Pria itu menatap Wilona sejenak, lalu berkata dengan nada dingin, "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Kita dalam bahaya, dan aku harus memastikan kita aman."
Mata Wilona melebar, kebingungan bercampur ketakutan. "Bahaya? Apa yang kamu bicarakan?" "Sudahlah, lebih baik kamu diam saja. Aku tidak akan menyakitimu, percayalah," jawab pria itu dengan suara dingin, sambil melipat tangannya di depan dada. Wilona ragu, tetapi ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya merasa dia bisa dipercaya, setidaknya untuk saat ini. Karena hari sudah malam dan rasa lelah mulai menguasai, Wilona memutuskan untuk menurut, berharap penjelasan akan datang segera. Taksi melaju cepat, membawa mereka ke arah yang tidak diketahui, meninggalkan Wilona dengan sejuta pertanyaan yang menggantung di benaknya. Wilona duduk diam di dalam taksi, masih mencoba memahami situasi yang tiba-tiba menimpanya. Sementara, pria di sebelahnya akhirnya memperkenalkan diri. "Namaku Rayan Mahendra," katanya dengan nada lebih tenang. "Maaf karena harus menyeretmu ke dalam situasi ini. Aku sedang kabur dari perjodohan yang tidak kuinginkan." Wilona memandangnya dengan penuh tanda tanya. "Perjodohan? Apa yang sebenarnya terjadi?" Rayan menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, "Keluargaku terus memaksaku untuk menikah dengan seseorang yang mereka pilih. Tapi ada satu masalah besar. Aku memiliki alergi langka. Setiap kali bersentuhan dengan wanita, aku langsung mendadak sakit." Wilona menatap Rayan dengan kaget. "Tapi tadi kita bersentuhan, dan kamu tidak apa-apa." Rayan tersenyum tipis, tampak bingung namun juga penasaran. "Itulah yang membuatku terkejut. Saat bersentuhan denganmu, aku tidak merasakan reaksi alergi apa pun. Ini pertama kalinya terjadi." Wilona mencoba mencerna informasi itu. "Jadi, kamu menculikku karena ini?" "Bukan menculik," Rayan membetulkan perkataannya, "lebih tepatnya, aku ingin memastikan kita aman dulu. Dan sekarang aku juga penasaran kenapa alergiku tidak muncul saat bersentuhan denganmu." Wilona memandang Rayan dengan campuran emosi. Ada ketakutan, kebingungan, dan sedikit rasa penasaran. "Dih, kita? Kamu aja kali aku nggak!" Rayan menatap Wilona dengan serius. "Aku serius!" "Iya-iya, baiklah. Terus apa rencanamu sekarang?" kata Wilona sambil menguap karena ngantuk. Ya, bagaimana tidak, seharian ini dia belum beristirahat karena fokus mencari pinjaman uang. "Pertama-tama ...." Rayan terus bercerita mengenai soal alerginya itu, sementara Wilona malah ketiduran di sisi Rayan. Taksi terus melaju, membawa mereka menuju tempat yang belum diketahui oleh Wilona. Di dalam taksi, meski dikelilingi oleh ketidakpastian, ada percikan kecil harapan yang tumbuh di hati Rayan untuk membawa petualangan baru yang benar-benar tidak terduga. Rayan memperhatikan Wilona yang tertidur dengan tenang di sebelahnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, dia merasa sedikit lega. Ada sesuatu tentang kehadiran Wilona yang membuatnya merasa lebih tenang. "Dia benar-benar berbeda, aku bahkan menyentuh kulitnya tapi tidak merasa gatal," kata Rayan dalam hatinya. Setelah beberapa waktu, taksi berhenti di depan sebuah rumah mewah yang tampak nyaman dan aman. Rayan membayar sopir taksi dan dengan hati-hati mengangkat tubuh Wilona yang sedang tertidur pulas. ***** Sementara di kediaman Rayan, keluarga besarnya sedang kebingungan. Mereka bahkan menyuruh para pelayannya untuk mencari Rayan sampai ketemu. Karena, pihak dari keluarga wanita sudah lama menunggu, dan itu membuat keluarga Rayan malu. "Sepertinya cucuku masih sibuk, bagaimana kalau pertemuan ini dilanjutkan besok saja?" celetuk pak Budi—kakeknya Rayan. "Kenapa harus besok, bukannya perjanjiannya sekarang?" kata ayahnya Kirey. Wanita yang akan dijodohkan dengan Rayan. "Iya, tapi ...." "Ah, tidak apa-apa, aku setuju," kata Kirey dengan cepat. Sementara itu, ayah dan ibunya saling berpandangan, tampak tidak