Hati Rania sedikit terobati dengan kehadiran bayi tampan yang belum diberi nama oleh kedua orangtuanya, sepertinya mereka mengalami masalah, tampak dari tidak ada nya sang ibu kandung disisi bayi tersebut. Selesai menyusui bayi tampan tersebut, Rania kembali ke kamarnya setelah dipastikan bayi tersebut sudah kenyang dan tertidur lelap.
Rania pun memompa ASInya dan memberikan pada Mama Vina untuk diberikan pada bayi tersebut jika kembali rewel. Mama Vina tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena Rania membantu menenangkan cucunya yang rewel. Rania hendak beristirahat setelah selesai memompa ASInya yang melimpah, ia dikejutkan oleh kedatangan suaminya. Namun kali ini sang suami datang sendiri tanpa ditemani Mamanya. “Mas…!” seru Rania dengan dahi bertaut, “apa yang kamu bawa, Mas?” Rania bertanya pada Andi yang membawa koper besar di sampingnya. Andi meletakan koper tersebut di dekat lemari, “ini baju-baju kamu, semua sudah Mama masuki kedalam. Jadi kamu tidak perlu kembali kerumah, aku sudah melunasi semua biaya rumah sakit. Dan ini nafkah terakhir aku buat kamu.” Andi meletakan amplop coklat yang lumayan tebal, sudah di pastikan isinya sejumlah uang karena Andi berkata itu nafkah terakhirnya. Mata Rania membola, ia terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Andi. “A-pa maksud semua ini, Mas?” tanya Rania dengan terbata-bata, matanya mulai berkaca-kaca, hatinya sakit seperti teriris pisau tajam. “Sepertinya aku sudah ucapkan semua dengan jelas.” jawab Andi tanpa mau menatap Rania yang mulai terisak. “Dan aku harap kamu segera tanda tangani surat ini,” lanjutnya sambil menyerahkan surat di hadapan Rania. Andi seakan tidak memberi Rania kesempatan untuk berbicara. Rania menatap surat tersebut, tetesan air matanya jatuh mengenai surat yang berlogokan departemen agama. Rania memejamkan mata sejenak, dadanya sangat sesak. Ingin rasanya ia merobek-robek surat yang ada di hadapannya. Namun ia tidak boleh lemah, mungkin ini sudah jalan hidupnya. Pernikahannya berakhir hanya karena ia gagal melahirkan keturunan bagi keluarga sang suami. Janji manis sang suami dulu ternyata hanya bualan semata, ia pikir Andi laki-laki yang akan tulus mencintainya sampai akhir hayat terlihat dari sikapnya yang rela meninggalkan jabatan di perusahaan keluarganya demi menikahinya. “Kamu…sudah yakin ingin kita bercerai, Mas.” Rania ingin menekankan kembali keputusan yang Anda ambil. “Ya. Kamu tahu kan, aku selalu di olok-olok para sepupu aku, hanya karena diriku yang belum memiliki anak dan cuma aku yang menjadi seorang karyawan biasa, padahal aku memiliki hak waris di perusahaan tersebut, tapi dengan mudahnya mereka mengambil apa yang aku punya. Aku lelah, hidup seperti ini Rania. Kalau saja anak itu selamat mungkin aku tidak akan menceraikan kamu dan…” “Cukup, Mas!” teriak Rania yang tidak sanggup mendengar kata-kata yang seakan semua itu dialah penyebabnya. Rania membuka lembaran kertas yang ia pegang dengan tangan gemetaran ia pun membubuhkan tanda tangannya. Lalu kertas tersebut ia hentakan ke arah Andi. “Ambil, Mas. Aku sudah tanda tangani sesuai keinginanmu. Dan ambil ini juga, aku tidak butuh apa-apa dari kamu.” Rania juga menyerahkan amplop yang berisi sejumlah uang pada Andi. Namun Andi hanya menerima surat gugatan cerai yang sudah di tanda tangani oleh Rania. Dan meletakan amplop tersebut di nakas. Rania hanya bisa menangis tanpa menoleh ke arah Andi. “Sa….” Andi hendak melontarkan kata sayang buat Rania namun buru-buru ia ralat. “Rania, terima kasih atas 3 tahun kebersamaan kita. Maaf, aku tidak bisa membahagiakan kamu.” ucap Andi dengan penuh penyesalan, lalu ia segera keluar dari ruangan, Rania hanya bisa menangis dengan histeris. Meratapi nasibnya yang ditinggal oleh sang suami saat ia membutuhkan sosok suami dengan kondisinya saat ini. “Salah apa aku selama ini, Ya Allah. Mengapa Engkau memberikan aku cobaan yang begitu berat. Untuk apa aku hidup kalau semua orang meninggalkan aku.” teriak Rania dengan frustasi. Rania terus menangis dengan histeris, meratapi nasibnya yang ditinggalkan oleh suaminya. Ia merasa seperti dunianya telah runtuh, dan tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Setelah beberapa jam menangis, Rania akhirnya merasa lelah dan tidak bisa menangis lagi. Ia terbaring di tempat tidur, merasa kosong dan tidak memiliki tujuan hidup lagi. Keesokan harinya, Rania bangun dengan perasaan yang masih sangat sedih. Ia tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun, dan hanya ingin terbaring di tempat tidur sepanjang hari. Bunyi notifikasi di ponselnya membuat Rania bangkit dari tidur dan duduk bersandar sambil melihat pesan masuk di ponselnya. Matanya terbelalak saat melihat sebuah pesan gambar dari nomor yang tidak dikenal mengirim sebuah foto pernikahan dengan mempelai pria yang merupakan mantan suaminya. “Tega banget kamu, Mas. Padahal perceraian kita baru beberapa jam yang lalu.” gumam Rania dengan air mata mengalir deras di pipinya, tadinya ia berusaha untuk ikhlas dengan perceraiannya namun foto pernikahan suaminya membuat Rania kembali terpuruk, Rania menjadi gelap mata, pandangannya tertuju pada meja nakas yang berisi pisau dan amplop yang ditinggalkan Andi semalam. Ia tersenyum miris, lalu diambilnya pisau buah tersebut, dengan tangan bergetar ia mengiriskan ke pergelangan tangannya. Darah segar mulai mengalir di tangannya. “Hey…apa yang kamu lakukan?” Teriak seseorang yang tiba-tiba masuk keruangan Rania.Rafa yang diminta oleh Mama Vina untuk mengucapkan terima kasih pada wanita yang telah menenangkan bayinya, dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya spontan langsung menghampiri Rania. “Hei…apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah tidak waras..hah!” bentak Rafa dengan geram. Rafa langsung mengambil pisau yang berada di tangan Rania dan membuangnya jauh ke lantai. Untung saja Rafa datang tepat waktu sehingga tangan Rania hanya tergores sedikit. Rania tersentak kaget saat tangan Rafa merebut pisau yang digenggamnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan saat Rafa mencegahnya untuk menyayatkan pisau tersebut ke tangannya. “Kamu siapa!” Rania menatap tajam pada Rafa yang berdiri di depannya, “Kamu tidak berhak melarangku, biarkan aku mati, aku ingin menyusul anakku. Aku kehilangan anakku, dan suamiku menceraikanku, untuk apa aku hidup lagi, hidupku sudah tidak berguna lagi. Bahkan suamiku langsung menikah lagi padahal perceraian kami belum ada 1 x 24 jam.” teriak Rania dengan hist
Mama Vina masih tidak mengerti maksud ucapan Rafa yang tidak mengizinkan Farrel minum ASI Rania. “Rafa, ada apa? Kenapa kamu tidak mengizinkan Rania untuk memberikan ASI nya?” tanya Mama Vina. “Farrel punya ibu, Ma. Nanti Rafa akan bujuk kembali Marissa di rumah. Sekarang Mama bereskan saja barang-barang Marissa dan Farrel.” pinta Rafa yang sambil menenangkan Farrel yang rewel. Ia enggan bercerita tentang Rania pada Mamanya. Melihat wajah Rafa yang datar membuat Mama Vina terdiam, Mama Vina tidak berani bertanya lagi kenapa Rafa tidak mengizinkan Farrel meminum ASI dari Rania. Mama Vina pun mulai membereskan barang-barang. Sore ini Rafa akan membawa pulang bayinya, sedangkan Marissa sudah tidak lagi kembali ke rumah sakit sejak hari itu. Rafa sudah menghubungi Marissa yang katanya sedang melakukan pekerjaan yang sudah ditandatangani dan tidak bisa ditunda. Rafa ingin marah pada Marissa namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun kali ini Rafa tidak bisa mentolerir sikap Mariss
Rania kaget saat tiba-tiba ada sepeda motor menghimpitnya dan langsung menjambret tas selempangnya. Rania bermaksud mempertahankan tasnya karena isi dalam tas tersebut uang pemberian Andi. Terjadi tarik-menarik antara Rania dan pemuda yang duduk di belakang sepeda motor tersebut.“Lepaskan, jangan ambil tas saya.” Teriak Rania berusaha mempertahankan tasnya. Namun kondisi Rania yang lemah membuat Rania terlepas saat laki-laki yang tertutup oleh helm tersebut menarik dengan kuat tas Rania.“Tolong…Jambret…”teriak Rania saat orang tersebut berhasil mengambil tas miliknya. Namun sayang teriak Rania seakan sia-sia karena penjambret tersebut berhasil melarikan diri. Rania hendak mengejar sepeda motor tersebut namun tiba-tiba sebuah mobil hampir menyerempet Rania. Rania terduduk di aspal sambil meringis menahan sakit di kakinya. Untung saya sopir mobil tersebut mengerem mendadak.Di dalam mobil, wanita cantik yang sedang melakukan panggilan telepon dikejutkan karena mobil yang tiba-tiba ber
Tangisan bayi terdengar dari luar saat Rania dan Marissa hendak memasuki rumah. Ada perasaan aneh yang dirasakan Rania mendengar suara tangisan tersebut, ia teringat sosok bayi yang dirumah sakit, tapi Rania berpikir itu pasti anak Mbak Marissa yang akan ia jaga.“Bayi yang cengeng. Selalu saja menangis.” ucap Marissa ketus, sambil melangkahkan kakinya dengan cepat masuk ke rumah.Rania menatap bingung sikap Marissa yang sepertinya tidak suka mendengar tangisan anaknya. Rania berusaha untuk tidak ikut campur dengan sikap majikan barunya.Di dalam ruangan keluarga, Rafa sedang menenangkan Farrel yang menangis. Mama Vina juga sudah ikut menenangkan namun Farrel tetap menangis. Hati Rafa sedikit lega saat melihat sang istri berjalan masuk menghampirinya.“Sayang…kamu sudah pulang.”“Ya, Mas. Kenapa dengan dia? Apa udah kamu kasih susu? Tangisannya sampai ke halaman depan lo Mas.” gerutu Marissa yang tidak suka dengan tangisan anaknya, rasanya gendang telinganya hampir pecah.“Dia haus da
Sebelumnya terjadi ketegangan antara Rafa dan Marissa. Marissa tetap kekeh tidak mau merawat anaknya.“Mas, kamu kenapa sih? Aku yakin Rania itu wanita baik-baik. Lagian dia gak tau mau kemana Mas. Dia baru di jambret, isi dalam tasnya semua raib, Mas. Tumben kamu tidak ada rasa simpatinya. Biasanya kamu orang yang paling peduli pada nasib orang lain.” kata Marissa dengan menggebu-gebu, ia berharap Rafa mau mengizinkan Rania mengasuh anak mereka.“Aku melihatnya melukai tangannya dengan pisau buah. Bagaimana kalau nanti dia melakukan hal buruk pada anak kita? Kamu tahu ibu yang mengalami baby blues itu sangat berbahaya, aku memang membutuhkannya tapi aku tidak mau ia melukai anak kita.” Rafa akhirnya menceritakan rasa khawatir, bukannya ia tidak kasihan melihat Rania tapi ia takut anaknya nanti menjadi korban karena sikap frustasi Rania.“Kita bisa mengawasinya, Mas. Lagian rumah ini dipasang cctv di setiap sudut dan kita bisa memantau kinerjanya. Kalau ada hal mencurigakan kita bisa
Gelapnya malam membuat jalan yang Rafa lintas meluncur dengan mulus. Rafa menyetir dengan satu tangan dan tangan yang lain memijat keningnya yang terasa pusing. Memikirkan Marissa yang enggan merawat anaknya, terbesit di dalam hatinya apa anak itu benar anaknya. Mengingat kerjaan Marissa yang sering tidak pulang. Menurut orang suruhan Rafa yang memantau Marissa bekerja, sikap Marissa tidak ada yang mencurigakan. Namun wajah Farrel yang mirip dengannya saat kecil, membuktikan bahwa Farrel memang anak kandungnya dan kecurigaan Rafa itu tidak benar. Mobil yang dikendarai Rafa sampai di sebuah cafe yang biasa Rafa dan sahabatnya berkumpul. Sebelumnya Rafa sudah mengirim pesan pada mereka untuk segera meluncur ke cafe. Dan benar saja, tampak di kejauhan, Ben dan Agung sudah sampai. “Wah…lihat itu, yang menyuruh kita kemari malah baru datang.” omel Ben, yang melihat kedatangan Rafa. Rafa segera duduk tanpa mau menanggapi ucapan Ben. Ben dan Agung saling melirik karena sikap Rafa yang t
Rania segera membuka pintu dengan lebar dan melangkahkan kakinya dengan cepat ke ranjang Farrel, ia langsung membuka selimut yang menutupi wajah Farrel, mungkin tangan Farrel yang bergerak lincah membuat selimut yang ada di badannya berpindah ke wajahnya. Jantung Rania seakan mau copot melihat pemandangan barusan. Kalau saja ia tadi langsung ke dapur dan tidak mendengar tangisan Farrel entah apa yang akan terjadi pada Farrel. Rania menoleh ke sisi ranjang dimana Mama Vina masih tertidur dengan pulas, “mungkin Ibu sangat lelah sampai tidak mendengar Farrel menangis.”Farrel kembali rewel dan Rania mencoba menenangkannya dengan mengayun-ayunkan tangannya. Namun Farrel tetap gelisah.“Cup…cup…cup…Farrel haus ya. Mau mimik cucu ya. Sabar ya. Tante periksa popok Farrel dulu,” Rania menimang Farrel dengan lembut, kemudian memeriksa popoknya yang kelihatan penuh “Kita ganti popoknya dulu ya sayang, abis tu Farrel baru mimik.” kata Rania sambil meletakan kembali keranjang, ternyata Farrel p
Dengan terpaksa Marissa menuju kamar Farrel, saat sampai. Marissa melihat Rania sedang menimang Farrel sambil bershalawat. “Apakah dia tidur?” Marissa bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Suara Marissa membuat Rania terkejut, “Tidak, Bu.” jawabnya dengan sedikit canggung. “Ya sudah kamu taruh saja di box nya. Biar Farrel saya yang jaga.”“Baik, Bu.”Rania segera meletakan Farrel dibox ranjang setelah memastikan Farrel sudah tenang, “Mbak, keluar dulu ya sayang. Farrel sama Mama ya.” gumam Rania, mata Farrel menatap Rania dengan polos.“Permisi, Bu.”“Hmmmm… “ gumam Marissa sambil duduk bersandar di ranjang tempat Mama Vina tidur. Marissa hanya melihat sekilas Farrel yang tampak tenang, lalu ia membuka ponsel, membalas pesan yang masuk dan scroll sosmed. Marissa hanya menjaga tanpa berinteraksi dengan Farrel. Rania yang tidak tahu mengerjakan apa lagi dirumah ini, menuju dapur hendak membantu pelayan di rumah ini membuat sarapan. Namun di dapur ia bertemu dengan Mama Vina. “Ad
Sepulang dari taman, suasana hati Rania terasa tak menentu. Langkah kakinya pelan saat mendorong stroller memasuki halaman rumah keluarga besar tempat ia bekerja. Rafa memberi kode Rania untuk segera masuk kedalam, karena ia sedang menerima panggilan telepon dari temannya. Farrel masih tertidur di stroller, di dalam rumah, suasana tampak biasa saja. Beberapa ART lainnya sedang menyapu halaman belakang, dan suara TV dari ruang keluarga terdengar samar. Kemudian Rania memindahkan Farrel ke dalam gendongan, dan meletakkan stroller tersebut di samping tangga. Rania menaiki tangga menuju kamarnya dengan hati-hati agar Farrel tidak terbangun. Setelah menidurkan Farrel di kamar, Rania duduk sebentar di ujung ranjang bayi, memandangi wajah mungil itu. Ia menunduk, menyandarkan dagunya di kedua tangannya. Pikiran berkecamuk tentang tatapan ibu-ibu di taman tadi. Saat di taman, Rania sempat bertemu tatap dengan ibu-ibu tersebut. Tatapan Ibu tersebut membuat Rania tidak nyaman dan risih
Dengan penuh perhatian, Rania memastikan Farrel menghabiskan susunya, botol susu langsung habis diminum Farrel, lalu Rania mengambil botol kosong dan menyimpannya ke dalam tas. Rania menatap, tangan Farrel menggosok-gosok matanya dengan punggung tangan, tanda Farrel mulai merasa mengantuk. Rania tersenyum melihat ekspresi lucu Farrel dan langsung mengambil tindakan untuk membersihkan wajah Farrel dengan lembut. "Sudah kenyang ya, sayang?" tanya Rania dengan suara yang lembut, sambil membelai rambut Farrel dengan penuh kasih sayang. Bayi menggemaskan itu cuma tersenyum dan tak lama matanya sudah mulai terpejam-pejam. Rafa duduk di dekat gerobak makanan, memesan bubur ayam sambil mengamati Rania yang sedang bersama Farrel. Wajahnya berseri-seri melihat pemandangan itu, hatinya menghangat melihat sosok keibuan Rania yang penuh kasih sayang terhadap anak kecil. Rafa begitu asyik menatap Rania sehingga tidak menyadari penjual bubur memanggilnya. "Pak... pesan berapa piring?" tanya pe
Beberapa hari berlalu, semenjak Farrel pulang dari rumah, Rania sangat ekstra menjadi bayi mungil tersebut yang semakin hari semakin banyak akal, bayi 3 bulan lebih tersebut sudah mulai pandai membalik badannya, mungkin benar apa kata orang kalau sakit yang diderita Farrel karena sakit mau tambah akal. Selama 3 bulan itu pula, Marissa selaku ibu kandungnya tidak pernah memberikan perhatian pada Farrel, Marissa terlihat cuek, bahkan ia seakan tidak senang kalau Farrel menangis atau berceloteh di saat Marissa sedang beristirahat siang. Kalau ada Marissa dirumah, Rania terpaksa membawa Farrel duduk di taman atau sekedar berjalan-jalan di sekitar komplek menggunakan stroller. Seperti saat ini, udara pagi hari sangat menyejukkan, cahaya matahari bersinar dengan cerah, konon sinar matahari sangat baik untuk kesehatan. Sehingga Rania membawa Farrel berkeliling komplek untuk menikmati udara pagi yang cerah. Rania mendorong stroller dengan perlahan, namun sekali-kali ia bercanda dengan Farre
“Tuan, Maaf. Karena saya Den Farrel sakit, jangan pecat saya Tuan. Saya akan lebih ekstra menjaga Den Farrel. Tapi, tolong jangan pecat saya, beri saya kesempatan lagi.” Ucap Rania sambil menunduk ia tidak berani menatap wajah tuannya yang menurutnya pasti menyeramkan. Rafa hanya diam, mendengar permohonan Rania tadi membuat hatinya tersentuh. Padahal tidak ada niat Rafa untuk memecat Rania. “Hentikan tangis kamu, ini sudah malam nanti Farrel bangun.” “Ta-tapi…Tuan gak pecat saya kan.” Lirih Rania dengan menahan suara tangisnya lalu menghapus air matanya. “Saya akan pecat kamu, kalau kamu tidak berhenti menangis,” jawab Rafa kesal, Rafa paling tidak suka melihat wanita menangis. Itu lah kelemahannya. Makanya Marissa bisa selalu bekerja setelah mengeluarkan tangisannya dan membuat Rafa tidak tega. Tapi kali ini tangisan Marissa tidak membuat Rafa lemah lagi, karena semua itu buat kebaikan rumah tangganya. Kata-kata Rafa tadi spontan membuat tangisan Rania berhenti. “Say
Rania mengetuk pintu kamar Rafa dengan keras, ia semakin takut dan cemas saat melihat Farrel yang lemah. Pintu masih belum terbuka padahal Rania mengetuknya dengan kuat, mustahil tidak didengar oleh mereka yang di dalam kamar.Mata Rania mulai berkaca-kaca, ia hampir menangis karena takut terjadi sesuatu dengan Farrel. Ia juga tidak berani melakukan sesuatu ke Farrel dengan membawanya sendiri ke rumah sakit karena Farrel memiliki orang tua.Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekati lorong kamar, Rania mendapatkan Mbok Sri berjalan ke arahnya dengan membawa sapu, sekop, dan ember berisi air serta kain pel. Mbok Sri yang hendak membersihkan kamar Tuannya menatap Rania dengan bingung, untuk apa Rania berdiri di depan kamar."Rania, ada apa?" tanya Mbok Sri. Rania menjawab dengan nada panik dan cemas terhadap Farrel, "Mbok... Bagaimana ini Mbok? Den Farrel demam, mbok. Aku coba memberitahu Tuan dan Nyonya tapi mereka tidak keluar juga dari kamar."Mbok Sri meletakkan peralatan yan
Beberapa hari berlalu sejak Rania menelepon Andi, Rania mulai menyadari bahwa cinta tulus Andi padanya dulu hanya bualan semata. Andi menceraikannya tanpa ia bisa membela diri, hanya karena ia gagal memberikan keturunan. Sakit tapi tak berdarah, itulah yang dialami Rania.Namun, Rania tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia meyakinkan dirinya untuk bangkit dan membuktikan kepada mantan suami dan keluarganya bahwa ia bukan wanita lemah.Hari-hari Rania pun disibukkan dengan mengasuh Farrel, bayi tampan yang tidak merasakan kasih sayang ibunya. Ibu Farrel, Marissa, tetap dengan keinginannya yaitu bekerja, sehingga setiap malam Rania selalu mendengar kalau sang majikan selalu bertengkar.Sejak Mama Vina pulang, Rafa menyuruh Rania pindah ke kamar Farrel, sehingga Rania mengetahui kalau rumah tangga majikannya sedang tidak baik. Rania mencoba tutup telinga dan mata, ia tidak mau ikut campur dengan masalah rumah tangga majikannya, ia hanya fokus menjaga Farrel.Walau kadang ada perasaan k
Rafa tertegun menatap penampilan Marissa, ia berpikir Marissa masih terlelap di kamarnya karena sewaktu Rafa meninggalkan kamar, Marissa masih berada di tempat tidur. Makanya Rafa tidak mengganggu tidurnya, Rafa pikir Marissa butuh istirahat tapi apa yang ia lihat di depan matanya sungguh diluar dugaan.Marissa sudah tampak cantik dengan gaun yang digunakan, make up yang sudah menghiasi wajahnya, seolah-olah akan ada pemotretan malam ini juga, penampilannya sangat mencolok untuk hanya sekedar keluar malam. Rafa pun penasaran sehingga ia bertanya pada Marissa yang saat ini masih berdiri di hadapannya. “Kamu mau kemana? Ini sudah malam.” Rafa berkata dengan nada lembut cenderung tegas, Rafa tidak mau ia kembali dikuasai emosi dengan sikap Marissa yang semakin hari membuatnya kesal. “Lola ngajak bertemu, mas. Pihak agensi meminta aku mengatur jadwal ulang pemotretan karena tadi pagi aku batalkan sepihak.” jawab Marissa apa adanya, memang ia ingin bertemu Lola tapi bukan untuk membahas
Setelah memberikan ponsel ke Rania, Rafa berlalu meninggalkan Rania yang masih berdiam diri di depan pintu. Rania menatap paper bag yang ada di tangannya dengan rasa penasaran. Alangkah terkejutnya saat melihat isi dalamnya, sebuah ponsel dengan logo apel tergigit yang sangat mewah. Rania tidak pernah menyangka bisa memiliki ponsel seperti itu. Selama menjadi istri Andi, Rania tidak pernah mengganti ponsel. Ponsel yang ia miliki saat itu adalah ponsel yang ia gunakan saat masih gadis dan belum menikah dengan Andi. Makanya ada rasa sedih saat ponsel itu hilang, karena banyak foto kenangan di dalam galeri tersebut. Rania merasa bahwa ponsel ini sangat berlebihan. Ia tidak tahu mengapa Rafa memberikan ponsel mewah seperti itu kepadanya, mungkin Rafa ingin ia memberitahu keadaan Rafa setiap hari, sungguh beruntung Farrel memiliki seorang papa seperti Rafa. Di ruang tamu, Mama Vina dan Rafa sedang duduk santai berdua sambil menikmati secangkir teh hangat. Rafa meneguknya secara perlah
“Belikan aku ponsel,” kata Rafa, dengan wajah datarnya.“Ponsel? Ponsel kamu rusak? Tapi bukankah tadi baik-baik saja. Masa secepat itu langsung rusak.” kata Ben, lagi-lagi Ben dibuat bingung dengan Rafa, tadi Ben disuruh mencari informasi mengenai Rania dan sekarang Ben disuruh beli Ponsel, sedangkan yang Ben lihat, Ponsel Rafa baik-baik saja.“Ben, bisa tidak apa yang aku suruh jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang aku suruh. Buruan belikan, nanti aku transfer lebih ke rekening kamu.” jawab Rafa yang mulai kesal karena Ben banyak bertanya.“Tapi….”“Ingat, Ben. Ini masih jam kerja,” seru rafa dan membuat Ben tidak melanjutkan ucapannya.“Maaf, Tuan. Permisi !” Tanpa bertanya lebih lanjut kagi, Ben keluar dari ruangan rafa dengan seribu tanda tanya menyangkut di pikirannya.Rafa menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara kasar, “apa aku terlalu berlebihan, memberikannya ponsel. Tapi ponsel itu penting untuk aku bertanya tentang keadaan Rafa. Sepertinya itu wajar saja.” gumam