Wilona duduk terdiam di samping foto mendiang ibunya. Pikirannya berputar mencari solusi. Dua hari bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak satu miliar. Namun, menyerah bukan pilihan. Wilona tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan bijaksana.
Wilona menatap foto mendiang ibunya dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu cara mendapatkan uang sebesar itu, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya." Malam itu, setelah memastikan ayahnya beristirahat, Wilona kembali merenung di kamarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari peluang kerja tambahan atau bantuan keuangan yang mungkin bisa ia manfaatkan. Semua opsi tampak mustahil. Dia tahu hanya ada satu cara yang mungkin bisa memberikan uang sebesar itu dalam waktu singkat yaitu, menjual rumahnya. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Rumah itu adalah satu-satunya tempat dirinya berteduh. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Wilona. Tubuhnya mulai terasa lelah dan pikirannya terasa berat. Dia merasa seolah-olah beban dunia menekan pundaknya. Segala usaha yang telah dilakukan, dari bekerja keras hingga membantu sesama, tampaknya belum cukup untuk memberikan solusi yang permanen atas masalah keluarganya. Ditambah lagi dengan utang satu miliar, dan itu membuat Wilona semakin frustasi. **** Keesokan harinya, Wilona meminta izin pada atasannya untuk cuti selama tiga hari. Ia berencana untuk mengurusi masalah yang sedang dihadapinya itu. Lalu, ia mencoba menghubungi teman-teman lama dan kenalannya yang mungkin bisa membantu. Dia menghabiskan waktu selama beberapa jam menelepon dan mengirim pesan. Sayangnya, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Banyak yang merasa simpati, namun tidak ada yang bisa memberikan bantuan finansial sebesar itu. Di saat putus asa semakin memuncak, Wilona teringat sahabatnya yang baru saja pulang dari luar negeri, Dina. Dina adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Semenjak pergi ke luar negeri untuk bisnisnya, Wilona dan Dina jarang berkomunikasi lagi. Namun, kini Wilona merasa tidak ada pilihan lain. Ia segera mengambil tasnya dan bergegas ke rumah sahabatnya itu, berharap mendapatkan bantuan untuk meringankan bebannya. Sesampainya di sana, Dina tampak terkejut melihat kedatangan Wilona yang mendadak. "Wilona!" serunya kegirangan. "Dina, ya ampun, apa kabar?" tanya Wilona sembari memeluk sahabatnya erat-erat. "Kabarku baik, kamu gimana? Kok kamu gak pernah menghubungi aku lagi? Kenapa?" tanya Dina dengan senyum yang lebar. "Kamunya sibuk, aku mana mungkin ganggu kamu," jawab Wilona sambil tersenyum tipis. "Iya-iya, maaf. Tapi aku senang banget kamu datang ke rumahku. Yang lain pada sibuk, nggak ada yang sempat mampir," kata Dina dengan mata berbinar. Wilona menarik napas dalam-dalam, merasa hatinya semakin berat. "Sebenarnya, aku ke sini mau minta tolong, Din," katanya pelan. Dina mengerutkan kening, jelas terlihat khawatir. "Astaga, Wilona, ada apa? Ceritakan semuanya, aku siap mendengarkan." Wilona menatap mata sahabatnya dengan penuh harap. "Aku butuh bantuanmu. Ayahku terlilit utang satu miliar dan harus dibayar dalam dua hari. Bisakah kamu meminjamkan uang sebesar itu?" Dina terdiam sejenak, tampak terkejut mendengar jumlah yang disebutkan. "Satu miliar? Itu jumlah yang besar sekali, Wilona," ucap Dina dengan serius. "Tapi aku akan coba bantu. Tunggu sebentar, aku akan periksa dana yang tersedia." Wilona menunggu dengan cemas saat Dina menuju ke ruang kerjanya untuk memeriksa keuangan. Beberapa menit kemudian, Dina kembali dengan wajah serius. "Wilona, aku sangat ingin membantumu. Tapi jumlah sebesar itu terlalu besar untukku. Mungkin aku bisa membantu sebagian, tapi tidak semua. Itupun uangnya belum bisa sekarang, harus nunggu beberapa hari ke depan." Meskipun kecewa, Wilona berterima kasih kepada Dina. "Ah, begitu ya. Tapi makasih ya, Din. Udah mau mendengar curhatanku. Aku butuh uang itu secepatnya waktuku hanya dua hari." "Ish, aku jadi tidak enak hati rasanya, maaf ya, Wilona. Untuk saat ini, aku belum bisa membantumu," kata Dina dengan ekspresi penuh penyesalan. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Ya udah, kalau begitu aku pamit dulu ya, Din." Wilona segera pergi dari rumah Dina dan melanjutkan langkahnya dengan perasaan kecewa dan putus asa. Uang satu miliar yang dicari tak kunjung ditemukan. Dia melangkah dengan gundah, pikirannya berkecamuk mencari solusi. Dia menemui beberapa orang lainnya, tetapi jawaban yang diterimanya hampir sama. Setiap pintu yang diketuknya hingga langit mulai gelap, usahanya tetap nihil. Jumlah yang dibutuhkan terlalu besar dan waktu yang diberikan terlalu singkat. Memang, jika masalah uang, sangat sensitif. Satu miliar dalam dua hari benar-benar sulit didapatkannya. Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan seorang pria tua yang dulu pernah bekerjasama dengan ayahnya. Pria itu bernama Pak Ahmad. Wilona menceritakan semua tentang masalah keluarganya dan pak Ahmad memberi saran yang tak terduga. "Wilona, aku tahu ini sulit, tapi terkadang solusi datang dari tempat yang tak terduga. Pernahkah kamu berpikir untuk berbicara dengan orang-orang yang pernah berbisnis dengan ayahmu? Mungkin ada seseorang yang bersedia membantu karena mereka menghargai kerja keras ayahmu," saran Pak Ahmad. "Bapak benar, tapi aku tidak kenal mereka, kecuali Bapak," kata Wilona lirih. "Sebentar, bapak punya salah satu alamat teman yang masih aktif," kata pak Ahmad sambil merogoh dompetnya. Setelah itu, ia memberikan kartu alamat kepada Wilona, berharap mendapatkan secercah harapan untuk gadis itu. "Nah ini, Nak. Semoga saja dengan adanya kartu ini, bisa meringankan beban kamu." "Baik, terima kasih, Pak. Besok aku akan menghubungi beliau," kata Wilona setelah menerima kartu nama itu. "Jaga diri kamu baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi bapak, nomor bapak masih yang dulu. Salam untuk ayahmu," kata pak Ahmad, lalu pergi meninggalkan Wilona. Ketika sedang menunggu taksi, tiba-tiba Wilona dikejutkan oleh seorang pria yang tak dikenalnya. Pria itu berlari terburu-buru dan tanpa sengaja menyenggol Wilona, membuat mereka berdua terjatuh. Dalam kekacauan itu, mata mereka saling bertemu, seolah waktu berhenti sejenak. Di tengah kekacauan dan ketergesaan, ada kehangatan yang tiba-tiba terasa di antara mereka. Pandangan mereka terkunci, penuh dengan kejutan dan keajaiban yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Ah, sial!" umpat pria itu saat tersadar dari lamunannya. "Aduh!" rintih Wilona kesakitan. "Kamu ini, kalau jalan hati-hati dong!" "Sudah, jangan banyak bicara, ayo naik!" kata pria itu sambil buru-buru berdiri dan langsung menarik Wilona ke dalam taksi. "Apa! Hei, ini taksiku!" teriak Wilona. Namun, protesnya sia-sia karena pria itu tidak mendengarkan ocehannya. Wilona berusaha melepaskan tangannya dari genggaman pria itu, tetapi pria itu sudah mendahuluinya dengan mengetuk jendela taksi. "Sopir, cepat jalan!" perintah pria itu tanpa sedikit pun memperhatikan kebingungan Wilona. "Apa maksudmu? Aku bahkan tidak tahu siapa kamu!" seru Wilona yang masih berusaha mencoba melepaskan diri.Pria itu menatap Wilona sejenak, lalu berkata dengan nada dingin, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Kita dalam bahaya, dan aku harus memastikan kita aman."Mata Wilona melebar, kebingungan bercampur ketakutan. "Bahaya? Apa yang kamu bicarakan?""Sudahlah, lebih baik kamu diam saja. Aku tidak akan menyakitimu, percayalah," jawab pria itu dengan suara dingin, sambil melipat tangannya di depan dada.Wilona ragu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa dia bisa dipercaya, setidaknya untuk saat ini. Karena hari sudah malam dan rasa lelah mulai menguasai, Wilona memutuskan untuk menurut, berharap penjelasan akan datang segera. Taksi melaju cepat, membawa mereka ke arah yang tidak diketahui, meninggalkan Wilona dengan sejuta pertanyaan yang menggantung di benaknya.Wilona duduk diam di dalam taksi, masih mencoba memahami situasi yang tiba-tiba menimpanya. Sementara, pria di sebelahnya akhirnya memperkenalkan diri."Namaku Rayan Mahendra," katanya dengan na
Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing."Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!""Ah, jangan,
Pagi itu, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Matanya masih terasa berat, dan rasa ngantuk seakan tak bisa dikalahkan. Selama dua hari ini beban utang satu miliar yang melilit keluarga mereka menghantui setiap langkahnya. Mimpi buruk tentang rentenir dan ancaman yang menakutkan sering kali merusak tidurnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di udara. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatif dan memulai hari dengan secangkir kopi hangat.Saat Wilona sedang menyiapkan sarapan, ayahnya—Pak Sadam, tiba-tiba masuk ke dapur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wilona mengenal ayahnya dengan baik, laki-laki paruh baya itu jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebihan. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh pada wajahnya. Sesuatu yang bercampur antara ketidakpercayaan dan kegembiraan."Wilona, kamu nggak akan percaya apa yang baru saja terjadi," kata Pak Sadam, suaranya bergetar."Ada apa, Yah? Kenapa kayaknya Ayah seneng banget?" Wilona bertanya dengan hati-hati, berusaha
"Ada apa ini?" tanya Wilona Yamuzie, sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang memenuhi ruang tamunya.Baru saja pulang bekerja, Wilona yang kelelahan dan mengantuk malah disuguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakkan hati. Ada beberapa rentenir berdiri di depan ayahnya untuk menagih utang yang telah jatuh tempo. Wajah ayahnya terlihat pucat, menunjukkan ketidakberdayaannya."Wilona!" seru Pak Sadam saat melihat putrinya datang.Wilona merasakan hatinya berdesir mendengar suara lemah ayahnya. Ia segera mendekat, "Ada apa ini, Yah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas.Salah satu rentenir, dengan senyum sinis, menatap Wilona. "Wah, Pak Sadam ternyata punya anak gadis yang sangat cantik. Sudah punya kekasih belum? Kalau belum, mungkin bisa barter dengan utangmu itu."Wilona marah dan menatap rentenir itu dengan penuh kebencian. "Diamlah! Kamu tidak berhak bicara seperti itu kepada ayahku!"Rentenir itu tertawa kecil, "Oh, berani juga kamu. Tapi sayangnya, keberanianmu itu