“Imah senang banget loh saat Mas Fauzan ngasih tahu, kamu dan Mas Harraz sama-sama lagi!” Imah yang cantik dengan kerudung putihnya menangkup wajahku. Aku tersenyum, balik menangkup wajahnya yang berisi. Pipi kenyalnya membuatku balik gemas.“Mas Harraz sekarang dimana? Seharusnya kalian bersama-sama terus, biar ikatan yang tadi renggang kembali terikat,” Fatimah menyikut lenganku. Gadis itu senyum-senyum sendiri.“Lagi di kantor,” jawabku. “Sebenarnya dia sedang tidak enak badan sih tapi maksain diri buat pergi. Pasti manja-manja di pangkuan setelah balik.”“Mas Harraz udah suka manja-manjaan?”Sahutan Fatimah membuat kedua pipiku memerah. “Ini yang namanya perpisahan sementara mengajarkan betapa pentingnya pasangan yang tadi hendak kamu tinggalkan!” Sambil mengampit lenganku, gadis itu berseru heboh.“Eh Dr. Leo mana, ya? Udah nggak diperiksa sama dia lagi? Malah Mbak Lia yang datang,” gumam Fatimah membuat tatapanku ikut teralih ke halaman rumah. Di sana, terdapat mobil familier y
“Seharusnya acaranya kita laksanakan di rumah saja, tidak usah susah-susah ke pondok pesantren Kyai Ris.” Di sebelahku di dalam mobil, Tuan Harraz mengeluh sejak tadi. Lelaki itu terlihat malas untuk pergi, tapi Abimanyu sudah terlanjur melajukan mobil.“Sudah terlambat untuk bilang begitu Mas,” ujarku pada lelaki itu yang mengurut pangkal hidung.“Kenapa tidak bilang sedari beberapa hari yang lalu, sebelum mereka menyiapkan semuanya?” Tuan Harraz hanya mendengus. Lelaki itu tidak menjawabiku sama sekali, ditatapnya dingin pemandangan gunung-gunung asri yang kami lewati.Tanganku mengusap-ngusap perut Tuan Harraz. Yang paling malang dari dirinya hanyalah perut yang seakan berisi bayi ini. Tuan Harraz juga terlihat nyaman, jika aku memberikan perhatian-perhatian kecil seperti ini. Wajahnya yang tadi penuh emosi, berubah lembut seakan ingin tertidur.Diletakkannya kepalanya ke bahuku. Aku mengincar tengkuknya dan mengurutnya. Abimanyu yang menyetir di depan melirik aktivitas kami dari
"Maksudmu?" Sahutku sambil menelan saliva yang malah terasa kering di tenggorokan."Seharusnya kamu langsung mengerti Talita.""Aku sedikit mengerti, tapi aku hanya memintamu memperjelasnya." Saat aku berkata, Tuan Harraz yang berdiri di depanku memerhatikan lekat-lekat tubuhku yang gemetar takut."Kamu akan mengerti jika kelak bertemu dengan ayah dan ibuku secara langsung. Caranya menatapmu atau keengganannya menatap balik wajahmu akan memperjelas apa yang kumaksud." Tangan besar Tuan Harraz meraih ganggang pintu lalu membukanya lebar-lebar. Aku menjadi sungkan mengikuti langkahnya, Tuan Harraz yang menyadari aku belum beranjak, kembali menghentikan langkah dan menatapku yang diselimuti rasa takut."Jadi keluar?""Jadi maksudmu, sejak awal mereka tidak merestui pernikahan kita?" Helaan napas Tuan Harraz terdengar tertahan mendengar pertanyaanku. Dengan ragu lelaki itu mengangguk. "Jika kamu tahu mereka tidak menyukaiku dan tidak pernah merestui kita, kenapa tetap bersikeras menika
Melihat keharuan di antara mereka, langkahku begitu berat. Kuhirup banyak-banyak udara lalu memberanikan diri untuk menghampiri. Aku bertekuk seperti Tuan Harraz di kaki wanita itu, membuat wanita yang bisa kupastikan ibu mertuaku tersebut terkejut.Kuraih tangannya yang berkeriput, sempat mengecohku sebelumnya yang mengira dia wanita muda karena jernih matanya yang terlihat di antara yang tertutup terlalu indah untuk seorang wanita berumur.Kami menjadi sorot perhatian. Setelah ini, aku tidak tahu harus bicara apa lagi dan melakukan apa. Aku hanya melirik gerak-gerik Tuan Harraz, untuk meniru apapun yang kelak lelaki itu lakukan.Mengingat pernyataan Tuan Harraz sebelumnya yang membuatku takut keluar kamar, aku khawatir perempuan ini tidak akan menerimaku dengan baik. Tanganku ditepis, aku didorong dan dijauhi, menjadi terka-terkaan di kepalaku yang aku harap tidak akan pernah terjadi.Tanpa diduga, wanita itu memperlakukanku sama dengan Tuan Harraz. Dielusnya kepalaku yang dibalut h
“Siapa nama ibumu, Mas?”Aku bertanya pada Tuan Harraz yang membelakangiku dengan punggung telanjangnya. Lelaki itu baru saja membersihkan diri dan hendak berpakaian.Tuan Harraz menatap balik pantulan wajahku di cermin. Raut wajah lelaki itu tidak memiliki rona samasekali, meniruku yang menjadi tidak bersemangat semenjak bertemu dengan ibunya semalam. Wajah indahnya, tangis terluka wanita itu, tatapan mata beliau yang sayu yang terus terbayang-bayang di benakku membuat hatiku teriris-iris. Entah bagaimana ekspresi wajah perempuan itu di balik cadarnya, mungkin jika aku melihatnya secara langsung. Perasaan bersalah ini pasti semakin dalam.“Kamu sangat ingin tahu?” Tuan Harraz membalik tubuhnya dan bertanya.Aku menganggukkan kepala. Jika aku sudah memberanikan diri untuk bertanya padanya, tentu saja aku sangat ingin tahu.“Aku akan menjawabnya jika kamu membelai pipiku,” Tuan Harraz berujar dengan tatapan dalam. Permintaannya membuatku grogi. Tanganku benar-benar terangkat. Kubelai
Gedoran pintu membangunkanku yang sudah setengah jam terlelap. Awalnya kukira akhirnya Tuan Harraz sudah kembali, rautku langsung berubah saat suara Abimanyu yang terdengar.Dari luar lelaki itu mengucap salam, aku langsung memperbaiki hijab berantakanku yang tidak kulepas selama tertidur dan menyahut salamnya yang sangat sopan. Ketika pintu yang menjadi batas kami terbuka, kudapati Abimanyu berdiri santun dengan kepala menunduk menatap lantai yang kami pijak.“Ada apa, Manyu?”“Tuan Harraz menunggu ada di depan Nyonya. Beliau ingin mengajak Anda untuk langsung pulang.”Senyum ramahku seketika surut. Entah kenapa sepertinya ada yang terjadi. Aku mengangguk dan mengiakan perintah Tuan Harraz yang disampaikan Abimanyu. Kuambil barang-barang kami yang masih ada di kamar dan pergi menyusul Abimanyu yang tidak berhenti menunduk sejak tadi.Di tangga lantai dua, kupandangi resah keramaian lantai bawah. Rasanya malas berdesak-desakan dengan mereka yang begitu padat. Dari tangga terakhir yan
"Kapan terakhir kali kamu haid?"Ummu Hilza menanyaiku yang baru saja menyudahi sarapan. Mendadak aku gugup mendengarnya, dengan lirih suaraku menyahut, "Tanggal 26 bulan Agustus lalu, Ummu." Helaan napas Ummu Hilza terdengar. Wanita itu menyusun wadah sisa makanku, lalu pergi keluar dari ruangan tanpa berkata sepatah katapun.Setelah ditinggal sendiri lagi di kamar megah ini, aku langsung merasa kesepian. Sudah sebulan lamanya aku terkurung di ruangan ini. Kamar yang ada di ujung bangunan rumah, yang jauh dari peradaban depan yang biasanya dikumpuli orang-orang.Sebulan yang lalu Tuan Harraz menalakku. Sesuai aturan agama yang diterapkan di keluarga besarnya, sebelum meninggalkan rumah suamiku dan benar-benar menjadi mantan istrinya, aku yang sudah berhubungan berkali-kali dengannya selama menikah harus menjalani masa iddah.Ummu Halsa bilang, aku akan dipersilahkan pergi setelah menyudahi tiga kali masa suci. Tapi sudah sebulan lebih aku di sini sebagai istri yang tengah menyelesaik
“Bagaimana, Ta? Apa kamu keberatan jika hak asuh anak kalian nanti diambil Tuan Harraz?” Ummu Hilza yang tengah melipati pakaianku bertanya. Tadinya aku ingin merapikan barang-barangku sendiri, tapi Ummu Hilza memaksa untuk melakukannya lalu menyuruhku untuk istirahat. Hanya karena Tuan Harraz sudah beramanah padanya agar menjagaku dan kandunganku dengan baik, wanita itu tidak membiarkanku melakukan apapun samasekali. Bahkan makanpun tidak hanya diambilkan aku juga disuapi.“Semua keputusan tentang anak ini kuserahkan padanya, asal jika aku ingin bertemu dengan buah hatiku sesekali, lelaki itu mengizinkan,” jawabku lirih sambil mengusap perut. “Kamu tidak ada niat untuk berusaha mendapatkan hak asuh?” Ummu Hilza bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar sendu.Aku menggelengkan kepala ragu, “Aku takut, jika anak ini ikut bersamaku, dia akan melarat dalam kemiskinan. Aku ingin dia hidup sejahtera, bisa sekolah tinggi dan menjadi orang hebat seperti ayah dan keluarga ayahnya.” Mendengar