setuju karena ini sudah kedua kalinya Rayan tidak pernah menemui mereka. "Baiklah, berhubung putriku setuju, jadi apa boleh buat. Besok kita akan bertemu lagi untuk membahas perjodohan ini," kata ayahnya Kirey. "Baik, terima kasih atas pengertiannya. Semoga putra kami benar-benar datang besok," kata Jihan—ibunya Rayan. Dia sendiri tidak yakin dengan perjodohan ini, tapi suaminya sangat keras kepala ingin menjodohkan Rayan dengan putri temannya itu. Dengan pertemuan yang ditunda, keluarga Rayan berharap mereka dapat menemukan Rayan sebelum waktu yang ditentukan. Namun, di balik ketegangan itu, ada perasaan cemas dan harapan yang tak menentu, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah keluarga Kirey pergi, Pak Budi langsung marah pada Hendi—ayahnya Rayan. Dia kesal karena selalu ikut campur dalam urusan asmara cucunya itu. "Apa kamu tidak pernah muda, Hendi?" kata pak Budi dengan nada tinggi. "Kenapa cucuku harus kau jodoh-jodohkan dengan perempuan yang tidak dia sukainya?" "Maafkan aku, Ayah. Aku terpaksa melakukan ini karena anakku tidak seperti anak laki-laki lain. Aku ingin dia menjadi pria normal dan mendapatkan pasangan yang cocok untuk dirinya," kata Hendi sembari menundukkan kepalanya. "Ya, tapi tidak harus seperti ini!" kata Pak Budi dengan nada sedikit menyentak. "Kalau tidak seperti ini, mau sampai kapan dia akan menemukan pasangannya? Sampai penyakitnya hilang?" kata Hendi yang tidak mau kalah. "Jadi kamu pikir, cucuku itu tidak normal gitu?" kata pak Budi kesal. "Jangan asal bicara kamu ya! Seharusnya, kamu sebagai ayah bisa mengerti dengan kondisi anakmu." "Bukan begitu, Ayah," Hendi cepat menanggapi, namun kata-katanya malah memperburuk situasi dan membuat Pak Budi semakin murka. "Sudah-sudah, jangan bertengkar terus. Lebih baik kita istirahat saja. Biarkan Rayan pergi, toh besok juga dia pulang lagi," kata Bu Jihan. "Ayo, Yah. Istirahat dulu, aku antar ke kamar." "Lebih baik, kamu bilang sama temanmu itu, perjodohan ini dibatalkan saja. Lebih baik tidak ada perjodohan daripada harus menanggung malu setiap hari," kata Pak Budi sembari berjalan dituntun oleh menantunya ke kamar dan pelayannya yang setia mengabdi kepada pak Budi. ***** Hari semakin larut. Namun Wilona masih belum juga pulang. Kegelisahan mulai merayap dalam hati Pak Sadam. Biasanya, putrinya tidak pernah pulang terlambat seperti ini. Pikirannya menjadi kacau, terutama ketika ingatannya kembali pada kata-kata kasar yang diucapkan para rentenir kepada Wilona, membuatnya semakin gelisah. "Oh Tuhan, di mana dia sekarang? Sudah jam segini, belum ada kabar," ucap Pak Sadam dengan nada khawatir, matanya terus memandangi jam di dinding. Kecemasan seorang ayah mulai memenuhi pikirannya. Berharap putrinya dalam keadaan baik-baik saja. "Ponselnya tidak aktif, aku harus menghubungi siapa kalau sudah begini," keluh pak Sadam. Sementara itu, Wilona masih tertidur pulas di atas kasur yang empuk dan nyaman. Sedangkan Rayan, dia duduk di kursi sambil memandang Wilona tanpa berkedip sedikit pun. Dan tidak lama kemudian, pelayannya masuk dan memberikan informasi tentang Wilona. "Tuan, ini informasi terkait nona itu." "Katakan saja, siapa dia sebenarnya?" tanya Rayan sambil mendekapkan tangan di dadanya. "Dia hanya wanita biasa, tidak ada istimewanya. Dia juga bekerja di anak perusahaan kita. Lalu ...." "Lanjutkan!" kata Rayan dengan tegas. "Dia sendiri saat ini sedang mengalami musibah. Ayahnya mempunyai utang pada rentenir sebanyak satu miliar!" "Lalu?" tanya Rayan penasaran. "Menurut informasi, dia harus segera membayarnya dalam jangka dua hari. Kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi taruhannya." "Kalau begitu, siapakan uangnya dan bayarkan pada rentenir itu sekarang juga!" kata Rayan dengan cepat.Keesokan paginya, Wilona terbangun dengan perasaan bingung. "Di mana aku?" tanyanya pelan sambil mengusap wajahnya. Dia baru sadar ketika melihat sekelilingnya yang tampak begitu asing."Bisa-bisanya aku tidur nyenyak di rumah orang. Eh, tapi ... ini rumah siapa?" gumam Wilona sambil berpikir. "Oh iya, aku ingat! Si laki mata belo pakai jam tangan silver, iya bener aku ingat sekarang. Tapi kenapa aku bisa sampai ke sini ya? Apa jangan-jangan aku dibius sama dia terus ... ah tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak jelas," kata Wilona sambil menjambak rambut panjangnya.Saat dirinya keluar dari ruangan itu, Wilona terkejut dengan keindahan tangga dan arsitektur bangunannya yang begitu megah. "Wah, ini seperti di ...."Tiba-tiba saja pelayan yang ada di rumah Rayan datang menghampirinya. "Nona, akhirnya Anda bangun juga. Saya sudah menyiapkan pakaian untuk Anda. Oh iya, sarapannya juga sudah disiapkan. Apakah Anda mau sarapan sekarang? Biar saya bawakan!""Ah, jangan,
Pagi itu, Wilona terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Matanya masih terasa berat, dan rasa ngantuk seakan tak bisa dikalahkan. Selama dua hari ini beban utang satu miliar yang melilit keluarga mereka menghantui setiap langkahnya. Mimpi buruk tentang rentenir dan ancaman yang menakutkan sering kali merusak tidurnya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di udara. Ia mencoba mengenyahkan pikiran negatif dan memulai hari dengan secangkir kopi hangat.Saat Wilona sedang menyiapkan sarapan, ayahnya—Pak Sadam, tiba-tiba masuk ke dapur dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wilona mengenal ayahnya dengan baik, laki-laki paruh baya itu jarang sekali menunjukkan emosi yang berlebihan. Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh pada wajahnya. Sesuatu yang bercampur antara ketidakpercayaan dan kegembiraan."Wilona, kamu nggak akan percaya apa yang baru saja terjadi," kata Pak Sadam, suaranya bergetar."Ada apa, Yah? Kenapa kayaknya Ayah seneng banget?" Wilona bertanya dengan hati-hati, berusaha
"Ada apa ini?" tanya Wilona Yamuzie, sambil menatap tajam ke arah orang-orang yang memenuhi ruang tamunya.Baru saja pulang bekerja, Wilona yang kelelahan dan mengantuk malah disuguhkan dengan pemandangan yang tak mengenakkan hati. Ada beberapa rentenir berdiri di depan ayahnya untuk menagih utang yang telah jatuh tempo. Wajah ayahnya terlihat pucat, menunjukkan ketidakberdayaannya."Wilona!" seru Pak Sadam saat melihat putrinya datang.Wilona merasakan hatinya berdesir mendengar suara lemah ayahnya. Ia segera mendekat, "Ada apa ini, Yah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas.Salah satu rentenir, dengan senyum sinis, menatap Wilona. "Wah, Pak Sadam ternyata punya anak gadis yang sangat cantik. Sudah punya kekasih belum? Kalau belum, mungkin bisa barter dengan utangmu itu."Wilona marah dan menatap rentenir itu dengan penuh kebencian. "Diamlah! Kamu tidak berhak bicara seperti itu kepada ayahku!"Rentenir itu tertawa kecil, "Oh, berani juga kamu. Tapi sayangnya, keberanianmu itu
Wilona duduk terdiam di samping foto mendiang ibunya. Pikirannya berputar mencari solusi. Dua hari bukan waktu yang cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak satu miliar. Namun, menyerah bukan pilihan. Wilona tahu bahwa dia harus bertindak cepat dan bijaksana.Wilona menatap foto mendiang ibunya dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu cara mendapatkan uang sebesar itu, Bu. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan berusaha mencari jalan keluarnya."Malam itu, setelah memastikan ayahnya beristirahat, Wilona kembali merenung di kamarnya. Dia membuka laptopnya dan mulai mencari peluang kerja tambahan atau bantuan keuangan yang mungkin bisa ia manfaatkan. Semua opsi tampak mustahil. Dia tahu hanya ada satu cara yang mungkin bisa memberikan uang sebesar itu dalam waktu singkat yaitu, menjual rumahnya. Tapi pikiran itu langsung ia tepis. Rumah itu adalah satu-satunya tempat dirinya berteduh."Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Wilona. Tubuhnya mulai terasa lelah dan pikirannya terasa berat. Dia meras