternyata punya anak gadis yang sangat cantik. Sudah punya kekasih belum? Kalau belum, mungkin bisa barter dengan utangmu itu."Wilona marah dan menatap rentenir itu dengan penuh kebencian. "Diamlah! Kamu tidak berhak bicara seperti itu kepada ayahku!"Rentenir itu tertawa kecil, "Oh, berani juga kamu. Tapi sayangnya, keberanianmu itu
Wilona duduk terdiam di samping foto mendiang ibunya. Pikirannya berputar mencari solusi. Dua hari bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak satu miliar. Namun, menyerah bukan pilihan. Wilona tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan bijaksana.Wilona menatap foto mendiang ibunya dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu cara mendapatkan uang sebesar itu, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya."Malam itu, setelah memastikan ayahnya beristirahat, Wilona kembali merenung di kamarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari peluang kerja tambahan atau bantuan keuangan yang mungkin bisa ia manfaatkan. Semua opsi tampak mustahil. Dia tahu hanya ada satu cara yang mungkin bisa memberikan uang sebesar itu dalam waktu singkat yaitu, menjual rumahnya. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Rumah itu adalah satu-satunya tempat dirinya berteduh."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Wilona. Tubuhnya mulai terasa lelah dan pikirannya terasa berat. Dia meras
Pria itu menatap Wilona sejenak, lalu berkata dengan nada dingin, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Kita dalam bahaya, dan aku harus memastikan kita aman."Mata Wilona melebar, kebingungan bercampur ketakutan. "Bahaya? Apa yang kamu bicarakan?""Sudahlah, lebih baik kamu diam saja. Aku tidak akan menyakitimu, percayalah," jawab pria itu dengan suara dingin, sambil melipat tangannya di depan dada.Wilona ragu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa dia bisa dipercaya, setidaknya untuk saat ini. Karena hari sudah malam dan rasa lelah mulai menguasai, Wilona memutuskan untuk menurut, berharap penjelasan akan datang segera. Taksi melaju cepat, membawa mereka ke arah yang tidak diketahui, meninggalkan Wilona dengan sejuta pertanyaan yang menggantung di benaknya.Wilona duduk diam di dalam taksi, masih mencoba memahami situasi yang tiba-tiba menimpanya. Sementara, pria di sebelahnya akhirnya memperkenalkan diri."Namaku Rayan Mahendra," katanya dengan na
Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing."Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!""Ah, jangan,
Pagi itu, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Matanya masih terasa berat, dan rasa ngantuk seakan tak bisa dikalahkan. Selama dua hari ini beban utang satu miliar yang melilit keluarga mereka menghantui setiap langkahnya. Mimpi buruk tentang rentenir dan ancaman yang menakutkan sering kali merusak tidurnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di udara. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatif dan memulai hari dengan secangkir kopi hangat. Saat Wilona sedang menyiapkan sarapan, ayahnya—Pak Sadam, tiba-tiba masuk ke dapur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wilona mengenal ayahnya dengan baik, laki-laki paruh baya itu jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebihan. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh pada wajahnya. Sesuatu yang bercampur antara ketidakpercayaan dan kegembiraan. "Wilona, kamu nggak akan percaya apa yang baru saja terjadi," kata Pak Sadam, suaranya bergetar. "Ada apa, Yah? Kenapa, sepertinya Ayah seneng banget?" Wilona bertanya dengan hati-hati,
Wilona merasa tubuhnya membeku mendengar kata-kata Rayan. Matanya terbelalak, dan pikirannya berputar cepat mencari jalan keluar dari situasi yang tiba-tiba menjadi semakin rumit. "Apa? Kau—kau bercanda, kan?" katanya dengan suara yang bergetar.Rayan tidak mengalihkan tatapannya, matanya dingin namun tegas. "Tidak. Aku sangat serius. Kau butuh uang untuk melunasi utang keluargamu, dan aku memberikannya. Sekarang, sebagai gantinya, kau harus membantuku menjadi istriku."Wilona memalingkan wajahnya, mencoba menghindari tatapan tajam Rayan. "Ini gila! Kau tidak bisa begitu saja mengatur hidupku. Aku tidak bisa menikah denganmu hanya karena kau melunasi utang keluargaku!"Rayan mendesah pelan, masih mempertahankan posisinya yang tenang dan terkendali. "Dengar, Wilona. Ini bukan soal perasaan. Ini tentang kesepakatan. Aku memberimu kebebasan dari utang yang bisa menghancurkan keluargamu, dan sebagai gantinya, aku meminta sesuatu yang hanya kau bisa berikan."Wilona menggigit bibirnya, ras
Pagi itu, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Matanya masih terasa berat, dan rasa ngantuk seakan tak bisa dikalahkan. Selama dua hari ini beban utang satu miliar yang melilit keluarga mereka menghantui setiap langkahnya. Mimpi buruk tentang rentenir dan ancaman yang menakutkan sering kali merusak tidurnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di udara. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatif dan memulai hari dengan secangkir kopi hangat. Saat Wilona sedang menyiapkan sarapan, ayahnya—Pak Sadam, tiba-tiba masuk ke dapur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wilona mengenal ayahnya dengan baik, laki-laki paruh baya itu jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebihan. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh pada wajahnya. Sesuatu yang bercampur antara ketidakpercayaan dan kegembiraan. "Wilona, kamu nggak akan percaya apa yang baru saja terjadi," kata Pak Sadam, suaranya bergetar. "Ada apa, Yah? Kenapa, sepertinya Ayah seneng banget?" Wilona bertanya dengan hati-hati,
Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing."Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!""Ah, jangan,
Pria itu menatap Wilona sejenak, lalu berkata dengan nada dingin, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Kita dalam bahaya, dan aku harus memastikan kita aman."Mata Wilona melebar, kebingungan bercampur ketakutan. "Bahaya? Apa yang kamu bicarakan?""Sudahlah, lebih baik kamu diam saja. Aku tidak akan menyakitimu, percayalah," jawab pria itu dengan suara dingin, sambil melipat tangannya di depan dada.Wilona ragu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa dia bisa dipercaya, setidaknya untuk saat ini. Karena hari sudah malam dan rasa lelah mulai menguasai, Wilona memutuskan untuk menurut, berharap penjelasan akan datang segera. Taksi melaju cepat, membawa mereka ke arah yang tidak diketahui, meninggalkan Wilona dengan sejuta pertanyaan yang menggantung di benaknya.Wilona duduk diam di dalam taksi, masih mencoba memahami situasi yang tiba-tiba menimpanya. Sementara, pria di sebelahnya akhirnya memperkenalkan diri."Namaku Rayan Mahendra," katanya dengan na
Wilona duduk terdiam di samping foto mendiang ibunya. Pikirannya berputar mencari solusi. Dua hari bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak satu miliar. Namun, menyerah bukan pilihan. Wilona tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan bijaksana.Wilona menatap foto mendiang ibunya dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu cara mendapatkan uang sebesar itu, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya."Malam itu, setelah memastikan ayahnya beristirahat, Wilona kembali merenung di kamarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari peluang kerja tambahan atau bantuan keuangan yang mungkin bisa ia manfaatkan. Semua opsi tampak mustahil. Dia tahu hanya ada satu cara yang mungkin bisa memberikan uang sebesar itu dalam waktu singkat yaitu, menjual rumahnya. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Rumah itu adalah satu-satunya tempat dirinya berteduh."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Wilona. Tubuhnya mulai terasa lelah dan pikirannya terasa berat. Dia meras
"Ada apa ini?" tanya Wilona Yamuzie, sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang memenuhi ruang tamunya.Baru saja pulang bekerja, Wilona yang kelelahan dan mengantuk malah disuguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakkan hati. Ada beberapa rentenir berdiri di depan ayahnya untuk menagih utang yang telah jatuh tempo. Wajah ayahnya terlihat pucat, menunjukkan ketidakberdayaannya."Wilona!" seru Pak Sadam saat melihat putrinya datang.Wilona merasakan hatinya berdesir mendengar suara lemah ayahnya. Ia segera mendekat, "Ada apa ini, Yah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas.Salah satu rentenir, dengan senyum sinis, menatap Wilona. "Wah, Pak Sadam ternyata punya anak gadis yang sangat cantik. Sudah punya kekasih belum? Kalau belum, mungkin bisa barter dengan utangmu itu."Wilona marah dan menatap rentenir itu dengan penuh kebencian. "Diamlah! Kamu tidak berhak bicara seperti itu kepada ayahku!"Rentenir itu tertawa kecil, "Oh, berani juga kamu. Tapi sayangnya, keberanianmu itu