“Siapa nama ibumu, Mas?”Aku bertanya pada Tuan Harraz yang membelakangiku dengan punggung telanjangnya. Lelaki itu baru saja membersihkan diri dan hendak berpakaian.Tuan Harraz menatap balik pantulan wajahku di cermin. Raut wajah lelaki itu tidak memiliki rona samasekali, meniruku yang menjadi tidak bersemangat semenjak bertemu dengan ibunya semalam. Wajah indahnya, tangis terluka wanita itu, tatapan mata beliau yang sayu yang terus terbayang-bayang di benakku membuat hatiku teriris-iris. Entah bagaimana ekspresi wajah perempuan itu di balik cadarnya, mungkin jika aku melihatnya secara langsung. Perasaan bersalah ini pasti semakin dalam.“Kamu sangat ingin tahu?” Tuan Harraz membalik tubuhnya dan bertanya.Aku menganggukkan kepala. Jika aku sudah memberanikan diri untuk bertanya padanya, tentu saja aku sangat ingin tahu.“Aku akan menjawabnya jika kamu membelai pipiku,” Tuan Harraz berujar dengan tatapan dalam. Permintaannya membuatku grogi. Tanganku benar-benar terangkat. Kubelai
Gedoran pintu membangunkanku yang sudah setengah jam terlelap. Awalnya kukira akhirnya Tuan Harraz sudah kembali, rautku langsung berubah saat suara Abimanyu yang terdengar.Dari luar lelaki itu mengucap salam, aku langsung memperbaiki hijab berantakanku yang tidak kulepas selama tertidur dan menyahut salamnya yang sangat sopan. Ketika pintu yang menjadi batas kami terbuka, kudapati Abimanyu berdiri santun dengan kepala menunduk menatap lantai yang kami pijak.“Ada apa, Manyu?”“Tuan Harraz menunggu ada di depan Nyonya. Beliau ingin mengajak Anda untuk langsung pulang.”Senyum ramahku seketika surut. Entah kenapa sepertinya ada yang terjadi. Aku mengangguk dan mengiakan perintah Tuan Harraz yang disampaikan Abimanyu. Kuambil barang-barang kami yang masih ada di kamar dan pergi menyusul Abimanyu yang tidak berhenti menunduk sejak tadi.Di tangga lantai dua, kupandangi resah keramaian lantai bawah. Rasanya malas berdesak-desakan dengan mereka yang begitu padat. Dari tangga terakhir yan
"Kapan terakhir kali kamu haid?"Ummu Hilza menanyaiku yang baru saja menyudahi sarapan. Mendadak aku gugup mendengarnya, dengan lirih suaraku menyahut, "Tanggal 26 bulan Agustus lalu, Ummu." Helaan napas Ummu Hilza terdengar. Wanita itu menyusun wadah sisa makanku, lalu pergi keluar dari ruangan tanpa berkata sepatah katapun.Setelah ditinggal sendiri lagi di kamar megah ini, aku langsung merasa kesepian. Sudah sebulan lamanya aku terkurung di ruangan ini. Kamar yang ada di ujung bangunan rumah, yang jauh dari peradaban depan yang biasanya dikumpuli orang-orang.Sebulan yang lalu Tuan Harraz menalakku. Sesuai aturan agama yang diterapkan di keluarga besarnya, sebelum meninggalkan rumah suamiku dan benar-benar menjadi mantan istrinya, aku yang sudah berhubungan berkali-kali dengannya selama menikah harus menjalani masa iddah.Ummu Halsa bilang, aku akan dipersilahkan pergi setelah menyudahi tiga kali masa suci. Tapi sudah sebulan lebih aku di sini sebagai istri yang tengah menyelesaik
“Bagaimana, Ta? Apa kamu keberatan jika hak asuh anak kalian nanti diambil Tuan Harraz?” Ummu Hilza yang tengah melipati pakaianku bertanya. Tadinya aku ingin merapikan barang-barangku sendiri, tapi Ummu Hilza memaksa untuk melakukannya lalu menyuruhku untuk istirahat. Hanya karena Tuan Harraz sudah beramanah padanya agar menjagaku dan kandunganku dengan baik, wanita itu tidak membiarkanku melakukan apapun samasekali. Bahkan makanpun tidak hanya diambilkan aku juga disuapi.“Semua keputusan tentang anak ini kuserahkan padanya, asal jika aku ingin bertemu dengan buah hatiku sesekali, lelaki itu mengizinkan,” jawabku lirih sambil mengusap perut. “Kamu tidak ada niat untuk berusaha mendapatkan hak asuh?” Ummu Hilza bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar sendu.Aku menggelengkan kepala ragu, “Aku takut, jika anak ini ikut bersamaku, dia akan melarat dalam kemiskinan. Aku ingin dia hidup sejahtera, bisa sekolah tinggi dan menjadi orang hebat seperti ayah dan keluarga ayahnya.” Mendengar
