Rafa memandang bayinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang saat ini sedang terlelap di inkubator. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayinya tidak bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia tahu bahwa ASI sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan bayi.
Rafa memutuskan untuk berbicara dengan Marissa tentang hal ini. Ia ingin membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Rafa tahu bahwa Marissa telah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya, tapi ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka. Rafa mendekati Marissa yang masih terbaring di tempat tidur. Ia memandangnya dengan penuh kasih sayang dan berbicara dengan lembut. "Sayang, aku tahu kamu masih lelah dan sakit, tapi aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang sangat penting," kata Rafa. Marissa membuka matanya dan memandang Rafa dengan sinis. "Apa itu?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah. "Aku ingin berbicara tentang ASI," kata Rafa. "Aku tahu kamu telah memberikan syarat agar tidak menyusui anak kita, tapi aku ingin membujuk kamu agar mau memberikan ASI kepada bayi kita." Marissa menggelengkan kepala. "Aku tidak mau," katanya dengan tegas. Rafa tidak menyerah. Ia terus berbicara dengan Marissa, membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka dan mau mengubah keputusannya. “Tapi bayi kita saat ini sangat membutuhkan ASI kamu sayang. Apa kamu tega melihat tubuhnya seperti itu.” Marissa menatap Rafa dengan kesal, “Kamu bisa mencari ibu susu buat anak kamu atau susu formula, banyak susu formula yang mahal dan bagus-bagus.” “Dia anak kita, Marissa!” Ucap Rafa dengan suara agak meninggi, mata Marissa sontak membola saat Rafa membentaknya. Rafa sadar akan sikapnya pun menarik nafas dengan kasar dan mengusap wajahnya, nafasnya naik turun untuk meredakan emosinya. Ia tidak habis pikir Marissa tidak menganggap bayi itu anaknya. “Baiklah, kalau itu mau kamu. Aku akan mencari ibu susu untuk anakku. Aku harap kamu tidak menyesal dengan keputusan kamu itu.“ Rafa keluar dari ruangan Marissa setelah gagal membujuk Marissa untuk menyusui bayi mereka. Rafa perlu menenangkan pikiran karena tadinya ia sempat tersulut emosi saat Marissa bersikeras tidak mau menyusui bayinya. Saat Rafa berada di luar ruangan, tampak wanita paruh baya menghampiri Rafa. “Mama, kapan sampai?” tanya Rafa, saat Mama Vina sudah berada didekat Rafa. “Mama baru saja sampai, tapi Mama langsung keruangan bayi. Mama mau lihat cucu tampan Mama.” ujar Mama Vina dengan wajah berbinar. Rafa pun menyalami sang Mama dan memeluknya. Pelukan hangat sang Mama membuat beban yang sedang Rafa pikiran sedikit berkurang. Mama Vina seakan tahu sang anak sedang bersedih pun membalas pelukan sambil menepuk pelan punggung lebar Raka. “Anakku kecil banget ya, Ma!” seru Rafa saat Pelukan mereka terurai. “Tidak apa-apa, nak. Masih bisa kita rawat biar tumbuh sehat.” “Tapi…Ma. Marissa menolak untuk menyusui, bahkan meminta Rafa mencari ibu susu.” Mama Vina agak terkejut mendengar ucapan Rafa, namun Mama Vina mencoba untuk bersikap tenang. “Mungkin Marissa masih capek, biarkan Marissa beristirahat dulu. Mungkin saat ia melihat sendiri kondisi bayinya pasti ia mau menyusui.” Rafa hanya menarik nafas dengan berat, tidak mungkin Rafa bercerita kalau Marissa bahkan menolak melihat bayi yang baru dilahirkan. “Mama, mau menjenguk Marissa.” tanya Rafa mengalihkan pembahasan mengenai bayinya. Mama Vina mengangguk sambil tersenyum, “Mama Masuklah, Rafa mau keluar bentar.” “Baiklah, Mama masuk dulu ya.” Mama Vina pun masuk keruangan Marissa. Dengan langkah gontai, Rafa melangkah menjauhi ruangan Marissa. Namun pandangan Rafa tertuju ke arah para dokter dan perawat yang masuk ke dalam ruangan yang tak jauh dari ruangan Marissa, sepertinya ada kondisi darurat tampak dari wajah dokter yang panik. Sekilas Rafa melihat saat pintu ruangan terbuka, ada sosok wanita yang terbaring lemah sendirian di ruangannya. **** Dokter menarik nafas dengan lega saat memeriksa kondisi Rania. Rania yang dehidrasi dan kurangnya asupan makanan membuat dirinya pingsan. "Bagaimana keadaan, Ibu Rania? Ada keluhan?" tanya Dokter Anne saat melihat mata Rania mulai mengerjap perlahan. "Tidak, Dok. Saat ini saya jauh lebih baik," jawab Rania dengan tersenyum ramah. "Ibu harus banyak makan yang bergizi agar luka bekas operasi cepat sembuh," kata Dokter Anne. Rania hanya mengangguk. "Oya... Mana suami Ibu?" tanya Dokter Anne yang baru menyadari bahwa pasien berada sendiri di ruangannya. "Dari tadi keluarga pasien belum datang menjenguk, Dok," jawab perawat yang tadi memeriksa Rania. Rania tidak sanggup berbicara perihal suaminya yang saat ini seolah-olah meninggalkannya. "Baiklah, kalau begitu. Nanti kalau suami Ibu datang, tolong suruh temui saya, ya," kata Dokter Anne. "Baik, Dok," jawab Rania. Rania tidak yakin suaminya akan kembali ke rumah sakit. Namun, ia masih berharap Andi memiliki hati nurani untuk menjenguknya. Dokter Anne pun keluar dari ruangan setelah memeriksa Rania sudah lebih baik. Tinggalkan seorang perawat di ruangan Rania, ia membantu Rania meletakkan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. "Ibu, makanlah dulu. Biar cepat pulih dan sehat," ucap perawat yang bernama Mona. "Makasih, Sus," jawab Rania. Rania pun menerima ransum yang diberikan oleh perawat Mona, lalu memakannya dengan perlahan. Walau tidak berselera, tapi Rania mencoba untuk memakannya. Ia ingin cepat sembuh agar segera keluar dari rumah sakit dan menata kembali hidupnya. Suapan demi suapan Rania lakukan sehingga makanan tersebut habis. Perawat Mona dengan setia menemani Rania menunggu sampai selesai makan. Perawat Mona tersenyum senang saat Rania menghabiskan makanannya. Pandangan Perawat Mona tertuju pada baju Rania yang basah. "Ibu... sepertinya ASI Ibu keluar," ucap Perawat Mona. Rania sontak melihat bajunya yang tampak basah. Air mata Rania langsung luruh. Ia sedih anaknya tidak bisa merasakan ASI-nya. Perawat Mona ikut merasakan kesedihan Rania. Ia tahu pasti Rania merindukan bayinya. "Yang sabar ya, Bu," ucap Perawat Mona dengan iba menatap Rania. "Sus, boleh saya minta tolong," kata Rania sambil menghapus air matanya. "Ya, Bu. Ibu butuh sesuatu?" tanya Perawat Mona. "Saya memerlukan pompa ASI, Sus. Saya akan memompa ASI saya. Siapa tahu ada bayi di sini yang membutuhkannya," ujar Rania, ia berniat ingin menyumbangkan ASI nya. "Baik, Bu. Akan saya bawakan," kata Perawat Mona dengan tatapan iba. Perawat Mona pun segera keluar dari ruangan Rania untuk mencari pompa ASI. Sambil menunggu perawat Mona, Rania mencoba untuk kembali beristirahat, namun sayup-sayup Rania mendengar tangisan bayi yang sangat nyaring. Hatinya terenyuh. Ia membayangkan bayinya yang menangis karena kehausan. Rania pun turun dari ranjang, sambil mendorong tiang infus. Rania mencari sumber suara tangisan bayi tersebut yang semakin jelas di telinganya.“Mah, ada apa ini?” tanya Rafa pada sang Mama yang sedang menenangkan bayinya.“Dia haus, Rafa. Tadi perawat membawanya kemari agar Marissa bisa menyusui, perawat sudah mencoba memberikan susu tapi dia menolak.” jawab Mama Vina sambil menimang-nimang bayi tersebut agar berhenti menangis, namun bayi tersebut semakin kencang menangis membuat Mama Vina kewalahan.“Marissa kemana, Ma?” tanya Rafa, namun Mama Vina hanya diam seakan enggan menjawab. Rafa pun mencari keberadaan Marissa yang tidak ada di tempat tidurnya, tampak selang infus sudah dibuka, Rafa berpikir Marissa ada di dalam kamar mandi karena kamar mandi tertutup. Ia pun mencoba mengetuk pintu kamar mandi namun mendengar ucapan Mama Vina membuat Rafa tertegun.“Marissa sudah pergi, tadi asistennya datang.” Ada nada kesal yang Mama Vina ucapkan.“Apa, Ma? Marissa sudah pergi.” Rafa mengulang ucapan sang Mama seakan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.“Benar, Rafa. Istri kamu sudah pergi, katanya tadi sudah hubungi k
Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap. Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel.Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya.Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu kembali k
Rafa yang diminta oleh Mama Vina untuk mengucapkan terima kasih pada wanita yang telah menenangkan bayinya, dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya spontan langsung menghampiri Rania.“Hei…apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah tidak waras..hah!” bentak Rafa dengan geram. Rafa langsung mengambil pisau yang berada di tangan Rania dan membuangnya jauh ke lantai. Untung saja Rafa datang tepat waktu sehingga tangan Rania hanya tergores sedikit.Rania tersentak kaget saat tangan Rafa merebut pisau yang digenggamnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan saat Rafa mencegahnya untuk menyayatkan pisau tersebut ke tangannya.“Kamu siapa!” Rania menatap tajam pada Rafa yang berdiri di depannya, “Kamu tidak berhak melarangku, biarkan aku mati, aku ingin menyusul anakku. Aku kehilangan anakku, dan suamiku menceraikanku, untuk apa aku hidup lagi, hidupku sudah tidak berguna lagi. Bahkan suamiku langsung menikah lagi padahal perceraian kami belum ada 1 x 24 jam.” teriak Rania dengan histeris,
Mama Vina masih tidak mengerti maksud ucapan Rafa yang tidak mengizinkan Farrel minum ASI Rania.“Rafa, ada apa? Kenapa kamu tidak mengizinkan Rania untuk memberikan ASI nya?” tanya Mama Vina.“Farrel punya ibu, Ma. Nanti Rafa akan bujuk kembali Melisa di rumah. Sekarang Mama bereskan saja barang-barang Melisa dan Farrel.” pinta Rafa yang sambil menenangkan Farrel yang rewel. Ia enggan bercerita tentang Rania pada Mamanya.Melihat wajah Rafa yang datar membuat Mama Vina terdiam, Mama Vina tidak berani bertanya lagi kenapa Rafa tidak mengizinkan Farrel meminum ASI dari Rania. Mama Vina pun mulai membereskan barang-barang.Sore ini Rafa akan membawa pulang bayinya, sedangkan Melisa sudah tidak lagi kembali ke rumah sakit sejak hari itu. Rafa sudah menghubungi Melisa yang katanya sedang melakukan pekerjaan yang sudah ditandatangani dan tidak bisa ditunda. Rafa ingin marah pada Melisa namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.Namun kali ini Rafa tidak bisa mentolerir sikap Melisa yang meningga
Rania kaget saat tiba-tiba ada sepeda motor menghimpitnya dan langsung menjambret tas selempangnya. Rania bermaksud mempertahankan tasnya karena isi dalam tas tersebut uang pemberian Andi. Terjadi tarik-menarik antara Rania dan pemuda yang duduk di belakang sepeda motor tersebut.“Lepaskan, jangan ambil tas saya.” Teriak Rania berusaha mempertahankan tasnya. Namun kondisi Rania yang lemah membuat Rania terlepas saat laki-laki yang tertutup oleh helm tersebut menarik dengan kuat tas Rania.“Tolong…Jambret…”teriak Rania saat orang tersebut berhasil mengambil tas miliknya. Namun sayang teriak Rania seakan sia-sia karena penjambret tersebut berhasil melarikan diri. Rania hendak mengejar sepeda motor tersebut namun tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet Rania. Rania terduduk di aspal sambil meringis menahan sakit di kakinya. Untung saya sopir mobil tersebut mengerem mendadak.Di dalam mobil, wanita cantik yang sedang melakukan panggilan telepon dikejutkan karena mobil yang tiba-tiba ber
Rania tersadar dari obat bius pasca operasi Caesar. Matanya mengerjap memandangi ruangan yang serba putih dengan bau obat yang menyengat. Rania menahan rasa sakit di area perutnya dan matanya menoleh ke sekeliling ruangan yang sepi, tidak ada seorang pun menemaninya di ruangan ini. Ia ingin bertanya tentang kondisi bayinya, yang harus dilahirkan sebelum waktunya akibat ia terjatuh dari tangga rumahnya.Tak lama terdengar pintu ruangan Rania terbuka, muncullah seorang pria dengan wajah kusut bersama wanita paruh baya dengan wajah angkuh.Rania tersenyum melihat kedatangan sang suami, "Mas... Bagaimana anak kita?" lirih Rania saat bertemu tatap dengan wajah sedih Andi. Suasana hening sesaat, Andi tampak menarik nafas dengan berat dan mengeluarkan secara perlahan.“Mas…dia baik-baik saja kan.” ucap Rania kembali, saat Andi tidak menjawab pertanyaannya."Dia... dia tidak selamat." Andi menjawab dengan suara bergetar."APA, MAS?" Pekik Rania, ia spontan bangun dan mengabaikan nyeri perut
Rania terguncang oleh kata-kata Mama Asnah. Ia merasa tidak berdaya, seperti telah kehilangan semua harapan. Ia dinyatakan sulit memiliki bayi dalam waktu dekat. Jika saja ia lebih berhati-hati saat menuruni tangga, mungkin ia tidak akan terjatuh dan kehilangan bayinya.Saat itu, Rania diminta Mama Asnah untuk berbelanja karena esok akan ada tamu yang berkunjung ke rumah. Rania tidak melihat genangan air di anak tangga, sehingga membuatnya terpeleset. Ia harus kehilangan bayinya dan juga akan diceraikan oleh Andi.Airmata Rania mengalir terus, membuat kedua matanya sembab. Ia mengabaikan rasa sakit bekas operasi di perutnya. Wajahnya semakin pucat karena sejak siuman, Rania tidak menyentuh setetes air maupun makanan. Setelah mengatakan bahwa Rania akan sulit melahirkan, Mama Asnah langsung keluar dari ruangan, membiarkan Rania dengan perasaan porak poranda. Apalagi kata-kata terakhir Mama Asnah yang mengatakan bahwa tamu yang akan hadir esok adalah calon istri Andi."Aku harus berbic
Rania kaget saat tiba-tiba ada sepeda motor menghimpitnya dan langsung menjambret tas selempangnya. Rania bermaksud mempertahankan tasnya karena isi dalam tas tersebut uang pemberian Andi. Terjadi tarik-menarik antara Rania dan pemuda yang duduk di belakang sepeda motor tersebut.“Lepaskan, jangan ambil tas saya.” Teriak Rania berusaha mempertahankan tasnya. Namun kondisi Rania yang lemah membuat Rania terlepas saat laki-laki yang tertutup oleh helm tersebut menarik dengan kuat tas Rania.“Tolong…Jambret…”teriak Rania saat orang tersebut berhasil mengambil tas miliknya. Namun sayang teriak Rania seakan sia-sia karena penjambret tersebut berhasil melarikan diri. Rania hendak mengejar sepeda motor tersebut namun tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet Rania. Rania terduduk di aspal sambil meringis menahan sakit di kakinya. Untung saya sopir mobil tersebut mengerem mendadak.Di dalam mobil, wanita cantik yang sedang melakukan panggilan telepon dikejutkan karena mobil yang tiba-tiba ber
Mama Vina masih tidak mengerti maksud ucapan Rafa yang tidak mengizinkan Farrel minum ASI Rania.“Rafa, ada apa? Kenapa kamu tidak mengizinkan Rania untuk memberikan ASI nya?” tanya Mama Vina.“Farrel punya ibu, Ma. Nanti Rafa akan bujuk kembali Melisa di rumah. Sekarang Mama bereskan saja barang-barang Melisa dan Farrel.” pinta Rafa yang sambil menenangkan Farrel yang rewel. Ia enggan bercerita tentang Rania pada Mamanya.Melihat wajah Rafa yang datar membuat Mama Vina terdiam, Mama Vina tidak berani bertanya lagi kenapa Rafa tidak mengizinkan Farrel meminum ASI dari Rania. Mama Vina pun mulai membereskan barang-barang.Sore ini Rafa akan membawa pulang bayinya, sedangkan Melisa sudah tidak lagi kembali ke rumah sakit sejak hari itu. Rafa sudah menghubungi Melisa yang katanya sedang melakukan pekerjaan yang sudah ditandatangani dan tidak bisa ditunda. Rafa ingin marah pada Melisa namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.Namun kali ini Rafa tidak bisa mentolerir sikap Melisa yang meningga
Rafa yang diminta oleh Mama Vina untuk mengucapkan terima kasih pada wanita yang telah menenangkan bayinya, dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya spontan langsung menghampiri Rania.“Hei…apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah tidak waras..hah!” bentak Rafa dengan geram. Rafa langsung mengambil pisau yang berada di tangan Rania dan membuangnya jauh ke lantai. Untung saja Rafa datang tepat waktu sehingga tangan Rania hanya tergores sedikit.Rania tersentak kaget saat tangan Rafa merebut pisau yang digenggamnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan saat Rafa mencegahnya untuk menyayatkan pisau tersebut ke tangannya.“Kamu siapa!” Rania menatap tajam pada Rafa yang berdiri di depannya, “Kamu tidak berhak melarangku, biarkan aku mati, aku ingin menyusul anakku. Aku kehilangan anakku, dan suamiku menceraikanku, untuk apa aku hidup lagi, hidupku sudah tidak berguna lagi. Bahkan suamiku langsung menikah lagi padahal perceraian kami belum ada 1 x 24 jam.” teriak Rania dengan histeris,
Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap. Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel.Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya.Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu kembali k
“Mah, ada apa ini?” tanya Rafa pada sang Mama yang sedang menenangkan bayinya.“Dia haus, Rafa. Tadi perawat membawanya kemari agar Marissa bisa menyusui, perawat sudah mencoba memberikan susu tapi dia menolak.” jawab Mama Vina sambil menimang-nimang bayi tersebut agar berhenti menangis, namun bayi tersebut semakin kencang menangis membuat Mama Vina kewalahan.“Marissa kemana, Ma?” tanya Rafa, namun Mama Vina hanya diam seakan enggan menjawab. Rafa pun mencari keberadaan Marissa yang tidak ada di tempat tidurnya, tampak selang infus sudah dibuka, Rafa berpikir Marissa ada di dalam kamar mandi karena kamar mandi tertutup. Ia pun mencoba mengetuk pintu kamar mandi namun mendengar ucapan Mama Vina membuat Rafa tertegun.“Marissa sudah pergi, tadi asistennya datang.” Ada nada kesal yang Mama Vina ucapkan.“Apa, Ma? Marissa sudah pergi.” Rafa mengulang ucapan sang Mama seakan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.“Benar, Rafa. Istri kamu sudah pergi, katanya tadi sudah hubungi k
Rafa memandang bayinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang saat ini sedang terlelap di inkubator. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayinya tidak bisa mendapatkan ASI eksklusif. Ia tahu bahwa ASI sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan bayi.Rafa memutuskan untuk berbicara dengan Marissa tentang hal ini. Ia ingin membujuknya agar mau memberikan ASI kepada bayi mereka. Rafa tahu bahwa Marissa telah memberikan syarat agar ia tidak menyusui anaknya, tapi ia berharap bahwa Marissa bisa memahami pentingnya ASI untuk bayi mereka.Rafa mendekati Marissa yang masih terbaring di tempat tidur. Ia memandangnya dengan penuh kasih sayang dan berbicara dengan lembut."Sayang, aku tahu kamu masih lelah dan sakit, tapi aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang sangat penting," kata Rafa.Marissa membuka matanya dan memandang Rafa dengan sinis. "Apa itu?" tanyanya dengan nada yang tidak ramah."Aku ingin berbicara tentang ASI," kata Rafa. "Aku tahu kamu telah memberika
Rania terguncang oleh kata-kata Mama Asnah. Ia merasa tidak berdaya, seperti telah kehilangan semua harapan. Ia dinyatakan sulit memiliki bayi dalam waktu dekat. Jika saja ia lebih berhati-hati saat menuruni tangga, mungkin ia tidak akan terjatuh dan kehilangan bayinya.Saat itu, Rania diminta Mama Asnah untuk berbelanja karena esok akan ada tamu yang berkunjung ke rumah. Rania tidak melihat genangan air di anak tangga, sehingga membuatnya terpeleset. Ia harus kehilangan bayinya dan juga akan diceraikan oleh Andi.Airmata Rania mengalir terus, membuat kedua matanya sembab. Ia mengabaikan rasa sakit bekas operasi di perutnya. Wajahnya semakin pucat karena sejak siuman, Rania tidak menyentuh setetes air maupun makanan. Setelah mengatakan bahwa Rania akan sulit melahirkan, Mama Asnah langsung keluar dari ruangan, membiarkan Rania dengan perasaan porak poranda. Apalagi kata-kata terakhir Mama Asnah yang mengatakan bahwa tamu yang akan hadir esok adalah calon istri Andi."Aku harus berbic
Rania tersadar dari obat bius pasca operasi Caesar. Matanya mengerjap memandangi ruangan yang serba putih dengan bau obat yang menyengat. Rania menahan rasa sakit di area perutnya dan matanya menoleh ke sekeliling ruangan yang sepi, tidak ada seorang pun menemaninya di ruangan ini. Ia ingin bertanya tentang kondisi bayinya, yang harus dilahirkan sebelum waktunya akibat ia terjatuh dari tangga rumahnya.Tak lama terdengar pintu ruangan Rania terbuka, muncullah seorang pria dengan wajah kusut bersama wanita paruh baya dengan wajah angkuh.Rania tersenyum melihat kedatangan sang suami, "Mas... Bagaimana anak kita?" lirih Rania saat bertemu tatap dengan wajah sedih Andi. Suasana hening sesaat, Andi tampak menarik nafas dengan berat dan mengeluarkan secara perlahan.“Mas…dia baik-baik saja kan.” ucap Rania kembali, saat Andi tidak menjawab pertanyaannya."Dia... dia tidak selamat." Andi menjawab dengan suara bergetar."APA, MAS?" Pekik Rania, ia spontan bangun dan mengabaikan nyeri perut