Sementara itu, di malam yang sama di ruang makan rumah Agnia, Dewo sedang duduk berhadapan dengan dua anak perempuannya. "Kenapa tidak dimakan, Sayang?" Dewo menatap bungsunya yang sedari tadi hanya menunduk sambil memainkan sendok di piringnya. Saat gadis kecil itu kemudian mendongak, tampak bola mata indahnya sedang berkaca-kaca. Dewo tahu Aqilla memang sangat dekat dengan ibunya. Gadis kecil cantik itu pasti sedang memikirkan nasib Agnia yang dikurungnya di dalam gudang. "Ibu belum makan dari tadi siang, Yah," ujarnya dengan suara serak hampir menangis. Dewo menghela nafas berat. Tak mau terpengaruh dengan ucapan anak bungsunya itu, pria itu pun beralih pandang ke Naya. Nasi dan ayam bakar yang dipesannya via aplikasi online beberapa saat yang lalu sudah hampir habis di piring anak sulungnya itu. "Naya mau nambah?" tanya Dewo. Sementara Aqilla yang memperhatikan sikap acuh ayahnya, mulai menunduk lagi, menyembunyikan dua bulir bening yang mulai jatuh menyusuri dua pipi chubby
Dewo memarkirkan mobil di garasi rumah tepat saat arloji di pergelangan tangannya menunjuk pukul 4 dini hari. Kemarahannya pada sang istri sama sekali belum berkurang walau dirinya telah menguras segenap tenaga dan hasratnya pada wanita lain. Sri Andari adalah temannya dari kecil. Sejak beranjak remaja, wanita itu memang begitu memujanya. Bahkan hingga saat Dewo memutuskan untuk menikahi Agnia, Sri yang saat itu telah menikah dengan seorang pengusaha kaya yang sudah tua renta, rela menjadi wanita simpanan pria itu selama bertahun-tahun. Biasanya memang Sri lah yang menjadi pelarian Dewo saat lelaki itu sedang kecewa dengan sikap Agnia yang seolah tak pernah bisa mencintainya sepenuhnya selama ini.Sebagai lelaki, dia merasa sudah berusaha membuat istrinya tak pernah kekurangan secara materi. Meski tak seluruh penghasilannya diberikan pada Agnia setiap bulannya, tapi Dewo yakin jatah yang diberikannya pada wanita itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dewo merasa tel
Setelah menunggu Aqilla berpamitan dengan ibunya, Dewo langsung melajukan mobilnya ke taman kota. Sesampainya di sana, dibiarkannya anak-anaknya bermain sepuasnya, sementara dia duduk mengamati sambil sesekali memeriksa ponselnya. Tak berapa lama kemudian, datanglah seorang pemuda berpostur tinggi kurus menghampirinya. Dewo lalu mengajaknya bergeser ke warung di dekat tempat itu. Sementara anak-anaknya masih sibuk dengan mainannya, Dewo mendengarkan dengan seksama lelaki di depannya berbicara panjang lebar. Simon adalah orang kepercayaan yang ditugaskan untuk membuntuti istrinya dua minggu belakangan, saat Dewo mulai menemukan tanda-tanda yang mencurigakan dalam diri Agnia. Di atas meja di depan mereka, tergeletak secarik kertas yang baru saja dikeluarkan Simon dari saku jaketnya."Dia teman sekelas istri Anda saat di SMP, Pak," ulang pria itu."Yang itu aku sudah tau. Kamu sudah mengatakannya waktu itu," sahut Dewo cepat."Tapi Anda belum tau kan kalau dia itu sebenarnya bukan p
Di ruang tamu, jantung Agnia pun sedang berdegup tak kalah cepat saat melihat dari jendela, suaminya yang tiba-tiba bergegas menghampiri mobil mewah yang terparkir di depan rumah mereka. Dia sudah tahu saat mobil mewah milik Narendra itu berhenti di sana beberapa saat lalu. Tentu dia masih sangat hafal dengan semua merk dan warna mobil yang pernah ditumpanginya, milik lelaki yang sempat membuat hari-harinya bahagia beberapa waktu yang lalu itu. Narendra memang tak hanya royal padanya selama ini, dia juga suka menunjukkan semua barang-barang mewahnya pada Agnia. Mungkin karena sedang begitu tergila-gila, wanita itu bahkan tak merasa terganggu sedikitpun dengan sifat suka pamer lelaki itu. "Ayo mandi, Sayang. Setelah itu ganti baju," ucapnya kemudian dengan buru-buru, menggandeng tangan Aqilla yang masih belum beranjak juga dari cerita-cerita serunya. Melihat Dewo berjalan cepat ke arah rumah dengan muka bersungut, Agnia tahu betapa besarnya kemarahan dalam diri suaminya saat itu.
