“Mulai malam ini, hanya makan malam saja kamu tidak boleh lagi makan di kamar, Lita. Tuan Harraz memintamu untuk makan malam di luar bersamanya.” Mataku membulat sempurna mendengar perkataan Ummu Hilza.
Tubuhku yang tadi rileks mendadak tidak nyaman, Ummu Hilza yang lagi-lagi terlihat merasa bersalah memintaku untuk mencuci muka, mengganti pakaian dan sedikit berdandan. Aku ingin menolak, tapi sepasang mata Ummu Hilza yang redup sudah memberitahuku, kalau aku sama sekali tidak bisa menolak perintah tersebut.
Aku ke kamar mandi sibuk mencuci muka agar lebih bersih, Ummu Hilza yang masih di kamarku tengah menyiapkan gaun dan hijab bagus untuk kupakai.
“Pakai ini.” Saat aku keluar dari kamar mandi, Ummu Hilza menunjukkan sebuah gaun cerah padaku.
“Kenapa aku harus memakai gaun yang paling dia sukai, Ummu?” Tanyaku setelah merasa familier dengan gaun yang wanita itu berikan.
Tidak menarik kembali sodorannya, Ummu Hilza tetap memberikannya padaku, “Pakai saja. Agar saat memandangmu, bisa menjadi obat hati tersendiri untuk Tuan Harraz.”
“Apanya yang obat hati?” Sahutku sinis, melebarkan mata setelah Ummu Hilza berkata demikian, “Aku tidak mau dia berpikir aku berusaha menggodanya agar merujukku lagi. Aku pakai baju ini saja, tidak akan memalukan jika aku memakainya di depan lelaki itu.” Kukibaskan baju yang kupakai untuk menunjukkannya pada Ummu Hilza benda ini masih bagus dan layak pakai.
“Bukan itu maksudku Lita,” dengan raut tidak enak hati, Ummu Hilza berusaha menyangkal. Wanita cantik dengan paras campuran Indonesia dan Timur Tengah tersebut menyentuh lenganku. “Akhir-akhir ini Tuan Harraz suasana hatinya sedikit buruk, kamu lihat sendiri ‘kan seorang wanita bahkan ditamparnya keras tadi siang. Aku takut, saat kelak dia melihatmu hatinya tersinggung. Alangkah baiknya, jika kita menghindari resiko.”
Tidak seharusnya aku membuat wanita paruh baya itu sememelas ini padaku. Tapi hati ini tetap enggan untuk menuruti maunya. “Berdandanlah sedikit,” bujuk Ummu Hilza. “Kamu tahu sendiri Tuan Harraz orang yang tempramen, aku tidak mau kamu menjadi korban khilafnya.”
Akhirnya aku menurut. Kupakai gaun favorit Tuan Harraz yang Ummu Hilza berikan, lalu berkaca untuk sedikit mempermak wajah agar terlihat lebih baik.
“Memangnya apa yang wanita tadi siang lakukan, sehingga Tuan Harraz menamparnya?” Aku bertanya sambil terpana dengan wajahku sendiri di cermin. Aku takut melihat wajah lelaki itu lagi, yang menatapku dingin dan lekat, seakan tanpa ekspresi, dengan jakun yang naik-turun yang menandakan lelaki itu kesusahan menahan sesuatu yang memberontak gila dari dalam dirinya.
“Dia menghinamu,” Ummu Hilza menjawab dari balik punggungku. Aku menatap balik mataku yang membelalak di cermin. “Entahlah, tapi yang kutahu, saat wanita itu berkata ‘kamu mungkin pura-pura hamil agar dirujuk, tapi sayangnya tidak kesampaian’, Tuan Harraz langsung menamparnya keras. Nona Alia adalah teman masa kecilnya Tuan Harraz, yang tadi siang untuk pertamakalinya Tuan Harraz memperlakukannya dengan buruk.”
Aku membisu diam, kupakaikan segera kain hijabku ke kepala, menatanya dengan perlahan agar sesuai di wajahku.
“T-Tuan Harraz tidak pernah menamparmu juga ‘kan?” Dengan suara lembut, Ummu Hilza menanyaiku. Entah kenapa wanita itu terlihat begitu berhati-hati, seakan di matanya aku hanyalah sebuah kaca retak yang akan pecah jika lebih dilukai.
“Beberapa kali hampir pernah,” aku menjawab tenang. Ummu Hilza terlonjak tidak percaya, tapi itu kenyataannya. Selama ini, jika berhadapan lelaki itu aku selalu takut salah gerak-gerik yang akan membuatnya emosi. “Tapi selalu tidak jadi, tangannya yang terangkat langsung turun, sebagai gantinya dia menampar dirinya sendiri. Lebih keras dari yang sebelumnya lelaki itu lakukan pada Nona Alia tadi siang dan berkali-kali.”
"Memangnya apa yang kamu lakukan sehingga membuatnya marah?" Suara khawatir Ummu Hilza menanyai.
"Entahlah," jawabku sedikit meragu. "Aku selalu salah di matanya."
“Tuan Harraz mungkin sudah menunggu di meja makan,” aku menyela kalimat sendiri. Rasanya malas membahas kenangan lampauku dengan Tuan Harraz lagi pada orang lain.
Ummu Hilza mengangguk teringat, aku dituntunnya ke ruang makan. Di sana benar-benar kudapati Tuan Harraz tengah menunggu. Lelaki itu tampan malam ini, dengan setelan kemeja mahal, sepatu pantofel dan rambut sedikit acak-acakan, sepertinya baru saja pulang dari tempat kerja.
Aku tidak menyangka lelaki itu benar-benar menungguku, hidangan di meja makan yang sudah terhidang sejak setengah jam yang lalu sama sekali belum tersentuh.
Tuan Harraz mengangkat kepalanya dan melirikku, satu itu juga tubuhku gemetar dan langkahku berat. Ya Tuhan, jantungku berdebar keras saking takutnya. Aku tidak berani melontarkan salam lebih dulu, mata Tuan Harraz sudah menelitiku dari atas sampai bawah dengan mulut terkatup rapat.
“Assalamualaikum, Tu—” kalimatku terhenti melihat jakun kerongkongannya naik-turun. Gawat, aku dalam bahaya. Hal itu membuatku tidak berani mendekat.
“Duduklah,” Tuan Harraz berkata tenang. Dipersilahkannya aku untuk menempati kursi yang berseberangan darinya. Aku menghempaskan pantatku saat itu juga, Ummu Hilza memerhatikanku dengan raut khawatir. Tuan Harraz tidak kunjung menyantap makan malamnya, lelaki itu terus memandangiku sedari tadi.
“Ada wanita yang bilang mungkin saja kamu pura-pura hamil,” saat aku mulai lega tidak dipandanginya lagi, kalimat Tuan Harraz kembali membuatku tegang. Lelaki itu bicara tanpa menyentuh hidangan makan malam sama sekali, sedangkan aku sudah menyantapnya sedari tadi, karena terlalu kelaparan. Aku sudah menebak wanita mana yang lelaki itu maksud, Nyonya Hilza beberapa menit yang lalu sudah menceritakannya.
“Agar aku berubah pikiran dan merujukmu,” tambah Tuan Harraz. Mendengarnya akuhampir tersedak nasi yang kukunyah. Meski sedari awal sudah tahu itu, baru kali ini aku berdendam pada Nona Alia karena tuduhannya terulang untuk keduakali dari mulut Tuan Harraz.
“Sayangnya, tidak kulakukan. Jadi, aku tidak perduli kamu berbohong atau tidak.” Dengan santai lelaki itu menyeruput minumannya. Memberi jeda untukku bernapas sebelum lelaki itu menyerangku lagi.
“Aku tahu kamu bukan perempuan bodoh Lalita,” setelah menghabiskan segelas air putih lelaki itu menyambung dengan senyuman. “Jadi kurasa kamu tidak akan menggunakan cara picik itu."
"Jangan kecewakan keyakinanku, kamu tidak bohong 'kan?"
Antara mengiakannya dan berbohong, aku dilema. Jika aku berbohong tidak hamil, mungkin lelaki ini akan percaya?
"Atau kamu memang sengaja menipuku, agar kurujuk?"
Saat itu kusahut lantang tuduhan lelaki itu, "Tentu saja tidak! Test pack yang kutunjukkan kemaren seharusnya sudah bisa menjadi bukti yang jelas, bukan?"
"Itu saja bagi keluarga Ghazalah tidak cukup," Tuan Harraz memberitahu. Mereka terlanjur meragukan kehamilanmu. Jadi untuk meyakinkan mereka, besok akan ku datangkan dokter kandungan untuk memeriksamu langsung."
"Lagian, kalau misalnya aku memang terbukti hamil, apa yang ingin mereka lakukan?"
"Mereka ingin aku merujukmu."
Tubuhku tegang mendengar kalimat yang keluar dari bibirnya.
"Tentu saja, meski kamu hamil kembar sekalipun, aku tidak mau melakukannya."
Tatapanku berubah kosong saat Tuan Harraz dengan gamblang mengakui.
"Seharusnya sejak awal kita rahasiakan saja kehamilanmu, sayangnya keluarga Ghazalah susah ditipu." Lelaki itu menghela napas berat. Seakan bersamaku lebih lama membuatnya tersiksa. Tidak aku saja yang menderita di sini.
"Jadi apapun yang terjadi, sekalipun keluarga Ghazalah memaksa Tuan untuk merujukku, Tuan tetap tidak akan merujukku?"Aktivitas makan Tuan Harraz terhenti saat aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan.Tuan Harraz seakan kehilangan selera makan. Lelaki itu terlihat enggan untuk menghabiskan isi piringnya yang beberapa detik yang lalu dimakannya dengan lahap."Ya."Sambil mengangguk, lelaki itu menyahut singkat."Baguslah kalau begitu Tuan," dengan senyum getir aku melanjutkan makan malamku. Lelaki yang duduk berseberangan denganku itu terlihat tersinggung saat aku fokus sendiri dan mengabaikannya."Aku salat istikharah setiap malam semenjak menalakmu." Kunyahanku tidak sampai ke kerongkongan saat Tuan Harraz berkata seperti itu."Aku hanya berusaha meyakinkan hati," hembusan napas lelaki itu terdengar berat. "Tapi jawaban yang kudapatkan selalu bertentangan dengan apa yang sudah kuputuskan.""Apa yang kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.Tuan Harraz uru
Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain. Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. "Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. "Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. "Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. "Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak b
Kepala lelaki itu tertunduk, di depan Paman Adam Tuan Harraz terlihat begitu menghormati. Seakan menatap balik mata pamannya, diharamkan oleh lelaki itu. “Talita adalah perempuan baik, Raz. Dia sempurna untukmu, seharusnya kamu pertimbangkan hal itu. Jika ada satu hal yang tidak kamu sukai dari istrimu, bersabarlah, sesungguhnya Talita memiliki lebih banyak kelebihan yang bisa menyenangkan hatimu. Kamu hanya perlu bersyukur dan akan menyadari hal itu.” Tuan Harraz masih diam dengan jemari yang saling meremuk satusama lain. Tuan Harraz terlihat enggan balik bicara, karena takut terjadi adu mulut dengan orang yang lelaki itu hormati. Lain halnya jika yang mengajaknya bicara Tuan Fauzan atau Mas Nazar, perselisihan pendapat tidak bisa dihindari. Karena didiamkan keponakannya, Paman Adam menghela napas dengan kasar, “Baiklah jika memang itu keputusanmu, tapi kami tidak akan menyerah untuk meyakinkanmu sampai Talita melahirkan. Bisa katakan, kenapa kamu menalak Talita? Apa dia memiliki
Hawa dingin di tengah malam membuatku terbangun dengan tubuh berpeluh dingin. Setelah menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, aku berusaha tidur lagi. Tapi usahaku sia, mataku yang terpejam tidak bisa diajak bekerjasama dengan alam bawah sadarku. Seharusnya aku menyisihkan waktu untuk beribadah, namun entah mengapa tulang-tulang tubuh ini terasa begitu malas bangkit untuk sekedar mengambil air wudhu’ dan Tahajud. Padahal mungkin saja, bangunnya aku pukul segini adalah teguran Tuhan untuk lebih banyak beribadah padanya. Tubuhku merespon tidak nyaman saat suara kunci pintu diputar terdengar. Kukira, suara itu berasal dari ruangan sebelah, sayangnya aku salah besar! Pintu yang kubelakangi terbuka pelan, kusadari hal itu dari cahaya lampu luar yang menelusup ke dalam, sedikit menerangi kamarku yang lampunya dimatikan. Aku ingin membuka mata, tapi tidak berani setelah tercium aroma parfum yang sangat kukenali. Langkah pelannya hampir tidak terdengar, pintu yang tadi terbuka
“Kamu memanggil saya ke sini, Mas?”Diantar oleh Abimanyu aku sampai di ruangan Tuan Harraz. Tuan Harraz yang tadinya mengotak-atik laptop mengangkat kepalanya dan menatapku lekat. Aku menepuk bibir karena tidak sadar bertanya pada orang yang tidak boleh bicara. Kami bertiga saja di ruangan itu, membuatku tidak nyaman. Tanpa bicara apapun lagi, aku memindahkan tubuh ke sofa dan mendudukinya. Aku bingung sendiri bagaimana berinteraksi dengan Tuan Harraz jika lelaki itu bicara saja tidak boleh. Lewat chat ‘kah? Tulisan? Atau bagaimana? Jika begitu, seharusnya dia tidak memanggilku ke sini, hanya menyuruh Abimanyu untuk memberitahuku agar membaca dan membalas pesan-pesannya.“Kenapa diam saja?” Tuan Harraz bertanya membuatku yang tadinya hendak menyahut langsung melongo.“Bukannya Mas lagi puasa bicara?”Senyum lelaki itu terlihat samar, “Aku hanya puasa bicara pada orang lain, tidak padamu.”“Memangnya bisa begitu?” Tanyaku heran
“Menikahlah denganku,” ajakannya saat itu masih tersemat jelas di kepala.Dimana lelaki itu berdiri tepat di depanku dengan mata yang menatap sedingin es dan bibir yang tak tersenyum samasekali.“Akan kuberikan segalanya. Semaumu. Sesukamu. Demi Allah, hidupmu ratusan kali lipat akan lebih baik dari ini.”“Tidak Tuan, maaf ….” Saat mendengar ajakan tersebut dan menolaknya, aku benar-benar ketakutan. Saat dagu lelaki itu terangkat angkuh ke atas, kepalaku tertunduk ke bawah.Sekaya apapun dia, serupawan apapun Harraz Ilham Ghazalah, aku tidak mau menerimanya. Aku membenci lelaki itu. Sangat, demi Tuhan. Dia adalah tipe lelaki yang paling kuhindari, ramah tanpa senyum, ringan tangan pada orang yang melakukan sebuah kesalahan sedikit saja dan bermulut tajam. Pencuri kecil yang terpaksa menyelinap masuk ke rumahnya hanya karena terdesak situasi saja habis di tangannya, bagaimana denganku jika menikahi lelaki kasar seperti itu? Aku
Rasanya aku ingin lari dari sini. Bersembunyi di ruang tersempit yang ada di rumah, saat harus dipaksa makan di satu meja yang sama dengan Tuan Harraz dan Lia. Lia datang sore tadi, terlanjur malam dia makan malam terlebih dahulu sebelum pulang. Abimanyu sendiri yang menawarkannya, yang tentu saja ajakan tersebut pasti keluar dari mulut Tuan Harraz.“Sayang sekali ya Raz, padahal kita udah ketemu loh, banyak hal yang mau kuomongin sama kamu, kamu malah puasa bicara. Nggak seru ah,” seru Lia dengan tawa bahagia. Tuan Harraz memasang ekspresi andalannya, terlihat tidak perduli, menolehpun tidak.Aku benar-benar kehilangan selera makan, Ummu Hilza sampai-sampai khawatir melihatku hanya makan beberapa suap dan setelah itu melamun. Tiba-tiba firasatku buruk, benar saja saat aku mengangkat kepala Tuan Harraz tengah menatapku lekat. Aku menggaruk tengkuk tidak nyaman, lalu berusaha memasukkan beberapa suap lagi.Tidak t
"Jawaban Allah selalu sama,” jemarinya yang menyentuh rahangku menusuk dalam di kulit. Suara Tuan Harraz terdengar frustrasi. “Hampir 99 kali berturut-turut jawabannya tidak berubah. A-aku mencintaimu, Talita. Sangat mencintaimu. Saat aku berusaha menyangkalnya, Allah tetap meyakinkanku.” Keningnya sudah mendarat erat di keningku. Aku gemetar di sisinya, Tuan Harraz tidak kusangka akan mengatakan itu semua.Ketika menyatakan cinta, seseorang seharusnya gugup dan bahagia. Dia berbeda, Tuan Harraz terdengar marah dan frustrasi.“Selama ini aku selalu berusaha menyangkal kalau aku cinta mati padamu, yang rasanya membuatku gila sendiri, tapi Allah menuntunku untuk menyadari apa yang sebenarnya kurasakan sejak melihatmu untuk pertama kali sampai sekarang.”“Tapi Talita, rasanya sakit. Aku menolak mencintaimu, karena rasanya sakit. Tidak ada orang yang mau mempertahankan rasa sakit ….&rdq