“Bagaimana, Ta? Apa kamu keberatan jika hak asuh anak kalian nanti diambil Tuan Harraz?” Ummu Hilza yang tengah melipati pakaianku bertanya.
Tadinya aku ingin merapikan barang-barangku sendiri, tapi Ummu Hilza memaksa untuk melakukannya lalu menyuruhku untuk istirahat. Hanya karena Tuan Harraz sudah beramanah padanya agar menjagaku dan kandunganku dengan baik, wanita itu tidak membiarkanku melakukan apapun samasekali. Bahkan makanpun tidak hanya diambilkan aku juga disuapi.
“Semua keputusan tentang anak ini kuserahkan padanya, asal jika aku ingin bertemu dengan buah hatiku sesekali, lelaki itu mengizinkan,” jawabku lirih sambil mengusap perut.
“Kamu tidak ada niat untuk berusaha mendapatkan hak asuh?” Ummu Hilza bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar sendu.
Aku menggelengkan kepala ragu, “Aku takut, jika anak ini ikut bersamaku, dia akan melarat dalam kemiskinan. Aku ingin dia hidup sejahtera, bisa sekolah tinggi dan menjadi orang hebat seperti ayah dan keluarga ayahnya.”
Mendengar jawabanku yang penuh akan rasa takut, Ummu Hilza tersenyum tipis. Diraihnya tanganku dan oleh wanita itu digenggamnya seerat mungkin. “Seorang anak, sekalipun orangtuanya sudah berpisah dan dia ikut ibu, sang ayah tetap diwajibkan untuk menafkahinya. Apalagi anak perempuan.”
“Meskipun nanti anak tersebut Tuan Harraz izinkan ikut kamu, tenang saja Talita, Tuan Harraz dan keluarga Ghazalah yang sangat paham dengan syari’atnya tidak akan membiarkanmu banting-tulang membesarkannya sendirian.” Lagi-lagi, aku banyak belajar dari wanita berparas campuran Indonesia-Turki ini. Dari mulutnya ‘lah aku tahu banyak hal, mulai dari arti pentingnya seorang saudari meski tidak sedarah dan ajaran-ajaran agama yang juga diterapkan di keluarga Ghazalah.
“Jadi menurutku jika kamu ingin merundingkannya dengan Tuan Harraz agar bisa mendapatkan hak asuh anak kalian, tak perlu khawatir. Lakukan ‘lah. Tuan Harraz tidak akan menelantarkan tanggungjawabnya.” Tanganku masih ditangkup, membuatku semakin merasa haru. Kupeluk erat wanita yang lebih tua puluhan tahun dariku itu.
Kalimatnya membuatku bertekad, agar kelak jika berpisah dari Tuan Harraz, sebagai anak yatim-piatu aku tidak kesepian. Ada anak yang bisa kubawa ikut-serta, meski kami berdua masih harus terikat kuat oleh ayahnya.
***
“Aku bisa sendiri Ummu,” protesku saat piring makanku diambil dan Ummu Hilza memaksa untuk menyuapiku. Ummu Hilza menggeleng, aku pasrah menerima suapan demi suapan darinya. Daripada diperlakukan seperti ibu hamil, aku lebih diperlakukan seperti balita.
“Kamu harus makan banyak,” suruh Ummu Hilza setelah sekali aku mengaku kenyang. “Kamu sudah berbadan dua, ada mulut lain yang juga harus kamu isi.” Padahal aku tidak terlalu berselera, tapi paksaan Ummu Hilza terpaksa kuturuti.
“Di depan kayaknya ramai banget ya,” gumamku sambil berdiri di depan jendela kamar. Dari kejauhan, aku bisa melihat gerbang utama rumah didesaki oleh mobil-mobil mewah. Entah acara dan pertemuan apa yang Tuan Harraz selenggarakan sejak beberapa hari yang lalu.
Sebenarnya aku boleh ke depan asal tidak ke luar rumah, tapi jika terlalu ramai aku takut sendiri.
“Memangnya ada acara apa, Ummu?” Aku menoleh dan bertanya pada Ummu Hilza yang raut wajahnya sudah berubah.
“Bukan acara apa-apa,” wanita itu menjawab dengan seulas senyum mencurigakan. “Orang-orang hanya ingin bertemu Tuan Harraz saja, setelah tersebar kabar … kalian akan bercerai. Mereka ingin Tuan Harraz meminang salahsatu dari anak perempuan mereka.”
Rautku ikut berubah mendengar jawaban Ummu Hilza. Sambil menutupi rasa sedih ini aku manggut-manggut santai. “Jadi apa Tuan Harraz sudah mendapatkan calon baru?” Aku bertanya, seakan tidak memengaruhi hatiku samasekali.
“Dia bilang belum ingin menikahi siapapun sampai kamu menyudahi masa iddah,” setelah berkata seperti itu Ummu Hilza membawa piring bekas makanku keluar dari kamar. Aku diam di tempat karena tidak menyangka dengan jawabannya.
Jika Tuan Harraz ingin segera menikah lagi, silahkan saja. Toh, aku ini calon mantan istrinya. Entah kenapa, dia malah menungguku untuk pergi dari rumah ini terlebih dahulu.
Selama menjadi menantu wanita keluarga Ghazalah, aku diberitahu Ummu Hilza keluarga terhormat yang religius ini memegang teguh prinsip monogami, mereka bilang monogami lebih dekat pada ruh syari’at daripada poligami, sehingga itulah mereka semua hanya beristri satu sampai akhir hayat.
Mungkin itu salahsatu alasan mengapa Tuan Harraz tidak langsung mencari wanita lain setelah menalakku, bisa saja dia ingin memastikan aku benar-benar lepas darinya terlebih dahulu sebelum menikahi wanita lain demi prinsip yang keluarga mereka pegang teguh. Tapi masalahnya, sembilan bulan lebih tidak menyentuh wanita, apa Tuan Harraz Ilham Ghazalah tahan?
Aku bukan berburuk sangka dia tidak kuat iman, aku hanya kepikiran bagaimana dulu lelaki itu menjaga kesetiaannya pada satu istri dengan selalu membawaku kemana-mana jika dia pergi, stres jika seminggu lebih jauh dariku sebagai pemilik ranjang yang menjauhkannya dari zina, dan bagaimana aku yang setiap malam harus menurut saat melayaninya layaknya seorang istri.
Aku harap, Tuan Harraz bisa menahannya sampai suatu hari nanti lelaki itu bertemu dengan wanita yang tepat untuk dinikahinya. Jika aku menanyakannya pada Ummu Hilza, tentu saja beliau akan menertawakanku. Karena hanya aku yang tahu, bagaimana ganasnya lelaki itu.
“Boleh aku ke depan, Ummu?” Tanyaku pada Ummu Hilza saat wanita itu kembali. Beliau menatapku bingung, karena meski aku diperbolehkan berkeliaran di rumah ini dengan syarat tidak boleh keluar, aku jarang melewati pintu kamar dan lebih suka mengurung diri.
“Tumben?”
“Aku hanya ingin bertemu Fatimah, adiknya Tuan Fauzan. Ummu tahu sendiri ‘kan, kami berteman baik bahkan sebelum aku dan Tuan Harraz menjadi sepasang suami-istri,” bujukku dengan senyum manis.
“Baiklah kalau begitu,” Ummu Hilza mengizinkan. “Tapi sebaiknya kamu kutemani. Tuan Harraz melarangku meninggalkanmu sendiri.”
Meski tidak suka diuntiti aku mengangguk saja. Setelah mencuci muka tanpa memakai riasan sama sekali, aku memakai hijab dan keluar dari kamar untuk pertamakalinya setelah satu bulan ini. Ummu Hilza mengikutiku, gerak tubuh dan mata wanita itu nampak mewaspadai. Entah apa yang harus wanita itu takutkan? Toh, aku hanya berkeliaran di rumah ini.
“Fatimah!” Jingkrakku saat bertemu Fatimah di ruang tengah. Aku langsung memeluk wanita itu di depannya kakaknya.
“Ih Lita, aku baru aja mau nemuin kamu, loh. Udah nyamperin duluan aja,” Fatimah balas memelukku. Sebelum ikut bersama Fatimah ke tempat yang lebih sepi, aku diam-diam melirik Tuan Harraz yang duduk tegap di sebuah sofa. Lelaki itu terlihat datar, dan nampak tidak perduli. Tatapan matanya begitu kosong dan dingin, membuatku gugup sendiri meski dia saja tidak menyadari kehadiranku.
Tuan Harraz mengabaikan semua wanita di sekitarnya, mereka yang mengajak mengobrol tak diacuhkan lelaki itu. Tapi jika orangtua sang wanita yang mengajaknya bicara, lelaki itu menanggapi sekedarnya, masih dengan kalimat singkat dan senyum yang nyaris tak ramah.
“Yuk,” Fatimah menarik lenganku, gadis itu terlihat bersemangat. Awalnya langkahku berat, melihat Tuan Harraz mendadak pergi dan meninggalkan tempat duduknya aku langsung bergegas pergi sebelum ketahuan. Entah apa yang harus kutakuti, yang penting lari.
