Memang kalau belanja dari pasar biasanya belanjaan di kemas dengan kresek hitam saja. "Kok lesu gitu jawabnya?" Ibu bertanya lagi. Memang bagaimanapun aku makin tidak enak hati. "Gak enak saja, Bu, terlalu di belanjakan kayak gini." "Tapi kamu gak minta, kan?" "Enggak lah, Bu. Afni juga katanya di tawari gak mau. Tapi pak Zen tetap memaksa." Mata Ibu mengedip sendu. "Ya sudah, Alhamdulillah saja. Ini rezeki. Bukan kamu yang minta. Tapi ... istrinya?" Ibu bertanya perihal Pak Zen. Dan memang tak aku jelaskan kalau Pak Zen adalah seorang duda."Dia seorang duda, Bu. Baru saja proses perceraian mereka selesai." "Oh begitu? Pantas saja. Ibu pikir kamu di bawa sama laki-laki beristri, Han.""Ibu, ya enggak lah, Bu. Itu juga karena pak Zen meminta Hanah untuk pilihkan baju kebaya anaknya." Alisku dua-duanya meninggi."Apa ... jangan-jangan dia suka sama kamu?" kata Ibu. Benar-benar membuatku kaget. "Ah, Ibu, gak mungkin. Dia itu owner hotel, Bu. Seleranya tinggi. Mantan istrinya saja p
Malam ini kuhamparkan sajadah di atas tikar berukuran agak lebih besar dari sajadahnya. Lalu kuraih mukenah yang di lipat di dalam lemari. Waktu tepat menunjukkan pukul dua malam. Suara-suara katak di dalam kolam samping rumah tetangga terdengar menghiasi keheningan malam. Seokan angin terasa sangat menusuk kulit. Mungkin karena ventilasi kamar ada beberapa. Anginnya menerobos masuk. Menjadikan kita yang tidur itu amat terlelap. Saat bangun ingin tidur lagi. Itulah godaan beribadah tengah malam. Ada bisikan-bisikan khusus dari penggoda iman supaya kita lebih baik terlelap tidur daripada harus pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri dengan air wudhu. Maka dari itu shalat tengah malam pahalanya amat besar. Mukenah telah kukenakan. Wajah ini masih terasa basah dengan air wudhu. Kubilas dengan handuk pun tadi hanya sekilas."Bu," ucap seseorang. Suaranya gadis belia. Dan dia adalah anakku."Afni? Bangun?" tanyaku dengan senyuman."Antar ke kamar mandi dong, Bu. Afni juga mau ambil wudh
"Loh, kok Mbak-mbak bicara seperti ini? Saya kapan ganggu tetangga, ya? Siapa yang bilang?" Aku mendapat ocehan dari tetangga mengenai masalah pribadi. Dan itu menyinggung statusku sebagai seorang istri yang sebentar lagi akan menjadi janda.Tiba-tiba ada Mbak Uri datang. "Iya, saya saksinya. Kamu godain suami saya. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri."Degh!Kedua bola mataku terbelalak. "Apa? Mbak Uri jangan asal tuduh saya ya, Mbak!" Kuelus dada beberapa kali setelah mengeluarkan nada tinggi."Ada apa, Han?" Ibu menghampiri kami di depan pintu. Ia nampak heran dan tak tahu apapun. Untungnya Afni masih di dalam."Ini, Bu, anak Ibu kemarin godain suami saya. Saya saksinya. Terus anak Ibu juga godain mas Ipul, suami mbak Emi. Saya lihat kemarin." Apa yang di katakan oleh mereka jelas-jelas fitnah. Sama sekali aku tidak pernah menganggu suami mereka."Masya Allah, anak saya bukan wanita seperti itu, Bu-ibu, jangan asal tuduh saja." Ibu membelaku. Wajahnya mengiba.Ada dua orang
"Maaf ya, Mas Dadang. Memang kapan saya naik ojek Mas Dadang? Bukannya Mas Dadang tukang ojek pasar, hah? Dan kapan saya ke pasar?" Emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Mas Dadang kini kutatap dengan nanar. Entah dia di bayar oleh siapa untuk bicara padaku seperti barusan."Alah, jangan pura-pura. Kemarin 'kan kamu minta saya anterin. Kita tak sengaja bertemu di jalan." Mas Dadang makin menggali kebohongannya."Tuh, kan? Apa saya bilang Bu-Ibu! Bisa-bisa suami kalian jadi santapan, nih!" cungur Mbak Uri menyayat tajam hati ini. Kepalaku hanya menggeleng-geleng."Ya ampun, jaga ucapan kalian." Ibu pun kedengarannya emosi sekali. "Kalian bisa saja di bawa ke jalur hukum kalau bicara tanpa bukti." Ibu kembali menekan mereka.Nampak Mbak Uri dan Bang Dadang merasa menang dan angkuh. Aku jadi makin curiga kalau ada seseorang yang menyuruh mereka menghujat dan memitnahku. 'Hemh, awas saja kalian.'"Bener gak Bang Dadang di gangguin Hanah?" Ibu-ibu yang sepertinya meragukan angkat bicara dan me
"Waktu itu kapan?" tembalku menatap tegas wajah pria tukang bohong itu. Dia malah diam."Kapan saya ke pasar? Belakangan ini saya gak pernah ke pasar. Coba yang jelas Bang Dadang bicaranya. Kalau gak jelas, saya bisa laporkan ini ke pengacara saya. Kalian bisa di tuntut, loh. Kalian mau?"Mereka memang tahu perihal pengacarku di saat perseteruan kemarin dengan ibu mertua. Para tetangga berhamburan. Tak terkecuali Mbak Uri, aku melihatnya ia datang menyaksikan. Kalau soal percekcokan 'kan paling utama. Mbak Uri dan Bang Dadang malah saling menatap menyembunyikan sesuatu."Awas ya, Bang, Mbak, kalau bicara kayak gini, pengacara saya akan datang dan usut kasus ini. Bisa-bisa kalian di hukum selama sepuluh tahun lebih. ATAS PENCEMARAN NAMA BAIK," jelasku penuh penekanan di akhir. Mereka berdua makin gelagapan. Tak jelas sekali."Iya, anak saya ini orang baik-baik. Kalian jangan asal bicara tanpa bukti. Lagipula, yang keganjenan juga siapa. Yang bicara juga keganjenan." Ibu kembali emosi.
Dua bulan kemudian."Kamu pasti bangga sudah menjadi janda. Biar kamu bisa bebas. Kamu bisa bebas kelayapan dan jadi kembang jalan!" Sungut Mas Jimy memulai pembicaraan. Kami kini sudah resmi bercerai talak tiga. Baru saja sidang perceraian kami usai. Aku datang bersama Pak Satria dan juga Ibu. Sedangkan Mas Jimy datang bersama Ibu mertua, Tika, Mas Yanto dan Mbak Anggi. Satu rombongan. Posisi kami saat ini sudah berada di luar arena sidang, sedangkan Pak Satria masih ada di dalam urus-urus."Kalau saja sikap kamu tak seperti ini, Mas, dan kalau saja kamu bukan laki-laki kasar tukang selingkuh, mungkin kita tak akan pernah berpisah. Tapi keadaan ini mengubah takdir kita. Tak ada hak kamu bicara yang enggak-enggak mengenai aku. Kita sudah bukan siapa-siapa lagi. Hubungan kamu hanya dengan Afni. Bukan denganku." Aku angkat bicara.Mereka semua memandangku dengan sinis. Apalagi setelah mereka terima kalau hak asuh Afni jatuh ke tanganku. Dan aku juga dapat bagian harta gono-gini dari ru
"Silahkan, Bu, Mbak Hanah, saya antar kalian ke rumah." Pak Satria tiba-tiba mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam mobilnya. Ibu dan aku saling menatap.Seketika aku menolak karena tak enak hati. "Tidak usah, Pak Satria, saya sama Ibu bisa pulang naik kendaraan umum. Saya sangat berterima kasih Bapak telah urus perceraian saya dari awal hingga kini. Bahkan, biasanya, tetangga saya urus perceraian sampai empat bulan, ini dua bulan sudah usai. Terima kasih banyak, Pak." Rasa terima kasih kusampaikan kembali. Setelah sidang usai aku juga sudah berterima kasih, tapi belum begitu afdol.Ia tersenyum. "Sebenarnya proses perceraian itu memang tidak selama itu. Hanya ... kadang berkas kita tertumpuk dan begitulah, intinya saya sudah lakukan semaksimal mungkin. Maaf bukan saya mendukung perceraian Mbak Hanah dan suaminya, tapi ... dengan sikap dan sifat suami Mbak Hanah, saya seakan harus membantu melepaskan wanita dari kekerasan dalam rumah tangga." Ia dengan lembut dan santun bicara."Ter
Aku lumayan kaget saat Pak Satria bersedia mengantar kami sampai ke depan rumah. "Tapi lebih baik di sini saja, Pak. Kami tinggal jalan kaki saja sedikit."Tapi Pak Satria tak menggubris permintaanku. "Santai saja. Gak jauh ini, kok. Lagain masak saya nolong orang setengah-setengah sih."Rasa tak enak hati kembali muncul. "Bapak itu orang sibuk, Pak. Kalau Bapak antar saya sama Ibu, waktu Bapak tersita banyak."Dia terus fokus menyetir sambil tersenyum. "Enggak, saya gak terlalu sibuk. Setelah ini saya juga mau ke rumah, kok. Saya mau pulang." Kini kami sudah masuk jalan besar menuju rumah. "Ya sudah kalau Bapak tak keberatan. Makasih banyak ya, Pak." Ia pun mengangguk-angguk santai sambil menyemai senyuman.Tak lama setelah itu akhirnya mobil yang kami tumpangi sudah sampai di dekat rumah. Tidak bisa sampai ke depan, hanya sampai ke pinggir saja."Nak Satria masuk dulu ke rumah. Ibu nanti buatkan teh lagi. Kebetulan kemarin pagi baru Ibu petik." Setelah keluar dari mobil Ibu mengaj