"Kapan terakhir kali kamu haid?"
Ummu Hilza menanyaiku yang baru saja menyudahi sarapan. Mendadak aku gugup mendengarnya, dengan lirih suaraku menyahut, "Tanggal 26 bulan Agustus lalu, Ummu." Helaan napas Ummu Hilza terdengar. Wanita itu menyusun wadah sisa makanku, lalu pergi keluar dari ruangan tanpa berkata sepatah katapun.
Setelah ditinggal sendiri lagi di kamar megah ini, aku langsung merasa kesepian. Sudah sebulan lamanya aku terkurung di ruangan ini. Kamar yang ada di ujung bangunan rumah, yang jauh dari peradaban depan yang biasanya dikumpuli orang-orang.
Sebulan yang lalu Tuan Harraz menalakku. Sesuai aturan agama yang diterapkan di keluarga besarnya, sebelum meninggalkan rumah suamiku dan benar-benar menjadi mantan istrinya, aku yang sudah berhubungan berkali-kali dengannya selama menikah harus menjalani masa iddah.
Ummu Halsa bilang, aku akan dipersilahkan pergi setelah menyudahi tiga kali masa suci. Tapi sudah sebulan lebih aku di sini sebagai istri yang tengah menyelesaikan masa iddah, haid pertamaku belum kunjung datang. Membuatku sedikit gugup, takut ada anugerah di ambang perpisahan kami.
Karena jujur saja, lepas dari Tuan Harraz, pergi dari rumah ini sebagai wanita yang bebas dari jeratannya adalah impianku setelah lima tahun menjadi istrinya.
Jika aku hamil, masa iddah itu kata Ummu Hilza akan diperpanjang sampai aku melahirkan. Bagiku itu ide yang buruk, karena aku tidak mau berlama-lama di sini.
Apalagi Ummu Hilza juga mengatakan, hak rujuk ada di bibir Tuan Harraz. Selagi masa iddah-ku belum usai, lelaki itu bisa merujukku kapan saja untuk sah kembali menjadi istrinya. Dan impianku untuk terpisah darinya benar-benar pupus. Tapi kuharap Tuan Harraz teguh pada pendiriannya dan tidak berubah pikiran untuk merujukku. Demi Tuhan, aku sangat ingin lari dari sini.
"Apa kamu pernah merasa tidak enak badan, Talita?" Ummu Hilza kembali lagi dan menanyaiku. Dengan anggukan ragu aku mengiakan, akhir-akhir ini aku memang sering merasa mual dan tidak enak badan. Karena tidak mau berpikir yang aneh-aneh, kukira aku masuk angin dan hanya mengusapkan minyak kayu putih ke perut.
"Sudah pernah kujelaskan sebelumnya 'kan?" Ummu Hilza bertanya yang kuiyakan lagi. "Ini ambil," wanita itu menyerahkan sebuah test phack untukku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar, karena takut dengan apa yang sama-sama terbersit di kepala kami.
"Coba periksa dulu, aku juga menakuti apa yang kamu takutkan Talita."
Aku patuh dan masuk ke dalam kamar mandi. Hasilnya membuatku shock. Ummu Hilza yang terlalu lama menunggu di luar menyusulku masuk dan sama shocknya.
"A-aku hamil ...." bisikku frustrasi. Impianku untuk cepat terbebas dari sini pupus sudah. Masa iddahku diperpanjang, aku harus melahirkan bayi ini dan sampai itu terjadi, aku takut karena bayi ini Tuan Harraz mengurungkan niatnya untuk menceraikanku.
"Aku harus memberitahukan ini pada Tuan Harraz Talita," Ummu Hilza berujar merasa bersalah, membuatku gelagapan.
"T-tidak, Ummu. Jangan beritahu dia. Aku tidak mau terpenjara lebih lama di sini. Aku ingin terbebaskan dari Tuan Harraz sesegera mungkin. Bagaimana jika nanti dia urung melepaskanku? Aku tidak mau menjadi istrinya lagi, Ummu."
Ummu Hilza yang masih terlihat sama merasa bersalahnya mengurai cekraman tanganku dari lengannya. Wanita itu mengusap rambut halusku, "Maaf, Talita. Aku sudah diamanahkan untuk melakukan ini. Memberitahukan sedetail mungkin tentangmu pada Tuan Harraz dan tidak menyembunyikan apapun selama proses masa iddahmu. Apalagi kehamilanmu."
Aku gagal membujuk wanita itu. Ummu Hilza mengabaikanku yang menangis dan meninggalkanku sendirian di kamar. Aku merutuki kehamilanku di atas kasur raksasa yang indah. Kupukul-pukul sendiri perutku yang berisi.
Lima tahun lamanya kami dulu menikah, kenapa bayi kecil ini harus hadir di saat-saat yang seperti ini? Bukan aku membenci anugerah, tapi jika nyawa baru hadir di saat aku tengah menantikan sebuah kebebasan, kusebut ini petaka!
"Dia di dalam?" Suara bariton yang amat kukenal, terdengar dari luar.
"Iya Tuan," suara Ummu Hilza menjawab membuatku gemetar.
Pintu kamarku akhirnya terbuka. Aku menyesal tidak sempat mengunci benda itu sebelumnya. Di ambang pintu, kudapati Tuan Harraz berdiri tegap. Lelaki itu menatapku dingin dalam diam, lalu berjalan mendekat.
"Kamu hamil?" Padahal dia sendiri sudah tahu jawabannya, Tuan Harraz tetap bertanya. Aku mengiakan pertanyaan lelaki itu, membuat helaan napas kasarnya terdengar.
"Apa keputusanmu, Harraz?" Harraz Ilham Ghazalah menoleh pada sepupunya yang menanyai. Aku gugup menantikan jawaban lelaki itu.
"Maksudmu?" Tuan Harraz balas bertanya pada Fauzan.
Fauzan dengan bibir terkatup rapat melirik kami berdua, "Maksudku, setelah mengetahui kehamilan Talita, bukankah lebih baik kamu merujuknya? Kalian tidak hanya berdua saja sekarang, kalian sudah bertiga. Dan setiap anak pasti mengharapkan keutuhan rumah tangga orangtuanya, bukan?"
Raut Tuan Harraz menjadi dingin setelah mendengar jawaban Fauzan sepupunya. Mendadak aku grogi jika lelaki itu setuju.
Perkataan Tuan Fauzan memang ada benarnya, tapi aku yakin anakku bisa kubesarkan sendiri tanpa seorang Ayah. Sekalipun Tuan Harraz yang menginginkan hak asuhnya, anakku masih bisa bahagia dengan ibu yang lain, asal wanita baru yang mungkin akan Tuan Harraz nikahi suatu hari setelah kami benar-benar berpisah adalah perempuan yang baik.
"Tak ada getaran hati yang ingin melontarkan kata rujuk untuknya Tuan Hakim," Tuan Harraz menjawab.
Seharusnya aku bahagia, karena nyatanya aku hanya perlu menunggu lebih lama, tidak akan lagi terjebak. Tapi kalimat jujurnya entah kenapa membuatku terluka, hati ini seperti teriris-iris karena untuk ke sekian kalinya sadar ... lelaki ini tidak lagi mencintaiku. Atau memang tidak pernah mencintaiku sedari awal.
"Baiklah jika itu keputusanmu, tadinya aku berniat membantumu di pengadilan andai kamu ingin membersamai Talita lagi," Tuan Fauzan terlihat kecewa. Hati kecilku juga merasakan hal yang sama. Tuan Fauzan seakan menyadari hal itu, membuatku mati-matian mengendalikan ekspresi dan air mata agar tidak kebablasan terlihat sedih.
"Lahirkan anakku," Tuan Harraz berujar. "Setelah kelak dia lahir, kamu akan kupulangkan ke rumah orangtuamu—"
"Anda lupa Tuan, tiga tahun yang lalu ayahku meninggal. Saya yatim-piatu sekarang." Lelaki itu terdiam mendengar jawabanku. Binar penyesalan terlihat di sepasang matanya yang setajam elang.
"Maaf," sahutnya merasa bersalah. Memang tidak seharusnya seorang menantu lupa ayah mertuanya telah tiada. Karena selama kami menikah, lelaki ini memang tidak pernah memulangkanku ke kota asalku, bahkan hanya untuk sekedar bertemu Ayah. Saat Ayah meninggal saja, aku tidak bisa kemana-mana. Tanpa izinnya, aku tidak bisa pergi.
"Kalau begitu, semua biaya kehidupanmu meskipun kita sudah bercerai, masih aku yang tanggung. Akan kuberikan rumah yang berada di dekat sini, uang bulanan dan semacamnya. Hak asuh anak kita, aku yang ambil. Jika kamu tidak setuju, kita bisa rundingkan nanti jika kelak dia lahir." Rasanya memalukan jika mengiakan kesanggupan pria itu. Tapi karena aku tidak punya apa-apa, bahkan keluarga, aku hanya bisa mengangguk.
"Anggap saja, meski kelak kita bukan lagi sepasang suami-istri, sampai kamu menikah lagi atau sampai kamu dengan yakin percaya sudah mandiri, kamu itu tetap tanggungjawabku."
“Bagaimana, Ta? Apa kamu keberatan jika hak asuh anak kalian nanti diambil Tuan Harraz?” Ummu Hilza yang tengah melipati pakaianku bertanya. Tadinya aku ingin merapikan barang-barangku sendiri, tapi Ummu Hilza memaksa untuk melakukannya lalu menyuruhku untuk istirahat. Hanya karena Tuan Harraz sudah beramanah padanya agar menjagaku dan kandunganku dengan baik, wanita itu tidak membiarkanku melakukan apapun samasekali. Bahkan makanpun tidak hanya diambilkan aku juga disuapi.“Semua keputusan tentang anak ini kuserahkan padanya, asal jika aku ingin bertemu dengan buah hatiku sesekali, lelaki itu mengizinkan,” jawabku lirih sambil mengusap perut. “Kamu tidak ada niat untuk berusaha mendapatkan hak asuh?” Ummu Hilza bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar sendu.Aku menggelengkan kepala ragu, “Aku takut, jika anak ini ikut bersamaku, dia akan melarat dalam kemiskinan. Aku ingin dia hidup sejahtera, bisa sekolah tinggi dan menjadi orang hebat seperti ayah dan keluarga ayahnya.” Mendengar
“Ya Allah Lita, kok wajah kamu kusam gini, sih?” Celetukan Fatimah membuatku cemberut, gadis cantik itu menangkup gemas wajah kecilku. “Seharusnya kamu banyak dandan loh,” ujarnya. “Biar Mas Harraz terpesona dan merujukmu lagi.” Mendengar sarannya aku bergidik tidak suka. Jika aku benar-benar melakukannya, rasanya tidak benar. Kenapa aku harus sengaja menggoda pria, yang sudah bulat memutuskan untuk menceraikanku? Entah kenapa Fatimah berkata seperti itu. “Kalau aku gitu, malah kedengarannya nggak tahu diri ‘kan?” Mendengar pertanyaanku Fatimah terbahak, “Nggak gitu, dong. Malah sunnahnya seorang istri yang tengah menjalani masa iddah karena ditalak suaminya untuk banyak bersolek, agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan merujuk istrinya lagi. Kamu tahu sendiri ‘kan Allah membenci perceraian.” Aku ber-ah setelah Fatimah menjelaskan. Wanita itu kini sibuk menyiapkan alat rias dan baju-baju yang bagus untukku. “Itu ‘kan, bagi istri yang masih berharap dibersamai suami
“Mulai malam ini, hanya makan malam saja kamu tidak boleh lagi makan di kamar, Lita. Tuan Harraz memintamu untuk makan malam di luar bersamanya.” Mataku membulat sempurna mendengar perkataan Ummu Hilza. Tubuhku yang tadi rileks mendadak tidak nyaman, Ummu Hilza yang lagi-lagi terlihat merasa bersalah memintaku untuk mencuci muka, mengganti pakaian dan sedikit berdandan. Aku ingin menolak, tapi sepasang mata Ummu Hilza yang redup sudah memberitahuku, kalau aku sama sekali tidak bisa menolak perintah tersebut. Aku ke kamar mandi sibuk mencuci muka agar lebih bersih, Ummu Hilza yang masih di kamarku tengah menyiapkan gaun dan hijab bagus untuk kupakai. “Pakai ini.” Saat aku keluar dari kamar mandi, Ummu Hilza menunjukkan sebuah gaun cerah padaku.“Kenapa aku harus memakai gaun yang paling dia sukai, Ummu?” Tanyaku setelah merasa familier dengan gaun yang wanita itu berikan. Tidak menarik kembali sodorannya, Ummu Hilza tetap memberikannya padaku, “Pakai saja. Agar saat memandangmu, bi
"Jadi apapun yang terjadi, sekalipun keluarga Ghazalah memaksa Tuan untuk merujukku, Tuan tetap tidak akan merujukku?"Aktivitas makan Tuan Harraz terhenti saat aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan.Tuan Harraz seakan kehilangan selera makan. Lelaki itu terlihat enggan untuk menghabiskan isi piringnya yang beberapa detik yang lalu dimakannya dengan lahap."Ya."Sambil mengangguk, lelaki itu menyahut singkat."Baguslah kalau begitu Tuan," dengan senyum getir aku melanjutkan makan malamku. Lelaki yang duduk berseberangan denganku itu terlihat tersinggung saat aku fokus sendiri dan mengabaikannya."Aku salat istikharah setiap malam semenjak menalakmu." Kunyahanku tidak sampai ke kerongkongan saat Tuan Harraz berkata seperti itu."Aku hanya berusaha meyakinkan hati," hembusan napas lelaki itu terdengar berat. "Tapi jawaban yang kudapatkan selalu bertentangan dengan apa yang sudah kuputuskan.""Apa yang kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.Tuan Harraz uru
Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain. Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. "Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. "Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. "Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. "Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak b
Kepala lelaki itu tertunduk, di depan Paman Adam Tuan Harraz terlihat begitu menghormati. Seakan menatap balik mata pamannya, diharamkan oleh lelaki itu. “Talita adalah perempuan baik, Raz. Dia sempurna untukmu, seharusnya kamu pertimbangkan hal itu. Jika ada satu hal yang tidak kamu sukai dari istrimu, bersabarlah, sesungguhnya Talita memiliki lebih banyak kelebihan yang bisa menyenangkan hatimu. Kamu hanya perlu bersyukur dan akan menyadari hal itu.” Tuan Harraz masih diam dengan jemari yang saling meremuk satusama lain. Tuan Harraz terlihat enggan balik bicara, karena takut terjadi adu mulut dengan orang yang lelaki itu hormati. Lain halnya jika yang mengajaknya bicara Tuan Fauzan atau Mas Nazar, perselisihan pendapat tidak bisa dihindari. Karena didiamkan keponakannya, Paman Adam menghela napas dengan kasar, “Baiklah jika memang itu keputusanmu, tapi kami tidak akan menyerah untuk meyakinkanmu sampai Talita melahirkan. Bisa katakan, kenapa kamu menalak Talita? Apa dia memiliki
Hawa dingin di tengah malam membuatku terbangun dengan tubuh berpeluh dingin. Setelah menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, aku berusaha tidur lagi. Tapi usahaku sia, mataku yang terpejam tidak bisa diajak bekerjasama dengan alam bawah sadarku. Seharusnya aku menyisihkan waktu untuk beribadah, namun entah mengapa tulang-tulang tubuh ini terasa begitu malas bangkit untuk sekedar mengambil air wudhu’ dan Tahajud. Padahal mungkin saja, bangunnya aku pukul segini adalah teguran Tuhan untuk lebih banyak beribadah padanya. Tubuhku merespon tidak nyaman saat suara kunci pintu diputar terdengar. Kukira, suara itu berasal dari ruangan sebelah, sayangnya aku salah besar! Pintu yang kubelakangi terbuka pelan, kusadari hal itu dari cahaya lampu luar yang menelusup ke dalam, sedikit menerangi kamarku yang lampunya dimatikan. Aku ingin membuka mata, tapi tidak berani setelah tercium aroma parfum yang sangat kukenali. Langkah pelannya hampir tidak terdengar, pintu yang tadi terbuka
“Kamu memanggil saya ke sini, Mas?”Diantar oleh Abimanyu aku sampai di ruangan Tuan Harraz. Tuan Harraz yang tadinya mengotak-atik laptop mengangkat kepalanya dan menatapku lekat. Aku menepuk bibir karena tidak sadar bertanya pada orang yang tidak boleh bicara. Kami bertiga saja di ruangan itu, membuatku tidak nyaman. Tanpa bicara apapun lagi, aku memindahkan tubuh ke sofa dan mendudukinya. Aku bingung sendiri bagaimana berinteraksi dengan Tuan Harraz jika lelaki itu bicara saja tidak boleh. Lewat chat ‘kah? Tulisan? Atau bagaimana? Jika begitu, seharusnya dia tidak memanggilku ke sini, hanya menyuruh Abimanyu untuk memberitahuku agar membaca dan membalas pesan-pesannya.“Kenapa diam saja?” Tuan Harraz bertanya membuatku yang tadinya hendak menyahut langsung melongo.“Bukannya Mas lagi puasa bicara?”Senyum lelaki itu terlihat samar, “Aku hanya puasa bicara pada orang lain, tidak padamu.”“Memangnya bisa begitu?” Tanyaku heran