“Ya Allah Lita, kok wajah kamu kusam gini, sih?” Celetukan Fatimah membuatku cemberut, gadis cantik itu menangkup gemas wajah kecilku. “Seharusnya kamu banyak dandan loh,” ujarnya. “Biar Mas Harraz terpesona dan merujukmu lagi.” Mendengar sarannya aku bergidik tidak suka. Jika aku benar-benar melakukannya, rasanya tidak benar. Kenapa aku harus sengaja menggoda pria, yang sudah bulat memutuskan untuk menceraikanku? Entah kenapa Fatimah berkata seperti itu. “Kalau aku gitu, malah kedengarannya nggak tahu diri ‘kan?” Mendengar pertanyaanku Fatimah terbahak, “Nggak gitu, dong. Malah sunnahnya seorang istri yang tengah menjalani masa iddah karena ditalak suaminya untuk banyak bersolek, agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan merujuk istrinya lagi. Kamu tahu sendiri ‘kan Allah membenci perceraian.” Aku ber-ah setelah Fatimah menjelaskan. Wanita itu kini sibuk menyiapkan alat rias dan baju-baju yang bagus untukku. “Itu ‘kan, bagi istri yang masih berharap dibersamai suami
“Mulai malam ini, hanya makan malam saja kamu tidak boleh lagi makan di kamar, Lita. Tuan Harraz memintamu untuk makan malam di luar bersamanya.” Mataku membulat sempurna mendengar perkataan Ummu Hilza. Tubuhku yang tadi rileks mendadak tidak nyaman, Ummu Hilza yang lagi-lagi terlihat merasa bersalah memintaku untuk mencuci muka, mengganti pakaian dan sedikit berdandan. Aku ingin menolak, tapi sepasang mata Ummu Hilza yang redup sudah memberitahuku, kalau aku sama sekali tidak bisa menolak perintah tersebut. Aku ke kamar mandi sibuk mencuci muka agar lebih bersih, Ummu Hilza yang masih di kamarku tengah menyiapkan gaun dan hijab bagus untuk kupakai. “Pakai ini.” Saat aku keluar dari kamar mandi, Ummu Hilza menunjukkan sebuah gaun cerah padaku.“Kenapa aku harus memakai gaun yang paling dia sukai, Ummu?” Tanyaku setelah merasa familier dengan gaun yang wanita itu berikan. Tidak menarik kembali sodorannya, Ummu Hilza tetap memberikannya padaku, “Pakai saja. Agar saat memandangmu, bi
"Jadi apapun yang terjadi, sekalipun keluarga Ghazalah memaksa Tuan untuk merujukku, Tuan tetap tidak akan merujukku?"Aktivitas makan Tuan Harraz terhenti saat aku bertanya dengan suara pelan untuk memastikan.Tuan Harraz seakan kehilangan selera makan. Lelaki itu terlihat enggan untuk menghabiskan isi piringnya yang beberapa detik yang lalu dimakannya dengan lahap."Ya."Sambil mengangguk, lelaki itu menyahut singkat."Baguslah kalau begitu Tuan," dengan senyum getir aku melanjutkan makan malamku. Lelaki yang duduk berseberangan denganku itu terlihat tersinggung saat aku fokus sendiri dan mengabaikannya."Aku salat istikharah setiap malam semenjak menalakmu." Kunyahanku tidak sampai ke kerongkongan saat Tuan Harraz berkata seperti itu."Aku hanya berusaha meyakinkan hati," hembusan napas lelaki itu terdengar berat. "Tapi jawaban yang kudapatkan selalu bertentangan dengan apa yang sudah kuputuskan.""Apa yang kamu ragukan, Tuan?" Tanyaku sambil menatap lekat wajahnya.Tuan Harraz uru
Awalnya makan malam berlangsung hangat. Satu meja makan dipenuhi banyak orang yang terdiri dari Tuan Harraz, Mas Nazar bersama istrinya, Hasan dan Husain, termasuk beberapa anggota keluarga Ghazalah yang lain. Tiba-tiba mereka berpindah satu-persatu ke ruang makan sebelah meninggalkanku berdua saja dengan Tuan Harraz di meja ini. Mendadak selera makanku hilang, sedangkan Tuan Harraz tidak perduli, mulutnya masih santai mengunyah. "Duduk kembali," titahnya tiba-tiba saat aku baru saja hendak berdiri untuk membawa makananku ke kamar. Meski sudah tiga malam berturut-turut kami makan semeja tiap malam, aku masih canggung dengan pria itu. "Habiskan makananmu," lelaki itu bicara tanpa menatapku. Aku menelan ludah karena sedikit takut. "Mas," aku memanggil selembut mungkin setelah menelan sisa nasi di mulut dengan susah-payah. "Ya--" lelaki itu baru saja hendak menyahut. Mulutnya langsung bungkam saat menyadari panggilanku untuknya berubah. Tuan Harraz menatapku lekat, membuatku tidak b
Kepala lelaki itu tertunduk, di depan Paman Adam Tuan Harraz terlihat begitu menghormati. Seakan menatap balik mata pamannya, diharamkan oleh lelaki itu. “Talita adalah perempuan baik, Raz. Dia sempurna untukmu, seharusnya kamu pertimbangkan hal itu. Jika ada satu hal yang tidak kamu sukai dari istrimu, bersabarlah, sesungguhnya Talita memiliki lebih banyak kelebihan yang bisa menyenangkan hatimu. Kamu hanya perlu bersyukur dan akan menyadari hal itu.” Tuan Harraz masih diam dengan jemari yang saling meremuk satusama lain. Tuan Harraz terlihat enggan balik bicara, karena takut terjadi adu mulut dengan orang yang lelaki itu hormati. Lain halnya jika yang mengajaknya bicara Tuan Fauzan atau Mas Nazar, perselisihan pendapat tidak bisa dihindari. Karena didiamkan keponakannya, Paman Adam menghela napas dengan kasar, “Baiklah jika memang itu keputusanmu, tapi kami tidak akan menyerah untuk meyakinkanmu sampai Talita melahirkan. Bisa katakan, kenapa kamu menalak Talita? Apa dia memiliki
Hawa dingin di tengah malam membuatku terbangun dengan tubuh berpeluh dingin. Setelah menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, aku berusaha tidur lagi. Tapi usahaku sia, mataku yang terpejam tidak bisa diajak bekerjasama dengan alam bawah sadarku. Seharusnya aku menyisihkan waktu untuk beribadah, namun entah mengapa tulang-tulang tubuh ini terasa begitu malas bangkit untuk sekedar mengambil air wudhu’ dan Tahajud. Padahal mungkin saja, bangunnya aku pukul segini adalah teguran Tuhan untuk lebih banyak beribadah padanya. Tubuhku merespon tidak nyaman saat suara kunci pintu diputar terdengar. Kukira, suara itu berasal dari ruangan sebelah, sayangnya aku salah besar! Pintu yang kubelakangi terbuka pelan, kusadari hal itu dari cahaya lampu luar yang menelusup ke dalam, sedikit menerangi kamarku yang lampunya dimatikan. Aku ingin membuka mata, tapi tidak berani setelah tercium aroma parfum yang sangat kukenali. Langkah pelannya hampir tidak terdengar, pintu yang tadi terbuka
“Kamu memanggil saya ke sini, Mas?”Diantar oleh Abimanyu aku sampai di ruangan Tuan Harraz. Tuan Harraz yang tadinya mengotak-atik laptop mengangkat kepalanya dan menatapku lekat. Aku menepuk bibir karena tidak sadar bertanya pada orang yang tidak boleh bicara. Kami bertiga saja di ruangan itu, membuatku tidak nyaman. Tanpa bicara apapun lagi, aku memindahkan tubuh ke sofa dan mendudukinya. Aku bingung sendiri bagaimana berinteraksi dengan Tuan Harraz jika lelaki itu bicara saja tidak boleh. Lewat chat ‘kah? Tulisan? Atau bagaimana? Jika begitu, seharusnya dia tidak memanggilku ke sini, hanya menyuruh Abimanyu untuk memberitahuku agar membaca dan membalas pesan-pesannya.“Kenapa diam saja?” Tuan Harraz bertanya membuatku yang tadinya hendak menyahut langsung melongo.“Bukannya Mas lagi puasa bicara?”Senyum lelaki itu terlihat samar, “Aku hanya puasa bicara pada orang lain, tidak padamu.”“Memangnya bisa begitu?” Tanyaku heran
“Menikahlah denganku,” ajakannya saat itu masih tersemat jelas di kepala.Dimana lelaki itu berdiri tepat di depanku dengan mata yang menatap sedingin es dan bibir yang tak tersenyum samasekali.“Akan kuberikan segalanya. Semaumu. Sesukamu. Demi Allah, hidupmu ratusan kali lipat akan lebih baik dari ini.”“Tidak Tuan, maaf ….” Saat mendengar ajakan tersebut dan menolaknya, aku benar-benar ketakutan. Saat dagu lelaki itu terangkat angkuh ke atas, kepalaku tertunduk ke bawah.Sekaya apapun dia, serupawan apapun Harraz Ilham Ghazalah, aku tidak mau menerimanya. Aku membenci lelaki itu. Sangat, demi Tuhan. Dia adalah tipe lelaki yang paling kuhindari, ramah tanpa senyum, ringan tangan pada orang yang melakukan sebuah kesalahan sedikit saja dan bermulut tajam. Pencuri kecil yang terpaksa menyelinap masuk ke rumahnya hanya karena terdesak situasi saja habis di tangannya, bagaimana denganku jika menikahi lelaki kasar seperti itu? Aku