"Oh, mau ke pasar?""Em, iya, Pak." Aku manggut-manggut."Kalau gitu saya antar saja. Kalau nunggu angkutan lama. Di sebelah sana juga banyak yang menunggu, Mbak. Di bahu jalan. Tapi sepertinya angkot pada penuh." Pak Zen menjelaskan. Ternyata benar, banyak penumpang angkot hari ini."Biar saja saya menunggu, Pak, maksudnya, saya sama anak saya menunggu saja. Kami tidak terburu-buru, kok." Aku menjawab. "Gak apa-apa. Sekalian saya juga mau beli baju buat Helen. Buat pentas seni akhir semester. Katanya dia harus beli kebaya dan perlengkapan wanita lainnya." Pak Zen memberi alasan."Oh gitu ya, Pak?" tanggapku."Iya, lebih baik kalian bareng saja sama kami. Oh ya, gimana kalau Mbak Hanah bantu pilihkan baju kebaya buat anak saya. Saya 'kan awam soal kebaya." Pak Zen menggaruk keningnya yang tak gatal. Mungkin dia malu. Tapi kasihan juga seorang ayah harus mencarikan benda-benda anak gadisnya. Huwh ... gimana ini?"Tapi ....""Gimana, Afni mau?" Pak Zen bertanya pada anakku. Otomatis Af
"Mbak Hanah dan Afni gak usah ke pasar. Belanjanya di sini saja. Biar gak terlalu muter-muter nyari barangnya. Di sini juga komplit." Pak Zen menjelasakan."Nanti saja pulangnya saya ke pasar, Pak. Sekarang saya akan bantu carikan pakaian saja buat Helen." Aku menjawab."Ayok!" Pak Zen sudah ancang-ancang keluar, pun kami menyusul. Ah biarlah, nanti aku balik lagi ke pasar. Sambil pulang.Tak lama berjalan karena kami memakai lift untuk naik, sampailah kami di lantai tiga. Pak Zen yang menekan tombol di lift, karena aku tak terlalu tahu dimana letak penjual kebaya.Akhirnya kami sampai. Benar saja, bermacam-macam busana terpampang. Bagian kiri khusus tema kebaya dan pakaian-pakaian daerah. "Kamu harus pakai kebaya apa, Sayang?" tanyaku pada Helen. "Kebaya apa saja. Warnanya harus merah muda, Tante. Buat menari," jawabnya. Kami sudah berada tepat di depan toko. "Mau kebaya modern atau tradisional?" tanyaku lagi. "Tradisional saja, Tante. Ibu guru suruhnya seperti itu." Helen menjawab
"Terima kasih ya, Pak, saya jadi gak enak. Ini belanjaan banyak sekali." Kami sudah berjalan ke arah lantai dasar mall. Sengaja pakek eskalator biar sambil lihat-lihat saja."Saya yang terima kasih, Mbak Hanah. Mbak sudah mau temani anak saya pilih baju," jawabnya."Sama-sama, Pak.""Jangan di buang bajunya ya, Mbak," katanya lagi. Aku terkekeh. "Ya ampun, mana mungkin saya buang baju ini, Pak. Tapi memang Bapak terlalu berlebihan," ujarku lagi. Anak-anak jalan di depan kami."Gak berlebihan, kok. Mbak Hanah santai saja. Jangan gak enak hati seperti itu." "Oh ya, bagaimana dengan sidang perceraian kalian?" Kini Pak Zen bertanya soal perceraianku dengan Mas Jimy."Baru sidang pertama, Pak. Sidang selanjutnya juga akhir bulan ini," jawabku."Oh, seperti itu?" Aku mengangguk.Tak berlama-lama lagi kami langsung bergegas pulang. Apalagi kami sudah satu jam ada di dalam mall. Tak terasa. Padahal hanya membeli sebuah kebaya saja. Tapi, kalau ke pasar, mungkin juga lebih lama dari ini.***
Memang kalau belanja dari pasar biasanya belanjaan di kemas dengan kresek hitam saja. "Kok lesu gitu jawabnya?" Ibu bertanya lagi. Memang bagaimanapun aku makin tidak enak hati. "Gak enak saja, Bu, terlalu di belanjakan kayak gini." "Tapi kamu gak minta, kan?" "Enggak lah, Bu. Afni juga katanya di tawari gak mau. Tapi pak Zen tetap memaksa." Mata Ibu mengedip sendu. "Ya sudah, Alhamdulillah saja. Ini rezeki. Bukan kamu yang minta. Tapi ... istrinya?" Ibu bertanya perihal Pak Zen. Dan memang tak aku jelaskan kalau Pak Zen adalah seorang duda."Dia seorang duda, Bu. Baru saja proses perceraian mereka selesai." "Oh begitu? Pantas saja. Ibu pikir kamu di bawa sama laki-laki beristri, Han.""Ibu, ya enggak lah, Bu. Itu juga karena pak Zen meminta Hanah untuk pilihkan baju kebaya anaknya." Alisku dua-duanya meninggi."Apa ... jangan-jangan dia suka sama kamu?" kata Ibu. Benar-benar membuatku kaget. "Ah, Ibu, gak mungkin. Dia itu owner hotel, Bu. Seleranya tinggi. Mantan istrinya saja p
Malam ini kuhamparkan sajadah di atas tikar berukuran agak lebih besar dari sajadahnya. Lalu kuraih mukenah yang di lipat di dalam lemari. Waktu tepat menunjukkan pukul dua malam. Suara-suara katak di dalam kolam samping rumah tetangga terdengar menghiasi keheningan malam. Seokan angin terasa sangat menusuk kulit. Mungkin karena ventilasi kamar ada beberapa. Anginnya menerobos masuk. Menjadikan kita yang tidur itu amat terlelap. Saat bangun ingin tidur lagi. Itulah godaan beribadah tengah malam. Ada bisikan-bisikan khusus dari penggoda iman supaya kita lebih baik terlelap tidur daripada harus pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri dengan air wudhu. Maka dari itu shalat tengah malam pahalanya amat besar. Mukenah telah kukenakan. Wajah ini masih terasa basah dengan air wudhu. Kubilas dengan handuk pun tadi hanya sekilas."Bu," ucap seseorang. Suaranya gadis belia. Dan dia adalah anakku."Afni? Bangun?" tanyaku dengan senyuman."Antar ke kamar mandi dong, Bu. Afni juga mau ambil wudh
"Loh, kok Mbak-mbak bicara seperti ini? Saya kapan ganggu tetangga, ya? Siapa yang bilang?" Aku mendapat ocehan dari tetangga mengenai masalah pribadi. Dan itu menyinggung statusku sebagai seorang istri yang sebentar lagi akan menjadi janda.Tiba-tiba ada Mbak Uri datang. "Iya, saya saksinya. Kamu godain suami saya. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri."Degh!Kedua bola mataku terbelalak. "Apa? Mbak Uri jangan asal tuduh saya ya, Mbak!" Kuelus dada beberapa kali setelah mengeluarkan nada tinggi."Ada apa, Han?" Ibu menghampiri kami di depan pintu. Ia nampak heran dan tak tahu apapun. Untungnya Afni masih di dalam."Ini, Bu, anak Ibu kemarin godain suami saya. Saya saksinya. Terus anak Ibu juga godain mas Ipul, suami mbak Emi. Saya lihat kemarin." Apa yang di katakan oleh mereka jelas-jelas fitnah. Sama sekali aku tidak pernah menganggu suami mereka."Masya Allah, anak saya bukan wanita seperti itu, Bu-ibu, jangan asal tuduh saja." Ibu membelaku. Wajahnya mengiba.Ada dua orang
"Maaf ya, Mas Dadang. Memang kapan saya naik ojek Mas Dadang? Bukannya Mas Dadang tukang ojek pasar, hah? Dan kapan saya ke pasar?" Emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Mas Dadang kini kutatap dengan nanar. Entah dia di bayar oleh siapa untuk bicara padaku seperti barusan."Alah, jangan pura-pura. Kemarin 'kan kamu minta saya anterin. Kita tak sengaja bertemu di jalan." Mas Dadang makin menggali kebohongannya."Tuh, kan? Apa saya bilang Bu-Ibu! Bisa-bisa suami kalian jadi santapan, nih!" cungur Mbak Uri menyayat tajam hati ini. Kepalaku hanya menggeleng-geleng."Ya ampun, jaga ucapan kalian." Ibu pun kedengarannya emosi sekali. "Kalian bisa saja di bawa ke jalur hukum kalau bicara tanpa bukti." Ibu kembali menekan mereka.Nampak Mbak Uri dan Bang Dadang merasa menang dan angkuh. Aku jadi makin curiga kalau ada seseorang yang menyuruh mereka menghujat dan memitnahku. 'Hemh, awas saja kalian.'"Bener gak Bang Dadang di gangguin Hanah?" Ibu-ibu yang sepertinya meragukan angkat bicara dan me
"Waktu itu kapan?" tembalku menatap tegas wajah pria tukang bohong itu. Dia malah diam."Kapan saya ke pasar? Belakangan ini saya gak pernah ke pasar. Coba yang jelas Bang Dadang bicaranya. Kalau gak jelas, saya bisa laporkan ini ke pengacara saya. Kalian bisa di tuntut, loh. Kalian mau?"Mereka memang tahu perihal pengacarku di saat perseteruan kemarin dengan ibu mertua. Para tetangga berhamburan. Tak terkecuali Mbak Uri, aku melihatnya ia datang menyaksikan. Kalau soal percekcokan 'kan paling utama. Mbak Uri dan Bang Dadang malah saling menatap menyembunyikan sesuatu."Awas ya, Bang, Mbak, kalau bicara kayak gini, pengacara saya akan datang dan usut kasus ini. Bisa-bisa kalian di hukum selama sepuluh tahun lebih. ATAS PENCEMARAN NAMA BAIK," jelasku penuh penekanan di akhir. Mereka berdua makin gelagapan. Tak jelas sekali."Iya, anak saya ini orang baik-baik. Kalian jangan asal bicara tanpa bukti. Lagipula, yang keganjenan juga siapa. Yang bicara juga keganjenan." Ibu kembali emosi.
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku