Pagi itu, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Matanya masih terasa berat, dan rasa ngantuk seakan tak bisa dikalahkan. Selama dua hari ini beban utang satu miliar yang melilit keluarga mereka menghantui setiap langkahnya. Mimpi buruk tentang rentenir dan ancaman yang menakutkan sering kali merusak tidurnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di udara. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatif dan memulai hari dengan secangkir kopi hangat.
Saat Wilona sedang menyiapkan sarapan, ayahnya—Pak Sadam, tiba-tiba masuk ke dapur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wilona mengenal ayahnya dengan baik, laki-laki paruh baya itu jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebihan. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh pada wajahnya. Sesuatu yang bercampur antara ketidakpercayaan dan kegembiraan. "Wilona, kamu nggak akan percaya apa yang baru saja terjadi," kata Pak Sadam, suaranya bergetar. "Ada apa, Yah? Kenapa kayaknya Ayah seneng banget?" Wilona bertanya dengan hati-hati, berusaha menahan harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Pak Sadam menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Baru saja, aku dapat telepon dari juragan. Dia bilang utang kita yang satu miliar itu ... sudah lunas!" Wilona terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata ayahnya. "Apa? Ayah serius? Bagaimana bisa, Yah? Utang sebanyak itu siapa yang bayar?" "Ayah juga nggak tahu, Sayang. Dia nggak kasih tahu siapa yang melunasi utang kita. Mereka hanya bilang bahwa semua pembayaran sudah diterima dan kita nggak punya utang lagi." Pak Sadam terlihat sangat senang dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasa lega dan kebingungan bercampur menjadi satu dalam diri Wilona. Ia memeluk ayahnya erat, air mata bahagia mulai mengalir di pipinya. "Ya Tuhan, ini seperti mimpi. Kita benar-benar bebas dari utang, Yah!" Pak Sadam membalas pelukan putrinya dengan kuat, merasakan beban berat yang selama ini menekan bahunya perlahan-lahan menghilang. "Iya, ini benar-benar ajaib. Ayah nggak tahu harus berkata apa, Nak." Wilona tidak lupa untuk menghampiri foto mendiang ibunya yang terpajang di dekat lampu hias, "ibu, lihatlah, kita sudah terbebas dari utang! Rasanya senang banget, Bu. Bebanku mulai berkurang." "Nasib kita aman, Sayang," sambung pak Sadam saat melihat foto mendiang istrinya dengan mata yang berkaca-kaca. Namun, pak Sadam tidak ingin memperlihatkan air matanya di depan sang anak, lalu ia mengganti topik pembahasannya agar tidak terlalu sedih. "Apa yang kamu masak, Nak? Ayah sudah lapar nih," kata pak Sadam sembari mengusap air matanya. "Oh iya, tunggu sebentar!" kata Wilona sambil menghampiri meja untuk menyiapkan makanannya. Mereka berdua duduk di meja dapur, mencoba menenangkan diri dari euforia yang melanda. Wilona mulai menyantap hidangan sambil menatap ayahnya, mencoba mencari jawaban dalam tatapan lelaki tua itu. "Ayah, mungkinkah pak Ahmad yang membantu kita? Soalnya kemarin yang aku temui itu pak Ahmad dan temanku, Dina. Tapi menurutku, Dina gak bakalan bantu karena dia udah bilang gak bisa bantu. Kalau pak Ahmad ... entahlah siapapun itu, kita harus berterima kasih pada mereka." Pak Sadam mengangguk setuju. "Ya, kamu benar, tapi kita harus cari tahu dulu takutnya bukan dia. Dan untuk sekarang, mari kita nikmati dulu momen ini. Kita berhak merasa bahagia setelah semua masalah yang kita hadapi bisa kita lalui dengan baik." Setelah sarapannya selesai, mereka kembali membahas siapa yang tiba-tiba melunasi utang mereka. Sebab, mereka ingin berterima kasih karena sudah membantu dari keterpurukan ekonomi mereka. "Yah, bagaimana? Ayah sudah tahu siapa yang melakukan ini semua?" Wilona bertanya, matanya penuh harap. "Ayah sudah menghubungi pak Ahmad?" Pak Sadam menggeleng pelan. "Ayah benar-benar nggak punya petunjuk. Tadi sudah menghubungi pak Ahmad, tapi jawabnya tidak tahu. Mungkin seseorang yang kita kenal, atau bisa jadi orang yang nggak pernah kita duga." "Kita coba ingat-ingat, siapa yang mungkin punya niat baik seperti ini?" Wilona terus mendesak, mencoba mengurai benang-benang kemungkinan di pikirannya. "Mungkinkah pak Budi?" Pak Sadam termenung sejenak. "Mana mungkin, ayah sudah hilang kontak sama dia. Tapi ada beberapa orang yang dulu pernah kita bantu, tapi mereka semua juga dalam kondisi yang nggak jauh beda dari kita. Mungkin ini benar-benar berkat yang nggak kita duga." "Aduh siapa ya? Mungkinkah si mata belo?" gumam Wilona pelan. Dan itu terdengar oleh pak Sadam. "Si mata belo? Siapa itu?" tanya pak Sadam mengerutkan keningnya. "Ehe, bu-bukan, Yah. Aku cuma asal nyebut aja," kata Wilona gugup. Tidak mungkin juga dia memberitahukan tentang lelaki itu pada ayahnya. Malam itu, Wilona berbaring di tempat tidurnya, pikirannya masih berputar-putar mencari jawaban. Siapa yang memiliki kebaikan hati dan kemampuan finansial untuk melunasi utang mereka sebesar satu miliar dalam waktu dua hari? Semua itu masih belum ada jawaban yang memuaskan. Kegelapan malam tak mampu menenangkan kegelisahannya. Wilona terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada sampai akhirnya ia terlelap dalam kebingungan. Pagi pun tiba, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak jauh berbeda dari malam sebelumnya. Meskipun begitu, ia harus segera berangkat untuk bekerja karena sudah tiga hari ini ia cuti. Setelah bersiap-siap, ia berdiri di depan rumah menunggu sebuah taksi. Udara pagi yang segar sedikit mengurangi beban pikirannya. Namun, rasa penasaran tetap menghantuinya dan tak bisa pudar sebelum ia tahu siapa orangnya. Saat sedang menunggu taksi, sebuah mobil mewah berwarna hitam kebiru-biruan berhenti tepat di hadapan Wilona. Saat pintu mobil itu terbuka, Ia pun terkejut melihat siapa yang ada di dalamnya. Ya, dia adalah Rayan. "Kau?" kata Wilona terkejut, suaranya penuh dengan keheranan dan sedikit kekhawatiran. "Kenapa kau ada di sini?" "Cepat naik!" kata Rayan dengan nada dingin, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. "Ih, nggak mau. Ngapain ikut kamu, yang ada nanti diculik!" kata Wilona sembari cemberut, tangannya bersedekap menolak keinginan Rayan. Namun, tanpa Rayan perlu berkata lagi, salah satu pelayannya langsung menarik Wilona agar masuk ke dalam mobil. "Hei, ini pemaksaan!" teriak Wilona. "Lepaskan!" "Tenanglah, Nona. Tuanku tidak jahat, malah dia yang membantumu dari kesulitan!" kata pelayan itu sambil menutup pintu mobil dengan hati-hati tapi tegas. Wilona terpaku sejenak, pikirannya berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan pelayan tersebut. "Tunggu! Membantuku dari kesulitan?" kata Wilona tercengang. "Jangan-jangan, kau yang membayar utangku pada rentenir itu?" Rayan menatapnya dengan tatapan tenang namun tajam. "Kalau iya, kenapa?" "Apa!" ucap Wilona kaget, suaranya bergetar. "Ti-tidak mungkin. Uang sebanyak itu mana mungkin kau berikan secara cuma-cuma." Rayan tersenyum sinis, senyuman yang Wilona takutkan. "Memang iya, ada harga yang harus kau bayarkan untukku." Wilona merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Apa maksudmu? Apa yang kau inginkan dariku!" Rayan mendekat, mata tajamnya menatap lurus ke dalam mata Wilona. "Aku ingin kau menjadi istriku!""Ada apa ini?" tanya Wilona Yamuzie, sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang memenuhi ruang tamunya.Baru saja pulang bekerja, Wilona yang kelelahan dan mengantuk malah disuguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakkan hati. Ada beberapa rentenir berdiri di depan ayahnya untuk menagih utang yang telah jatuh tempo. Wajah ayahnya terlihat pucat, menunjukkan ketidakberdayaannya."Wilona!" seru Pak Sadam saat melihat putrinya datang.Wilona merasakan hatinya berdesir mendengar suara lemah ayahnya. Ia segera mendekat, "Ada apa ini, Yah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas.Salah satu rentenir, dengan senyum sinis, menatap Wilona. "Wah, Pak Sadam ternyata punya anak gadis yang sangat cantik. Sudah punya kekasih belum? Kalau belum, mungkin bisa barter dengan utangmu itu."Wilona marah dan menatap rentenir itu dengan penuh kebencian. "Diamlah! Kamu tidak berhak bicara seperti itu kepada ayahku!"Rentenir itu tertawa kecil, "Oh, berani juga kamu. Tapi sayangnya, keberanianmu itu
Wilona duduk terdiam di samping foto mendiang ibunya. Pikirannya berputar mencari solusi. Dua hari bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak satu miliar. Namun, menyerah bukan pilihan. Wilona tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan bijaksana.Wilona menatap foto mendiang ibunya dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu cara mendapatkan uang sebesar itu, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya."Malam itu, setelah memastikan ayahnya beristirahat, Wilona kembali merenung di kamarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari peluang kerja tambahan atau bantuan keuangan yang mungkin bisa ia manfaatkan. Semua opsi tampak mustahil. Dia tahu hanya ada satu cara yang mungkin bisa memberikan uang sebesar itu dalam waktu singkat yaitu, menjual rumahnya. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Rumah itu adalah satu-satunya tempat dirinya berteduh."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Wilona. Tubuhnya mulai terasa lelah dan pikirannya terasa berat. Dia meras
Pria itu menatap Wilona sejenak, lalu berkata dengan nada dingin, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Kita dalam bahaya, dan aku harus memastikan kita aman."Mata Wilona melebar, kebingungan bercampur ketakutan. "Bahaya? Apa yang kamu bicarakan?""Sudahlah, lebih baik kamu diam saja. Aku tidak akan menyakitimu, percayalah," jawab pria itu dengan suara dingin, sambil melipat tangannya di depan dada.Wilona ragu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa dia bisa dipercaya, setidaknya untuk saat ini. Karena hari sudah malam dan rasa lelah mulai menguasai, Wilona memutuskan untuk menurut, berharap penjelasan akan datang segera. Taksi melaju cepat, membawa mereka ke arah yang tidak diketahui, meninggalkan Wilona dengan sejuta pertanyaan yang menggantung di benaknya.Wilona duduk diam di dalam taksi, masih mencoba memahami situasi yang tiba-tiba menimpanya. Sementara, pria di sebelahnya akhirnya memperkenalkan diri."Namaku Rayan Mahendra," katanya dengan na
Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing."Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!""Ah, jangan,