"Ada apa ini?" tanya Wilona Yamuzie, sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang memenuhi ruang tamunya.
Baru saja pulang bekerja, Wilona yang kelelahan dan mengantuk malah disuguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakkan hati. Ada beberapa rentenir berdiri di depan ayahnya untuk menagih utang yang telah jatuh tempo. Wajah ayahnya terlihat pucat, menunjukkan ketidakberdayaannya. "Wilona!" seru Pak Sadam saat melihat putrinya datang. Wilona merasakan hatinya berdesir mendengar suara lemah ayahnya. Ia segera mendekat, "Ada apa ini, Yah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas. Salah satu rentenir, dengan senyum sinis, menatap Wilona. "Wah, Pak Sadam ternyata punya anak gadis yang sangat cantik. Sudah punya kekasih belum? Kalau belum, mungkin bisa barter dengan utangmu itu." Wilona marah dan menatap rentenir itu dengan penuh kebencian. "Diamlah! Kamu tidak berhak bicara seperti itu kepada ayahku!" Rentenir itu tertawa kecil, "Oh, berani juga kamu. Tapi sayangnya, keberanianmu itu tak akan mengubah kenyataan bahwa ayahmu berutang satu miliar yang harus segera dibayar. Ingat, satu miliar! Utang sebanyak itu akan terus bertambah jika kalian tidak cepat-cepat melunasinya." "Satu miliar?" Wilona terkejut. Ia tidak pernah menyangka keluarganya bisa terlilit utang sebesar itu. Pikiran Wilona kalut, mencari tahu bagaimana ayahnya bisa meminjam uang sebanyak itu. Wilona tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. Satu miliar? Bagaimana mungkin ayahnya memiliki hutang sebesar itu kepada seorang rentenir? Pikirannya langsung dipenuhi dengan kekhawatiran dan kebingungan. Pak Sadam tampak terbebani dengan situasi ini, dan itu sangat terlihat jelas dari raut wajahnya yang penuh kesedihan. "Ya, dan utang itu harus kalian bayar sekarang juga!" kata rentenir itu dengan tegas. Hati Wilona tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya telah terjerat utang dengan seorang rentenir. Pikirannya menerawang, mencoba mencari tahu dari mana ayahnya bisa meminjam sejumlah uang yang begitu besar. Dia merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Apalagi utang tersebut terus bertambah setiap harinya, jika ayahnya tidak dapat membayarnya, maka utangnya pun akan semakin menggunung. Wilona memandang ayahnya yang tampak sangat terbebani. Dengan suara penuh penyesalan, Pak Sadam berkata, "Maafkan ayah, Nak. Ayah tidak tahu lagi harus meminjam ke mana. Usaha kita hanya mampu untuk membayar cicilan lainnya." Wilona merasa frustasi. Ia tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu dari mana. Air mata mulai berlinang di pipinya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang sulit dan tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini. Wilona harus segera membantu ayahnya mencari solusi untuk mengatasi hutang tersebut sebelum semakin bertambah besar. Ia perlu mencari jalan keluar yang tepat agar tidak semakin terjerat hutang dan mampu melunasi hutang kepada rentenir. Tapi, ia belum bisa berpikir dengan jernih. Uang sebanyak itu sangatlah sulit untuk didapatkan. Air mata mulai mengalir di pipi Wilona. Ia merasa terjebak dalam situasi tanpa jalan keluar. "Akan segera kubayar!" serunya dengan lantang, meskipun ia sendiri belum tahu bagaimana caranya. "Dibayar pakai apa?" tanya rentenir itu menyepelekan keadaan Wilona. "Aku sudah memberikan ayahmu waktu sampai hari ini, tapi nyatanya dia malah ingkar. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa membayar hutang satu miliar itu dengan tubuhmu, bagaimana?" "Kau! Dasar rentenir gila!" umpat Wilona. Dan rentenir itu hanya tertawa lepas sesuka hatinya. "Utang ayahmu satu milyar dan harus dibayar sekarang juga. Dan kau mau nyari uang kemana lagi, selain melunasinya dengan tubuhmu itu?" ucap rentenir itu. Mereka saling tertawa lepas dan menyepelekan keadaan keluarga Wilona. Wilona merasa semakin geram mendengar kata-kata rentenir tersebut. Ia tidak tahan melihat ayahnya yang terpuruk dalam masalah keuangan. Ia tahu bahwa ayahnya telah berusaha keras untuk mengatasi masalah keuangan. Namun sepertinya semuanya itu tidak cukup. "Dengar baik-baik," ucap Wilona dengan suara yang gemetar karena emosi. "Ayahku adalah orang yang baik dan bekerja keras. Kami akan menyelesaikan hutang ini, tapi kalian tidak perlu mengancam dan merendahkan apalagi sampai melecehkanku seperti ini. Aku tidak pernah main-main dengan perkataanku. Kalian akan tahu akibatnya jika sampai mengusik ketenangan keluargaku." "Terus, maunya kamu bagaimana? Kami sudah muak dengan janji-janji yang sudah ayahmu buat. Kalau sudah janji, seharusnya ditepati dong, jangan malah ingkar lagi!" kata rentenir itu sedikit marah. "Beri aku waktu sedikit lagi untuk membayar semua utang ayahku," kata Wilona dengan tegas. "Kalau tidak bisa melunasinya, bagaimana?" tanya rentenir itu sembari nyengir sinis. "Terserah kalian mau bagaimana," kata Wilona dengan terbata-bata dan air matanya hendak terjatuh. Rentenir itu tertawa kecil. "Baiklah, kamu punya waktu satu minggu. Oh tidak, itu kebanyakan. Aku beri kamu waktu dua hari. Ya, hanya dua hari uang itu harus segera dilunasi. Jika tidak, konsekuensinya akan semakin buruk." Wilona merasa semakin terjepit. Ia tahu