“Ya Allah Lita, kok wajah kamu kusam gini, sih?” Celetukan Fatimah membuatku cemberut, gadis cantik itu menangkup gemas wajah kecilku. “Seharusnya kamu banyak dandan loh,” ujarnya. “Biar Mas Harraz terpesona dan merujukmu lagi.” Mendengar sarannya aku bergidik tidak suka. Jika aku benar-benar melakukannya, rasanya tidak benar. Kenapa aku harus sengaja menggoda pria, yang sudah bulat memutuskan untuk menceraikanku? Entah kenapa Fatimah berkata seperti itu. “Kalau aku gitu, malah kedengarannya nggak tahu diri ‘kan?” Mendengar pertanyaanku Fatimah terbahak, “Nggak gitu, dong. Malah sunnahnya seorang istri yang tengah menjalani masa iddah karena ditalak suaminya untuk banyak bersolek, agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan merujuk istrinya lagi. Kamu tahu sendiri ‘kan Allah membenci perceraian.” Aku ber-ah setelah Fatimah menjelaskan. Wanita itu kini sibuk menyiapkan alat rias dan baju-baju yang bagus untukku. “Itu ‘kan, bagi istri yang masih berharap dibersamai suami
“Mulai malam ini, hanya makan malam saja kamu tidak boleh lagi makan di kamar, Lita. Tuan Harraz memintamu untuk makan malam di luar bersamanya.” Mataku membulat sempurna mendengar perkataan Ummu Hilza. Tubuhku yang tadi rileks mendadak tidak nyaman, Ummu Hilza yang lagi-lagi terlihat merasa bersalah memintaku untuk mencuci muka, mengganti pakaian dan sedikit berdandan. Aku ingin menolak, tapi sepasang mata Ummu Hilza yang redup sudah memberitahuku, kalau aku sama sekali tidak bisa menolak perintah tersebut. Aku ke kamar mandi sibuk mencuci muka agar lebih bersih, Ummu Hilza yang masih di kamarku tengah menyiapkan gaun dan hijab bagus untuk kupakai. “Pakai ini.” Saat aku keluar dari kamar mandi, Ummu Hilza menunjukkan sebuah gaun cerah padaku.“Kenapa aku harus memakai gaun yang paling dia sukai, Ummu?” Tanyaku setelah merasa familier dengan gaun yang wanita itu berikan. Tidak menarik kembali sodorannya, Ummu Hilza tetap memberikannya padaku, “Pakai saja. Agar saat memandangmu, bi
"Jadi apapun yang terjadi, sekalipun keluarga Ghazalah memaksa Tuan untuk merujukku, Tuan tetap tidak akan merujukku?"Aktivitas makan Tuan Harraz terhenti saat aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan.Tuan Harraz seakan kehilangan selera makan. Lelaki itu terlihat enggan untuk menghabiskan isi piringnya yang beberapa detik yang lalu dimakannya dengan lahap."Ya."Sambil mengangguk, lelaki itu menyahut singkat."Baguslah kalau begitu Tuan," dengan senyum getir aku melanjutkan makan malamku. Lelaki yang duduk berseberangan denganku itu terlihat tersinggung saat aku fokus sendiri dan mengabaikannya."Aku salat istikharah setiap malam semenjak menalakmu." Kunyahanku tidak sampai ke kerongkongan saat Tuan Harraz berkata seperti itu."Aku hanya berusaha meyakinkan hati," hembusan napas lelaki itu terdengar berat. "Tapi jawaban yang kudapatkan selalu bertentangan dengan apa yang sudah kuputuskan.""Apa yang kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.Tuan Harraz uru
Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain. Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. "Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. "Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. "Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. "Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak b