Rafa memandang bayinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang saat ini sedang terlelap di inkubator. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayinya tidak bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia tahu bahwa ASI sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan bayi.
Rafa memutuskan untuk berbicara dengan Marissa tentang hal ini. Ia ingin membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Rafa tahu bahwa Marissa telah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya, tapi ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka. Rafa mendekati Marissa yang masih terbaring di tempat tidur. Ia memandangnya dengan penuh kasih sayang dan berbicara dengan lembut. "Sayang, aku tahu kamu masih lelah dan sakit, tapi aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang sangat penting," kata Rafa. Marissa membuka matanya dan memandang Rafa dengan sinis. "Apa itu?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah. "Aku ingin berbicara tentang ASI," kata Rafa. "Aku tahu kamu telah memberikan syarat agar tidak menyusui anak kita, tapi aku ingin membujuk kamu agar mau memberikan ASI kepada bayi kita." Marissa menggelengkan kepala. "Aku tidak mau," katanya dengan tegas. Rafa tidak menyerah. Ia terus berbicara dengan Marissa, membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka dan mau mengubah keputusannya. “Tapi bayi kita saat ini sangat membutuhkan ASI kamu sayang. Apa kamu tega melihat tubuhnya seperti itu.” Marissa menatap Rafa dengan kesal, “Kamu bisa mencari ibu susu buat anak kamu atau susu formula, banyak susu formula yang mahal dan bagus-bagus.” “Dia anak kita, Marissa!” Ucap Rafa dengan suara agak meninggi, mata Marissa sontak membola saat Rafa membentaknya. Rafa sadar akan sikapnya pun menarik nafas dengan kasar dan mengusap wajahnya, nafasnya naik turun untuk meredakan emosinya. Ia tidak habis pikir Marissa tidak menganggap bayi itu anaknya. “Baiklah, kalau itu mau kamu. Aku akan mencari ibu susu untuk anakku. Aku harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu itu.“ Rafa keluar dari ruangan Marissa setelah gagal membujuk Marissa untuk menyusui bayi mereka. Rafa perlu menenangkan pikiran karena tadinya ia sempat tersulut emosi saat Marissa bersikeras tidak mau menyusui bayinya. Saat Rafa berada di luar ruangan, tampak wanita paruh baya menghampiri Rafa. “Mama, kapan sampai?” tanya Rafa, saat Mama Vina sudah berada didekat Rafa. “Mama baru saja sampai, tapi Mama langsung keruangan bayi. Mama mau lihat cucu tampan Mama.” ujar Mama Vina dengan wajah berbinar. Rafa pun menyalami sang Mama dan memeluknya. Pelukan hangat sang Mama membuat beban yang sedang Rafa pikiran sedikit berkurang. Mama Vina seakan tahu sang anak sedang bersedih pun membalas pelukan sambil menepuk pelan punggung lebar Raka. “Anakku kecil banget ya, Ma!” seru Rafa saat Pelukan mereka terurai. “Tidak apa-apa, nak. Masih bisa kita rawat biar tumbuh sehat.” “Tapi…Ma. Marissa menolak untuk menyusui, bahkan meminta Rafa mencari ibu susu.” Mama Vina agak terkejut mendengar ucapan Rafa, namun Mama Vina mencoba untuk bersikap tenang. “Mungkin Marissa masih capek, biarkan Marissa beristirahat dulu. Mungkin saat ia melihat sendiri kondisi bayinya pasti ia mau menyusui.” Rafa hanya menarik nafas dengan berat, tidak mungkin Rafa