“Mah, ada apa ini?” tanya Rafa pada sang Mama yang sedang menenangkan bayinya.
“Dia haus, Rafa. Tadi perawat membawanya kemari agar Marissa bisa menyusui, perawat sudah mencoba memberikan susu tapi dia menolak.” jawab Mama Vina sambil menimang-nimang bayi tersebut agar berhenti menangis, namun bayi tersebut semakin kencang menangis membuat Mama Vina kewalahan. “Marissa kemana, Ma?” tanya Rafa, namun Mama Vina hanya diam seakan enggan menjawab. Rafa pun mencari keberadaan Marissa yang tidak ada di tempat tidurnya, tampak selang infus sudah dibuka, Rafa berpikir Marissa ada di dalam kamar mandi karena kamar mandi tertutup. Ia pun mencoba mengetuk pintu kamar mandi namun mendengar ucapan Mama Vina membuat Rafa tertegun. “Marissa sudah pergi, tadi asistennya datang.” Ada nada kesal yang Mama Vina ucapkan. “Apa, Ma? Marissa sudah pergi.” Rafa mengulang ucapan sang Mama seakan tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. “Benar, Rafa. Istri kamu sudah pergi, katanya tadi sudah hubungi kamu namun ponsel kamu tidak aktif.” Wajah Rafa memerah karena amarah. Ia sangat kecewa dengan Marissa yang tega meninggalkan putra mereka yang masih membutuhkan dirinya. “Rafa akan membawa Marissa kembali, tolong Mama jaga dia dulu.” lirih Rafa. Ia segera keluar dari ruangan dengan wajah penuh rasa marah dan kesal, ia akan mencari keberadaan Marissa. Rafa yang berlalu dengan tergesa-gesa tidak melihat sosok wanita yang sedang berdiri tepat di depan ruangan Marissa. Wanita tersebut adalah Rania, Rania yang tadinya keluar dari ruangannya untuk mencari suara tangisan bayi, setelah ia menemukan suara tangisan tersebut yang ternyata berada di sebelah kamarnya. Ia pun berdiri terpaku saat tanpa sengaja mendengar percakapan Rafa dengan Mamanya. Hati Rania terenyuh mendengar ibu sang bayi tidak mau menyusui dan malah pergi meninggalkan bayinya yang sedang menangis karena kehausan. Air mata Rania menetes, hatinya ikut sakit mendengar tangisan bayi tersebut. Namun, Rania tidak berani mendekat. Perawat Mona kembali ke ruangan Rania, namun langkahnya berhenti saat melihat Rania berdiri di depan pintu kamar pasien yang lain. "Ibu, apa yang Ibu lakukan di sini?" tanya Mona dengan nada lembut. Rania menggumamkan jawaban, "Bayi yang malang..." Air mata Rania luruh ikut merasakan kesedihan bayi Malang tersebut. Mona mengikuti pandangan Rania dan melihat ke dalam ruangan Marissa. Tampak Mama Vina sedang menenangkan bayi tersebut yang tidak berhenti menangis, Mama Vina kembali memberikan botol dot yang berisi susu namun bayi tersebut tidak mau menyentuhnya. Mama Vina mulai panik, menghadapi cucunya. Lalu pandangan Mama Vina menoleh ke arah pintu dan dilihatnya perawat Mona masuk. "Sus, bagaimana ini? Dia tidak berhenti menangis dan menolak dikasih botol dot." Kata Mama Vina cemas dengan keadaan cucunya yang terus menangis. "Cup... Cup... Cup... Bayi tampan diam ya sayang. Mau mimik ya." ucap lembut Mona sambil membelai kepala si bayi dengan pelan. "Sus, adakah disini yang mau mendonorkan asinya? Saya akan membayar berapapun biayanya. Sepertinya cucu saya tidak mau susu formula." "Kebetulan Bu. Ada pasien yang baru kehilangan bayinya dan ASI nya sangat melimpah sehingga ia mau memberikan ASInya pada bayi yang membutuhkan.” " Beneran, Sus. Kalau begitu boleh saya bertemu dengannya.” jawab Mama Vina sangat antusias. Ia senang ternyata ada seseorang yang mau mendonorkan ASInya. “Beliau ada disini, Bu.” kata Mona, ia menganggukkan kepalanya menyuruh Rania untuk masuk. Mona tahu, Rania tersentuh mendengar tangisan bayi tersebut sehingga Mona berinisiatif memberi tahu pada keluarga bayi tersebut tentang keinginan Rania. Rania melangkah masuk ke ruangan dimana Bayi tampan tersebut masih menangis, suara tangisan bayi membuat Rania ikut menangis, “Ma…maaf Bu. Boleh saya menggendongnya.” lirih Rania dengan terbata-bata. Mama Vina menatap iba Rania yang berwajah pucat, Mama Vina bisa merasakan bagaimana pedihnya yang Rania alami. “Boleh, Nak.” Mama Vina pun memberikan bayi tersebut ke Rania. Rania menggendongnya dengan sangat hati-hati seolah-olah takut tangannya yang kasar melukai bayi tampan tersebut. Bibir Rania melengkung membentuk senyuman bahagia, ia mendekap tubuh mungil yang sejak beberapa jam menangis tanpa henti. "Kemanalah Mama kamu, Nak. mengapa tega meninggalkan bayi tampan seperti kamu." bathin Rania sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan pelan, perlahan bayi tersebut berhenti menangis. Wajah Rania tampak berbinar saat bibir mungil sang bayi menempel ke dada Rania seolah mencari sesuatu yang sejak tadi ia inginkan. “Nak, sepertinya bayi itu minta kamu susui.” Kata Mama Vina dengan semangat. “Tapi…Bu.” Rania tahu batasan. Ia tidak mungkin langsung menyusui bayi tersebut walau di dalam hatinya sangat ingin segera memberikannya. “Tidak apa-apa, Nak. Kami memang berencana mencari seseorang yang bisa memberi ASI. Lihatlah itu, sepertinya dia marah karena tidak kamu beri yang ia mau.” kata Mama Vina lembut saat melihat sang cucu kembali menangis. “Sebentar, Bu. Biar saya pumping saja.” Rania terpaksa memberikan kembali bayi tersebut pada Mama Vina. Namun Mama Vina menolak, “tidak usah , Nak. Kamu langsung susui saja. Kasian dia dari tadi menangis kalau menunggu kamu pumping kelamaan.” “Bolehkah?” Tanya Rania seakan tidak percaya. Ia diperbolehkan menyusui langsung. Mama Vina mengangguk dengan tersenyum hangat. Setelah mendapat izin dari nenek bayi tersebut, Mona pun membantu Rania duduk biar nyaman untuk menyusui dan mencari kain bersih untuk mensterilkan puting Rania yang baru pertama kali digunakan. Setelah bersih, Rania pun mendekatkan putingnya ke arah Bibir mungil si bayi tampan tersebut. Dengan rakusnya bayi tersebut menghisap puting Rania, Rania terharu sampai meneteskan air matanya ternyata ASI pertamanya dinikmati oleh bayi yang Ibunya entah kemana.Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap. Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel.Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya.Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu kembali k
Rafa yang diminta oleh Mama Vina untuk mengucapkan terima kasih pada wanita yang telah menenangkan bayinya, dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya spontan langsung menghampiri Rania. “Hei…apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah tidak waras..hah!” bentak Rafa dengan geram. Rafa langsung mengambil pisau yang berada di tangan Rania dan membuangnya jauh ke lantai. Untung saja Rafa datang tepat waktu sehingga tangan Rania hanya tergores sedikit. Rania tersentak kaget saat tangan Rafa merebut pisau yang digenggamnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan saat Rafa mencegahnya untuk menyayatkan pisau tersebut ke tangannya. “Kamu siapa!” Rania menatap tajam pada Rafa yang berdiri di depannya, “Kamu tidak berhak melarangku, biarkan aku mati, aku ingin menyusul anakku. Aku kehilangan anakku, dan suamiku menceraikanku, untuk apa aku hidup lagi, hidupku sudah tidak berguna lagi. Bahkan suamiku langsung menikah lagi padahal perceraian kami belum ada 1 x 24 jam.” teriak Rania dengan hist
Mama Vina masih tidak mengerti maksud ucapan Rafa yang tidak mengizinkan Farrel minum ASI Rania. “Rafa, ada apa? Kenapa kamu tidak mengizinkan Rania untuk memberikan ASI nya?” tanya Mama Vina. “Farrel punya ibu, Ma. Nanti Rafa akan bujuk kembali Marissa di rumah. Sekarang Mama bereskan saja barang-barang Marissa dan Farrel.” pinta Rafa yang sambil menenangkan Farrel yang rewel. Ia enggan bercerita tentang Rania pada Mamanya. Melihat wajah Rafa yang datar membuat Mama Vina terdiam, Mama Vina tidak berani bertanya lagi kenapa Rafa tidak mengizinkan Farrel meminum ASI dari Rania. Mama Vina pun mulai membereskan barang-barang. Sore ini Rafa akan membawa pulang bayinya, sedangkan Marissa sudah tidak lagi kembali ke rumah sakit sejak hari itu. Rafa sudah menghubungi Marissa yang katanya sedang melakukan pekerjaan yang sudah ditandatangani dan tidak bisa ditunda. Rafa ingin marah pada Marissa namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun kali ini Rafa tidak bisa mentolerir sikap Mariss
Rania kaget saat tiba-tiba ada sepeda motor menghimpitnya dan langsung menjambret tas selempangnya. Rania bermaksud mempertahankan tasnya karena isi dalam tas tersebut uang pemberian Andi. Terjadi tarik-menarik antara Rania dan pemuda yang duduk di belakang sepeda motor tersebut.“Lepaskan, jangan ambil tas saya.” Teriak Rania berusaha mempertahankan tasnya. Namun kondisi Rania yang lemah membuat Rania terlepas saat laki-laki yang tertutup oleh helm tersebut menarik dengan kuat tas Rania.“Tolong…Jambret…”teriak Rania saat orang tersebut berhasil mengambil tas miliknya. Namun sayang teriak Rania seakan sia-sia karena penjambret tersebut berhasil melarikan diri. Rania hendak mengejar sepeda motor tersebut namun tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet Rania. Rania terduduk di aspal sambil meringis menahan sakit di kakinya. Untung saya sopir mobil tersebut mengerem mendadak.Di dalam mobil, wanita cantik yang sedang melakukan panggilan telepon dikejutkan karena mobil yang tiba-tiba ber
Tangisan bayi terdengar dari luar saat Rania dan Marissa hendak memasuki rumah. Ada perasaan aneh yang dirasakan Rania mendengar suara tangisan tersebut, ia teringat sosok bayi yang dirumah sakit, tapi Rania berpikir itu pasti anak Mbak Marissa yang akan ia jaga.“Bayi yang cengeng. Selalu saja menangis.” ucap Marissa ketus, sambil melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke rumah.Rania menatap bingung sikap Marissa yang sepertinya tidak suka mendengar tangisan anaknya. Rania berusaha untuk tidak ikut campur dengan sikap majikan barunya.Di dalam ruangan keluarga, Rafa sedang menenangkan Farrel yang menangis. Mama Vina juga sudah ikut menenangkan namun Farrel tetap menangis. Hati Rafa sedikit lega saat melihat sang istri berjalan masuk menghampirinya.“Sayang…kamu sudah pulang.”“Ya, Mas. Kenapa dengan dia? Apa udah kamu kasih susu? Tangisannya sampai ke halaman depan lo Mas.” gerutu Marissa yang tidak suka dengan tangisan anaknya, rasanya gendang telinganya hampir pecah.“Dia haus da
Sebelumnya terjadi ketegangan antara Rafa dan Marissa. Marissa tetap kekeh tidak mau merawat anaknya.“Mas, kamu kenapa sih? Aku yakin Rania itu wanita baik-baik. Lagian dia gak tau mau kemana Mas. Dia baru di jambret, isi dalam tasnya semua raib, Mas. Tumben kamu tidak ada rasa simpatinya. Biasanya kamu orang yang paling peduli pada nasib orang lain.” kata Marissa dengan menggebu-gebu, ia berharap Rafa mau mengizinkan Rania mengasuh anak mereka.“Aku melihatnya melukai tangannya dengan pisau buah. Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal buruk pada anak kita? Kamu tahu ibu yang mengalami baby blues itu sangat berbahaya, aku memang membutuhkannya tapi aku tidak mau ia melukai anak kita.” Rafa akhirnya menceritakan rasa khawatir, bukannya ia tidak kasihan melihat Rania tapi ia takut anaknya nanti menjadi korban karena sikap frustasi Rania.“Kita bisa mengawasinya, Mas. Lagian rumah ini dipasang cctv di setiap sudut dan kita bisa memantau kinerjanya. Kalau ada hal mencurigakan kita bisa
Gelapnya malam membuat jalan yang Rafa lintas meluncur dengan mulus. Rafa menyetir dengan satu tangan dan tangan yang lain memijat keningnya yang terasa pusing. Memikirkan Marissa yang enggan merawat anaknya, terbesit di dalam hatinya apa anak itu benar anaknya. Mengingat kerjaan Marissa yang sering tidak pulang. Menurut orang suruhan Rafa yang memantau Marissa bekerja, sikap Marissa tidak ada yang mencurigakan. Namun wajah Farrel yang mirip dengannya saat kecil, membuktikan bahwa Farrel memang anak kandungnya dan kecurigaan Rafa itu tidak benar. Mobil yang dikendarai Rafa sampai di sebuah cafe yang biasa Rafa dan sahabatnya berkumpul. Sebelumnya Rafa sudah mengirim pesan pada mereka untuk segera meluncur ke cafe. Dan benar saja, tampak di kejauhan, Ben dan Agung sudah sampai. “Wah…lihat itu, yang menyuruh kita kemari malah baru datang.” omel Ben, yang melihat kedatangan Rafa. Rafa segera duduk tanpa mau menanggapi ucapan Ben. Ben dan Agung saling melirik karena sikap Rafa yang t
Rania segera membuka pintu dengan lebar dan melangkahkan kakinya dengan cepat ke ranjang Farrel, ia langsung membuka selimut yang menutupi wajah Farrel, mungkin tangan Farrel yang bergerak lincah membuat selimut yang ada di badannya berpindah ke wajahnya. Jantung Rania seakan mau copot melihat pemandangan barusan. Kalau saja ia tadi langsung ke dapur dan tidak mendengar tangisan Farrel entah apa yang akan terjadi pada Farrel. Rania menoleh ke sisi ranjang dimana Mama Vina masih tertidur dengan pulas, “mungkin Ibu sangat lelah sampai tidak mendengar Farrel menangis.”Farrel kembali rewel dan Rania mencoba menenangkannya dengan mengayun-ayunkan tangannya. Namun Farrel tetap gelisah.“Cup…cup…cup…Farrel haus ya. Mau mimik cucu ya. Sabar ya. Tante periksa popok Farrel dulu,” Rania menimang Farrel dengan lembut, kemudian memeriksa popoknya yang kelihatan penuh “Kita ganti popoknya dulu ya sayang, abis tu Farrel baru mimik.” kata Rania sambil meletakan kembali keranjang, ternyata Farrel p
Rafa tertegun menatap penampilan Marissa, ia berpikir Marissa masih terlelap di kamarnya karena sewaktu Rafa meninggalkan kamar, Marissa masih berada di tempat tidur. Makanya Rafa tidak mengganggu tidurnya, Rafa pikir Marissa butuh istirahat tapi apa yang ia lihat di depan matanya sungguh diluar dugaan.Marissa sudah tampak cantik dengan gaun yang digunakan, make up yang sudah menghiasi wajahnya, seolah-olah akan ada pemotretan malam ini juga, penampilannya sangat mencolok untuk hanya sekedar keluar malam. Rafa pun penasaran sehingga ia bertanya pada Marissa yang saat ini masih berdiri di hadapannya. “Kamu mau kemana? Ini sudah malam.” Rafa berkata dengan nada lembut cenderung tegas, Rafa tidak mau ia kembali dikuasai emosi dengan sikap Marissa yang semakin hari membuatnya kesal. “Lola ngajak bertemu, mas. Pihak agensi meminta aku mengatur jadwal ulang pemotretan karena tadi pagi aku batalkan sepihak.” jawab Marissa apa adanya, memang ia ingin bertemu Lola tapi bukan untuk membahas
Setelah memberikan ponsel ke Rania, Rafa berlalu meninggalkan Rania yang masih berdiam diri di depan pintu. Rania menatap paper bag yang ada di tangannya dengan rasa penasaran. Alangkah terkejutnya saat melihat isi dalamnya, sebuah ponsel dengan logo apel tergigit yang sangat mewah. Rania tidak pernah menyangka bisa memiliki ponsel seperti itu. Selama menjadi istri Andi, Rania tidak pernah mengganti ponsel. Ponsel yang ia miliki saat itu adalah ponsel yang ia gunakan saat masih gadis dan belum menikah dengan Andi. Makanya ada rasa sedih saat ponsel itu hilang, karena banyak foto kenangan di dalam galeri tersebut. Rania merasa bahwa ponsel ini sangat berlebihan. Ia tidak tahu mengapa Rafa memberikan ponsel mewah seperti itu kepadanya, mungkin Rafa ingin ia memberitahu keadaan Rafa setiap hari, sungguh beruntung Farrel memiliki seorang papa seperti Rafa. Di ruang tamu, Mama Vina dan Rafa sedang duduk santai berdua sambil menikmati secangkir teh hangat. Rafa meneguknya secara perlah
“Belikan aku ponsel,” kata Rafa, dengan wajah datarnya.“Ponsel? Ponsel kamu rusak? Tapi bukankah tadi baik-baik saja. Masa secepat itu langsung rusak.” kata Ben, lagi-lagi Ben dibuat bingung dengan Rafa, tadi Ben disuruh mencari informasi mengenai Rania dan sekarang Ben disuruh beli Ponsel, sedangkan yang Ben lihat, Ponsel Rafa baik-baik saja.“Ben, bisa tidak apa yang aku suruh jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang aku suruh. Buruan belikan, nanti aku transfer lebih ke rekening kamu.” jawab Rafa yang mulai kesal karena Ben banyak bertanya.“Tapi….”“Ingat, Ben. Ini masih jam kerja,” seru rafa dan membuat Ben tidak melanjutkan ucapannya.“Maaf, Tuan. Permisi !” Tanpa bertanya lebih lanjut kagi, Ben keluar dari ruangan rafa dengan seribu tanda tanya menyangkut di pikirannya.Rafa menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara kasar, “apa aku terlalu berlebihan, memberikannya ponsel. Tapi ponsel itu penting untuk aku bertanya tentang keadaan Rafa. Sepertinya itu wajar saja.” gumam
Sesampainya di kantor, Rafa duduk bersandar di kursi kebesarannya, sambil memijat kepalanya yang sedikit berdenyut. Ia memikirkan sikap kekanakan Marissa, yang tidak mau menyusui Farrel dan lebih memilih pekerjaannya sebagai model. Rafa merasa kecewa dan kehilangan harapan bahwa Marissa akan berubah setelah memiliki anak.Di sela-sela memikirkan Marissa, terbesit bayangan wajah memprihatinkan Rania. Rafa ingat bahwa ia ingin tahu tentang kehidupan Rania, mengapa suaminya tega menceraikannya saat ia kehilangan anaknya. Rafa penasaran tentang apa yang terjadi pada Rania sehingga ia tidak memiliki apa-apa, bahkan tempat tinggal pun tidak ada.Rafa mengambil ponselnya dan menghubungi Ben. Tidak butuh waktu lama, terdengar suara Ben. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" ucap Ben dengan hormat dan sopan.Rafa meminta Ben untuk mencari informasi tentang Rania. "Ben, tolong kami cari tahu tentang Rania."Ben terdengar bingung, "Siapa? Rania?"Rafa tersenyum, ia baru sadar bahwa Ben tidak mengeta
Dengan perasaan kesal dan marah yang masih membara dalam hatinya, Rafa menuruni anak tangga dengan langkah yang berat. Ia ingin melewatkan sarapan pagi ini, tapi mengingat yang memasak adalah sang Mama, ia menjadi tidak tega. Mama Vina sudah berbaik hati membuat sarapan untuknya, dan Rafa tahu bahwa Mama Vina selalu memasak makanan kesukaannya saat berkunjung ke rumah.Rafa menarik nafasnya dengan berat dan menghembuskan secara perlahan, berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia duduk di meja makan dengan penuh makanan sendirian, seperti biasa. Ada istri seperti tidak ada istri, tidak pernah menemaninya sarapan. Mbok Sri yang melihat Rafa duduk sendirian di meja makan segera menghampirinya, menuangkan teh hangat di gelas kosong sebelah piring Rafa."Makasih, Mbok," ucap Rafa sopan, walau hatinya masih kesal. Tapi Rafa tidak pernah melampiaskan kekesalannya pada orang lain."Iya, Tuan. Permisi Tuan," Mbok Sri izin pamit kembali ke dapur, namun langkahnya terhenti saat Rafa memanggilnya ke
Sarapan yang disiapkan Mama Vina sudah tersedia di meja dengan menu nasi goreng seafood, kerupuk dan teh hangat. Rania yang keras kepala akhirnya ikut membantu menyiapkan sarapan. Mama Vina menuju wastafel untuk mencuci tangan sebelum ke kamar Farrel. "Nak, kamu makanlah duluan. Biar Mama panggil Marissa dan Rafa." Kata Mama Vina, setelah selesai mencuci tangan dan membuka apron yang dikenakan lalu di masukan ke keranjang kotor. "Oh ya, kamu jangan makan nasi goreng. Itu ada nasi putih, tempe bacem dan sayur katuk. Makanan tersebut bagus untuk ASI dan pemulihan kamu." lanjut Mama Vina mengingatkan Rania. Karena melahirkan secara operasi tidak baik makan nasi goreng. "Baik, bu. terima kasih." ucap Rania dengan menahan air matanya karena terharu, oleh perhatian Mama Vina."Ya sudah. Mama ke atas dulu."Mama Vina meninggalkan Rania yang masih di dapur dengan perasaan senang diperhatikan oleh Mama Vina, Rania yang memang sudah lapar segera mengambil nasi dan lauknya, lantas ia duduk di
Dengan terpaksa Marissa menuju kamar Farrel, saat sampai. Marissa melihat Rania sedang menimang Farrel sambil bershalawat. “Apakah dia tidur?” Marissa bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Suara Marissa membuat Rania terkejut, “Tidak, Bu.” jawabnya dengan sedikit canggung. “Ya sudah kamu taruh saja di box nya. Biar Farrel saya yang jaga.”“Baik, Bu.”Rania segera meletakan Farrel dibox ranjang setelah memastikan Farrel sudah tenang, “Mbak, keluar dulu ya sayang. Farrel sama Mama ya.” gumam Rania, mata Farrel menatap Rania dengan polos.“Permisi, Bu.”“Hmmmm… “ gumam Marissa sambil duduk bersandar di ranjang tempat Mama Vina tidur. Marissa hanya melihat sekilas Farrel yang tampak tenang, lalu ia membuka ponsel, membalas pesan yang masuk dan scroll sosmed. Marissa hanya menjaga tanpa berinteraksi dengan Farrel. Rania yang tidak tahu mengerjakan apa lagi dirumah ini, menuju dapur hendak membantu pelayan di rumah ini membuat sarapan. Namun di dapur ia bertemu dengan Mama Vina. “Ad
Rania segera membuka pintu dengan lebar dan melangkahkan kakinya dengan cepat ke ranjang Farrel, ia langsung membuka selimut yang menutupi wajah Farrel, mungkin tangan Farrel yang bergerak lincah membuat selimut yang ada di badannya berpindah ke wajahnya. Jantung Rania seakan mau copot melihat pemandangan barusan. Kalau saja ia tadi langsung ke dapur dan tidak mendengar tangisan Farrel entah apa yang akan terjadi pada Farrel. Rania menoleh ke sisi ranjang dimana Mama Vina masih tertidur dengan pulas, “mungkin Ibu sangat lelah sampai tidak mendengar Farrel menangis.”Farrel kembali rewel dan Rania mencoba menenangkannya dengan mengayun-ayunkan tangannya. Namun Farrel tetap gelisah.“Cup…cup…cup…Farrel haus ya. Mau mimik cucu ya. Sabar ya. Tante periksa popok Farrel dulu,” Rania menimang Farrel dengan lembut, kemudian memeriksa popoknya yang kelihatan penuh “Kita ganti popoknya dulu ya sayang, abis tu Farrel baru mimik.” kata Rania sambil meletakan kembali keranjang, ternyata Farrel p
Gelapnya malam membuat jalan yang Rafa lintas meluncur dengan mulus. Rafa menyetir dengan satu tangan dan tangan yang lain memijat keningnya yang terasa pusing. Memikirkan Marissa yang enggan merawat anaknya, terbesit di dalam hatinya apa anak itu benar anaknya. Mengingat kerjaan Marissa yang sering tidak pulang. Menurut orang suruhan Rafa yang memantau Marissa bekerja, sikap Marissa tidak ada yang mencurigakan. Namun wajah Farrel yang mirip dengannya saat kecil, membuktikan bahwa Farrel memang anak kandungnya dan kecurigaan Rafa itu tidak benar. Mobil yang dikendarai Rafa sampai di sebuah cafe yang biasa Rafa dan sahabatnya berkumpul. Sebelumnya Rafa sudah mengirim pesan pada mereka untuk segera meluncur ke cafe. Dan benar saja, tampak di kejauhan, Ben dan Agung sudah sampai. “Wah…lihat itu, yang menyuruh kita kemari malah baru datang.” omel Ben, yang melihat kedatangan Rafa. Rafa segera duduk tanpa mau menanggapi ucapan Ben. Ben dan Agung saling melirik karena sikap Rafa yang t