Keesokan harinya, Rani yang sudah terlihat rapi langsung keluar dari kamarnya untuk segera menuju ke ruang makan.
"Yuli. Dimana suami saya, apa dia belum bangun?" tanya Rani saat melihat madunya sibuk mempersiapkan sarapan. "Tuan Niko …." "Aku di sini, Sayang." Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari kejauhan. Rani yang terkejut segera menoleh ke arah suara. "Kamu tidur di ruang tamu, Mas." Wanita itu kini terlihat bingung saat melihat suaminya turun dari lantai dua. "Iya, kenapa. Apa kamu keberatan?" tanya Niko yang sudah berdiri di hadapan sang istri. Rani terlihat sedikit lega, pasalnya dugaannya tentang malam pertama Yuli dan suaminya ternyata tidak benar. Niko masih begitu sangat menjaga kesetiaannya selama ini. "Yaudah, sekarang kamu duduk. Kita makan sama-sama." Rani mempersilahkan suaminya dengan senyum bahagia. Pria itu langsung duduk di hadapan sang istri dan segera mengambil sepotong roti di hadapannya. Sementara itu di sisi lain, Rani terlihat melirik ke arah Soni sambil menikmati roti yang ada di tangannya. "Mas, setelah makan kita ngobrol di ruang kerja sebentar ya. Ada hal yang ingin aku katakan padamu." "Ehm." Pria itu hanya menjawab dengan deheman. Beberapa saat berlalu, merek kini sudah ada di ruang kerja. Rani yang sudah penasaran dengan malam pertama yang terjadi antara Yuli dan Niko segera mendekati suaminya. Sambil duduk di sofa wanita itu mulai membuka obrolan mereka. "Kenapa kamu nggak tidur di kamar Yuli? Bukanya kamu sangat menginginkan kehadiran seorang anak." "Kamu benar, aku memang menginginkan kehadiran seorang anak, tapi itu darimu bukan perempuan lain. Dan pernikahan ini hanyalah sebuah keterpaksaan." Pria itu kini menatap Rani dengan tajam. Ia terlihat muak melihat sikap istrinya yang sangat keras kepala. Dia lebih mengutamakan karirnya daripada kebahagiaan Niko. "Harus berapa kali aku bilang ke kamu, aku nggak mau punya anak. Apa kamu mau tanggung jawab jika karirku hancur karena kehamilan yang aku dambakan!" bentak Rani sambil langsung berdiri dari tempat duduknya. "Dasar keras kepala, jika seperti itu jangan harap aku akan menggauli Yuli." Niko segera meninggalkan ruangan itu dan berjalan keluar rumah. "Mas. Kamu nggak bisa seperti ini! Kamu tahu 'kan kalau aku harus melawan sakit hati demi mengabulkan keinginanmu. Kamu pikir aku nggak sakit hati dengan pernikahan ini." Rani segera mengikuti langkah kaki sang suami. Jika boleh jujur pernikahan antara Niko dan yuli jelas membuatnya sakit hati. Namun, karena ia tidak ingin kehilangan karir yang selama ini ia dapatkan. "Aku nggak mau tahu, kamu harus segera menggauli pembantu itu! Kalau enggak kamu harus segera angkat kaki dari rumah ini." Rani terus berteriak sambil berjalan di belakang Niko yang terus berjalan keluar rumah. "Rani, ada apa. Nak? Kenapa kamu berteriak seperti itu." Halimah yang sejak tadi masih berada di dalam kamar tiba-tiba sudah berdiri di samping Rani. "Apa Ibu tahu, Mas Niko nggak mau menggauli Yuli. Kalau seperti ini sia-sia dong aku menikahkan mereka." Protes Rani yang terlihat tidak terima dengan sikap suaminya saat ini. "Ibu sudah bilang ke kamu, apa yang kamu lakukan itu hanya menyiksa dirimu sendiri. Lagi pula kehadiran anak itu nggak penting dalam kehidupan kalian, yang terpenting sekarang kalian bisa memiliki kehidupan yang berkecukupan. Sekarang kamu lihat, semua jadi kacau karena keputusan konyolmu itu." Halimah melipat tangannya sambil menatap sang menantu dengan kesal. "Jadi sekarang Ibu menyalahkan aku?" tanya Rani yang langsung menoleh ke arah Halimah. "Bukan begitu, Nak. Ibu hanya mengkhawatirkan keutuhan rumah tangga kalian saja." Wanita paruh baya itu langsung memegang tangan Rani. Wajahnya terlihat ketakutan saat melihat tatapan mata Rani yang begitu tajam. Rani yang tidak mau membuang waktu untuk berdebat dengan Halimah langsung melepaskan tangannya mertuanya dengan kasar. Ia dengan segera berjalan meninggalkan Halimah begitu saja. *** Malam hari, ketika Rani baru saja pulang. Ia langsung menemui Yuli di paviliun, wanita itu ingin memastikan apa sang suami sudah bersama asisten rumah tangganya. Rani yang baru saja tiba di kamar Yuli, wanita itu melipat tangannya sambil bersandar di pintu kamar. "Yuli! Apa Mas Niko sudah pulang." "Belum, Mbak. Sejak tadi pagi saya belum melihat Mas Niko di rumah," jawab Yuli dengan gugup. "Dimana pria itu, bisa-bisanya dia belum pulang jam segini." Rani melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya. Alisnya terlihat menempel satu sama lain, wajahnya terlihat bingung saat mengetahui jika Niko belum tiba di rumah. "Mbak Rani mau saya siapkan makan malam." Tiba-tiba terdengar suara Yuli, hingga membuat Rani terkejut. "Nggak usah, aku udah makan tadi. Kalau begiti kamu istirahat saja, aku juga mau langsung tidur." Dengan segera wanita itu langsung meninggalkan kamar Yuli. Tepat pukul tiga malam, hujan turun dengan begitu deras di sertai suara petir yang saling menyambar. Yuli yang sudah terlelap dalam tidurnya tiba-tiba terbangun. Ia seolah merasa ada hal yang berbeda malam ini. "Lebih baik aku keluar, karena sepertinya aku belum mengunci pintu rumah." Wanita itu segera keluar dari kamarnya, dan langsung berjalan ke arah ruang tamu. Ruangan itu terlihat begitu gelap, semua lampu sudah di padamkan sejak tadi. Merasa semua tugasnya sudah selesai wanita itu segera berjalan kembali ke kamarnya. Baru saja ia akan menutup pintu kamar, tiba-tiba sebuah tangan menahan pintu tersebut hingga membuatnya terkejut. "Mas Niko. Ada yang bisa saya bantu, Mas." Dengan kasar Niko langsung mendorong tubuh Yuli hingga terjantuh ke lantai. Kini pria bertubuh tegap itu mulai berjalan ke arahnya dengan sempoyongan. Ya, pria iti rupanya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Yuli yang ketakutan berusaha untuk menghindar darinya. Namun, dengan cepat tangan kekar Niko langsung memegeng pergelangan tangannya. Bahkan pria itu lansgung menarik tangan Yuli ke arah tempat tidur dan mendorong tubuh istri keduanya dengan kasar. "Mas, apa yang akan kamu lakukan. Bukannya kamu nggak mau mengkhianati Mbak Rani." Yuli terlihat begitu ketakutan saat tubuh Niko sudah berdiri di hadapannya. Melihat wajah Yuli ketakutan, Niko hanya tersenyum dengan dingin. Perlahan ia mulai mendekatkan wajahnya ke arah Yuli. Kini wajah keduanya hanya berjara beberapa centi saja. Yuli yang merasa ketakutan segera menutup kedua matanya, ia terlihat mulai meneteskan air mata. "Bukankah ini yang kalian mau, bukankah malam pertama ini yang kamu inginkan." Niko terlihat melebarkan senyumannya. "Aku mohon Mas, jangan lakukan ini. Kembalilah ke kamarmu dengan Mbak Rani, biarkan aku di sini sendiri." Yuli terus memohon sambil meneteskan air mata. Kini tangan Niko sudah memegang tangannya dengn erat.Sejak malam itu Yuli dan Niko mulai sering melakukan hubungan suami istri. Bahkan pria itu terlihat lebih sering menghabiskan malam panas bersama Yuli daripada Rani-istri pertamanya. Hal itu rupannya membuat kecemburuan tersendiri di hati Rani, terlebih Lina yang sangat menentang hubungan mereka. Tiga bulan berlalu, tidak ada yang berubah dengan kehidupan Yuli. Selain statusnya yang kini berubah menjadi istri kedua Niko. Hingga suatu hari, Rani yang saat itu baru saja mengambil baju di dalam lemari. Tiba-tiba terkejut saat melihat baju kesayangannya berlubang. "Bagaimana bisa baju ini berlubang. Ini pasti kerjaan pembantu tolol itu," ucapnya dengan kesal. Rani yang tidak terima langsung berjalan keluar kamar. Dengan tergesah-gesah dia mulai menuruni anak tangga. Sesampai di lantai dasar dia langsung berteriak memanggil nama Yuli. "Yuli! Yuli." "Rani. Kamu kenapa berteriak seperti itu?" tanya Lina yang baru saja turun dari tangga. "Ibu, dimana wanita kampung itu?" tanya Rani.
Keesokan harinya, Lina yang baru saja membersihkan diri langsung berjalan ke arah meja makan. Dia terlihat terkejut saat melihat meja tersebut masih kosong. Sementara itu Niko yang duduk tidak jauh dari Rani terlihat sedang memainkan ponselnya. "Kenapa belum ada makanan di meja ini," batin Lina sambil menatap meja makan yang masih kosong. "Rani, apa makanannya belum disediakan?" tanyanya pada sang menantu sambil terus melihat ke arah meja makan. "Tanya saja sama menantu kedua Ibu." Rani menjawab sambil terus menatap ke layar ponselnya. "Yuli! Yuli. Mana sarapan hari ini?!" tanya Lina sambil berteriak. "Iya. Bu! Sebentar lagi," jawab Yuli dengan sedikit berteriak. "Dasar wanita lelet. Bagaimana mungkin dia bisa terlambat menyiapkan sarapan," gerutu Lina yang masih berdiri di samping Rani. Sambil meletakkan ponselnya di atas meja. "Sudahlah. Bu, siapa tahu dia kesiangan. Lebih baik kita tunggu saja, mungkin sebentar lagi siap." "Niko! Kenapa sih kamu selalu membela wanita
"Ada apa sih. Mas? Malam-malam begini teriak-teriak!" bentak Rani yang saat itu bertemu dengan sang suami di ruang makan. "Iya, kamu ini bisa tidak tenang sebentar saja. Ibu sedang sakit kepala," Lina menatap Niko dengan kesal. "Yuli. Yuli pingsan di kamarnya," jawab Niko dengan gugup. Sambil melebarkan mata. "Apa! Wanita benalu itu pingsan." "Halah, biarkan saja. Nanti juga dia bangun sendiri, sudah. Ah! Ibu mau istirahat," jawab Lina sambil melangkah pergi. "Tunggu. Bu, kita tidak bisa membiarkan wanita itu pingsan disini. Aku tidak mau berurusan dengan hukum jika terjadi sesuatu padanya," ucap Rani hingga membuat Lina menghentikan langkahnya. "Ya sudah, lebih baik sekarang kita bawa dia ke Rumah sakit!" ajak Niko yang langsung berjalan ke arah paviliun. "Ah! Menyusahkan saja," gerutu Lina sambil berjalan mengikuti Niko dan sang menantu. Beberapa saat kemudian mereka akhirnya tiba di Rumah sakit. Yuli yang saat itu belum sadarkan diri langsung mendapatkan penangan di ru
Sambil terus menatap majalah yang ada di tangannya. "Mau kemana kamu, Mas.""Aku mau ke paviliun sebentar. Aku khawatir dengan keadaan Yuli, lagipula siapa tahu dia membutuhkanku," jawab Niko sambil berjalan ke arah pintu."Kamu tidak boleh kesana." Rani menutup majalahnya dan menoleh ke arah sang suami.Niko yang berjalan ke arah pintu seketika berhenti setelah mendengar ucapan wanita yang ada di belakangnya. Sesaat dia terlihat menarik nafas dalam-dalam. Sebelum akhirnya menoleh ke arah Rani yang sudah berdiri di belakangnya."Apa kamu lupa kalau Yuli itu sedang hamil muda, siapa tahu malam ini dia sedang merasa tidak nyaman." Niko mencoba memberi penjelasan pada sang istri.
Sambil melemparkan kantong plastik ke arah Yuli. "Ini untukmu."Yuli yang penasaran langsung melihat isi dalam kantong tersebut. Terlihat beberapa buah-buahan dan beberapa kardus susu untuk ibu hamil. Melihat barang-barang itu Yuli langsung menoleh ke arah Rani yang berdiri di hadapannya."Ini untuk saya. Mbak?" tanya Yuli dengan penasaran."Kamu tidak lihat itu susu hamil, jika bukan buatmu lalu buat siapa lagi," jawab Rani dengan ketus sambil duduk di sofa."Alhamdulillah." Yuli terlihat bahagia."Kamu jangan bahagia dulu, aku memberi barang-barang itu bukan karena aku peduli padamu. Aku hanya tidak mau anak itu lahir cacat,"
Pagi ini semua sudah berkumpul di meja makan. Termasuk Rani dan Niko yang baru saja menikmati sarapan mereka. Setelah mengusap mulutnya, Rani segera memanggil Yuli yang sedang berada di dapur."Yuli! Yuli." Rani berteriak dengan keras.Sambil meletakkan gelas di atas meja. "Apa kamu tidak bisa memanggilnya dengan lembut.""Yuli. Yuli!" teriak Rani seolah tidak mempedulikan ucapan sang suami.Sambil berlari dengan teburu-buru. "Iya. Mbak, apa ada yang bisa saya bantu.""Ini upahmu bulan ini," ucap Rani sambil menyerahkan sebuah amplop coklat."Alhamdulillah, terim
Rani yang sudah berdiri di ruang tamu terlihat terkejut saat melihat sosok yang ada di hadapannya. Sosok yang sangat dikenalnya selama ini. Dengan segera ia pun langsung berjalan ke arah wanita itu."Yuli. Mau kemana kamu membawa tas seperti itu?" tanya Rani sambil berjalan ke arah Yuli."Sa-saya. Ehm … ."Sambil langsung mencengkram lengan Yuli. "Kamu pasti mau kabur dari rumah ini 'kan."Yuli yang ketakutan hanya bisa menunduk tanpa berani menatap mata wanita itu. Rani yang sudah tidak dapat menahan emosinya. Langsung menyeret Yuli ke arah paviliun."Ampun. Mbak! Saya tidak bermaksud kabur, saya hanya ingin menjenguk I
"Darimana saja kamu. Mas?" tanya Rani saat melihat Niko yang baru saja masuk."Dari Cafe, memang mau darimana lagi." Niko terus berjalan masuk ke dalam rumah."Pembantu sialan itu sudah pergi dari rumah ini. Dan semua ini gara-gara ibumu yang tidak becus ini!" bentak Rani sambil menunjuk ke arah Lina."Jika kamu tahu ibuku tidak becus, lalu kenapa kamu memintanya menjaga Yuli. Kenapa bukan kamu sendiri saja yang menjaganya," jawab sang suami sambil menoleh ke arahnya."Mas! Aku serius, Yuli sudah kabur dari rumah ini. Dan dia membawa anak kita!" bentak wanita itu sambil berjalan ke arah Niko."Anak kita, sejak kapan kamu membia
"Yuli! Yuli," panggil Niko sambil mengetuk pintu."Ria! Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang. Nak." Yuli langsung mengambil Ria dari gendongan sang suami."Yuli. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dan memisahkanmu dari Ria," ucap Niko dengan wajah ragu."Aku sudah memaafkanmu, terima kasih kamu sudah mau mengembalikan Ria." Yuli hanya memandang Niko dengan datar."Kalau begitu apa masih ada kesempatan untuk kita kembali bersama?" tanya Niko dengan penuh harap.Sambil tersenyum. "Aku memang sudah memaafkanmu, tapi untuk kembali padamu … maaf, aku tidak bisa."
"Mbak Rani! Cepat kembalikan putriku," teriak Yuli. "Mas Niko cepat keluar, jangan jadi pria pengecut yang hanya bisa bersembunyi di belakang kekayaan istrimu."Berkali-kali Yuli berteriak di depan rumah artis terkenal itu. Apa yang dilakukan Yuli tentu menyorot perhatian dari beberapa orang yang ada disekitar rumah itu. Tidak berapa lama beberapa orang mendekatinya sambil membawa sebuah kamera di tangannya."Kalau boleh tahu, apa yang anda lakukan disini? Kenapa anda berteriak di depan rumah Rani." Seorang pria bertubuh jakung bertanya sambil menyodorkan sebuah mikrofon."Sepertinya mereka adalah seorang Wartawan. Aku bisa menggunakan cara ini untuk mendapatkan putriku kembali," batin Yuli yang terlihat terkejut.
"Mas, apa hari ini kamu akan pergi untuk mencari pekerjaan?" tanya Yuli sambil menggendong Ria."Sepertinya begitu, karena kalau aku tidak segera mendapatkan pekerjaan bagaimana kita bisa membayar sewa rumah ini." Niko terlihat menyisir rambutnya yang basah.Sambil duduk di tempat tidur. "Mas, kemarin Bu Tejo ke rumah. Dan dia bilang saat ini lapak sayurnya membutuhkan tukang untuk mengangkut sayuran ke truk, bagaimana kalau kamu menerima tawaran Bu Tejo.""Maksudmu bekerja sebagai kuli panggul?" jawab Niko yang langsung menoleh ke arah sang istri."Untuk sementara, kalau kamu sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik kamu bisa berhenti," jelas Yuli sambil memegang tangan sang suami.
"Ibu. Ibu mau kemana?" tanya Yuli yang baru saja keluar dari dapur."Ibu, Ibu. Eh ingat ya, sampai kapanpun aku tidak akan mengakuimu sebagai menantu! Jadi jangan pernah memanggilku dengan sebutan Ibu. Lagi pula kemana pun aku pergi itu bukan urusanmu!" bentak Lina sambil melebarkan matanya."Maaf, Bu. Eh maksud saya, Nyonya. Mas Niko hanya berpesan untuk menjaga Nyonya sampai dia kembali," jawab Yuli dengan gugup."Kamu pikir aku anak kecil yang harus diawasi 24 jam! Sudah lebih baik kau urusi saja dirimu, aku bisa menjaga diriku sendiri." Lina memandang Yuli dengan penuh kebencian.Sambil berjalan ke arah Yuli dan Lina. "Katanya bukan anak kecil, tapi kelakuan masih seperti bayi! Eh, Nyonya
Beberapa saat perempuan paruh baya itu terlihat berpikir. Hingga akhirnya dia menerima ajakan sang putra. Dengan ragu dia mulai berjalan ke rumah yang ada di pojokan jalan."Mari. Bu, silahkan diminum tehnya."Yuli meletakkan secangkir diatas meja.Lina yang begitu sangat membenci Yuli justru memalingkan wajahnya saat melihat kehadiran menantu keduanya. Terlihat jelas jika dalam hati Lina masih belum bisa menerima kenyataan jika kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang sempit. Sementara itu Niko terlihat menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah sang ibu."Diminum dulu, Bu. Kasihan Yuli sudah capek membuatkan teh itu untuk Ibu!" perintah Niko dengan lembut."Ibu tidak akan minum teh itu,
Yuli yang merasa sangat mengenal suara itu langsung menoleh ke arah suara. Ia terlihat terkejut saat melihat Rani sudah berdiri di antara para warga. Wajah bintang terkenal itu terlihat begitu sedih."Mbak Rani!" ucap Yuli yang terlihat terkejut."Kenapa? Apa kamu terkejut melihat kehadiranku disini, kamu pikir aku akan diam saja saat kamu merebut suamiku!" bentak Rani sambil menatap Yuli dengan tajam."Tapi. Mbak! Bukankah Mbak Rani sendiri yang memintaku untuk menjadi istri kedua Mas Niko." Yuli terlihat berdiri dari tempat duduknya.Mendengar ucapan Yuli beberapa orang yang ada di tempat itu terlihat kebingungan. Mereka terlihat bingung antara siapa yang benar dan salah. Ucapan Yuli ataukah si b
Malam ini Niko dan Rani sedang menikmati malam berdua di dalam kamar. Suasana yang biasa terasa dingin, kini terlihat mulai mencair. Rani yang malam itu terlihat begitu cantik dengan lingerie merahnya langsung berbaring di sebelah Niko.Sambil memeluk tangan sang suami. "Sayang, selama ini aku selalu memintamu untuk tidak menyentuhku. Bagaimana kalau malam ini kita nikmati malam indah kita.""Sepertinya tidak bisa, karena malam ini aku harus bersiap-siap untuk ke Surabaya besok pagi," jawab Niko sambil melepaskan tangan sang istri."Apa tidak bisa kamu mempersiapkannya besok pagi, lagi pula selama ini kita sudah jarang bersama." Rani terlihat memandang Niko dengan kesal."Tidak bisa, Sayang.
"Milik siapa ini. Mas?" tanya Rani sambil memperlihatkan sebuah lipstik yang ada di tangannya."Lipstik itu! Bagaimana bisa benda itu jatuh di koperku," batin Niko yang terlihat terkejut."Kenapa kamu diam. Aku tanya sekali lagi, lipstik siapa ini?" tanya Rani sambil berjalan ke arah sang suami."I-itu lipstik untukmu, aku sengaja membelinya saat pulang tadi." Niko terlihat gugup."Untukku, tapi kenapa kamu terlihat gugup saat aku menanyakan hal itu. Apa jangan-jangan kamu …."Sambil memegang tangan Rani. "Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku gugup karena aku heran bagaimana bisa kamu menemukan barang itu dengan muda
"Kenapa makanan belum ada di meja makan," ucap Rani yang baru saja sampai di meja makan.Sejak kepergian Yuli beberapa minggu yang lalu Lina menggantikan semua tugas rumah tangga. Namun, kali ini ada yang berbeda. Lina yang biasanya sudah menyiapkan sarapan sejak pagi kini belum terlihat sama sekali."Ibu. Ibu!" teriak Rani sambil terus melihat ke arah meja yang ada di depannya."Iya. Nak! Ada apa?" jawab Lina sambil terlihat berlari ke arah sang menantu."Ada apa? Ibu tidak melihat jika di meja ini tidak ada makanan! Apa Ibu lupa jika hari ini aku ada kegiatan pagi," bentak Rani sambil bertolak pinggang."Maafkan Ibu. Nak, har