"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya lirih saat tangan Mas Dewo menyentuh pipinya lembut. "Qilla, makan yuk! Ayah tadi bawain ikan bakar lho," ucap pria itu mengalihkan perhatian. Aku hanya menghela nafas mendengar itu. "Aqilla belum laper, Yah." Anak itu pun menggeleng. "Ya udah kalau gitu ikut ayah, yuk! Tadi, nenek kirim pesan ke ayah katanya kangen sama Qilla. Kita telpon nenek, oke?" Lalu Mas Dewo menggandeng tangan Aqilla dan mengajaknya menjauh dari dapur. Langkahnya terlihat ragu mengikuti langkah lebar ayahnya sambil sesekali menoleh ke arahku dengan raut kekhawatiran.Setelah Mas Dewo meninggalkan dapur, aku segera menyiapkan makan malam untuk kami. Di ruang tengah kulihat Naya masih sibuk dengan televisi di depannya. Anak itu bahkan tak terganggu sedikit pun dengan bunyi piring dan sendok yang kutata di meja makan.Sementara itu, dari serambi rumah sayup-sayup aku bisa mendengar suara Mas Dewo sedang berbicara dengan seseorang ditelepon. Sesekali kudengar suara Aqilla ikut menyahut. "Memangnya mau ada acara apa besok siang, Bu?" tanyanya."Oke Nek, nanti Qilla dan Kak Naya pasti datang. Aqilla kasih tahu ibu dulu, ya?" Lalu terdengar suara anak bungsuku yang manja.Entah apa yang dibicarakan Mas Dewo lagi di telepon itu dengan ibunya, karena kemudian suara Aqilla yang memanggil-manggilku menenggelamkan suara pembicaraan itu."Bu, besok nenek nyuruh kita ke sana," ucapnya. Aku langsung mengelus kepalanya dengan lembut menanggapi antusiasnya."Ada acara apa memangnya, Sayang?" tanyaku."Bapak ngadain acara silaturahmi dengan teman-teman pensiunannya. Kita semua disuruh ke sana." Tiba-tiba suara Mas Dewo sudah ada di dekatku.Aku begitu malas menanggapinya. Jadi, kuputuskan hanya diam saja, bahkan berpura-pura sibuk menata makanan di meja. Dia pun sepertinya cuek. Lalu tak ada lagi pembicaraan setelah itu.***Malam harinya, kami makan malam seperti biasa. Hanya saja, kali ini suasana lebih lengang dari biasanya. Aqilla yang beberapa kali mengajak bicara kami, tapi aku menjawabnya sekedarnya. Mas Dewo yang sepertinya lebih antusias menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari bungsu kami itu.Usai makan malam, Mas Dewo meminta Naya dan Aqilla masuk ke dalam kamar. Lalu dia pun menyusulku ke dapur."Besok, aku akan pulang dari kantor lebih awal. Anak-anak biar aku yang jemput. Kamu siap-siap saja. Kita langsung ke rumah bapak kalau aku sampai." Aku diam mendengarkan, tapi tak menanggapi sepatah kata pun. Aku justru pura-pura sibuk dengan piring-piring kotor di bak cuci. Sepertinya, dia gusar dengan tingkahku, hingga kemudian dicekalnya lenganku dan dibalikkannya badanku untuk menghadap ke arahnya."Kamu dengerin aku nggak, sih?" tanyanya marah.Dengan malas, aku hanya menggangguk.
"Aku nggak mau di sana nanti sikapmu seperti ini. Bersikaplah seperti biasa. Aku nggak mau keluargaku tahu ada masalah di antara kita," putusnya lalu pergi.Aku tidak kaget dia mengatakan hal seperti itu. Mas Dewo memang orang yang tidak pernah mau terlihat buruk di depan semua orang. Walau selama ini dia tidak pernah mengatakan itu, tapi bahasa tubuhnya selalu ingin aku tampil baik-baik saja di hadapan siapapun saat sedang bersamanya.***Hari berikutnya, seperti yang dia katakan, Mas Dewo menjemput Naya dan Aqilla lebih awal. Acara di tempat mertuaku dimulai jam 1 siang. Jadi, mereka ingin kami sudah sampai di sana sebelum acara dimulai.Usai mendandani Naya dan Aqilla, kami pun mulai meninggalkan rumah. Di sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam. Kulihat beberapa kali Mas Dewo melirikku dari kaca spion depan sambil mengomentari apa yang dilakukan Aqilla di kursi penumpang depan. Ada kesan sepertinya dia khawatir aku tidak akan bersikap baik di hadapan keluarganya dan pada tamu undangan nanti.Saat kami tiba di rumah orangtuanya, Mas Dewo membiarkan anak-anak keluar sendiri dari mobil. Ini sedikit aneh, karena biasanya dia akan mendahulukan mereka dalam hal apapun dibanding aku.Anehnya lagi, dia justru membukakan pintu mobil untukku.
"Senyumlah! Mukamu itu nggak enak banget dilihat," katanya sambil merangkul lenganku dan mengajakku bergerak menyusul anak-anak yang sudah berlarian menuju rumah kakeknya.Kuhela nafas dalam-dalam mendengar ucapannya. Rasanya, sangat sulit untuk tersenyum di tengah situasi seperti ini. Tapi, melihatku tidak segera tersenyum, Mas Dewo malah menekan lenganku sedikit kasar. Sepertinya dengan itu, dia ingin menunjukkan betapa berkuasanya dia padaku.Karena merasa sedikit kesakitan, hampir saja aku meneriakinya saat itu juga. Namun kuurungkan niat saat kulihat ibu sudah berdiri di depan pintu menyambut kami."Duh kalian kok baru datang? Itu adik-adikmu udah datang lho dari tadi, Wo. Ibu pikir kalian tidak jadi ke sini," ucap ibu mertuaku dengan sumringah."Maaf Bu, tadi di kantor agak banyak kerjaan. Jadi aku telat minta izinnya," jelas Mas Dewo. Tanpa bicara, aku langsung meraih tangan ibu dan menciumnya dengan takzim."Ni, kamu sehat kan? Kok ibu lihat sepertinya kamu kurang tidur. Matamu kayak lagi sakit lho, Ni," ucap ibu yang seketika membuatku langsung gugup.Dari ujung mataku, aku bahkan melihat mata Mas Dewo membulat.
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum
Aku masih terpikir dengan ucapan Mirna dan Rida, bahkan saat kami telah sampai kembali di rumah. Jadi ternyata Mas Dewo dan Sri itu teman lama. Dan Sri, rupanya telah menyukai suamiku itu sejak dulu. Mas Dewo kulihat langsung mengganti pakaian dengan kaos ketat dan celana cargo pendeknya, sementara aku sibuk di meja makan menata makanan yang tadi sempat disiapkan ibu untuk kami bawa pulang. "Bu, Ayah mau ajak ke taman bermain alun-alun." Aqilla muncul untuk memberitaku bahwa mereka betiga akan pergi. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu terlihat anak itu kembali berlari riang meninggalkanku. Baiklah, jadi dia sudah mulai tak betah lagi di rumah, sampai sampai baru datang langsung ingin pergi.Usai menata makanan yang banyak itu di meja, aku bermaksud beristirahat sebentar di kamar saat tiba-tiba Rani menelpon. "Agni, gimana? Kok nggak cerita-cerita sih? Suamimu lagi di rumah nggak?" Dia langsung menodongku dengan banyak pertanyaan saat panggilannya kuangkat. Wajar saja, sejak d
Aku begitu terkejut mendengar Rani menyebutkan nama Narendra. Pria itu datang ke rumah Rani? Ada apa?Walau sudah tak ingin peduli lagi dengan segala hal tentangnya, tapi rasa penasaranku menggelitik untuk kemudian menajamkan pendengaran. Sayangnya, beberapa saat kemudiam aku sudah tak mendengar apapun lagi. Sunyi. [Sebentar ya, Ni. Narendra datang ke sini. Nanti aku kabari lagi.] Menyusul sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Rupanya Rani tak ingin aku mendengarkan pembicaraan mereka.Kembali ke kamar, aku jadi teringat ponsel yang kusembunyikan di bagian paling bawah lemari baju. Memang di sana lah tempat persembunyian benda pipih itu beberapa bulan ini setelah menjadi milikku. Sejak Narendra memberikannya padaku, aku tak pernah berani menampakkannya saat sedang berada di rumah, kecuali jika Mas Dewo dan anak-anakku sedang ada di luar. Memang jadi sejahat dan sepengecut itulah aku saking tergila-gilanya pada pria itu.Terkadang rasa bersalah juga sering membuatku sulit memejamkan m
Malam itu saat Agnia Prameswari dikurung di gudang rumahnya yang kotor, seorang pria tampan dengan balutan handuk putih di pinggang keluar dari kamar mandi privat di rumahnya yang mewah."Sayang, kamu kapan datang?" Dia begitu kaget melihat istrinya telah ada di dalam kamar dan sedang memegang ponsel miliknya. Seingatnya, Celine masih akan pulang beberapa hari lagi dari Bali dalam rangka menengok anak-anak dan cucu-cucunya."Ini apa, Narendra?" Mata wanita berusia 50 tahun itu nyalang menatap suaminya. Celine sebenarnya sudah tak heran dengan kelakuan sang suami. Pria tampan yang saat dinikahinya masih berstatus lajang beberapa tahun lalu itu memang dikenalnya sedikit player. Wanita itu memutuskan untuk menikah dengannya karena rasa nyaman dan kepuasan yang dia dapat dari pria itu. Menjadi janda selama bertahun-tahun setelah suami pengusahanya yang kaya raya meninggal dunia, membuatnya begitu kesepian.Kehadiran Narendra sebagai teman kencan saja ternyata tak bisa membuatnya puas, hi
