Untuk pertama kali dalam hidup, aku merasakan ketakutan yang luar biasa pada sosok pria di depanku. Pria yang menikahiku sepuluh tahun lalu dan telah menghadiahi dua putri cantik dalam perkawinan kami itu biasanya memang sangat irit bicara.
"Ma-afkan aku, Mas," ucapku terbata. Tubuhku limbung ke lantai saat perih tak mampu lagi membendung air mata. Kebahagiaan yang sempat meluap usai perjumpaanku dengan pria idaman lain beberapa jam yang lalu mendadak hilang begitu saja, berganti sebuah penyesalan yang tak pernah terbayang akan bisa kurasakan sebelumnya. Aku bersimpuh, tunduk menatap lantai dingin yang bahkan pagi harinya masih kutapaki dengan jejak riang mengiring hasratku untuk bertemu dengan kekasih hati yang telah mengisi hari-hariku beberapa bulan terakhir.Sepandai-pandai menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Aku tahu pepatah itu. Tapi sepertinya aku sudah berusaha menyimpan rapat segala hal tentang Narendra. Bahkan tak pernah kubiarkan sedikitpun jejak digital tersimpan setelah chat mesranya selama ini. Apalagi tentang pertemuan-pertemuan rahasia kami.
Satu hal yang membuatku tak habis pikir. Bagaimana cara Mas Dewo bisa tahu semua itu? Sejak kapan dia mulai mengendus pengkhianatanku? Ironisnya, dia justru mengungkapnya tepat di hari ulang tahunku dan di depan mata anak-anak kami.Aku merasa begitu kotor saat ini. Bahkan dua putriku pun seperti tak mau mendekat lagi padaku. Keduanya kini hanya berdiri memandang jarak beberapa meter dari tempatku bersimpuh dengan tatapan yang tak mengerti. Dua pasang mata tak berdosa itu kurasakan begitu membenciku.
"Bangun!" seru Mas Dewo lagi.Aku pun mendongak, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menatap kembali Mas Dewo yang kini tengah berdiri tepat di depanku mengepal tangannya yang masih terlihat bergetar.
"Berdiri!" teriaknya kemudian.Jantungku terasa mau lepas mendengar ucap dengan nada tinggi itu. Aku bahkan tak ingat kapan dia pernah berkata kasar seperti itu kepadaku. Ini pertama kalinya dan aku merasa sangat ketakutan.
Dengan susah payah aku mencoba bangkit dari posisi bersimpuh. Namun sebelum dua kaki ini berhasil menumpu dengan sempurna di lantai, tiba-tiba kurasakan tangannya menarik rambut panjangku dengan kasar dan menyeret tubuh ini mengikuti langkahnya yang berat."Ibu!!!" Kudengar suara Aqilla, anak bungsuku menjerit dan diikuti tangisan anak pertamaku. Sayangnya, Mas Dewo seolah tuli. Dia tidak peduli dan terus menyeret tubuhku, sampai suara tangis kedua putri kami tak terdengar lagi.
Ternyata, pria itu menarikku sampai ke ruangan di dekat dapur yang selama ini kami sebut dengan gudang.
Brak!Sesampainya kami di sana, Mas Dewo langsung menendang keras daun pintu yang jarang-jarang kami buka itu. Tanpa menunggu waktu lama, dia pun mendorong kuat hingga tubuhku merangsek ke dalam, lalu terjerembab di lantai yang sangat kotor dan berdebu.
Sebelum kusadari apa yang terjadi, gudang itu pun telah tertutup rapat, diikuti suara kunci yang diputar dari luar.Rupanya, inilah cara Mas Dewo menghukumku. Bukan dengan mengotori mulutnya dengan caci maki, tetapi mengurungku di tempat barang-barang berkas tak terpakai di rumah kami.
"Aw!" Aku meringis menahan perih tak terkira. Rasanya, rambutku seperti usai dicabut paksa dari batok kepala karena Mas Dewo menariknya sangat kuat tadi. Dengan masih berlinangan air mata, kucoba menggeser tubuh untuk duduk bersandar di dinding gudang yang gelap dan pengap itu.Demi apapun, aku tak pernah menyangka Mas Dewo bisa berbuat sekejam ini padaku! Dia yang sehari-harinya terlihat pendiam, tak banyak bicara, dan biasanya juga tak terlalu peduli dengan apa yang kulakukan, kali ini benar-benar membuatku shock.Di tengah kesakitanku meringis bersandar pada tembok lembab gudang, tiba-tiba ada getaran yang kurasakan dari dalam saku cardigan panjangku. "Ponselku!" pekikku dalam hati. Rupanya, aku masih menyimpan benda pipih yang selama ini aku sembunyikan dari suamiku itu di saku baju bagian dalam. Benda pipih berukuran tak terlalu besar namun berharga mahal yang dihadiahkan Narendra untukku beberapa bulan yang lalu. “Haruskah kuhubungi Narendra agar dia bisa membantuku keluar dari ruang sempit ini? Tapi, mungkinkah aku bisa hidup tanpa anak-anakku nantinya jika aku memilih untuk pergi bersama dengan Narendra?” lirihku pelan.Jika aku dan Mas Dewo sampai bercerai, bukankah hak asuh anak-anakku otomatis akan jatuh ke tangannya karena akulah yang telah menyelingkuhinya? Lagipula, pekerjaan suamiku yang seorang Pegawai Negeri Sipil itu tentu jauh lebih dipercaya daripada aku yang hanya seorang penulis freelance.
Satu, dua, tiga menit berlalu. Berulang kali, kupejamkan mata untuk menentukan keputusan terbaik. Aku segera mengakhiri kebimbangan dengan membuka akun perpesanan di ponsel.[Tolong aku! Kamu harus selamatkan aku, Re. Suamiku mengurungku di gudang. Dia sudah tahu semuanya tentang kita.]Beberapa menit menunggu, tapi centang dua itu tak kunjung jadi biru.Hatiku mulai gelisah. Campur aduk antara rasa nyeri di badan dan sesak di dada–menanti yang tak pasti.
Seketika, mataku terpaku pada warna biru di layar. Narendra telah membaca pesan dariku! Hatiku bersorak, tetapi kegembiraan itu tak berlangsung lama karena tak ada balasan apapun darinya. Narendra bahkan tak terlihat online lagi setelahnya.
“Apa pria itu hanyalah seorang pengecut yang tersesat sampai ke hatiku? Bukankah, selama ini dia selalu berjanji untuk membahagiakanku? Bahkan, dia selalu mengkhayalkan kami akan bersama dalam sebuah biduk rumah tangga suatu hari kelak walau kami tak pernah tahu kapan itu akan terjadi.” Suara batinku berkecamuk.Aku masih ingat dengan jelas segala hal yang dikatakannya. Pria itu berkata bahwa andai aku mau bicara jujur saat merasa tak bahagia dengan Dewo, saat itu juga dia akan menjemput dan membawaku pergi dari rumah ini. “Mungkinkah itu hanya rayuan gombal?” Tanpa sadar, aku mulai menggigit bibirku resah.Belum selesai dengan pertentangan batinku, akun Narendra tiba-tiba terlihat sedang mengetikkan sesuatu. Segala kekhawatiran yang tadi melingkupi hatiku seakan lenyap dan berganti dengan kegembiraan.[Hei, Jalang! Membusuklah kamu di situ! Suamiku tidak akan pernah datang untuk menolongmu.] balas akun itu.Deg!“Hah? Narendra punya istri?” tanyaku lirih pada diri sendiri. Betapa terkejutnya aku mendapat balasan itu. Mata panas sisa tangisan beberapa saat yang lalu saja belum hilang, tetapi air bening kembali deras terjun dari dua mataku. Bukankah selama ini dia bilang bahwa dia telah bercerai dari istrinya? Apa aku telah dibohonginya?"Arghh!" Aku memukul kepalaku yang seketika pening.Lalu, apa artinya hubungan kami beberapa bulan ini untuknya? Apa dia berniat menipuku? Benarkah aku telah begitu bodoh mengkhianati suami dan anak-anakku demi seorang laki-laki hidung belang seperti dia?****Krosak!Aku mendengar bunyi sesuatu mendekati gudang. Saat ini sudah lewat tengah malam, mungkinkah itu Mas Dewo yang berbaik hati akan mengeluarkanku dari tempat ini? Aku rasanya sudah sangat kelaparan. Terakhir aku mengisi perut tengah hari lalu bersama dengan Narendra di apartemennya yang mewah. Dia memesankan banyak sekali makanan dari aplikasi pesan antar dan menemaniku makan sambil ngobrol banyak
"Cepat!"Mendengar teriakannya, aku pun susah payah bangkit dengan berpegangan pada tembok. Rasa sakit di sekujur tubuh tak lebih sakit dari menyadari bahwa nyatanya dia hanya berdiri mematung saja melihat kesusahanku berusaha berdiri. Tak sedikitpun terbersit keinginan di wajahnya untuk membantu. Sepertinya, kehidupan kami memang sudah benar-benar berakhir sekarang. Dengan terseok, kuikuti langkahnya menuju ke kamar. Suasana rumah sudah sangat sepi saat kami melewati dapur dan ruang makan. Tak kutemukan suara anak-anak di mana-mana. Sejenak kusempatkan mata untuk melirik jam dinding di ruang tengah sebelum kami masuk ke kamar. Waktu sudah menunjuk pukul 7:20 pagi. "Jemput anak-anak nanti siang! Aku ada rapat penting hari ini," ujarnya cepat-kembali memerintahku seperti budak. Kali ini, dia bahkan tidak menoleh padaku sama sekali. Tangan Mas Dewo juga segera menyambar tas kerjanya di atas nakas, lalu melangkah cepat meninggalkan kamar.Dari dulu semenjak kami menikah, aku memang ta
"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya. Aku yakin saat ini pun dia pasti sama bingungnya dengan aku. "Aku kirim videonya ke kamu aja ya? Coba kamu lihat sendiri. Aku takut kamu nyangka aku macem-macem," lanjutnya. Rani kemudian mengirimiku sebuah video usai memutuskan sambungan telepon kami. Awalnya, aku sama sekali tak punya bayangan video apa yang dikirimkannya itu. Tapi, saat aku melihatnya dengan seksama, rasanya aku tak percaya bahwa yang sedang ada di dalamnya adalah Mas Dewo dengan seorang wanita. Mereka terlihat mesra, bahkan perempuan itu sempat terlihat mencium pipi Mas Dewo."Hah? Dia siapa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. "Aku juga nggak tau, Ni. Tapi sepertinya dia pemilik warung makan yang aku datangi sekarang," ucapnya masih dengan berbisik. Tak lama , Rani pun mengirimiku sebuah foto nomor meja bertuliskan "Rumah Makan Mbak Sri". "Terima kasih, Ran. Nanti
"Ayah sering ajak kami makan di sini," jawab Naya.Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Belum sempat aku mengendalikan ekspresi, seorang wanita berjalan pelan menghampiri kami. Langkahnya tegap, sangat sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi dengan tubuh padat berisi. Aku menduga tingginya tak terpaut jauh dengan Mas Dewo. Gaunnya yang melekat pas di badan itu makin menegaskan lekuk-lekuk tubuhnya yang bisa dibilang subur. Dibanding aku yang bertubuh kurus dan sedikit lebih pendek darinya, sepertinya wanita ini lebih cocok jika disandingkan dengan Mas Dewo. Tinggi mereka hampir sama, besar badannya juga tak jauh beda, dan menurutku usia mereka pun sepertinya sepantaran."Halo Naya dan Aqilla kesayangan tante. Apa kabar kalian? Kok, udah lama nggak ke sini?" Wanita itu langsung berjongkok saat berhasil mencapai tempat kami berdiri. Aqilla yang pertama menerima kecupan di pipi, baru kemudian Naya.Apa-apaan ini? Apakah selalu seperti itu cara wanita ini menyapa anak-anak dari para
Tiga jam setelah pulang dari rumah makan Sri, aku sudah ada di depan laptop. Rumah sudah dalam keadaan rapi seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Mas Dewo. Naya dan Aqilla pun sudah selesai mandi dan kini sedang bersantai di ruang tengah. Hanya beberapa menit setelah aku online, sebuah pesan messenger masuk ke akun media sosial favoritku. [Sore, Agni. Apa kabarmu?] tulis sebuah akun dengan nama 'Alfa' di akun messengernya. Aku meliriknya sekilas. Saat ini, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku dan memeriksa email-email yang masuk. Setelah selesai, barulah aku menanggapi pesan itu. Alfa Wiradharma adalah seorang pria yang kukenal dari sebuah grup f******k beberapa tahun yang lalu. Dia adalah salah satu admin di grup yang membahas tentang parenting. Dia juga yang pertama kali menawariku untuk menjadi salah satu kontributor tetap di salah satu website miliknya. [Aku baik, Al. Kamu gimana?] balasku. [Beneran baik atau pura-pura baik saja? Semalam aku
"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya l
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum
Aku masih terpikir dengan ucapan Mirna dan Rida, bahkan saat kami telah sampai kembali di rumah. Jadi ternyata Mas Dewo dan Sri itu teman lama. Dan Sri, rupanya telah menyukai suamiku itu sejak dulu. Mas Dewo kulihat langsung mengganti pakaian dengan kaos ketat dan celana cargo pendeknya, sementara aku sibuk di meja makan menata makanan yang tadi sempat disiapkan ibu untuk kami bawa pulang. "Bu, Ayah mau ajak ke taman bermain alun-alun." Aqilla muncul untuk memberitaku bahwa mereka betiga akan pergi. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu terlihat anak itu kembali berlari riang meninggalkanku. Baiklah, jadi dia sudah mulai tak betah lagi di rumah, sampai sampai baru datang langsung ingin pergi.Usai menata makanan yang banyak itu di meja, aku bermaksud beristirahat sebentar di kamar saat tiba-tiba Rani menelpon. "Agni, gimana? Kok nggak cerita-cerita sih? Suamimu lagi di rumah nggak?" Dia langsung menodongku dengan banyak pertanyaan saat panggilannya kuangkat. Wajar saja, sejak d