bercerita kalau Marissa bahkan menolak melihat bayi yang baru dilahirkan. “Mama, mau menjenguk Marissa.” tanya Rafa mengalihkan pembahasan mengenai bayinya. Mama Vina mengangguk sambil tersenyum, “Mama Masuklah, Rafa mau keluar bentar.” “Baiklah, Mama masuk dulu ya.” Mama Vina pun masuk keruangan Marissa. Dengan langkah gontai, Rafa melangkah menjauhi ruangan Marissa. Namun pandangan Rafa tertuju ke arah para dokter dan perawat yang masuk ke dalam ruangan yang tak jauh dari ruangan Marissa, sepertinya ada kondisi darurat tampak dari wajah dokter yang panik. Sekilas Rafa melihat saat pintu ruangan terbuka, ada sosok wanita yang terbaring lemah sendirian di ruangannya. **** Dokter menarik nafas dengan lega saat memeriksa kondisi Rania. Rania yang dehidrasi dan kurangnya asupan makanan membuat dirinya pingsan. "Bagaimana keadaan, Ibu Rania? Ada keluhan?" tanya Dokter Anne saat melihat mata Rania mulai mengerjap perlahan. "Tidak, Dok. Saat ini saya jauh lebih baik," jawab Rania dengan tersenyum ramah. "Ibu harus banyak makan yang bergizi agar luka bekas operasi cepat sembuh," kata Dokter Anne. Rania hanya mengangguk. "Oya... Mana suami Ibu?" tanya Dokter Anne yang baru menyadari bahwa pasien berada sendiri di ruangannya. "Dari tadi keluarga pasien belum datang menjenguk, Dok," jawab perawat yang tadi memeriksa Rania. Rania tidak sanggup berbicara perihal suaminya yang saat ini seolah-olah meninggalkannya. "Baiklah, kalau begitu. Nanti kalau suami Ibu datang, tolong suruh temui saya, ya," kata Dokter Anne. "Baik, Dok," jawab Rania. Rania tidak yakin suaminya akan kembali ke rumah sakit. Namun, ia masih berharap Andi memiliki hati nurani untuk menjenguknya. Dokter Anne pun keluar dari ruangan setelah memeriksa Rania sudah lebih baik. Tinggalkan seorang perawat di ruangan Rania, ia membantu Rania meletakkan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. "Ibu, makanlah dulu. Biar cepat pulih dan sehat," ucap perawat yang bernama Mona. "Makasih, Sus," jawab Rania. Rania pun menerima ransum yang diberikan oleh perawat Mona, lalu memakannya dengan perlahan. Walau tidak berselera, tapi Rania mencoba untuk memakannya. Ia ingin cepat sembuh agar segera keluar dari rumah sakit dan menata kembali hidupnya. Suapan demi suapan Rania lakukan sehingga makanan tersebut habis. Perawat Mona dengan setia menemani Rania menunggu sampai selesai makan. Perawat Mona tersenyum senang saat Rania menghabiskan makanannya. Pandangan Perawat Mona tertuju pada baju Rania yang basah. "Ibu... sepertinya ASI Ibu keluar," ucap Perawat Mona. Rania sontak melihat bajunya yang tampak basah. Air mata Rania langsung luruh. Ia sedih anaknya tidak bisa merasakan ASI-nya. Perawat Mona ikut merasakan kesedihan Rania. Ia tahu pasti Rania merindukan bayinya. "Yang sabar ya, Bu," ucap Perawat Mona dengan iba menatap Rania. "Sus, boleh saya minta tolong," kata Rania sambil menghapus air matanya. "Ya, Bu. Ibu butuh sesuatu?" tanya Perawat Mona. "Saya memerlukan pompa ASI, Sus. Saya akan memompa ASI saya. Siapa tahu ada bayi di sini yang membutuhkannya," ujar Rania, ia berniat ingin menyumbangkan ASI nya. "Baik, Bu. Akan saya bawakan," kata Perawat Mona dengan tatapan iba. Perawat Mona pun segera keluar dari ruangan Rania untuk mencari pompa ASI. Sambil menunggu perawat Mona, Rania mencoba untuk kembali beristirahat, namun sayup-sayup Rania mendengar tangisan bayi yang sangat nyaring. Hatinya terenyuh. Ia membayangkan bayinya yang menangis karena kehausan. Rania pun turun dari ranjang, sambil mendorong tiang infus. Rania mencari sumber suara tangisan bayi tersebut yang semakin jelas di telinganya.“Mah, ada apa ini?” tanya Rafa pada sang Mama yang sedang menenangkan bayinya.“Dia haus, Rafa. Tadi perawat membawanya kemari agar Marissa bisa menyusui, perawat sudah mencoba memberikan susu tapi dia menolak.” jawab Mama Vina sambil menimang-nimang bayi tersebut agar berhenti menangis, namun bayi tersebut semakin kencang menangis membuat Mama Vina kewalahan.“Marissa kemana, Ma?” tanya Rafa, namun Mama Vina hanya diam seakan enggan menjawab. Rafa pun mencari keberadaan Marissa yang tidak ada di tempat tidurnya, tampak selang infus sudah dibuka, Rafa berpikir Marissa ada di dalam kamar mandi karena kamar mandi tertutup. Ia pun mencoba mengetuk pintu kamar mandi namun mendengar ucapan Mama Vina membuat Rafa tertegun.“Marissa sudah pergi, tadi asistennya datang.” Ada nada kesal yang Mama Vina ucapkan.“Apa, Ma? Marissa sudah pergi.” Rafa mengulang ucapan sang Mama seakan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.“Benar, Rafa. Istri kamu sudah pergi, katanya tadi sudah hubungi k
Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap. Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel.Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya.Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu kembali k
Rafa yang diminta oleh Mama Vina untuk mengucapkan terima kasih pada wanita yang telah menenangkan bayinya, dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya spontan langsung menghampiri Rania. “Hei…apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah tidak waras..hah!” bentak Rafa dengan geram. Rafa langsung mengambil pisau yang berada di tangan Rania dan membuangnya jauh ke lantai. Untung saja Rafa datang tepat waktu sehingga tangan Rania hanya tergores sedikit. Rania tersentak kaget saat tangan Rafa merebut pisau yang digenggamnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan saat Rafa mencegahnya untuk menyayatkan pisau tersebut ke tangannya. “Kamu siapa!” Rania menatap tajam pada Rafa yang berdiri di depannya, “Kamu tidak berhak melarangku, biarkan aku mati, aku ingin menyusul anakku. Aku kehilangan anakku, dan suamiku menceraikanku, untuk apa aku hidup lagi, hidupku sudah tidak berguna lagi. Bahkan suamiku langsung menikah lagi padahal perceraian kami belum ada 1 x 24 jam.” teriak Rania dengan hist
Mama Vina masih tidak mengerti maksud ucapan Rafa yang tidak mengizinkan Farrel minum ASI Rania. “Rafa, ada apa? Kenapa kamu tidak mengizinkan Rania untuk memberikan ASI nya?” tanya Mama Vina. “Farrel punya ibu, Ma. Nanti Rafa akan bujuk kembali Marissa di rumah. Sekarang Mama bereskan saja barang-barang Marissa dan Farrel.” pinta Rafa yang sambil menenangkan Farrel yang rewel. Ia enggan bercerita tentang Rania pada Mamanya. Melihat wajah Rafa yang datar membuat Mama Vina terdiam, Mama Vina tidak berani bertanya lagi kenapa Rafa tidak mengizinkan Farrel meminum ASI dari Rania. Mama Vina pun mulai membereskan barang-barang. Sore ini Rafa akan membawa pulang bayinya, sedangkan Marissa sudah tidak lagi kembali ke rumah sakit sejak hari itu. Rafa sudah menghubungi Marissa yang katanya sedang melakukan pekerjaan yang sudah ditandatangani dan tidak bisa ditunda. Rafa ingin marah pada Marissa namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun kali ini Rafa tidak bisa mentolerir sikap Mariss
Rania kaget saat tiba-tiba ada sepeda motor menghimpitnya dan langsung menjambret tas selempangnya. Rania bermaksud mempertahankan tasnya karena isi dalam tas tersebut uang pemberian Andi. Terjadi tarik-menarik antara Rania dan pemuda yang duduk di belakang sepeda motor tersebut.“Lepaskan, jangan ambil tas saya.” Teriak Rania berusaha mempertahankan tasnya. Namun kondisi Rania yang lemah membuat Rania terlepas saat laki-laki yang tertutup oleh helm tersebut menarik dengan kuat tas Rania.“Tolong…Jambret…”teriak Rania saat orang tersebut berhasil mengambil tas miliknya. Namun sayang teriak Rania seakan sia-sia karena penjambret tersebut berhasil melarikan diri. Rania hendak mengejar sepeda motor tersebut namun tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet Rania. Rania terduduk di aspal sambil meringis menahan sakit di kakinya. Untung saya sopir mobil tersebut mengerem mendadak.Di dalam mobil, wanita cantik yang sedang melakukan panggilan telepon dikejutkan karena mobil yang tiba-tiba ber
Tangisan bayi terdengar dari luar saat Rania dan Marissa hendak memasuki rumah. Ada perasaan aneh yang dirasakan Rania mendengar suara tangisan tersebut, ia teringat sosok bayi yang dirumah sakit, tapi Rania berpikir itu pasti anak Mbak Marissa yang akan ia jaga.“Bayi yang cengeng. Selalu saja menangis.” ucap Marissa ketus, sambil melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke rumah.Rania menatap bingung sikap Marissa yang sepertinya tidak suka mendengar tangisan anaknya. Rania berusaha untuk tidak ikut campur dengan sikap majikan barunya.Di dalam ruangan keluarga, Rafa sedang menenangkan Farrel yang menangis. Mama Vina juga sudah ikut menenangkan namun Farrel tetap menangis. Hati Rafa sedikit lega saat melihat sang istri berjalan masuk menghampirinya.“Sayang…kamu sudah pulang.”“Ya, Mas. Kenapa dengan dia? Apa udah kamu kasih susu? Tangisannya sampai ke halaman depan lo Mas.” gerutu Marissa yang tidak suka dengan tangisan anaknya, rasanya gendang telinganya hampir pecah.“Dia haus da
Sebelumnya terjadi ketegangan antara Rafa dan Marissa. Marissa tetap kekeh tidak mau merawat anaknya.“Mas, kamu kenapa sih? Aku yakin Rania itu wanita baik-baik. Lagian dia gak tau mau kemana Mas. Dia baru di jambret, isi dalam tasnya semua raib, Mas. Tumben kamu tidak ada rasa simpatinya. Biasanya kamu orang yang paling peduli pada nasib orang lain.” kata Marissa dengan menggebu-gebu, ia berharap Rafa mau mengizinkan Rania mengasuh anak mereka.“Aku melihatnya melukai tangannya dengan pisau buah. Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal buruk pada anak kita? Kamu tahu ibu yang mengalami baby blues itu sangat berbahaya, aku memang membutuhkannya tapi aku tidak mau ia melukai anak kita.” Rafa akhirnya menceritakan rasa khawatir, bukannya ia tidak kasihan melihat Rania tapi ia takut anaknya nanti menjadi korban karena sikap frustasi Rania.“Kita bisa mengawasinya, Mas. Lagian rumah ini dipasang cctv di setiap sudut dan kita bisa memantau kinerjanya. Kalau ada hal mencurigakan kita bisa
Gelapnya malam membuat jalan yang Rafa lintas meluncur dengan mulus. Rafa menyetir dengan satu tangan dan tangan yang lain memijat keningnya yang terasa pusing. Memikirkan Marissa yang enggan merawat anaknya, terbesit di dalam hatinya apa anak itu benar anaknya. Mengingat kerjaan Marissa yang sering tidak pulang. Menurut orang suruhan Rafa yang memantau Marissa bekerja, sikap Marissa tidak ada yang mencurigakan. Namun wajah Farrel yang mirip dengannya saat kecil, membuktikan bahwa Farrel memang anak kandungnya dan kecurigaan Rafa itu tidak benar. Mobil yang dikendarai Rafa sampai di sebuah cafe yang biasa Rafa dan sahabatnya berkumpul. Sebelumnya Rafa sudah mengirim pesan pada mereka untuk segera meluncur ke cafe. Dan benar saja, tampak di kejauhan, Ben dan Agung sudah sampai. “Wah…lihat itu, yang menyuruh kita kemari malah baru datang.” omel Ben, yang melihat kedatangan Rafa. Rafa segera duduk tanpa mau menanggapi ucapan Ben. Ben dan Agung saling melirik karena sikap Rafa yang t
Rafa tertegun menatap penampilan Marissa, ia berpikir Marissa masih terlelap di kamarnya karena sewaktu Rafa meninggalkan kamar, Marissa masih berada di tempat tidur. Makanya Rafa tidak mengganggu tidurnya, Rafa pikir Marissa butuh istirahat tapi apa yang ia lihat di depan matanya sungguh diluar dugaan.Marissa sudah tampak cantik dengan gaun yang digunakan, make up yang sudah menghiasi wajahnya, seolah-olah akan ada pemotretan malam ini juga, penampilannya sangat mencolok untuk hanya sekedar keluar malam. Rafa pun penasaran sehingga ia bertanya pada Marissa yang saat ini masih berdiri di hadapannya. “Kamu mau kemana? Ini sudah malam.” Rafa berkata dengan nada lembut cenderung tegas, Rafa tidak mau ia kembali dikuasai emosi dengan sikap Marissa yang semakin hari membuatnya kesal. “Lola ngajak bertemu, mas. Pihak agensi meminta aku mengatur jadwal ulang pemotretan karena tadi pagi aku batalkan sepihak.” jawab Marissa apa adanya, memang ia ingin bertemu Lola tapi bukan untuk membahas
Setelah memberikan ponsel ke Rania, Rafa berlalu meninggalkan Rania yang masih berdiam diri di depan pintu. Rania menatap paper bag yang ada di tangannya dengan rasa penasaran. Alangkah terkejutnya saat melihat isi dalamnya, sebuah ponsel dengan logo apel tergigit yang sangat mewah. Rania tidak pernah menyangka bisa memiliki ponsel seperti itu. Selama menjadi istri Andi, Rania tidak pernah mengganti ponsel. Ponsel yang ia miliki saat itu adalah ponsel yang ia gunakan saat masih gadis dan belum menikah dengan Andi. Makanya ada rasa sedih saat ponsel itu hilang, karena banyak foto kenangan di dalam galeri tersebut. Rania merasa bahwa ponsel ini sangat berlebihan. Ia tidak tahu mengapa Rafa memberikan ponsel mewah seperti itu kepadanya, mungkin Rafa ingin ia memberitahu keadaan Rafa setiap hari, sungguh beruntung Farrel memiliki seorang papa seperti Rafa. Di ruang tamu, Mama Vina dan Rafa sedang duduk santai berdua sambil menikmati secangkir teh hangat. Rafa meneguknya secara perlah
“Belikan aku ponsel,” kata Rafa, dengan wajah datarnya.“Ponsel? Ponsel kamu rusak? Tapi bukankah tadi baik-baik saja. Masa secepat itu langsung rusak.” kata Ben, lagi-lagi Ben dibuat bingung dengan Rafa, tadi Ben disuruh mencari informasi mengenai Rania dan sekarang Ben disuruh beli Ponsel, sedangkan yang Ben lihat, Ponsel Rafa baik-baik saja.“Ben, bisa tidak apa yang aku suruh jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang aku suruh. Buruan belikan, nanti aku transfer lebih ke rekening kamu.” jawab Rafa yang mulai kesal karena Ben banyak bertanya.“Tapi….”“Ingat, Ben. Ini masih jam kerja,” seru rafa dan membuat Ben tidak melanjutkan ucapannya.“Maaf, Tuan. Permisi !” Tanpa bertanya lebih lanjut kagi, Ben keluar dari ruangan rafa dengan seribu tanda tanya menyangkut di pikirannya.Rafa menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara kasar, “apa aku terlalu berlebihan, memberikannya ponsel. Tapi ponsel itu penting untuk aku bertanya tentang keadaan Rafa. Sepertinya itu wajar saja.” gumam
Sesampainya di kantor, Rafa duduk bersandar di kursi kebesarannya, sambil memijat kepalanya yang sedikit berdenyut. Ia memikirkan sikap kekanakan Marissa, yang tidak mau menyusui Farrel dan lebih memilih pekerjaannya sebagai model. Rafa merasa kecewa dan kehilangan harapan bahwa Marissa akan berubah setelah memiliki anak.Di sela-sela memikirkan Marissa, terbesit bayangan wajah memprihatinkan Rania. Rafa ingat bahwa ia ingin tahu tentang kehidupan Rania, mengapa suaminya tega menceraikannya saat ia kehilangan anaknya. Rafa penasaran tentang apa yang terjadi pada Rania sehingga ia tidak memiliki apa-apa, bahkan tempat tinggal pun tidak ada.Rafa mengambil ponselnya dan menghubungi Ben. Tidak butuh waktu lama, terdengar suara Ben. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" ucap Ben dengan hormat dan sopan.Rafa meminta Ben untuk mencari informasi tentang Rania. "Ben, tolong kami cari tahu tentang Rania."Ben terdengar bingung, "Siapa? Rania?"Rafa tersenyum, ia baru sadar bahwa Ben tidak mengeta
Dengan perasaan kesal dan marah yang masih membara dalam hatinya, Rafa menuruni anak tangga dengan langkah yang berat. Ia ingin melewatkan sarapan pagi ini, tapi mengingat yang memasak adalah sang Mama, ia menjadi tidak tega. Mama Vina sudah berbaik hati membuat sarapan untuknya, dan Rafa tahu bahwa Mama Vina selalu memasak makanan kesukaannya saat berkunjung ke rumah.Rafa menarik nafasnya dengan berat dan menghembuskan secara perlahan, berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia duduk di meja makan dengan penuh makanan sendirian, seperti biasa. Ada istri seperti tidak ada istri, tidak pernah menemaninya sarapan. Mbok Sri yang melihat Rafa duduk sendirian di meja makan segera menghampirinya, menuangkan teh hangat di gelas kosong sebelah piring Rafa."Makasih, Mbok," ucap Rafa sopan, walau hatinya masih kesal. Tapi Rafa tidak pernah melampiaskan kekesalannya pada orang lain."Iya, Tuan. Permisi Tuan," Mbok Sri izin pamit kembali ke dapur, namun langkahnya terhenti saat Rafa memanggilnya ke
Sarapan yang disiapkan Mama Vina sudah tersedia di meja dengan menu nasi goreng seafood, kerupuk dan teh hangat. Rania yang keras kepala akhirnya ikut membantu menyiapkan sarapan. Mama Vina menuju wastafel untuk mencuci tangan sebelum ke kamar Farrel. "Nak, kamu makanlah duluan. Biar Mama panggil Marissa dan Rafa." Kata Mama Vina, setelah selesai mencuci tangan dan membuka apron yang dikenakan lalu di masukan ke keranjang kotor. "Oh ya, kamu jangan makan nasi goreng. Itu ada nasi putih, tempe bacem dan sayur katuk. Makanan tersebut bagus untuk ASI dan pemulihan kamu." lanjut Mama Vina mengingatkan Rania. Karena melahirkan secara operasi tidak baik makan nasi goreng. "Baik, bu. terima kasih." ucap Rania dengan menahan air matanya karena terharu, oleh perhatian Mama Vina."Ya sudah. Mama ke atas dulu."Mama Vina meninggalkan Rania yang masih di dapur dengan perasaan senang diperhatikan oleh Mama Vina, Rania yang memang sudah lapar segera mengambil nasi dan lauknya, lantas ia duduk di
Dengan terpaksa Marissa menuju kamar Farrel, saat sampai. Marissa melihat Rania sedang menimang Farrel sambil bershalawat. “Apakah dia tidur?” Marissa bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Suara Marissa membuat Rania terkejut, “Tidak, Bu.” jawabnya dengan sedikit canggung. “Ya sudah kamu taruh saja di box nya. Biar Farrel saya yang jaga.”“Baik, Bu.”Rania segera meletakan Farrel dibox ranjang setelah memastikan Farrel sudah tenang, “Mbak, keluar dulu ya sayang. Farrel sama Mama ya.” gumam Rania, mata Farrel menatap Rania dengan polos.“Permisi, Bu.”“Hmmmm… “ gumam Marissa sambil duduk bersandar di ranjang tempat Mama Vina tidur. Marissa hanya melihat sekilas Farrel yang tampak tenang, lalu ia membuka ponsel, membalas pesan yang masuk dan scroll sosmed. Marissa hanya menjaga tanpa berinteraksi dengan Farrel. Rania yang tidak tahu mengerjakan apa lagi dirumah ini, menuju dapur hendak membantu pelayan di rumah ini membuat sarapan. Namun di dapur ia bertemu dengan Mama Vina. “Ad
Rania segera membuka pintu dengan lebar dan melangkahkan kakinya dengan cepat ke ranjang Farrel, ia langsung membuka selimut yang menutupi wajah Farrel, mungkin tangan Farrel yang bergerak lincah membuat selimut yang ada di badannya berpindah ke wajahnya. Jantung Rania seakan mau copot melihat pemandangan barusan. Kalau saja ia tadi langsung ke dapur dan tidak mendengar tangisan Farrel entah apa yang akan terjadi pada Farrel. Rania menoleh ke sisi ranjang dimana Mama Vina masih tertidur dengan pulas, “mungkin Ibu sangat lelah sampai tidak mendengar Farrel menangis.”Farrel kembali rewel dan Rania mencoba menenangkannya dengan mengayun-ayunkan tangannya. Namun Farrel tetap gelisah.“Cup…cup…cup…Farrel haus ya. Mau mimik cucu ya. Sabar ya. Tante periksa popok Farrel dulu,” Rania menimang Farrel dengan lembut, kemudian memeriksa popoknya yang kelihatan penuh “Kita ganti popoknya dulu ya sayang, abis tu Farrel baru mimik.” kata Rania sambil meletakan kembali keranjang, ternyata Farrel p
Gelapnya malam membuat jalan yang Rafa lintas meluncur dengan mulus. Rafa menyetir dengan satu tangan dan tangan yang lain memijat keningnya yang terasa pusing. Memikirkan Marissa yang enggan merawat anaknya, terbesit di dalam hatinya apa anak itu benar anaknya. Mengingat kerjaan Marissa yang sering tidak pulang. Menurut orang suruhan Rafa yang memantau Marissa bekerja, sikap Marissa tidak ada yang mencurigakan. Namun wajah Farrel yang mirip dengannya saat kecil, membuktikan bahwa Farrel memang anak kandungnya dan kecurigaan Rafa itu tidak benar. Mobil yang dikendarai Rafa sampai di sebuah cafe yang biasa Rafa dan sahabatnya berkumpul. Sebelumnya Rafa sudah mengirim pesan pada mereka untuk segera meluncur ke cafe. Dan benar saja, tampak di kejauhan, Ben dan Agung sudah sampai. “Wah…lihat itu, yang menyuruh kita kemari malah baru datang.” omel Ben, yang melihat kedatangan Rafa. Rafa segera duduk tanpa mau menanggapi ucapan Ben. Ben dan Agung saling melirik karena sikap Rafa yang t