"Jadi apapun yang terjadi, sekalipun keluarga Ghazalah memaksa Tuan untuk merujukku, Tuan tetap tidak akan merujukku?"
Aktivitas makan Tuan Harraz terhenti saat aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan.
Tuan Harraz seakan kehilangan selera makan. Lelaki itu terlihat enggan untuk menghabiskan isi piringnya yang beberapa detik yang lalu dimakannya dengan lahap.
"Ya."
Sambil mengangguk, lelaki itu menyahut singkat.
"Baguslah kalau begitu Tuan," dengan senyum getir aku melanjutkan makan malamku. Lelaki yang duduk berseberangan denganku itu terlihat tersinggung saat aku fokus sendiri dan mengabaikannya.
"Aku salat istikharah setiap malam semenjak menalakmu." Kunyahanku tidak sampai ke kerongkongan saat Tuan Harraz berkata seperti itu.
"Aku hanya berusaha meyakinkan hati," hembusan napas lelaki itu terdengar berat. "Tapi jawaban yang kudapatkan selalu bertentangan dengan apa yang sudah kuputuskan."
"Apa yang kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.
Tuan Harraz urung menjawab. Lelaki itu terlihat seperti tidak ingin membahasnya. "Tak usah dibahas," Tuan Harraz menyudahi pembicaraan begitu saja.
"Apa yang harus kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku terus dan berulang.
Lelaki itu kesal mendapatiku yang keras kepala bertanya.
Jakun Tuan Harraz naik-turun, lelaki itu membekukan tubuhku dengan jawabannya, "Perasaanku padamu."
***
"Tak perlu diragukan lagi Raz, Talita benar-benar tengah mengandung."
Kamarku riuh oleh panjatan puji syukur saat Dr. Leo menjelaskan.
Di antara wajah-wajah bahagia yang kudapati, hanya Tuan Harraz yang nampak biasa saja.
"Harraz, sebaiknya kita bicara." Tuan Harraz menoleh saat kakak sulungnya menyentuh bahunya. Tuan Harraz terlihat keberatan saat diajak bicara empat mata. Karena Mas Nazar melotot, lelaki itu terpaksa menurut.
"Sejak kapan Mas Nazar sudah ada di sini?" Gumamku pada Ummu Hilza yang duduk di sebelahku.
"Tadi Subuh," aku manggut-manggut mendengar jawaban Ummu Hilza, sambil menatap sepasang anak kembar lucu yang tengah bergelayutan di gamis istri Mas Nazar. Kedua keponakan Tuan Harraz dari Mas Nazar tersebut menjadi suara utama yang membisingi kamar ini sejak tadi.
"Aneh," Dr. Leo yang mendengar pembicaraan kami nyeletuk. Dia tengah mengemasi barang-barangnya untuk pulang setelah memastikan isi perutku benar-benar berisi. "Kamu manggil kakaknya 'Mas', suamimu sendiri--maksudku calon mantan suamimu--kamu panggil 'Tuan', rasanya janggal 'kan?" Lelaki itu menatapku heran.
"Mas Nazar yang memintaku memanggilnya 'Mas' setelah aku menikahi adiknya dulu," jawabku menatap balik pria tinggi yang memakai setelan kemeja maskulin tersebut. Sejak dulu Dr. Leo kemana-mana memang selalu berpenampilan seperti orang pada umumnya, entah kenapa lelaki itu tidak bangga saat memakai jas dokter miliknya.
"Lalu, kenapa ke Harraz kamu tidak memanggilnya 'Mas' juga? Selalu saja dengan sebutan tuan, seakan kalian pelayan dan majikan."
"Sebelum menikah dulu, kami memang bawahan dan majikan," kepalaku mengangguk.
"Tuan Harraz pemilik rumah ini dan aku wanita yang dibayarnya untuk mengambil kerja paruh waktu untuk mengurus ponakan-ponakannya sambil mengajari mereka mengaji selagi aku masih kuliah dulu," jelasku, membenarkan tuduhan Leo sebelumnya.
Dr. Leo terperangah, meski sudah dijelaskan, lelaki itu masih terlihat tidak terima, "Tapi itu 'kan dulu sebelum kamu dinikahi, kenapa tidak ganti saja sebutanmu itu? Aneh jika terdengar di telinga."
"Aku terlanjur terbiasa, apalagi orang-orang di sekitarku memanggil Tuan Harraz dengan sebutan yang sama. Seperti Ummu Hilza, pelayan-pelayan lain dan kadang para tetangga juga memanggilnya 'Tuan'," jelasku lagi, membuat Leo kesal karena aku suka sekali beralasan.
"Memangnya Harraz tidak pernah memintamu memanggilnya 'Mas' saja, atau sebutan lain, seperti sayang dan semacamnya, gitu?" Aku terdiam sebentar untuk mengingat-ngingat.
"Dia tidak pernah memintanya secara langsung seperti Mas Nazar, tapi Tuan Harraz pernah menyebut dirinya sendiri 'Mas' sekali, tapi setelah itu tidak pernah lagi."
"Nah," Dr. Leo berseru gemas, "Sepertinya dia mengharapkanmu memanggilnya dengan sebutan yang sama. Masa' kamu tidak sadar itu kode, meski tidak dijelaskannya secara langsung, sih?"
"Coba nanti kamu panggil dia 'Mas'. Meski status kalian sudah di ambang perpisahan seperti ini, coba saja. Itung-itung menambahi kenangan," Dr. Leo berkata setengah memaksa. Aku ragu untuk menyetujuinya, tapi lelaki itu tidak akan menyerah menerorku sebelum aku menganggukkan kepala tanda menyetujui.
"Iya, akan kucoba." Aku terpaksa menyetujui saran Leo. Lelaki itu terlihat senang saat aku menuruti maunya.
***
"Dasar anak itu," keluh Mas Nazar saat kembali. Aku yang tengah memandangi Hasan dan Husain membaca Al-Qur'an dengan lancar dari kamar sebelah menoleh penasaran, menatap ke arah Mas Nazar yang mengeluh gemas pada istrinya.
"Isi kepalanya tidak bisa kupahami, apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan dan kenapa dia bisa begitu keras kepala?" Mas Nazar sedikit tenang saat istrinya mengusap lembut kedua bahu kokohnya.
Meski begitu, Mas Nazar masih melanjutkan omelannya pada sang adik yang entah ada dimana sekarang, "Apa salahnya merujuk Talita? Toh, Talita terbukti mengandung anaknya sekarang. Masa' dia ingin anak-anaknya tumbuh besar tanpa seorang Ibu? Memangnya apa yang salah dari Talita?"
Emosi Mas Nazar yang hampir melambung lagi karena membicarakan lelaki itu kembali turun setelah dipeluk istrinya lagi.
"Sejak dulu, si Harraz itu memang tidak bisa dimengerti," sambung Mas Nazar sambil mengusap lengan wanita yang mengungkungnya. "Tadi saat kuajak dia bicara untuk merujuk Talita kembali, lelaki itu dengan soknya menjawab semalam istikharah terakhirnya berhasil membuatnya yakin dengan keputusan yang lelaki itu ambil. Cih, dulu dia bersikeras sekali menikahi Talita, sekarang malah menalaknya tanpa memberitahu kenapa lelaki itu melakukannya."
"Tante kenapa?" Tanya Husain saat mendapati wajahku sendu.
Mas Nazar yang tidak sengaja membocorkan semuanya ke telingaku, membuat dadaku sakit. Kugelengkan kepala untuk menjawabi pertanyaan Husain. "Nggak pa-pa. Yuk, dibaca lagi. Bacaan tajwid kamu hampir sempurna, loh," ajakku dengan suara riang sambil mengacak rambutnya yang keriting.
"Mama bilang, kalau kita sedih, kita harus sering-sering ayat surat ini," seakan peka aku berbohong Husain membuka lembaran kitab Al-Qur'an dan menunjukkannya padaku.
"Tante nggak lagi sedih kok," sangkalku sengaja berbohong.
"Tante lagi hamil 'kan?" Husain bertanya lagi. Sedangkan Hasan sejak tadi terus memerhatikan interaksi di antara kami berdua. Husain memang lebih aktif daripada kakak kembarnya yang pendiam sejak dulu.
"Kalau begitu, kita baca yang ini aja," Husain membuka surah Yusuf. "Jika Tante pengennya anak lelaki tampan nan saleh yang mirip dengan Paman Harraz."
"Atau surah Maryam," Husain dengan semangat menunjukkan lembaran-lembaran yang baru. "Yang bercerita mengenai perjuangan Siti Maryam saat melahirkan Nabi Isa AS, sejak dari proses persalinannya hingga doa-doa yang dipanjatkan. Surah ini juga diyakini merupakan salah satu doa bagi ibu hamil agar dimudahkan dalam proses persalinan. Selain itu, surah Maryam juga terdapat doa agar kelak anak bisa berbakti kepada orang tuanya."
"Terimakasih sudah memberitahu Tante," balasku dengan senyum haru. Meski dulu aku yang mengajarinya Iqra' dan mengaji, pengetahuan agamaku kalah jauh dari kedua bocah ini, apalagi anggota keluarga Ghazalah yang lain.
Aku ingat sindiran pelayan beberapa tahun yang lalu saat aku datang ke rumah ini sebagai pengasuh paruh waktu sekaligus guru ngaji untuk Hasan dan Husain, termasuk keponakan-keponakan Tuan Harraz yang lain.
Mereka bilang, seharusnya yang mendidik dan membersamai mereka adalah orang yang pengetahuan agamanya lebih luas, tidak hanya sekedar berhijab dan bisa membaca Al-Qur'an sepertiku.
Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain. Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. "Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. "Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. "Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. "Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak b
Kepala lelaki itu tertunduk, di depan Paman Adam Tuan Harraz terlihat begitu menghormati. Seakan menatap balik mata pamannya, diharamkan oleh lelaki itu. “Talita adalah perempuan baik, Raz. Dia sempurna untukmu, seharusnya kamu pertimbangkan hal itu. Jika ada satu hal yang tidak kamu sukai dari istrimu, bersabarlah, sesungguhnya Talita memiliki lebih banyak kelebihan yang bisa menyenangkan hatimu. Kamu hanya perlu bersyukur dan akan menyadari hal itu.” Tuan Harraz masih diam dengan jemari yang saling meremuk satusama lain. Tuan Harraz terlihat enggan balik bicara, karena takut terjadi adu mulut dengan orang yang lelaki itu hormati. Lain halnya jika yang mengajaknya bicara Tuan Fauzan atau Mas Nazar, perselisihan pendapat tidak bisa dihindari. Karena didiamkan keponakannya, Paman Adam menghela napas dengan kasar, “Baiklah jika memang itu keputusanmu, tapi kami tidak akan menyerah untuk meyakinkanmu sampai Talita melahirkan. Bisa katakan, kenapa kamu menalak Talita? Apa dia memiliki
Hawa dingin di tengah malam membuatku terbangun dengan tubuh berpeluh dingin. Setelah menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, aku berusaha tidur lagi. Tapi usahaku sia, mataku yang terpejam tidak bisa diajak bekerjasama dengan alam bawah sadarku. Seharusnya aku menyisihkan waktu untuk beribadah, namun entah mengapa tulang-tulang tubuh ini terasa begitu malas bangkit untuk sekedar mengambil air wudhu’ dan Tahajud. Padahal mungkin saja, bangunnya aku pukul segini adalah teguran Tuhan untuk lebih banyak beribadah padanya. Tubuhku merespon tidak nyaman saat suara kunci pintu diputar terdengar. Kukira, suara itu berasal dari ruangan sebelah, sayangnya aku salah besar! Pintu yang kubelakangi terbuka pelan, kusadari hal itu dari cahaya lampu luar yang menelusup ke dalam, sedikit menerangi kamarku yang lampunya dimatikan. Aku ingin membuka mata, tapi tidak berani setelah tercium aroma parfum yang sangat kukenali. Langkah pelannya hampir tidak terdengar, pintu yang tadi terbuka
“Kamu memanggil saya ke sini, Mas?”Diantar oleh Abimanyu aku sampai di ruangan Tuan Harraz. Tuan Harraz yang tadinya mengotak-atik laptop mengangkat kepalanya dan menatapku lekat. Aku menepuk bibir karena tidak sadar bertanya pada orang yang tidak boleh bicara. Kami bertiga saja di ruangan itu, membuatku tidak nyaman. Tanpa bicara apapun lagi, aku memindahkan tubuh ke sofa dan mendudukinya. Aku bingung sendiri bagaimana berinteraksi dengan Tuan Harraz jika lelaki itu bicara saja tidak boleh. Lewat chat ‘kah? Tulisan? Atau bagaimana? Jika begitu, seharusnya dia tidak memanggilku ke sini, hanya menyuruh Abimanyu untuk memberitahuku agar membaca dan membalas pesan-pesannya.“Kenapa diam saja?” Tuan Harraz bertanya membuatku yang tadinya hendak menyahut langsung melongo.“Bukannya Mas lagi puasa bicara?”Senyum lelaki itu terlihat samar, “Aku hanya puasa bicara pada orang lain, tidak padamu.”“Memangnya bisa begitu?” Tanyaku heran
“Menikahlah denganku,” ajakannya saat itu masih tersemat jelas di kepala.Dimana lelaki itu berdiri tepat di depanku dengan mata yang menatap sedingin es dan bibir yang tak tersenyum samasekali.“Akan kuberikan segalanya. Semaumu. Sesukamu. Demi Allah, hidupmu ratusan kali lipat akan lebih baik dari ini.”“Tidak Tuan, maaf ….” Saat mendengar ajakan tersebut dan menolaknya, aku benar-benar ketakutan. Saat dagu lelaki itu terangkat angkuh ke atas, kepalaku tertunduk ke bawah.Sekaya apapun dia, serupawan apapun Harraz Ilham Ghazalah, aku tidak mau menerimanya. Aku membenci lelaki itu. Sangat, demi Tuhan. Dia adalah tipe lelaki yang paling kuhindari, ramah tanpa senyum, ringan tangan pada orang yang melakukan sebuah kesalahan sedikit saja dan bermulut tajam. Pencuri kecil yang terpaksa menyelinap masuk ke rumahnya hanya karena terdesak situasi saja habis di tangannya, bagaimana denganku jika menikahi lelaki kasar seperti itu? Aku
Rasanya aku ingin lari dari sini. Bersembunyi di ruang tersempit yang ada di rumah, saat harus dipaksa makan di satu meja yang sama dengan Tuan Harraz dan Lia. Lia datang sore tadi, terlanjur malam dia makan malam terlebih dahulu sebelum pulang. Abimanyu sendiri yang menawarkannya, yang tentu saja ajakan tersebut pasti keluar dari mulut Tuan Harraz.“Sayang sekali ya Raz, padahal kita udah ketemu loh, banyak hal yang mau kuomongin sama kamu, kamu malah puasa bicara. Nggak seru ah,” seru Lia dengan tawa bahagia. Tuan Harraz memasang ekspresi andalannya, terlihat tidak perduli, menolehpun tidak.Aku benar-benar kehilangan selera makan, Ummu Hilza sampai-sampai khawatir melihatku hanya makan beberapa suap dan setelah itu melamun. Tiba-tiba firasatku buruk, benar saja saat aku mengangkat kepala Tuan Harraz tengah menatapku lekat. Aku menggaruk tengkuk tidak nyaman, lalu berusaha memasukkan beberapa suap lagi.Tidak t
"Jawaban Allah selalu sama,” jemarinya yang menyentuh rahangku menusuk dalam di kulit. Suara Tuan Harraz terdengar frustrasi. “Hampir 99 kali berturut-turut jawabannya tidak berubah. A-aku mencintaimu, Talita. Sangat mencintaimu. Saat aku berusaha menyangkalnya, Allah tetap meyakinkanku.” Keningnya sudah mendarat erat di keningku. Aku gemetar di sisinya, Tuan Harraz tidak kusangka akan mengatakan itu semua.Ketika menyatakan cinta, seseorang seharusnya gugup dan bahagia. Dia berbeda, Tuan Harraz terdengar marah dan frustrasi.“Selama ini aku selalu berusaha menyangkal kalau aku cinta mati padamu, yang rasanya membuatku gila sendiri, tapi Allah menuntunku untuk menyadari apa yang sebenarnya kurasakan sejak melihatmu untuk pertama kali sampai sekarang.”“Tapi Talita, rasanya sakit. Aku menolak mencintaimu, karena rasanya sakit. Tidak ada orang yang mau mempertahankan rasa sakit ….&rdq
Baru satu suapan lelaki itu luncurkan ke mulutku, aku sudah tidak berselera lagi. Tapi Tuan Harraz terus menyodorkan tangannya, membuatku mau tidak mau harus menerima suapan demi suapannya. Mata dinginnya menatapku lekat, dengan jempol yang terus mengusap di bibirku yang kotor oleh nasi dan lauk. Posisi seperti ini demi Tuhan membuatku mual. Kehamilan membuat moodku sebagai ibu mudah hancur dan tidak terkontrol.“Aku tidak bisa makan banyak Mas,” keluhku padanya yang langsung menarik kembali tangan. Tuan Harraz memberikan aku segelas air minum, yang kutenggak sampai habis. Sisa nasiku dilahap habis olehnya sampai piring itu bersih, setelah itu tidak menambah lauk atau nasi sama sekali.Aku mengernyitkan hidung saat wajahku terlalu dekat dengan tubuhnya yang disemprot parfum menyengat. Aroma tubuh lelaki itu membuatku mual, Tuan Harraz yang menyadarinya bertanya, “Kamu tidak suka bau tubuhku?”Aku dile
Gedoran pintu membangunkanku yang sudah setengah jam terlelap. Awalnya kukira akhirnya Tuan Harraz sudah kembali, rautku langsung berubah saat suara Abimanyu yang terdengar.Dari luar lelaki itu mengucap salam, aku langsung memperbaiki hijab berantakanku yang tidak kulepas selama tertidur dan menyahut salamnya yang sangat sopan. Ketika pintu yang menjadi batas kami terbuka, kudapati Abimanyu berdiri santun dengan kepala menunduk menatap lantai yang kami pijak.“Ada apa, Manyu?”“Tuan Harraz menunggu ada di depan Nyonya. Beliau ingin mengajak Anda untuk langsung pulang.”Senyum ramahku seketika surut. Entah kenapa sepertinya ada yang terjadi. Aku mengangguk dan mengiakan perintah Tuan Harraz yang disampaikan Abimanyu. Kuambil barang-barang kami yang masih ada di kamar dan pergi menyusul Abimanyu yang tidak berhenti menunduk sejak tadi.Di tangga lantai dua, kupandangi resah keramaian lantai bawah. Rasanya malas berdesak-desakan dengan mereka yang begitu padat. Dari tangga terakhir yan
“Siapa nama ibumu, Mas?”Aku bertanya pada Tuan Harraz yang membelakangiku dengan punggung telanjangnya. Lelaki itu baru saja membersihkan diri dan hendak berpakaian.Tuan Harraz menatap balik pantulan wajahku di cermin. Raut wajah lelaki itu tidak memiliki rona samasekali, meniruku yang menjadi tidak bersemangat semenjak bertemu dengan ibunya semalam. Wajah indahnya, tangis terluka wanita itu, tatapan mata beliau yang sayu yang terus terbayang-bayang di benakku membuat hatiku teriris-iris. Entah bagaimana ekspresi wajah perempuan itu di balik cadarnya, mungkin jika aku melihatnya secara langsung. Perasaan bersalah ini pasti semakin dalam.“Kamu sangat ingin tahu?” Tuan Harraz membalik tubuhnya dan bertanya.Aku menganggukkan kepala. Jika aku sudah memberanikan diri untuk bertanya padanya, tentu saja aku sangat ingin tahu.“Aku akan menjawabnya jika kamu membelai pipiku,” Tuan Harraz berujar dengan tatapan dalam. Permintaannya membuatku grogi. Tanganku benar-benar terangkat. Kubelai
Melihat keharuan di antara mereka, langkahku begitu berat. Kuhirup banyak-banyak udara lalu memberanikan diri untuk menghampiri. Aku bertekuk seperti Tuan Harraz di kaki wanita itu, membuat wanita yang bisa kupastikan ibu mertuaku tersebut terkejut.Kuraih tangannya yang berkeriput, sempat mengecohku sebelumnya yang mengira dia wanita muda karena jernih matanya yang terlihat di antara yang tertutup terlalu indah untuk seorang wanita berumur.Kami menjadi sorot perhatian. Setelah ini, aku tidak tahu harus bicara apa lagi dan melakukan apa. Aku hanya melirik gerak-gerik Tuan Harraz, untuk meniru apapun yang kelak lelaki itu lakukan.Mengingat pernyataan Tuan Harraz sebelumnya yang membuatku takut keluar kamar, aku khawatir perempuan ini tidak akan menerimaku dengan baik. Tanganku ditepis, aku didorong dan dijauhi, menjadi terka-terkaan di kepalaku yang aku harap tidak akan pernah terjadi.Tanpa diduga, wanita itu memperlakukanku sama dengan Tuan Harraz. Dielusnya kepalaku yang dibalut h
"Maksudmu?" Sahutku sambil menelan saliva yang malah terasa kering di tenggorokan."Seharusnya kamu langsung mengerti Talita.""Aku sedikit mengerti, tapi aku hanya memintamu memperjelasnya." Saat aku berkata, Tuan Harraz yang berdiri di depanku memerhatikan lekat-lekat tubuhku yang gemetar takut."Kamu akan mengerti jika kelak bertemu dengan ayah dan ibuku secara langsung. Caranya menatapmu atau keengganannya menatap balik wajahmu akan memperjelas apa yang kumaksud." Tangan besar Tuan Harraz meraih ganggang pintu lalu membukanya lebar-lebar. Aku menjadi sungkan mengikuti langkahnya, Tuan Harraz yang menyadari aku belum beranjak, kembali menghentikan langkah dan menatapku yang diselimuti rasa takut."Jadi keluar?""Jadi maksudmu, sejak awal mereka tidak merestui pernikahan kita?" Helaan napas Tuan Harraz terdengar tertahan mendengar pertanyaanku. Dengan ragu lelaki itu mengangguk. "Jika kamu tahu mereka tidak menyukaiku dan tidak pernah merestui kita, kenapa tetap bersikeras menika
“Seharusnya acaranya kita laksanakan di rumah saja, tidak usah susah-susah ke pondok pesantren Kyai Ris.” Di sebelahku di dalam mobil, Tuan Harraz mengeluh sejak tadi. Lelaki itu terlihat malas untuk pergi, tapi Abimanyu sudah terlanjur melajukan mobil.“Sudah terlambat untuk bilang begitu Mas,” ujarku pada lelaki itu yang mengurut pangkal hidung.“Kenapa tidak bilang sedari beberapa hari yang lalu, sebelum mereka menyiapkan semuanya?” Tuan Harraz hanya mendengus. Lelaki itu tidak menjawabiku sama sekali, ditatapnya dingin pemandangan gunung-gunung asri yang kami lewati.Tanganku mengusap-ngusap perut Tuan Harraz. Yang paling malang dari dirinya hanyalah perut yang seakan berisi bayi ini. Tuan Harraz juga terlihat nyaman, jika aku memberikan perhatian-perhatian kecil seperti ini. Wajahnya yang tadi penuh emosi, berubah lembut seakan ingin tertidur.Diletakkannya kepalanya ke bahuku. Aku mengincar tengkuknya dan mengurutnya. Abimanyu yang menyetir di depan melirik aktivitas kami dari
“Imah senang banget loh saat Mas Fauzan ngasih tahu, kamu dan Mas Harraz sama-sama lagi!” Imah yang cantik dengan kerudung putihnya menangkup wajahku. Aku tersenyum, balik menangkup wajahnya yang berisi. Pipi kenyalnya membuatku balik gemas.“Mas Harraz sekarang dimana? Seharusnya kalian bersama-sama terus, biar ikatan yang tadi renggang kembali terikat,” Fatimah menyikut lenganku. Gadis itu senyum-senyum sendiri.“Lagi di kantor,” jawabku. “Sebenarnya dia sedang tidak enak badan sih tapi maksain diri buat pergi. Pasti manja-manja di pangkuan setelah balik.”“Mas Harraz udah suka manja-manjaan?”Sahutan Fatimah membuat kedua pipiku memerah. “Ini yang namanya perpisahan sementara mengajarkan betapa pentingnya pasangan yang tadi hendak kamu tinggalkan!” Sambil mengampit lenganku, gadis itu berseru heboh.“Eh Dr. Leo mana, ya? Udah nggak diperiksa sama dia lagi? Malah Mbak Lia yang datang,” gumam Fatimah membuat tatapanku ikut teralih ke halaman rumah. Di sana, terdapat mobil familier y
Sudah seratus hari lebih aku terkurung di rumah ini. Meski semalam aku sudah dibawa Tuan Harraz untuk melihat dunia luar, ternyata aku lebih betah berkurung di dalam kamar. Di luar, mata dan hatiku memang bisa dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan bagus. Tapi di kamar ini, tempat pribadi yang lebihbaik dari apapun. Aku bisa menangis tanpa terdengar, memaki sepuasnya, beribadah menyebut-nyebut nama Tuhan dan mengkhayalkan apapun yang bisa kukhayalkan. Seharian mood-ku sebagai ibu, menidurkanku dari pagi sampai jam tiga sore. Sebelum waktu salat Dzuhur habis, aku segera mengambil air wudhu’ di tengah kantukku dan segera membentang sajadah. Aku menyembah dan bersujud pada Allah. Salat sendirian di sini tanpa imam di depan, membuatku lebih khusyuk. Setelah tahiyat akhir, aku mengucapkan salam. Pertama kali menoleh ke kanan, lalu menoleh ke kiri—mataku melebar saat Tuan Harraz tiba-tiba sudah ada di sampingku, lelaki itu memelukku erat yang masih dibalut dengan mukenah lalu menciumku
Baru satu suapan lelaki itu luncurkan ke mulutku, aku sudah tidak berselera lagi. Tapi Tuan Harraz terus menyodorkan tangannya, membuatku mau tidak mau harus menerima suapan demi suapannya. Mata dinginnya menatapku lekat, dengan jempol yang terus mengusap di bibirku yang kotor oleh nasi dan lauk. Posisi seperti ini demi Tuhan membuatku mual. Kehamilan membuat moodku sebagai ibu mudah hancur dan tidak terkontrol.“Aku tidak bisa makan banyak Mas,” keluhku padanya yang langsung menarik kembali tangan. Tuan Harraz memberikan aku segelas air minum, yang kutenggak sampai habis. Sisa nasiku dilahap habis olehnya sampai piring itu bersih, setelah itu tidak menambah lauk atau nasi sama sekali.Aku mengernyitkan hidung saat wajahku terlalu dekat dengan tubuhnya yang disemprot parfum menyengat. Aroma tubuh lelaki itu membuatku mual, Tuan Harraz yang menyadarinya bertanya, “Kamu tidak suka bau tubuhku?”Aku dile
"Jawaban Allah selalu sama,” jemarinya yang menyentuh rahangku menusuk dalam di kulit. Suara Tuan Harraz terdengar frustrasi. “Hampir 99 kali berturut-turut jawabannya tidak berubah. A-aku mencintaimu, Talita. Sangat mencintaimu. Saat aku berusaha menyangkalnya, Allah tetap meyakinkanku.” Keningnya sudah mendarat erat di keningku. Aku gemetar di sisinya, Tuan Harraz tidak kusangka akan mengatakan itu semua.Ketika menyatakan cinta, seseorang seharusnya gugup dan bahagia. Dia berbeda, Tuan Harraz terdengar marah dan frustrasi.“Selama ini aku selalu berusaha menyangkal kalau aku cinta mati padamu, yang rasanya membuatku gila sendiri, tapi Allah menuntunku untuk menyadari apa yang sebenarnya kurasakan sejak melihatmu untuk pertama kali sampai sekarang.”“Tapi Talita, rasanya sakit. Aku menolak mencintaimu, karena rasanya sakit. Tidak ada orang yang mau mempertahankan rasa sakit ….&rdq