Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain.
Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. "Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. "Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. "Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. "Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak berani bicara."Kenapa memanggilku?" Lelaki itu bersikap seakan tidak sadar sebutannya dariku berubah."Kudengar istikharah terakhirmu berhasil," lanjutku dengan sudut bibir bergetar. Mas Halim yang tadi wajahnya sedikit memiliki rona kembali menjadi datar dan dingin. "Jadi apa jawabannya Mas, tentang perasaanmu padaku? Kamu bilang istikharah yang kamu lakukan berkali-kali selama ini untuk memastikan itu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya dan menatap wajah lelaki itu tepat di matanya. "Aku menolak untuk merujukmu, itu jawabannya. Seharusnya kamu sudah paham, tanpa perlu kujelaskan lebih 'kan?" Kalimatnya menghujam layaknya pisau di dada, tapi di saat bersamaan, satu pemikiran yang terbersit di kepala mereflekskan mulutku untuk bertanya, "Berarti selain semalam, malam-malam sebelumnya yang Anda maksudkan 'gagal' itu, Allah memberitahu Anda mencintai saya?" Aku menepuk mulutku yang dengan entengnya berkata demikian. Ya Tuhan Talita, apa yang kamu katakan?! Tuan Harraz diam total. Sebelah tangan lelaki itu mengepal, membuatku menelan ludah takut. "Apapun jawaban yang Allah berikan padaku di istikharah-istikharah sebelumnya, yang pastinya setelah istikharah terakhir tadi malam yang jawabannya berbeda, aku sudah tidak ragu lagi. Sudahlah, jangan dibahas. Habiskan makanmu." Lelaki yang terlihat kesal tersebut menyudahi pembicaraan. Karena tidak mau bicara lagi, mulutnya sudah dipenuhi air dan nasi."Maaf Tuan ...." sahutku lirih sambil merutuki mulutku sendiri."Kenapa mendadak memanggilku 'Tuan' lagi?" Tuan Harraz terlihat tidak suka karena aku tidak konsisten dengan sebutan yang kugunakan padanya."Tidak boleh ...?""Jangan membuat telingaku sakit setelah membuatnya nyaman, panggil saja Mas. Mas Nazar, Mas Zidan dan saudara-saudaraku yang lain kamu panggil 'Mas', kenapa aku tidak?""Iya Mas," aku mengangguk menurut."Setelah kita benar-benar bercerai, tetap panggil aku Mas," pintanya lagi tanpa menatapku."Baiklah."***"Bagaimana saranku?" Tanya Dr. Leo setelah memeriksaku lagi. "Dia marah atau terlihat senang, saat kamu panggil Mas?""Sepertinya dia senang, tapi tidak terlalu kelihatan," jawabku membuat senyum Dr. Leo melebar."Nah 'kan, apa kubilang. Dia pasti senang. Harraz memang begitu, saat senang dan sedih, tidak pernah terlihat jelas. Kamu saja tidak peka, tapi jika Harraz bernafsu aku tebak kamu pasti menyadarinya untuk yang itu," Dr. Leo tertawa setelah bicara seenaknya."Karena Harraz tidak marah malah senang sesuai dugaanku, terus panggil dia 'Mas'. Jangan sesekali memanggilnya Tuan lagi, kamu bukan pekerjanya, kamu istri dan perempuan yang akan menjadi mantan istrinya," Dr. Leo mengingatkan dengan mata melotot, setelah itu mengemasi barang-barangnya untuk bersiap pulang. "Kalau ada keluhan sampaikan ke Ummu Hilza atau telpon aku langsung ya Lit, kandunganmu benar-benar harus dijaga, ada Harraz dan keluarga Ghazalah yang akan gila jika janin di dalam kandunganmu tersakiti." "Dan satu lagi," padahal sudah di ambang pintu Dr. Leo menahan langkahnya lagi, "Jangan terlalu banyak pikiran. Jika kamu stres, bisa memengaruhi kandunganmu. Kamu bisa keguguran karena itu." Tak lama Dr. Leo benar-benar pergi. Membuatku yang selama ini hanya memusingkan masa iddahku, ikut kepikiran keamanan janin di perutku. Jika dipikir-pikir sebagai calon ibu, aku tidak merawat kandunganku apalagi tubuhku dengan baik. Aku selalu memusingkan hal yang sama membuatku stres, suka telat makan tidak memikirkan ada nyawa lain yang butuh asupan gizi di perutku bukan hanya aku. "Ummu, bisa temani aku ke dapur?" Tanyaku terdengar terlalu bergantungan. Ummu Hilza tidak keberatan, aku meminta kesediaannya karena memang wanita itu pernah bilang jika aku kemana-mana jangan pernah sendirian, dia harus ikut serta. "Jika kamu ingin memakan sesuatu, Talita aku yang akan membawakannya ke sini." Ummu Hilza menawarkan diri dengan senang hati. "Aku ingin memasak sesuatu, boleh 'kan?" Awalnya Ummu Hilza ragu. Melihatku yang begitu berharap wanita itu akhirnya mengizinkan. Kami ke dapur untuk memasak sesuatu. Saat sibuk dengan sayur-sayuran dan alat dapur, tiba-tiba Tante Hanifa berteriak melarang. Tantenya Tuan Harraz tersebut menjauhkanku dari kompor dan menggantikanku memasak sambil mengomeliku dengan suara lembut. Ummu Hilza yang tidak salah 'pun kemakan omelannya juga, tapi pada Ummu Hilza wanita itu menjerit-jerit marah seakan tidak menghormati wanita yang lebih tua belasan tahun darinya. Aneh sekali mereka, padahal kandunganku masih muda sudah sprotektif ini. "Ummu Hilza tidak salah Tante," kusentuh lengannya yang tadi terayun-ayun saat menunjuk Ummu Hilza yang tertunduk pasrah. "Duh Talita sayang, ada Ghazalah kecil di perutnu jadi jangan banyak tingkah," wanita itu mengingatkan lembut sambil mengusap perutku dengan hati-hati. "Lebih baik kamu berdiam diri di dalam kamar, tidur, istirahat dan jangan banyak pikiran. Soal makanan, kamu ingin makan apa akan kami buat atau belikan, kamu tinggal terima-makan aja. Bukan hanya makanan, kalau kamu pengen barang-barang juga akan kami belikan.""Tidak usah Tante Tapi jangan marahi Ummu Hilza lagi aku akan berhenti bertingkah," ujarku patuh agar tidak diomeli lagi. "Duh ini juga wajahmu, kenapa suka sekali sekusam dan sekucel ini?" Meniru Fatimah, Tante Hanifa menangkup wajahku dan mengomentari habis-habisan. "Jika mata Harraz terpesona, mulutnya akan mengikuti isi hatinya untuk merujuk, Talita.""Ayolah, jangan biarkan kami berusaha sendirian untuk membujuk Harraz agar mau merujukmu. Kamu juga harus berusaha, seperti berdandan, atau menggodanya. Tak apa kok, tidak dosa. Malah kamu dapat pahala jika Harraz mau merujukmu. Satu sentuhan dari Harraz saat masa iddah-mu diiringi dengan kata rujuk yang dilihat beberapa saksi, kamu resmi kembali menjadi istrinya." Masakanku yang tidak selesai diserahkan pada Ummu Hilza untuk menyelesaikannya agar tidak terbuang sia-sia. Sedangkan aku dengan lembut diseret Tante Hanifa ke kamarnya. Saat kakiku terseret dengan lengan yang digandeng, aku mendapati Tuan Harraz duduk berdua dengan pamannya di ruang tamu. Sang paman yang merupakan suami dari Tante Hanifa tersebut bicara serius dengan lelaki itu. Tuan Harraz terlihat begitu menghormatinya, sejak tadi kepalanya tidak terangkat. Seakan lantai yang dia pijak begitu menarik. Ternyata, keluarga Ghazalah secekatan itu ingin Tuan Harraz merujukku kembali, sebelum tahun perutku berisi mereka hanya pasrah dan tidak berbuat apa-apa ketika Tuan Harraz menalakku. Bukan hanya Mas Nazar dan Tuan Fauzan, Paman Adam juga turun tangan. Tapi dilihat dari wajahnya yang sedingin es batu, sepertinya Tuan Harraz pendiriannya tidak bisa digoyahkan.Kepala lelaki itu tertunduk, di depan Paman Adam Tuan Harraz terlihat begitu menghormati. Seakan menatap balik mata pamannya, diharamkan oleh lelaki itu. “Talita adalah perempuan baik, Raz. Dia sempurna untukmu, seharusnya kamu pertimbangkan hal itu. Jika ada satu hal yang tidak kamu sukai dari istrimu, bersabarlah, sesungguhnya Talita memiliki lebih banyak kelebihan yang bisa menyenangkan hatimu. Kamu hanya perlu bersyukur dan akan menyadari hal itu.” Tuan Harraz masih diam dengan jemari yang saling meremuk satusama lain. Tuan Harraz terlihat enggan balik bicara, karena takut terjadi adu mulut dengan orang yang lelaki itu hormati. Lain halnya jika yang mengajaknya bicara Tuan Fauzan atau Mas Nazar, perselisihan pendapat tidak bisa dihindari. Karena didiamkan keponakannya, Paman Adam menghela napas dengan kasar, “Baiklah jika memang itu keputusanmu, tapi kami tidak akan menyerah untuk meyakinkanmu sampai Talita melahirkan. Bisa katakan, kenapa kamu menalak Talita? Apa dia memiliki
Hawa dingin di tengah malam membuatku terbangun dengan tubuh berpeluh dingin. Setelah menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, aku berusaha tidur lagi. Tapi usahaku sia, mataku yang terpejam tidak bisa diajak bekerjasama dengan alam bawah sadarku. Seharusnya aku menyisihkan waktu untuk beribadah, namun entah mengapa tulang-tulang tubuh ini terasa begitu malas bangkit untuk sekedar mengambil air wudhu’ dan Tahajud. Padahal mungkin saja, bangunnya aku pukul segini adalah teguran Tuhan untuk lebih banyak beribadah padanya. Tubuhku merespon tidak nyaman saat suara kunci pintu diputar terdengar. Kukira, suara itu berasal dari ruangan sebelah, sayangnya aku salah besar! Pintu yang kubelakangi terbuka pelan, kusadari hal itu dari cahaya lampu luar yang menelusup ke dalam, sedikit menerangi kamarku yang lampunya dimatikan. Aku ingin membuka mata, tapi tidak berani setelah tercium aroma parfum yang sangat kukenali. Langkah pelannya hampir tidak terdengar, pintu yang tadi terbuka
“Kamu memanggil saya ke sini, Mas?”Diantar oleh Abimanyu aku sampai di ruangan Tuan Harraz. Tuan Harraz yang tadinya mengotak-atik laptop mengangkat kepalanya dan menatapku lekat. Aku menepuk bibir karena tidak sadar bertanya pada orang yang tidak boleh bicara. Kami bertiga saja di ruangan itu, membuatku tidak nyaman. Tanpa bicara apapun lagi, aku memindahkan tubuh ke sofa dan mendudukinya. Aku bingung sendiri bagaimana berinteraksi dengan Tuan Harraz jika lelaki itu bicara saja tidak boleh. Lewat chat ‘kah? Tulisan? Atau bagaimana? Jika begitu, seharusnya dia tidak memanggilku ke sini, hanya menyuruh Abimanyu untuk memberitahuku agar membaca dan membalas pesan-pesannya.“Kenapa diam saja?” Tuan Harraz bertanya membuatku yang tadinya hendak menyahut langsung melongo.“Bukannya Mas lagi puasa bicara?”Senyum lelaki itu terlihat samar, “Aku hanya puasa bicara pada orang lain, tidak padamu.”“Memangnya bisa begitu?” Tanyaku heran
“Menikahlah denganku,” ajakannya saat itu masih tersemat jelas di kepala.Dimana lelaki itu berdiri tepat di depanku dengan mata yang menatap sedingin es dan bibir yang tak tersenyum samasekali.“Akan kuberikan segalanya. Semaumu. Sesukamu. Demi Allah, hidupmu ratusan kali lipat akan lebih baik dari ini.”“Tidak Tuan, maaf ….” Saat mendengar ajakan tersebut dan menolaknya, aku benar-benar ketakutan. Saat dagu lelaki itu terangkat angkuh ke atas, kepalaku tertunduk ke bawah.Sekaya apapun dia, serupawan apapun Harraz Ilham Ghazalah, aku tidak mau menerimanya. Aku membenci lelaki itu. Sangat, demi Tuhan. Dia adalah tipe lelaki yang paling kuhindari, ramah tanpa senyum, ringan tangan pada orang yang melakukan sebuah kesalahan sedikit saja dan bermulut tajam. Pencuri kecil yang terpaksa menyelinap masuk ke rumahnya hanya karena terdesak situasi saja habis di tangannya, bagaimana denganku jika menikahi lelaki kasar seperti itu? Aku
Rasanya aku ingin lari dari sini. Bersembunyi di ruang tersempit yang ada di rumah, saat harus dipaksa makan di satu meja yang sama dengan Tuan Harraz dan Lia. Lia datang sore tadi, terlanjur malam dia makan malam terlebih dahulu sebelum pulang. Abimanyu sendiri yang menawarkannya, yang tentu saja ajakan tersebut pasti keluar dari mulut Tuan Harraz.“Sayang sekali ya Raz, padahal kita udah ketemu loh, banyak hal yang mau kuomongin sama kamu, kamu malah puasa bicara. Nggak seru ah,” seru Lia dengan tawa bahagia. Tuan Harraz memasang ekspresi andalannya, terlihat tidak perduli, menolehpun tidak.Aku benar-benar kehilangan selera makan, Ummu Hilza sampai-sampai khawatir melihatku hanya makan beberapa suap dan setelah itu melamun. Tiba-tiba firasatku buruk, benar saja saat aku mengangkat kepala Tuan Harraz tengah menatapku lekat. Aku menggaruk tengkuk tidak nyaman, lalu berusaha memasukkan beberapa suap lagi.Tidak t
"Jawaban Allah selalu sama,” jemarinya yang menyentuh rahangku menusuk dalam di kulit. Suara Tuan Harraz terdengar frustrasi. “Hampir 99 kali berturut-turut jawabannya tidak berubah. A-aku mencintaimu, Talita. Sangat mencintaimu. Saat aku berusaha menyangkalnya, Allah tetap meyakinkanku.” Keningnya sudah mendarat erat di keningku. Aku gemetar di sisinya, Tuan Harraz tidak kusangka akan mengatakan itu semua.Ketika menyatakan cinta, seseorang seharusnya gugup dan bahagia. Dia berbeda, Tuan Harraz terdengar marah dan frustrasi.“Selama ini aku selalu berusaha menyangkal kalau aku cinta mati padamu, yang rasanya membuatku gila sendiri, tapi Allah menuntunku untuk menyadari apa yang sebenarnya kurasakan sejak melihatmu untuk pertama kali sampai sekarang.”“Tapi Talita, rasanya sakit. Aku menolak mencintaimu, karena rasanya sakit. Tidak ada orang yang mau mempertahankan rasa sakit ….&rdq
Baru satu suapan lelaki itu luncurkan ke mulutku, aku sudah tidak berselera lagi. Tapi Tuan Harraz terus menyodorkan tangannya, membuatku mau tidak mau harus menerima suapan demi suapannya. Mata dinginnya menatapku lekat, dengan jempol yang terus mengusap di bibirku yang kotor oleh nasi dan lauk. Posisi seperti ini demi Tuhan membuatku mual. Kehamilan membuat moodku sebagai ibu mudah hancur dan tidak terkontrol.“Aku tidak bisa makan banyak Mas,” keluhku padanya yang langsung menarik kembali tangan. Tuan Harraz memberikan aku segelas air minum, yang kutenggak sampai habis. Sisa nasiku dilahap habis olehnya sampai piring itu bersih, setelah itu tidak menambah lauk atau nasi sama sekali.Aku mengernyitkan hidung saat wajahku terlalu dekat dengan tubuhnya yang disemprot parfum menyengat. Aroma tubuh lelaki itu membuatku mual, Tuan Harraz yang menyadarinya bertanya, “Kamu tidak suka bau tubuhku?”Aku dile
Sudah seratus hari lebih aku terkurung di rumah ini. Meski semalam aku sudah dibawa Tuan Harraz untuk melihat dunia luar, ternyata aku lebih betah berkurung di dalam kamar. Di luar, mata dan hatiku memang bisa dimanjakan dengan pemandangan-pemandangan bagus. Tapi di kamar ini, tempat pribadi yang lebihbaik dari apapun. Aku bisa menangis tanpa terdengar, memaki sepuasnya, beribadah menyebut-nyebut nama Tuhan dan mengkhayalkan apapun yang bisa kukhayalkan. Seharian mood-ku sebagai ibu, menidurkanku dari pagi sampai jam tiga sore. Sebelum waktu salat Dzuhur habis, aku segera mengambil air wudhu’ di tengah kantukku dan segera membentang sajadah. Aku menyembah dan bersujud pada Allah. Salat sendirian di sini tanpa imam di depan, membuatku lebih khusyuk. Setelah tahiyat akhir, aku mengucapkan salam. Pertama kali menoleh ke kanan, lalu menoleh ke kiri—mataku melebar saat Tuan Harraz tiba-tiba sudah ada di sampingku, lelaki itu memelukku erat yang masih dibalut dengan mukenah lalu menciumku