bahwa dirinya harus segera mencari cara untuk mengatasi utangnya itu. Ia tidak ingin melihat ayahnya menderita lebih lama lagi, apalagi sampai harus menjual diri kepada rentenir itu. "Baik, aku mengerti. Sekarang, kalian mendingan pergi dari sini." "Oke. Tapi ingat, kalau kamu tidak bisa melunasinya, tubuhmu yang harus menjadi jaminannya." Setelah para rentenir pergi, Wilona terduduk di samping ayahnya, air mata berlinang di pipinya. "Ayah, bagaimana bisa kita terlilit utang sebanyak ini?" tanyanya lirih. Dia tidak pernah berpikir bahwa kehidupan keluarganya akan terjebak dalam masalah finansial yang begitu parah. Utang sebesar satu miliar merupakan beban yang sangat berat untuk dipikul. kesedihan menghiasi wajah Pak Sadam saat dia menjawab, "Nak, ayah mencoba melakukan segala cara untuk menghidupi keluarga kita. Sayangnya, bisnis yang kita jalankan tidak berjalan dengan baik. Utang-utang yang masih harus kita bayar juga semakin menumpuk setiap harinya. Kita sudah tidak punya apa-apa lagi, selain rumah ini yang tersisa." Wilona merasa putus asa. Dia mencoba untuk mencari solusi, tetapi tidak ada jalan keluar yang terlihat. Mereka berdua tidak memiliki harta yang berharga dan tidak ada kerabat yang bisa mereka mintai bantuan. Situasi semakin rumit saat rentenir yang telah memberikan pinjaman tersebut semakin menekan mereka untuk segera melunasi utang dengan ancaman yang sangat memilukan. Namun, Wilona tahu bahwa menyerahkan tubuhnya pada rentenir itu, bukanlah solusi yang tepat. Dia harus mencari cara lain untuk mengatasi masalah ini tanpa harus mengorbankan dirinya sendiri. Wilona memegang tangan ayahnya dengan penuh kasih sayang. "Ayah tenang saja, kita akan menyelesaikan ini bersama-sama. Aku akan mencari cara untuk mendapatkan uang satu miliar itu secepatnya," ucap Wilona dengan tekad yang bulat. Pak Sadam menatap Wilona dengan penuh harap. "Terima kasih, Nak. Tapi bagaimana bisa kita mendapatkan uang itu dalam waktu dua hari?"Wilona duduk terdiam di samping foto mendiang ibunya. Pikirannya berputar mencari solusi. Dua hari bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak satu miliar. Namun, menyerah bukan pilihan. Wilona tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan bijaksana.Wilona menatap foto mendiang ibunya dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu cara mendapatkan uang sebesar itu, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya."Malam itu, setelah memastikan ayahnya beristirahat, Wilona kembali merenung di kamarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari peluang kerja tambahan atau bantuan keuangan yang mungkin bisa ia manfaatkan. Semua opsi tampak mustahil. Dia tahu hanya ada satu cara yang mungkin bisa memberikan uang sebesar itu dalam waktu singkat yaitu, menjual rumahnya. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Rumah itu adalah satu-satunya tempat dirinya berteduh."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Wilona. Tubuhnya mulai terasa lelah dan pikirannya terasa berat. Dia meras
Pria itu menatap Wilona sejenak, lalu berkata dengan nada dingin, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Kita dalam bahaya, dan aku harus memastikan kita aman."Mata Wilona melebar, kebingungan bercampur ketakutan. "Bahaya? Apa yang kamu bicarakan?""Sudahlah, lebih baik kamu diam saja. Aku tidak akan menyakitimu, percayalah," jawab pria itu dengan suara dingin, sambil melipat tangannya di depan dada.Wilona ragu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa dia bisa dipercaya, setidaknya untuk saat ini. Karena hari sudah malam dan rasa lelah mulai menguasai, Wilona memutuskan untuk menurut, berharap penjelasan akan datang segera. Taksi melaju cepat, membawa mereka ke arah yang tidak diketahui, meninggalkan Wilona dengan sejuta pertanyaan yang menggantung di benaknya.Wilona duduk diam di dalam taksi, masih mencoba memahami situasi yang tiba-tiba menimpanya. Sementara, pria di sebelahnya akhirnya memperkenalkan diri."Namaku Rayan Mahendra," katanya dengan na
Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing."Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!""Ah, jangan,
Pagi itu, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Matanya masih terasa berat, dan rasa ngantuk seakan tak bisa dikalahkan. Selama dua hari ini beban utang satu miliar yang melilit keluarga mereka menghantui setiap langkahnya. Mimpi buruk tentang rentenir dan ancaman yang menakutkan sering kali merusak tidurnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di udara. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatif dan memulai hari dengan secangkir kopi hangat.Saat Wilona sedang menyiapkan sarapan, ayahnya—Pak Sadam, tiba-tiba masuk ke dapur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wilona mengenal ayahnya dengan baik, laki-laki paruh baya itu jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebihan. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh pada wajahnya. Sesuatu yang bercampur antara ketidakpercayaan dan kegembiraan."Wilona, kamu nggak akan percaya apa yang baru saja terjadi," kata Pak Sadam, suaranya bergetar."Ada apa, Yah? Kenapa kayaknya Ayah seneng banget?" Wilona bertanya dengan hati-hati, berusaha