[Apa kabar kamu?] Pesan di messenger itu menyambutnya saat benda pipih di depannya menyala dengan sempurna. Dengan penuh sesal, Agnia pun segera mengetikkan balasan ke akun itu.[Maaf Al, aku sepertinya melewatkan beberapa pekerjaanku. Aku agak sibuk di dunia nyata] tulis wanita itu diikuti emoticon menepuk dahi. [Aku tidak sedang menagih pekerjaanmu.] Alfa tertawa di akhir kalimatnya. [Apa kamu baik-baik saja?] tulisnya lagi saat tak ada respon dari wanita yang diajaknya berbalas chat.. [Aku baik. Jangan khawatir.] balas Agnia akhirnya.[Tapi kok aku merasa kamu lagi nggak baik ya.][Jangan sok tahu kamu, Al] Agnia mengirimkan stiker tawa lebar. [Apa kamu lagi butuh bantuan, Agnia Prameswari?]Alfa Wiradharma. Begitulah nama akrab lelaki itu di aplikasi pertemanan berwarna biru. Lelaki yang dikenalnya beberapa tahun lalu itu memang selalu sok tahu. Tapi anehnya, terkadang apa yang dia katakan sangat relate dengan yang sedang dirasakannya selama ini. Jari-jari Agnia sudah siap m
Pagi itu, seperti biasa keluarga kecil itu berkumpul untuk sarapan. Dan seperti biasa pula, Bimo hanya menikmati secangkir kopinya sambil menunggui dua putrinya selesai menghabiskan makanan mereka. Sebelah tangannya sibuk dengan ponsel dan sebelahnya lagi sebatang rokok."Nggak sarapan sekalian, Mas?" tanya Agnia ragu. Dulu pertanyaan seperti itu selalu dilontarkannya saat keempatnya sedang ada di meja makan. Meski Agnia tahu jawaban Bimo akan selalu menolak. Seingatnya, lelaki itu memang sudah jarang mau sarapan sejak beberapa tahun yang lalu. Jika tak salah ingat, mungkin saat dirinya sedang mengandung Naya. Entahlah, mungkin saat itu Dewo sudah mulai menjalin hubungan dengan wanita bernama Sri itu. Bukankah wanita itu punya warung makan yang dekat dengan kantornya?Dewo hanya melirik istrinya sekilas. Sepertinya dia kaget Agnia masih mau berbasa-basi lagi dengannya setelah apa yang terjadi di antara mereka. Sejenak lelaki itu seperti sedang berpikir. Lalu mulai menurunkan ponsel d
"Sudah Re, jangan bicara apa-apa lagi. Pergilah! Kalau suamiku pulang, kita bisa mati." Agnia mendorong keras tubuh lelaki itu. Narendra yang tak siap dengan perlawanan Agnia sedikit terhuyung ke belakang. "Apa-apaan sih?" Kekagetan itu hampir membuatnya marah. Tapi saat sadar emosinya hanya akan membuat wanita di depannya itu takut dan semakin menolaknya, Narendra langsung melembutkan tatapannya. "Kamu kenapa kasar gitu sih, Sayang?" Tangannya berusaha meraih bahu Agnia, tapi wanita itu mundur untuk menghindarinya."Pergilah, Re! Pergi atau aku akan teriak minta tolong," ancamnya. Dan ternyata itu berhasil menghentikan langkahnya mendekat. Narendra dengan hasrat yang masih menggebu terlihat sangat kesal dengan penolakan itu. Sejenak lelaki itu hanya diam mengamati wanita di depannya yang sudah bersiap untuk melawan. "Kamu benar-benar mau kita pisah?" tanyanya lagi dengan tatap mata tajam yang menghujam."Iya!" Tanpa pikir panjang, Agnia langsung menyahut. "Oke! Aku pergi! Tapi in
"Apa-apaan kamu, Mas?! Mana anak-anak?" Agnia terkejut saat siang itu tiba-tiba Dewo datang dengan penuh amarah. Lelaki itu bahkan belum sempat mematikan mesin mobilnya saat turun dari roda empatnya dan berjalan cepat ke dalam rumah. Agnia yang sempat melihat itu dari kamar tamu terhenyak. Rasa penasaran segera menyerbu saat tak dilihatnya dua putrinya bersama dengan sang suami. Belum hilang rasa penasaran, Agnia dikejutkan kembali oleh tubuh kekar Bimo yang merangsek masuk dan langsung menyeretnya ke dalam kamar. Beberapa detik kemudian, lelaki itu membanting tubuhnya di atas kasur. "Masih mau bilang kalau kamu nggak berbuat mesum di rumahku, Jal*ng?!" Wajah lelaki itu sudah terlihat merah, membuat Agnia begitu takut. Namun kalimat itu rasanya sudah cukup untuk menjelaskan penyebab lelaki itu murka. Dewo ternyata sudah tahu kedatangan Narendra beberapa jam yang lalu ke rumah mereka. "Mak-sud kamu apa, Mas?" Agnia yang masih dalam kondisi kaget, bertanya dengan gugup."Jangan pur