Sebelumnya terjadi ketegangan antara Rafa dan Marissa. Marissa tetap kekeh tidak mau merawat anaknya.“Mas, kamu kenapa sih? Aku yakin Rania itu wanita baik-baik. Lagian dia gak tau mau kemana Mas. Dia baru di jambret, isi dalam tasnya semua raib, Mas. Tumben kamu tidak ada rasa simpatinya. Biasanya kamu orang yang paling peduli pada nasib orang lain.” kata Marissa dengan menggebu-gebu, ia berharap Rafa mau mengizinkan Rania mengasuh anak mereka.“Aku melihatnya melukai tangannya dengan pisau buah. Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal buruk pada anak kita? Kamu tahu ibu yang mengalami baby blues itu sangat berbahaya, aku memang membutuhkannya tapi aku tidak mau ia melukai anak kita.” Rafa akhirnya menceritakan rasa khawatir, bukannya ia tidak kasihan melihat Rania tapi ia takut anaknya nanti menjadi korban karena sikap frustasi Rania.“Kita bisa mengawasinya, Mas. Lagian rumah ini dipasang cctv di setiap sudut dan kita bisa memantau kinerjanya. Kalau ada hal mencurigakan kita bisa
Gelapnya malam membuat jalan yang Rafa lintas meluncur dengan mulus. Rafa menyetir dengan satu tangan dan tangan yang lain memijat keningnya yang terasa pusing. Memikirkan Marissa yang enggan merawat anaknya, terbesit di dalam hatinya apa anak itu benar anaknya. Mengingat kerjaan Marissa yang sering tidak pulang. Menurut orang suruhan Rafa yang memantau Marissa bekerja, sikap Marissa tidak ada yang mencurigakan. Namun wajah Farrel yang mirip dengannya saat kecil, membuktikan bahwa Farrel memang anak kandungnya dan kecurigaan Rafa itu tidak benar. Mobil yang dikendarai Rafa sampai di sebuah cafe yang biasa Rafa dan sahabatnya berkumpul. Sebelumnya Rafa sudah mengirim pesan pada mereka untuk segera meluncur ke cafe. Dan benar saja, tampak di kejauhan, Ben dan Agung sudah sampai. “Wah…lihat itu, yang menyuruh kita kemari malah baru datang.” omel Ben, yang melihat kedatangan Rafa. Rafa segera duduk tanpa mau menanggapi ucapan Ben. Ben dan Agung saling melirik karena sikap Rafa yang t
Rania segera membuka pintu dengan lebar dan melangkahkan kakinya dengan cepat ke ranjang Farrel, ia langsung membuka selimut yang menutupi wajah Farrel, mungkin tangan Farrel yang bergerak lincah membuat selimut yang ada di badannya berpindah ke wajahnya. Jantung Rania seakan mau copot melihat pemandangan barusan. Kalau saja ia tadi langsung ke dapur dan tidak mendengar tangisan Farrel entah apa yang akan terjadi pada Farrel. Rania menoleh ke sisi ranjang dimana Mama Vina masih tertidur dengan pulas, “mungkin Ibu sangat lelah sampai tidak mendengar Farrel menangis.”Farrel kembali rewel dan Rania mencoba menenangkannya dengan mengayun-ayunkan tangannya. Namun Farrel tetap gelisah.“Cup…cup…cup…Farrel haus ya. Mau mimik cucu ya. Sabar ya. Tante periksa popok Farrel dulu,” Rania menimang Farrel dengan lembut, kemudian memeriksa popoknya yang kelihatan penuh “Kita ganti popoknya dulu ya sayang, abis tu Farrel baru mimik.” kata Rania sambil meletakan kembali keranjang, ternyata Farrel p
Dengan terpaksa Marissa menuju kamar Farrel, saat sampai. Marissa melihat Rania sedang menimang Farrel sambil bershalawat. “Apakah dia tidur?” Marissa bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Suara Marissa membuat Rania terkejut, “Tidak, Bu.” jawabnya dengan sedikit canggung. “Ya sudah kamu taruh saja di box nya. Biar Farrel saya yang jaga.”“Baik, Bu.”Rania segera meletakan Farrel dibox ranjang setelah memastikan Farrel sudah tenang, “Mbak, keluar dulu ya sayang. Farrel sama Mama ya.” gumam Rania, mata Farrel menatap Rania dengan polos.“Permisi, Bu.”“Hmmmm… “ gumam Marissa sambil duduk bersandar di ranjang tempat Mama Vina tidur. Marissa hanya melihat sekilas Farrel yang tampak tenang, lalu ia membuka ponsel, membalas pesan yang masuk dan scroll sosmed. Marissa hanya menjaga tanpa berinteraksi dengan Farrel. Rania yang tidak tahu mengerjakan apa lagi dirumah ini, menuju dapur hendak membantu pelayan di rumah ini membuat sarapan. Namun di dapur ia bertemu dengan Mama Vina. “Ad
Sarapan yang disiapkan Mama Vina sudah tersedia di meja dengan menu nasi goreng seafood, kerupuk dan teh hangat. Rania yang keras kepala akhirnya ikut membantu menyiapkan sarapan. Mama Vina menuju wastafel untuk mencuci tangan sebelum ke kamar Farrel. "Nak, kamu makanlah duluan. Biar Mama panggil Marissa dan Rafa." Kata Mama Vina, setelah selesai mencuci tangan dan membuka apron yang dikenakan lalu di masukan ke keranjang kotor. "Oh ya, kamu jangan makan nasi goreng. Itu ada nasi putih, tempe bacem dan sayur katuk. Makanan tersebut bagus untuk ASI dan pemulihan kamu." lanjut Mama Vina mengingatkan Rania. Karena melahirkan secara operasi tidak baik makan nasi goreng. "Baik, bu. terima kasih." ucap Rania dengan menahan air matanya karena terharu, oleh perhatian Mama Vina."Ya sudah. Mama ke atas dulu."Mama Vina meninggalkan Rania yang masih di dapur dengan perasaan senang diperhatikan oleh Mama Vina, Rania yang memang sudah lapar segera mengambil nasi dan lauknya, lantas ia duduk di
Dengan perasaan kesal dan marah yang masih membara dalam hatinya, Rafa menuruni anak tangga dengan langkah yang berat. Ia ingin melewatkan sarapan pagi ini, tapi mengingat yang memasak adalah sang Mama, ia menjadi tidak tega. Mama Vina sudah berbaik hati membuat sarapan untuknya, dan Rafa tahu bahwa Mama Vina selalu memasak makanan kesukaannya saat berkunjung ke rumah. Rafa menarik nafasnya dengan berat dan menghembuskan secara perlahan, berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia duduk di meja makan dengan penuh makanan sendirian, seperti biasa. Ada istri seperti tidak ada istri, tidak pernah menemaninya sarapan. Mbok Sri yang melihat Rafa duduk sendirian di meja makan segera menghampirinya, menuangkan teh hangat di gelas kosong sebelah piring Rafa. "Makasih, Mbok," ucap Rafa sopan, walau hatinya masih kesal. Tapi Rafa tidak pernah melampiaskan kekesalannya pada orang lain. "Iya, Tuan. Permisi Tuan," Mbok Sri izin pamit kembali ke dapur, namun langkahnya terhenti saat Rafa memanggiln
Sesampainya di kantor, Rafa duduk bersandar di kursi kebesarannya, sambil memijat kepalanya yang sedikit berdenyut. Ia memikirkan sikap kekanakan Marissa, yang tidak mau menyusui Farrel dan lebih memilih pekerjaannya sebagai model. Rafa merasa kecewa dan kehilangan harapan bahwa Marissa akan berubah setelah memiliki anak.Di sela-sela memikirkan Marissa, terbesit bayangan wajah memprihatinkan Rania. Rafa ingat bahwa ia ingin tahu tentang kehidupan Rania, mengapa suaminya tega menceraikannya saat ia kehilangan anaknya. Rafa penasaran tentang apa yang terjadi pada Rania sehingga ia tidak memiliki apa-apa, bahkan tempat tinggal pun tidak ada.Rafa mengambil ponselnya dan menghubungi Ben. Tidak butuh waktu lama, terdengar suara Ben. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" ucap Ben dengan hormat dan sopan.Rafa meminta Ben untuk mencari informasi tentang Rania. "Ben, tolong kami cari tahu tentang Rania."Ben terdengar bingung, "Siapa? Rania?"Rafa tersenyum, ia baru sadar bahwa Ben tidak mengeta
“Belikan aku ponsel,” kata Rafa, dengan wajah datarnya.“Ponsel? Ponsel kamu rusak? Tapi bukankah tadi baik-baik saja. Masa secepat itu langsung rusak.” kata Ben, lagi-lagi Ben dibuat bingung dengan Rafa, tadi Ben disuruh mencari informasi mengenai Rania dan sekarang Ben disuruh beli Ponsel, sedangkan yang Ben lihat, Ponsel Rafa baik-baik saja.“Ben, bisa tidak apa yang aku suruh jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang aku suruh. Buruan belikan, nanti aku transfer lebih ke rekening kamu.” jawab Rafa yang mulai kesal karena Ben banyak bertanya.“Tapi….”“Ingat, Ben. Ini masih jam kerja,” seru rafa dan membuat Ben tidak melanjutkan ucapannya.“Maaf, Tuan. Permisi !” Tanpa bertanya lebih lanjut kagi, Ben keluar dari ruangan rafa dengan seribu tanda tanya menyangkut di pikirannya.Rafa menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara kasar, “apa aku terlalu berlebihan, memberikannya ponsel. Tapi ponsel itu penting untuk aku bertanya tentang keadaan Rafa. Sepertinya itu wajar saja.” gumam
Rania menutup pintu kamar perlahan, memastikan suara deritnya tak membangunkan Farrel. Di dalam, suasana hening. Bayi kecil itu masih terlelap, wajahnya damai di balik selimut lembut berwarna biru muda. Rania duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya gemetar meski udara malam tak begitu dingin. Pandangannya kosong menatap dinding, namun pikirannya penuh dengan suara-suara.Kata-kata Marissa terus terngiang. "Tolong batasi interaksi dengan suami saya." Kalimat itu menusuk, dingin, dan membuat Rania merasa dihukum atas sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Ia hanya menjaga Farrel dengan sepenuh hati—mengisi ruang yang selama ini terasa kosong dari sentuhan ibu. Ia hanya ingin anak itu merasa dicintai.Tangannya terangkat, mengusap wajah, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. Ia tak ingin menangis. Bukan di hadapan Farrel. Tapi hatinya sakit. Ia merasa seperti sedang diadili hanya karena keberadaannya. Karena ia berada di tempat yang sebenarnya bukan miliknya.Ketukan pelan di pintu membu
Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih
Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe
Beberapa hari berlalu, semenjak Farrel pulang dari rumah, Rania sangat ekstra menjadi bayi mungil tersebut yang semakin hari semakin banyak akal, bayi 3 bulan lebih tersebut sudah mulai pandai membalik badannya, mungkin benar apa kata orang kalau sakit yang diderita Farrel karena sakit mau tambah akal. Selama 3 bulan itu pula, Marissa selaku ibu kandungnya tidak pernah memberikan perhatian pada Farrel, Marissa terlihat cuek, bahkan ia seakan tidak senang kalau Farrel menangis atau berceloteh di saat Marissa sedang beristirahat siang. Kalau ada Marissa dirumah, Rania terpaksa membawa Farrel duduk di taman atau sekedar berjalan-jalan di sekitar komplek menggunakan stroller. Seperti saat ini, udara pagi hari sangat menyejukkan, cahaya matahari bersinar dengan cerah, konon sinar matahari sangat baik untuk kesehatan. Sehingga Rania membawa Farrel berkeliling komplek untuk menikmati udara pagi yang cerah. Rania mendorong stroller dengan perlahan, namun sekali-kali ia bercanda dengan Farre
“Tuan, Maaf. Karena saya Den Farrel sakit, jangan pecat saya Tuan. Saya akan lebih ekstra menjaga Den Farrel. Tapi, tolong jangan pecat saya, beri saya kesempatan lagi.” Ucap Rania sambil menunduk ia tidak berani menatap wajah tuannya yang menurutnya pasti menyeramkan. Rafa hanya diam, mendengar permohonan Rania tadi membuat hatinya tersentuh. Padahal tidak ada niat Rafa untuk memecat Rania. “Hentikan tangis kamu, ini sudah malam nanti Farrel bangun.” “Ta-tapi…Tuan gak pecat saya kan.” Lirih Rania dengan menahan suara tangisnya lalu menghapus air matanya. “Saya akan pecat kamu, kalau kamu tidak berhenti menangis,” jawab Rafa kesal, Rafa paling tidak suka melihat wanita menangis. Itu lah kelemahannya. Makanya Marissa bisa selalu bekerja setelah mengeluarkan tangisannya dan membuat Rafa tidak tega. Tapi kali ini tangisan Marissa tidak membuat Rafa lemah lagi, karena semua itu buat kebaikan rumah tangganya. Kata-kata Rafa tadi spontan membuat tangisan Rania berhenti. “Say
Rania mengetuk pintu kamar Rafa dengan keras, ia semakin takut dan cemas saat melihat Farrel yang lemah. Pintu masih belum terbuka padahal Rania mengetuknya dengan kuat, mustahil tidak didengar oleh mereka yang di dalam kamar.Mata Rania mulai berkaca-kaca, ia hampir menangis karena takut terjadi sesuatu dengan Farrel. Ia juga tidak berani melakukan sesuatu ke Farrel dengan membawanya sendiri ke rumah sakit karena Farrel memiliki orang tua.Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati lorong kamar, Rania mendapatkan Mbok Sri berjalan ke arahnya dengan membawa sapu, sekop, dan ember berisi air serta kain pel. Mbok Sri yang hendak membersihkan kamar Tuannya menatap Rania dengan bingung, untuk apa Rania berdiri di depan kamar."Rania, ada apa?" tanya Mbok Sri. Rania menjawab dengan nada panik dan cemas terhadap Farrel, "Mbok... Bagaimana ini Mbok? Den Farrel demam, mbok. Aku coba memberitahu Tuan dan Nyonya tapi mereka tidak keluar juga dari kamar."Mbok Sri meletakkan peralatan yan
Beberapa hari berlalu sejak Rania menelepon Andi, Rania mulai menyadari bahwa cinta tulus Andi padanya dulu hanya bualan semata. Andi menceraikannya tanpa ia bisa membela diri, hanya karena ia gagal memberikan keturunan. Sakit tapi tak berdarah, itulah yang dialami Rania.Namun, Rania tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia meyakinkan dirinya untuk bangkit dan membuktikan kepada mantan suami dan keluarganya bahwa ia bukan wanita lemah.Hari-hari Rania pun disibukkan dengan mengasuh Farrel, bayi tampan yang tidak merasakan kasih sayang ibunya. Ibu Farrel, Marissa, tetap dengan keinginannya yaitu bekerja, sehingga setiap malam Rania selalu mendengar kalau sang majikan selalu bertengkar.Sejak Mama Vina pulang, Rafa menyuruh Rania pindah ke kamar Farrel, sehingga Rania mengetahui kalau rumah tangga majikannya sedang tidak baik. Rania mencoba tutup telinga dan mata, ia tidak mau ikut campur dengan masalah rumah tangga majikannya, ia hanya fokus menjaga Farrel.Walau kadang ada perasaan k
Rafa tertegun menatap penampilan Marissa, ia berpikir Marissa masih terlelap di kamarnya karena sewaktu Rafa meninggalkan kamar, Marissa masih berada di tempat tidur. Makanya Rafa tidak mengganggu tidurnya, Rafa pikir Marissa butuh istirahat tapi apa yang ia lihat di depan matanya sungguh diluar dugaan.Marissa sudah tampak cantik dengan gaun yang digunakan, make up yang sudah menghiasi wajahnya, seolah-olah akan ada pemotretan malam ini juga, penampilannya sangat mencolok untuk hanya sekedar keluar malam. Rafa pun penasaran sehingga ia bertanya pada Marissa yang saat ini masih berdiri di hadapannya. “Kamu mau kemana? Ini sudah malam.” Rafa berkata dengan nada lembut cenderung tegas, Rafa tidak mau ia kembali dikuasai emosi dengan sikap Marissa yang semakin hari membuatnya kesal. “Lola ngajak bertemu, mas. Pihak agensi meminta aku mengatur jadwal ulang pemotretan karena tadi pagi aku batalkan sepihak.” jawab Marissa apa adanya, memang ia ingin bertemu Lola tapi bukan untuk membahas
Setelah memberikan ponsel ke Rania, Rafa berlalu meninggalkan Rania yang masih berdiam diri di depan pintu. Rania menatap paper bag yang ada di tangannya dengan rasa penasaran. Alangkah terkejutnya saat melihat isi dalamnya, sebuah ponsel dengan logo apel tergigit yang sangat mewah. Rania tidak pernah menyangka bisa memiliki ponsel seperti itu. Selama menjadi istri Andi, Rania tidak pernah mengganti ponsel. Ponsel yang ia miliki saat itu adalah ponsel yang ia gunakan saat masih gadis dan belum menikah dengan Andi. Makanya ada rasa sedih saat ponsel itu hilang, karena banyak foto kenangan di dalam galeri tersebut. Rania merasa bahwa ponsel ini sangat berlebihan. Ia tidak tahu mengapa Rafa memberikan ponsel mewah seperti itu kepadanya, mungkin Rafa ingin ia memberitahu keadaan Rafa setiap hari, sungguh beruntung Farrel memiliki seorang papa seperti Rafa. Di ruang tamu, Mama Vina dan Rafa sedang duduk santai berdua sambil menikmati secangkir teh hangat. Rafa meneguknya secara perlah