"Bukannya kemarin kamu bilang mau di Bali seminggu? Kenapa sudah pulang?"Narendra mengelus lengan sang istri usai sesi bercinta mereka yang sangat panas beberapa saat lalu.Celine tampak kelelahan di posisi berbaringnya. "Mereka lagi sibuk persiapan mau liburan ke luar negeri." "Oya? Kenapa kamu nggak ikut sekalian, Sayang?""Liburan sama anak-anak dan suami mereka? Mendingan enggak deh. Aku nggak mau jadi baby sitter buat cucu-cucuku," ujar wanita itu. Narendra pun tertawa. Dia sangat tahu bagaimana tidak tertariknya Celine pada anak-anak. Walau sebagai nenek, dia termasuk orang yang sangat royal pada para cucunya. Celine selalu menjadi orang yang memberi hadiah paling mahal di momen-momen bahagia cucu-cucunya. Tapi untuk mengurus cucu-cucunya seperti nenek-nenek lainnya di muka bumi ini, bukanlah gaya wanita kaya raya itu.Tak ingin membuat istrinya merasa lebih tak nyaman dengan obrolan itu, Narendra pun segera bangkit dari pembaringan. Lalu berjalan ke dapur untuk mengambil d
Sementara itu, di malam yang sama di ruang makan rumah Agnia, Dewo sedang duduk berhadapan dengan dua anak perempuannya. "Kenapa tidak dimakan, Sayang?" Dewo menatap bungsunya yang sedari tadi hanya menunduk sambil memainkan sendok di piringnya. Saat gadis kecil itu kemudian mendongak, tampak bola mata indahnya sedang berkaca-kaca. Dewo tahu Aqilla memang sangat dekat dengan ibunya. Gadis kecil cantik itu pasti sedang memikirkan nasib Agnia yang dikurungnya di dalam gudang. "Ibu belum makan dari tadi siang, Yah," ujarnya dengan suara serak hampir menangis. Dewo menghela nafas berat. Tak mau terpengaruh dengan ucapan anak bungsunya itu, pria itu pun beralih pandang ke Naya. Nasi dan ayam bakar yang dipesannya via aplikasi online beberapa saat yang lalu sudah hampir habis di piring anak sulungnya itu. "Naya mau nambah?" tanya Dewo. Sementara Aqilla yang memperhatikan sikap acuh ayahnya, mulai menunduk lagi, menyembunyikan dua bulir bening yang mulai jatuh menyusuri dua pipi chubby
Dewo memarkirkan mobil di garasi rumah tepat saat arloji di pergelangan tangannya menunjuk pukul 4 dini hari. Kemarahannya pada sang istri sama sekali belum berkurang walau dirinya telah menguras segenap tenaga dan hasratnya pada wanita lain. Sri Andari adalah temannya dari kecil. Sejak beranjak remaja, wanita itu memang begitu memujanya. Bahkan hingga saat Dewo memutuskan untuk menikahi Agnia, Sri yang saat itu telah menikah dengan seorang pengusaha kaya yang sudah tua renta, rela menjadi wanita simpanan pria itu selama bertahun-tahun. Biasanya memang Sri lah yang menjadi pelarian Dewo saat lelaki itu sedang kecewa dengan sikap Agnia yang seolah tak pernah bisa mencintainya sepenuhnya selama ini.Sebagai lelaki, dia merasa sudah berusaha membuat istrinya tak pernah kekurangan secara materi. Meski tak seluruh penghasilannya diberikan pada Agnia setiap bulannya, tapi Dewo yakin jatah yang diberikannya pada wanita itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dewo merasa tel
Setelah menunggu Aqilla berpamitan dengan ibunya, Dewo langsung melajukan mobilnya ke taman kota. Sesampainya di sana, dibiarkannya anak-anaknya bermain sepuasnya, sementara dia duduk mengamati sambil sesekali memeriksa ponselnya. Tak berapa lama kemudian, datanglah seorang pemuda berpostur tinggi kurus menghampirinya. Dewo lalu mengajaknya bergeser ke warung di dekat tempat itu. Sementara anak-anaknya masih sibuk dengan mainannya, Dewo mendengarkan dengan seksama lelaki di depannya berbicara panjang lebar. Simon adalah orang kepercayaan yang ditugaskan untuk membuntuti istrinya dua minggu belakangan, saat Dewo mulai menemukan tanda-tanda yang mencurigakan dalam diri Agnia. Di atas meja di depan mereka, tergeletak secarik kertas yang baru saja dikeluarkan Simon dari saku jaketnya."Dia teman sekelas istri Anda saat di SMP, Pak," ulang pria itu."Yang itu aku sudah tau. Kamu sudah mengatakannya waktu itu," sahut Dewo cepat."Tapi Anda belum tau kan kalau dia itu sebenarnya bukan p
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi