Rania terguncang oleh kata-kata Mama Asnah. Ia merasa tidak berdaya, seperti telah kehilangan semua harapan. Ia dinyatakan sulit memiliki bayi dalam waktu dekat. Jika saja ia lebih berhati-hati saat menuruni tangga, mungkin ia tidak akan terjatuh dan kehilangan bayinya.
Saat itu, Rania diminta Mama Asnah untuk berbelanja karena esok akan ada tamu yang berkunjung ke rumah. Rania tidak melihat genangan air di anak tangga, sehingga membuatnya terpeleset. Ia harus kehilangan bayinya dan juga akan diceraikan oleh Andi. Airmata Rania mengalir terus, membuat kedua matanya sembab. Ia mengabaikan rasa sakit bekas operasi di perutnya. Wajahnya semakin pucat karena sejak siuman, Rania tidak menyentuh setetes air maupun makanan. Setelah mengatakan bahwa Rania akan sulit melahirkan, Mama Asnah langsung keluar dari ruangan, membiarkan Rania dengan perasaan porak poranda. Apalagi kata-kata terakhir Mama Asnah yang mengatakan bahwa tamu yang akan hadir esok adalah calon istri Andi. "Aku harus berbicara lagi dengan Mas Andi. Aku yakin Mas Andi tidak mungkin menceraikan aku. Pasti tadi ia hanya sedang marah dan kecewa padaku saja," gumam Rania. Ia mencari keberadaan tas kecil yang berisi ponsel dan dompetnya, tapi tidak menemukannya di nakas, sepertinya tas itu ada di lemari. Rania mencoba turun dari ranjang, tapi merasakan perih di sekitar perutnya. Ia pun mencoba menarik nafas secara perlahan,setelah dirasa sakitnya berkurang, Rania pun menurunkan kakinya perlahan ke lantai dan hendak berdiri sambil berpegangan pada tepi ranjang. "Ibu... Ibu mau ngapain?" tanya perawat yang masuk ke ruangan Rania untuk mengecek kesehatannya. Perawat tersebut terkejut saat melihat Rania hendak turun dari ranjang. "Saya mau mencari tas, Sus," jawab Rania. Perawat tersebut menghampiri Rania dan membantu Rania duduk kembali di ranjang. “Ibu duduk saja. Biar saya carikan.” kata perawat tersebut, lalu ia mencari tas yang Rania cari dan menemukannya. Perawat tersebut menunjukkan tas tersebut pada Rania. "Ini yang Ibu cari," kata perawat tersebut. Rania tersenyum tipis saat perawat tersebut menemukan tas yang ia cari dan langsung memberikannya kepada Rania. "Makasih ya, Sus," jawab Rania dan memegang tas tersebut dengan erat. "Saya cek dulu tensi darah Ibu, ya," kata perawat tersenyum lembut. Rania hanya mengangguk sambil menyerahkan lengannya untuk diperiksa. "Ibu sudah berapa lama siuman? Kenapa tidak memberitahu Dokter kalau Ibu sudah sadar?" tanya perawat tersebut. “Saya pikir, suami saya sudah beritahu Dokter.” kata Rania. Rania tidak tahu kalau saat ia selesai melahirkan sang suami dan mertuanya langsung membawa bayi mereka kerumah tanpa memperdulikan kondisi Rania. Dan kembali kerumah sakit hanya untuk menceraikan Rania saja. Perawat tersebut kemudian memeriksa tensi darah Rania dan mencatat hasilnya. "Ibu harus banyak istirahat dan tidak boleh terlalu banyak bergerak," kata perawat tersebut. "Saya akan memberitahu Dokter bahwa Ibu sudah siuman." Rania hanya mengangguk, “terima kasih, sus.” “Sama-sama, Ibu. Saya permisi dulu, nanti saya akan kembali bersama Dokter.” jawab perawat. Setelah perawat tersebut keluar dari ruangan, Rania memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Andi. Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Andi, tapi tidak ada jawaban. “Tumben ponselnya tidak aktif, apa kehabisan daya.” gumam Rania, ia kembali menghubungi Andi namun tetap suara operator yang menjawab, “apa Mas Andi serius mau menceraikan aku? Tega sekali kamu, Mas.” lirih Rania dengan menahan rasa sesak di dadanya, memikirkan kalau ia akan dicampakkan oleh suami yang selama ini berjanji akan selalu melindunginya. Rania pun menangis dalam diam, dan tak lama pandangan matanya mulai berkunang-kunang, sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya namun ia tidak sanggup untuk menjawab dan berakhir tak sadarkan diri. **** Di rumah sakit yang sama namun ruangan berbeda tampak seorang wanita menjerit-jerit kesakitan dan terus menyalahkan sang suami yang telah membuatnya hamil. “Ini sakit sekali, Mas. Anak kamu sepertinya sengaja membuat aku tersiksa.” rintih Marissa. Rafa mencoba membuat Marissa tenang dengan menggenggam tangannya,”Sayang, kamu sabar ya. Beginilah perjuangan seorang ibu untuk melahirkan anaknya. Dan kamu beruntung bisa merasakannya.” “Tapi anak kamu jahat, Mas. Dia menyiksa aku. Aduh…mas….sakit banget.” rintih Marissa lagi, saat ia merasakan kontraksi semakin parah, “aku ingin operasi saja, Mas. Buruan bilang sama dokter, Mas.” pekik Marissa kembali yang tidak bisa menahan rasa sakit seperti seluruh tulangnya remuk. Rafa hanya bisa bersikap sabar dan tenang menghadapi istrinya, Marissa, yang tidak mau melahirkan normal. Padahal, kondisi Marissa bagus dan pembukaan sudah hampir lengkap, sehingga dokter tidak bisa melakukan operasi. Dokter dan para perawat sudah bersiap untuk membantu Marissa melahirkan. Mereka mengabaikan teriakan Marissa yang tidak mau melahirkan normal, padahal kepala bayi sudah mulai tampak. Rafa menjadi sasaran kuku-kuku panjang Marissa saat kontraksi terakhir dirasakan. Bayi tersebut akhirnya dilahirkan oleh Marissa dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Bayi laki-laki yang sangat tampan tersebut lahir dengan berat yang kurang. Sepertinya, saat mengandung, Marissa jarang makan makanan yang bergizi untuk kandungannya. Rafa menitikkan air mata saat bayi mungilnya telah lahir, lalu ia mengecup kening istrinya yang masih menangis karena rasa sakit yang ia derita. "Makasih, sayang. Kamu berhasil melahirkan bayi kita yang sangat tampan. Kamu mau melihatnya?" ujar Rafa lembut. Rafa tahu Marissa marah padanya karena telah berbohong. Marissa menatap Rafa dengan sinis. "Aku lelah, Mas. Aku mau tidur," jawabnya sambil memejamkan mata dan tidak memperdulikan seorang perawat yang sedang membawa bayi mereka untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Rafa hanya menghela nafas dengan kecewa, lalu meminta perawat tersebut untuk meletakkan bayinya ke dadanya saja. Rafa duduk di ruangan ibu menyusui dan mendekap erat bayi mungilnya. Rafa berharap bayinya bisa merasakan kehangatan dari tubuhnya. Tubuh yang mungil membuat hati Rafa teriris. Ia harus mencari cara agar bayinya bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia akan membujuk Marissa agar mau memberinya ASI, walau sejak dinyatakan hamil, Marissa sudah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya.Rafa memandang bayinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang saat ini sedang terlelap di inkubator. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayinya tidak bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia tahu bahwa ASI sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan bayi.Rafa memutuskan untuk berbicara dengan Marissa tentang hal ini. Ia ingin membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Rafa tahu bahwa Marissa telah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya, tapi ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka.Rafa mendekati Marissa yang masih terbaring di tempat tidur. Ia memandangnya dengan penuh kasih sayang dan berbicara dengan lembut."Sayang, aku tahu kamu masih lelah dan sakit, tapi aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang sangat penting," kata Rafa.Marissa membuka matanya dan memandang Rafa dengan sinis. "Apa itu?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah."Aku ingin berbicara tentang ASI," kata Rafa. "Aku tahu kamu telah memberika
“Mah, ada apa ini?” tanya Rafa pada sang Mama yang sedang menenangkan bayinya.“Dia haus, Rafa. Tadi perawat membawanya kemari agar Marissa bisa menyusui, perawat sudah mencoba memberikan susu tapi dia menolak.” jawab Mama Vina sambil menimang-nimang bayi tersebut agar berhenti menangis, namun bayi tersebut semakin kencang menangis membuat Mama Vina kewalahan.“Marissa kemana, Ma?” tanya Rafa, namun Mama Vina hanya diam seakan enggan menjawab. Rafa pun mencari keberadaan Marissa yang tidak ada di tempat tidurnya, tampak selang infus sudah dibuka, Rafa berpikir Marissa ada di dalam kamar mandi karena kamar mandi tertutup. Ia pun mencoba mengetuk pintu kamar mandi namun mendengar ucapan Mama Vina membuat Rafa tertegun.“Marissa sudah pergi, tadi asistennya datang.” Ada nada kesal yang Mama Vina ucapkan.“Apa, Ma? Marissa sudah pergi.” Rafa mengulang ucapan sang Mama seakan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.“Benar, Rafa. Istri kamu sudah pergi, katanya tadi sudah hubungi k
Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap. Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel. Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya. Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu ke
Rafa yang diminta oleh Mama Vina untuk mengucapkan terima kasih pada wanita yang telah menenangkan bayinya, dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya spontan langsung menghampiri Rania. “Hei…apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah tidak waras..hah!” bentak Rafa dengan geram. Rafa langsung mengambil pisau yang berada di tangan Rania dan membuangnya jauh ke lantai. Untung saja Rafa datang tepat waktu sehingga tangan Rania hanya tergores sedikit. Rania tersentak kaget saat tangan Rafa merebut pisau yang digenggamnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan saat Rafa mencegahnya untuk menyayatkan pisau tersebut ke tangannya. “Kamu siapa!” Rania menatap tajam pada Rafa yang berdiri di depannya, “Kamu tidak berhak melarangku, biarkan aku mati, aku ingin menyusul anakku. Aku kehilangan anakku, dan suamiku menceraikanku, untuk apa aku hidup lagi, hidupku sudah tidak berguna lagi. Bahkan suamiku langsung menikah lagi padahal perceraian kami belum ada 1 x 24 jam.” teriak Rania dengan hist
Mama Vina masih tidak mengerti maksud ucapan Rafa yang tidak mengizinkan Farrel minum ASI Rania. “Rafa, ada apa? Kenapa kamu tidak mengizinkan Rania untuk memberikan ASI nya?” tanya Mama Vina. “Farrel punya ibu, Ma. Nanti Rafa akan bujuk kembali Marissa di rumah. Sekarang Mama bereskan saja barang-barang Marissa dan Farrel.” pinta Rafa yang sambil menenangkan Farrel yang rewel. Ia enggan bercerita tentang Rania pada Mamanya. Melihat wajah Rafa yang datar membuat Mama Vina terdiam, Mama Vina tidak berani bertanya lagi kenapa Rafa tidak mengizinkan Farrel meminum ASI dari Rania. Mama Vina pun mulai membereskan barang-barang. Sore ini Rafa akan membawa pulang bayinya, sedangkan Marissa sudah tidak lagi kembali ke rumah sakit sejak hari itu. Rafa sudah menghubungi Marissa yang katanya sedang melakukan pekerjaan yang sudah ditandatangani dan tidak bisa ditunda. Rafa ingin marah pada Marissa namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun kali ini Rafa tidak bisa mentolerir sikap Mariss
Rania kaget saat tiba-tiba ada sepeda motor menghimpitnya dan langsung menjambret tas selempangnya. Rania bermaksud mempertahankan tasnya karena isi dalam tas tersebut uang pemberian Andi. Terjadi tarik-menarik antara Rania dan pemuda yang duduk di belakang sepeda motor tersebut.“Lepaskan, jangan ambil tas saya.” Teriak Rania berusaha mempertahankan tasnya. Namun kondisi Rania yang lemah membuat Rania terlepas saat laki-laki yang tertutup oleh helm tersebut menarik dengan kuat tas Rania.“Tolong…Jambret…”teriak Rania saat orang tersebut berhasil mengambil tas miliknya. Namun sayang teriak Rania seakan sia-sia karena penjambret tersebut berhasil melarikan diri. Rania hendak mengejar sepeda motor tersebut namun tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet Rania. Rania terduduk di aspal sambil meringis menahan sakit di kakinya. Untung saya sopir mobil tersebut mengerem mendadak.Di dalam mobil, wanita cantik yang sedang melakukan panggilan telepon dikejutkan karena mobil yang tiba-tiba ber
Tangisan bayi terdengar dari luar saat Rania dan Marissa hendak memasuki rumah. Ada perasaan aneh yang dirasakan Rania mendengar suara tangisan tersebut, ia teringat sosok bayi yang dirumah sakit, tapi Rania berpikir itu pasti anak Mbak Marissa yang akan ia jaga.“Bayi yang cengeng. Selalu saja menangis.” ucap Marissa ketus, sambil melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke rumah.Rania menatap bingung sikap Marissa yang sepertinya tidak suka mendengar tangisan anaknya. Rania berusaha untuk tidak ikut campur dengan sikap majikan barunya.Di dalam ruangan keluarga, Rafa sedang menenangkan Farrel yang menangis. Mama Vina juga sudah ikut menenangkan namun Farrel tetap menangis. Hati Rafa sedikit lega saat melihat sang istri berjalan masuk menghampirinya.“Sayang…kamu sudah pulang.”“Ya, Mas. Kenapa dengan dia? Apa udah kamu kasih susu? Tangisannya sampai ke halaman depan lo Mas.” gerutu Marissa yang tidak suka dengan tangisan anaknya, rasanya gendang telinganya hampir pecah.“Dia haus da
Sebelumnya terjadi ketegangan antara Rafa dan Marissa. Marissa tetap kekeh tidak mau merawat anaknya.“Mas, kamu kenapa sih? Aku yakin Rania itu wanita baik-baik. Lagian dia gak tau mau kemana Mas. Dia baru di jambret, isi dalam tasnya semua raib, Mas. Tumben kamu tidak ada rasa simpatinya. Biasanya kamu orang yang paling peduli pada nasib orang lain.” kata Marissa dengan menggebu-gebu, ia berharap Rafa mau mengizinkan Rania mengasuh anak mereka.“Aku melihatnya melukai tangannya dengan pisau buah. Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal buruk pada anak kita? Kamu tahu ibu yang mengalami baby blues itu sangat berbahaya, aku memang membutuhkannya tapi aku tidak mau ia melukai anak kita.” Rafa akhirnya menceritakan rasa khawatir, bukannya ia tidak kasihan melihat Rania tapi ia takut anaknya nanti menjadi korban karena sikap frustasi Rania.“Kita bisa mengawasinya, Mas. Lagian rumah ini dipasang cctv di setiap sudut dan kita bisa memantau kinerjanya. Kalau ada hal mencurigakan kita bisa
Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih
Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe
Beberapa hari berlalu, semenjak Farrel pulang dari rumah, Rania sangat ekstra menjadi bayi mungil tersebut yang semakin hari semakin banyak akal, bayi 3 bulan lebih tersebut sudah mulai pandai membalik badannya, mungkin benar apa kata orang kalau sakit yang diderita Farrel karena sakit mau tambah akal. Selama 3 bulan itu pula, Marissa selaku ibu kandungnya tidak pernah memberikan perhatian pada Farrel, Marissa terlihat cuek, bahkan ia seakan tidak senang kalau Farrel menangis atau berceloteh di saat Marissa sedang beristirahat siang. Kalau ada Marissa dirumah, Rania terpaksa membawa Farrel duduk di taman atau sekedar berjalan-jalan di sekitar komplek menggunakan stroller. Seperti saat ini, udara pagi hari sangat menyejukkan, cahaya matahari bersinar dengan cerah, konon sinar matahari sangat baik untuk kesehatan. Sehingga Rania membawa Farrel berkeliling komplek untuk menikmati udara pagi yang cerah. Rania mendorong stroller dengan perlahan, namun sekali-kali ia bercanda dengan Farre
“Tuan, Maaf. Karena saya Den Farrel sakit, jangan pecat saya Tuan. Saya akan lebih ekstra menjaga Den Farrel. Tapi, tolong jangan pecat saya, beri saya kesempatan lagi.” Ucap Rania sambil menunduk ia tidak berani menatap wajah tuannya yang menurutnya pasti menyeramkan. Rafa hanya diam, mendengar permohonan Rania tadi membuat hatinya tersentuh. Padahal tidak ada niat Rafa untuk memecat Rania. “Hentikan tangis kamu, ini sudah malam nanti Farrel bangun.” “Ta-tapi…Tuan gak pecat saya kan.” Lirih Rania dengan menahan suara tangisnya lalu menghapus air matanya. “Saya akan pecat kamu, kalau kamu tidak berhenti menangis,” jawab Rafa kesal, Rafa paling tidak suka melihat wanita menangis. Itu lah kelemahannya. Makanya Marissa bisa selalu bekerja setelah mengeluarkan tangisannya dan membuat Rafa tidak tega. Tapi kali ini tangisan Marissa tidak membuat Rafa lemah lagi, karena semua itu buat kebaikan rumah tangganya. Kata-kata Rafa tadi spontan membuat tangisan Rania berhenti. “Say
Rania mengetuk pintu kamar Rafa dengan keras, ia semakin takut dan cemas saat melihat Farrel yang lemah. Pintu masih belum terbuka padahal Rania mengetuknya dengan kuat, mustahil tidak didengar oleh mereka yang di dalam kamar.Mata Rania mulai berkaca-kaca, ia hampir menangis karena takut terjadi sesuatu dengan Farrel. Ia juga tidak berani melakukan sesuatu ke Farrel dengan membawanya sendiri ke rumah sakit karena Farrel memiliki orang tua.Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati lorong kamar, Rania mendapatkan Mbok Sri berjalan ke arahnya dengan membawa sapu, sekop, dan ember berisi air serta kain pel. Mbok Sri yang hendak membersihkan kamar Tuannya menatap Rania dengan bingung, untuk apa Rania berdiri di depan kamar."Rania, ada apa?" tanya Mbok Sri. Rania menjawab dengan nada panik dan cemas terhadap Farrel, "Mbok... Bagaimana ini Mbok? Den Farrel demam, mbok. Aku coba memberitahu Tuan dan Nyonya tapi mereka tidak keluar juga dari kamar."Mbok Sri meletakkan peralatan yan
Beberapa hari berlalu sejak Rania menelepon Andi, Rania mulai menyadari bahwa cinta tulus Andi padanya dulu hanya bualan semata. Andi menceraikannya tanpa ia bisa membela diri, hanya karena ia gagal memberikan keturunan. Sakit tapi tak berdarah, itulah yang dialami Rania.Namun, Rania tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia meyakinkan dirinya untuk bangkit dan membuktikan kepada mantan suami dan keluarganya bahwa ia bukan wanita lemah.Hari-hari Rania pun disibukkan dengan mengasuh Farrel, bayi tampan yang tidak merasakan kasih sayang ibunya. Ibu Farrel, Marissa, tetap dengan keinginannya yaitu bekerja, sehingga setiap malam Rania selalu mendengar kalau sang majikan selalu bertengkar.Sejak Mama Vina pulang, Rafa menyuruh Rania pindah ke kamar Farrel, sehingga Rania mengetahui kalau rumah tangga majikannya sedang tidak baik. Rania mencoba tutup telinga dan mata, ia tidak mau ikut campur dengan masalah rumah tangga majikannya, ia hanya fokus menjaga Farrel.Walau kadang ada perasaan k
Rafa tertegun menatap penampilan Marissa, ia berpikir Marissa masih terlelap di kamarnya karena sewaktu Rafa meninggalkan kamar, Marissa masih berada di tempat tidur. Makanya Rafa tidak mengganggu tidurnya, Rafa pikir Marissa butuh istirahat tapi apa yang ia lihat di depan matanya sungguh diluar dugaan.Marissa sudah tampak cantik dengan gaun yang digunakan, make up yang sudah menghiasi wajahnya, seolah-olah akan ada pemotretan malam ini juga, penampilannya sangat mencolok untuk hanya sekedar keluar malam. Rafa pun penasaran sehingga ia bertanya pada Marissa yang saat ini masih berdiri di hadapannya. “Kamu mau kemana? Ini sudah malam.” Rafa berkata dengan nada lembut cenderung tegas, Rafa tidak mau ia kembali dikuasai emosi dengan sikap Marissa yang semakin hari membuatnya kesal. “Lola ngajak bertemu, mas. Pihak agensi meminta aku mengatur jadwal ulang pemotretan karena tadi pagi aku batalkan sepihak.” jawab Marissa apa adanya, memang ia ingin bertemu Lola tapi bukan untuk membahas
Setelah memberikan ponsel ke Rania, Rafa berlalu meninggalkan Rania yang masih berdiam diri di depan pintu. Rania menatap paper bag yang ada di tangannya dengan rasa penasaran. Alangkah terkejutnya saat melihat isi dalamnya, sebuah ponsel dengan logo apel tergigit yang sangat mewah. Rania tidak pernah menyangka bisa memiliki ponsel seperti itu. Selama menjadi istri Andi, Rania tidak pernah mengganti ponsel. Ponsel yang ia miliki saat itu adalah ponsel yang ia gunakan saat masih gadis dan belum menikah dengan Andi. Makanya ada rasa sedih saat ponsel itu hilang, karena banyak foto kenangan di dalam galeri tersebut. Rania merasa bahwa ponsel ini sangat berlebihan. Ia tidak tahu mengapa Rafa memberikan ponsel mewah seperti itu kepadanya, mungkin Rafa ingin ia memberitahu keadaan Rafa setiap hari, sungguh beruntung Farrel memiliki seorang papa seperti Rafa. Di ruang tamu, Mama Vina dan Rafa sedang duduk santai berdua sambil menikmati secangkir teh hangat. Rafa meneguknya secara perlah
“Belikan aku ponsel,” kata Rafa, dengan wajah datarnya.“Ponsel? Ponsel kamu rusak? Tapi bukankah tadi baik-baik saja. Masa secepat itu langsung rusak.” kata Ben, lagi-lagi Ben dibuat bingung dengan Rafa, tadi Ben disuruh mencari informasi mengenai Rania dan sekarang Ben disuruh beli Ponsel, sedangkan yang Ben lihat, Ponsel Rafa baik-baik saja.“Ben, bisa tidak apa yang aku suruh jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang aku suruh. Buruan belikan, nanti aku transfer lebih ke rekening kamu.” jawab Rafa yang mulai kesal karena Ben banyak bertanya.“Tapi….”“Ingat, Ben. Ini masih jam kerja,” seru rafa dan membuat Ben tidak melanjutkan ucapannya.“Maaf, Tuan. Permisi !” Tanpa bertanya lebih lanjut kagi, Ben keluar dari ruangan rafa dengan seribu tanda tanya menyangkut di pikirannya.Rafa menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara kasar, “apa aku terlalu berlebihan, memberikannya ponsel. Tapi ponsel itu penting untuk aku bertanya tentang keadaan Rafa. Sepertinya itu wajar saja.” gumam