"Sudah Re, jangan bicara apa-apa lagi. Pergilah! Kalau suamiku pulang, kita bisa mati." Agnia mendorong keras tubuh lelaki itu. Narendra yang tak siap dengan perlawanan Agnia sedikit terhuyung ke belakang. "Apa-apaan sih?" Kekagetan itu hampir membuatnya marah. Tapi saat sadar emosinya hanya akan membuat wanita di depannya itu takut dan semakin menolaknya, Narendra langsung melembutkan tatapannya. "Kamu kenapa kasar gitu sih, Sayang?" Tangannya berusaha meraih bahu Agnia, tapi wanita itu mundur untuk menghindarinya."Pergilah, Re! Pergi atau aku akan teriak minta tolong," ancamnya. Dan ternyata itu berhasil menghentikan langkahnya mendekat. Narendra dengan hasrat yang masih menggebu terlihat sangat kesal dengan penolakan itu. Sejenak lelaki itu hanya diam mengamati wanita di depannya yang sudah bersiap untuk melawan. "Kamu benar-benar mau kita pisah?" tanyanya lagi dengan tatap mata tajam yang menghujam."Iya!" Tanpa pikir panjang, Agnia langsung menyahut. "Oke! Aku pergi! Tapi in
"Apa-apaan kamu, Mas?! Mana anak-anak?" Agnia terkejut saat siang itu tiba-tiba Dewo datang dengan penuh amarah. Lelaki itu bahkan belum sempat mematikan mesin mobilnya saat turun dari roda empatnya dan berjalan cepat ke dalam rumah. Agnia yang sempat melihat itu dari kamar tamu terhenyak. Rasa penasaran segera menyerbu saat tak dilihatnya dua putrinya bersama dengan sang suami. Belum hilang rasa penasaran, Agnia dikejutkan kembali oleh tubuh kekar Bimo yang merangsek masuk dan langsung menyeretnya ke dalam kamar. Beberapa detik kemudian, lelaki itu membanting tubuhnya di atas kasur. "Masih mau bilang kalau kamu nggak berbuat mesum di rumahku, Jal*ng?!" Wajah lelaki itu sudah terlihat merah, membuat Agnia begitu takut. Namun kalimat itu rasanya sudah cukup untuk menjelaskan penyebab lelaki itu murka. Dewo ternyata sudah tahu kedatangan Narendra beberapa jam yang lalu ke rumah mereka. "Mak-sud kamu apa, Mas?" Agnia yang masih dalam kondisi kaget, bertanya dengan gugup."Jangan pur
Sungguh, Dewo pun sejujurnya kaget Agnia sampai seperti itu. Emosinya meledak begitu saja, tidak sempat ia kendalikan. Tindakannya itu benar-benar diluar kehendaknya, spontanitas, wujud kemarahan dan kecemburuannya yang besar terhadap sang istri. "Sial! Aku kebablasan! Padahal aku hanya bermaksud memberinya pelajaran. Kenapa malah jadi seperti ini?" Bayang-bayang ketakutan Dewo semakin membesar. Lama sekali Dokter tidak kunjung keluar dari ruangan. Lampu gawat darurat juga masih menyala. Dewo pun memutuskan untuk kembali duduk. Dia terlihat mulai lelah karena dari tadi terus mondar-mandir menunggu selesainya pemeriksaan. Tepat di saat Dewo hendak melesakkan tubuhnya ke kursi tunggu, lampu gawat darurat menunjukkan perubahan warna, pertanda kalau pemeriksaan Agnia sudah selesai. Bersamaan dengan itu pula, dokter baru saja keluar. Dengan langkah tergesa, Dewo pun menghampiri sang dokter. "Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanyanya dengan wajah cemas. Dokter itu nampak tersenyu
Beberapa saat setelah menelpon mertuanya, Dewo langsung pamit pergi. Inginnya dia segera membawa orangtua Agnia ke rumah sakit agar dia bisa segera beristirahat di rumah bersama dua putrinya. Sejujurnya hatinya masih sangat sakit jika melihat wajah istrinya. Walau hubungannya dengan Sri sudah terjadi jauh sebelum dia mengenal Agnia, tetap saja dia tak mau mengakui bahwa dirinya sendiri juga sudah mengkhianati wanita itu. Rasanya saat ini memandang wajah cantik yang selalu dipujanya itu membuatnya ingin muntah saja. Roda empatnya pun kini bergerak cepat meninggalkan rumah sakit. Semakin cepat pergi, semakin baik. Dia akan menjemput anak-anaknya, kemudian mertuanya. Setelah itu, dia akan mengajak dua anak itu pulang bersamanya. "Biar saja orangtuanya yang menjaganya," ucapnya dalam hati. Meski ada sedikit keraguan jika nanti Agnia tidak akan bisa menjaga omongannya di depan kedua orangtuanya, tapi Dewo tetap memilih untuk meninggalkannya. Toh, dia sudah mengancam wanita itu unt
Selama ini Dewo mengira Aqilla hanyalah anak polos yang tidak menyadari saat Ibunya pernah diperlakukannya dengan kasar. Dewo memang tahu, kalau Aqilla dan Naya telah beberapa kali melihat saat dirinya sedang berbuat kasar pada istrinya itu. Namun Dewo tidak terpikir kalau anak-anak seusia mereka sudah dikatakan cukup mengerti dengan hubungan buruknya dengan sang Istri. "Ka-Kamu pernah mukulin Agnia, Wo? Apa benar itu yang dibilang Aqilla?!" Suara Ibu mertuanya terdengar meninggi.Dewo bungkam di belakang kemudi. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa.“Dewo! Kenapa kamu diam saja? Jawab ibu!" Ibunda Agnia terlihat mulai emosi, sementara sang suami di sampingnya terlihat bingung harus berbuat apa. Dewo diam bukan tanpa alasan, melainkan sedang berpikir keras mencari alasan untuk membela diri dan mengalihkan tuduhan Aqilla. Dia tentu tidak mau sampai orang tua Agnia mengetahui tabiat buruknya. "Ee …." Saat Dewo merasa sudah mendapatkan alasan yang tepat, sebuah senyuman terkem
"Pulang ... kerumah Ibu?" Dewo mengulang perkataan Ibu mertuanya, seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Pikiran buruk Dewo mulai muncul. Sekarang ia jadi yakin kalau Ibunya Agnia menyadari ada yang tidak beres dengan anaknya. Seharusnya memang Dewo tidak meremehkan insting seorang Ibu pada anaknya. "Iya Wo, biar Agnia nanti ibu dan bapak yang rawat dulu. Kamu juga nggak perlu mengantar. Kami bisa pesan taksi saja besok. Kamu jaga anak-anak saja dulu," ucap wanita baya itu. "Ehmm … tapi, Bu." Dewo terlihat bingung. Digaruknya kepalanya berkali-kali, tapi sepertinya ibu mertuanya tak begitu memperhatikan. Justru Agnia yang langsung paham dengan kegelisahan suaminya itu."Kamu nggak perlu khawatir, Mas. Paling aku cuma sebentar di rumah ibu. Kalau sudah membaik, aku akan langsung pulang," ujarnya dengan mata langsung menusuk manik mata sang suami. Ada rasa puas melihat Dewo gelisah dan takut seperti itu. Itu artinya, masih ada hal yang ditakuti oleh lelaki itu dalam hi
Narendra terdiam sejenak. Untuk sesaat dia terlihat sangat serius memikirkan sesuatu. Hingga tak lama kemudian, pikirannya terjeda oleh suara teriakan Rani dari seberang. "Re, Kamu masih disana kan? Dengerin aku ngomong nggak?" "Iya, denger. Ya udah aku bareng kamu deh ke sana. Wait ya, kamu tunggu aku jemput," katanya. Narendra pikir, mungkin jika dia pergi bersama Rani, Agnia tidak akan bisa menolak kedatangannya. Lagipula, seandainya ada suami wanita itu di sana, situasinya pasti akan baik-baik saja karena ada Rani bersamanya. Walau begitu, ada hal yang membuat Narendra kemudian jadi bertanya-tanya. Mengapa Agnia pulang ke rumah orang tuanya? Mungkinkah hubungannnya dengan suaminya kini makin tak baik? Karena rasa penasarannya itu, dia pun makin bersemangat untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan di kepalanya. Narendra bertekad untuk segera mencari tahu. ***Setelah lebih dari satu jam, lelaki yang ditunggunya baru datang. Narendra dengan mobil mewahnya seperti bias
"Re …." Suara itu nyaris tak keluar dari mulut Agnia saking kagetnya. Matanya langsung beralih pada Rani yang justru hanya senyum-senyum saja menatapnya. Padahal saat itu, jelas sekali terlihat bagaimana pucatnya wajah Agnia. Dia panik, bagaimana kalau Dewo sampai tahu Narendra mengunjunginya di rumah orangtuanya?"Tadi Narendra lagi main ke rumahku, jadi aku ajak sekalian ke sini, Ni. Nggak apa-apa kan?" Seolah tahu kekhawatiran sahabatnya, Rani pun segera membuka suara. Raut wajahnya begitu ceria, seolah tak ada hal yang perlu dicemaskan dengan kedatangannya dengan Narendra saat itu. "Oh iya Ni, Nak Narendra sama Rani tadi bawain ini buat kamu." Ibunda Agnia menyela perbincangan itu dengan masuk kembali ke dalam kamar, membawa 2 paperbag dan menaruhnya di atas meja kamar anaknya. Agnia menghela nafas berat dan langsung menatap kembali lelaki yang sedang berdiri di belakang sahabatnya dengan gelengan kepala tak mengerti. Ayahnya muncul membawakan dua tamunya kursi portable untuk