"Re …." Suara itu nyaris tak keluar dari mulut Agnia saking kagetnya. Matanya langsung beralih pada Rani yang justru hanya senyum-senyum saja menatapnya. Padahal saat itu, jelas sekali terlihat bagaimana pucatnya wajah Agnia. Dia panik, bagaimana kalau Dewo sampai tahu Narendra mengunjunginya di rumah orangtuanya?"Tadi Narendra lagi main ke rumahku, jadi aku ajak sekalian ke sini, Ni. Nggak apa-apa kan?" Seolah tahu kekhawatiran sahabatnya, Rani pun segera membuka suara. Raut wajahnya begitu ceria, seolah tak ada hal yang perlu dicemaskan dengan kedatangannya dengan Narendra saat itu. "Oh iya Ni, Nak Narendra sama Rani tadi bawain ini buat kamu." Ibunda Agnia menyela perbincangan itu dengan masuk kembali ke dalam kamar, membawa 2 paperbag dan menaruhnya di atas meja kamar anaknya. Agnia menghela nafas berat dan langsung menatap kembali lelaki yang sedang berdiri di belakang sahabatnya dengan gelengan kepala tak mengerti. Ayahnya muncul membawakan dua tamunya kursi portable untuk
"Mas, ada apa?" Agnia yang kaget dengan kedatangan suaminya yang tiba-tiba langsung bertanya. Namun rupanya, sedikit pun Dewo tak menggubris pertanyaan istrinya. Lelaki itu bahkan sama sekali tak mau menatap ke arahnya. Ibunda Agnia yang mengikuti langkah tergesa lelaki itu ke dalam kamar, terlihat begitu panik. Sementara suaminya yang juga mengikuti di belakang pun tak kalah gelisah. "Ada apa ini, Wo?" tanya lelaki baya itu penasaran."Dimana? Dimana tasnya?!" teriak lelaki itu sembari berkeliling ke tiap sudut kamar. Sepertinya tas milik Agnia lah yang sedang dia cari.Agnia yang makin bingung dengan tingkah suaminya hanya bisa saling pandang dengan ayahnya. "Sebenarnya kamu lagi nyari apa, Wo?" Kali ini ibunda Agnia yang bertanya."Apa kalian semua budeg?!" Teriakan itu tak hanya mengagetkan dua orang tuanya, namun juga Agnia yang masih tampak lemah di atas tempat tidurnya. Dewo yang dikenal ayah dan ibu Agnia sebagai sosok suami yang pendiam dan ayah yang sayang pada anak-anakn
Di sepanjang perjalanan, pasangan suami istri itu membisu. Dewo memacu laju roda empatnya dengan cepat di jalanan yang lumayan lengang menuju rumahnya tanpa bicea sepatah kata pun. Hanya satu tujuannya saat itu. Dia bisa segera memberi pelajaran pada istrinya yang begitu berani menerima kedatangan lelaki bernama Narendra itu di rumah orang tuanya. ***Dua jam yang lalu sepulang kantor, dia langsung menuju ke rumah Sri. Saat tiba di sana, Naya dan Aqilla sudah menunggunya di ruang tamu rumah utama Sri di bagian belakang warung makan. Dewo memang sengaja meminta bantuan Sri untuk menjemput dua putrinya itu sepulang sekolah. Setelah menjemput Naya dan Aqilla, Sri mengajak dua putri Dewo itu mampir ke mall sebentar untuk berjalan-jalan. Dengan cara itu, setidaknya dia bisa mengalihkan perhatian Naya dan Aqilla dari pertanyaan membosankan tentang jam berapa ayah mereka pulang dari kantor. Dewo yang hari itu mendapat pekerjaan mendadak dari atasannya, rupanya tak bisa berkutik kala Agnia
"Kenapa kamu teriak gitu? Kamu mau menantang suamimu, hah?!" Dewo tak kalah keras berteriak pada istrinya. Bahkan kali ini lelaki itu mulai merangkak naik ke atas tempat tidur mendekati Agnia yang sudah dalam posisi duduk. Namun Dewo kaget, saat tangan Agnia tiba-tiba meraih cepat lampu hias dari atas nakas di samping tempat tidur dan mengangkatnya tinggi-tinggi, bersiap untuk melemparkannya pada lelaki yang makin bergerak mendekat padanya itu.Dewo sampai refleks mundur saking terkejutnya. "Kamu mau apa? Jangan macam-macam!" ancamnya balik. Namun Agnia seolah tak takut lagi dengan itu. "Kamu yang jangan macam-macam, Mas! Sudah cukup ya kamu perlakukan aku seperti binatang. Kamu nggak punya perasaan, Mas. Aku ini istrimu. Tapi apa? Apa selama ini kamu pernah benar-benar menganggapku seperti itu?" Wanita itu seolah sudah tak peduli hal apa yang bisa saja terjadi padanya jika berani melawan Dewo seperti itu. Dia sepertinya sudah abai dengan keamanan dirinya sendiri. Yang ada di pikir
"Kita cerai saja, Mas." Karena lama tak mendapat respon dari Dewo, akhirnya Agnia berucap lagi. Kali ini Dewo bangkit dari duduknya, walau tetap tak bersuara. Usai menghembuskan nafas berat, lelaki itu berjalan ke luar dari kamar."Mas! Aku lagi bicara!" Agnia sedikit berteriak, meminta lelaki itu untuk kembali. Tapi Dewo hanya meliriknya sekilas untuk kemudian menghilang di balik tembok. Agnia memejamkan mata melihat ketidakpedualian suaminya. Meski sebenarnya dia sedikit bisa merasakan perbedaan sikap Dewo kali ini. Lelaki itu mau mendengarkannya tanpa mengedepankan emosinya lagi, walau sesaat. Mungkinkah moment itu akan terulang lagi saat dia kembali?Dari arah dapur, sayup terdengar suara denting sendok beradu dengan gelas. Sepertinya lelaki itu masih tidak berniat pergi. Entah apa yang sedang dilakukannya di dapur saat ini. Namun belum sempat Agnia menebak, Dewo telah muncul kembali dari arah pintu sambil membawa dua cangkir kopi panas. Mulut Agnia sontak membulat melihat itu
Sayang? Ucapan manis itu, entah sudah berapa tahun lamanya tak pernah keluar dari mulut suaminya. Agnia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Dewo mengucap kata itu untuknya. Mungkin dulu, saat keduanya baru saya melangsungkan pernikahan.Dua telapak tangan yang memegang wajahnya pun tak menampakkan jejak pernah memperlakukan istrinya dengan sangat kasar. Mendadak Dewo seolah menjelma bagai sosok suami yang sempurna. Cukup lama keduanya saling tatap di posisi masing-masing. Sekilas dilihat, pasangan suami istri itu seperti sedang ingin memadu kasih. Dewo juga mulai menggerakkan tangannya membelai rambut panjang sang istri dengan lembut. Namun kemudian lelaki itu tersentak kala Agnia menggeser pelan tubuhnya sedikit menjauh. Secara naluri, lelaki itu tampak meradang. Tapi demi merasakan banda pipih di saku celananya yang bergetar, Dewo melepaskan tangannya dari kepala sang istri. Di depannya, Agnia bernafas lega. Sejak Dewo mengurungnya di dalam gudang waktu itu, dia sudah berjanji
Saat sedang asyik berbincang dengan dua putrinya sambil menikmati steak, Dewo tiba-tiba merasa terganggu dengan sikap gelisah Agnia yang duduk di sampingnya. [ Lusa aku jadi ke kotamu. Kamu benar-benar nggak ingin bertemu denganku?]Sebuah notifikasi dari pesan messenger membuat Agnia tertegun hingga tak bisa menyembunyikan kegelisahannya di depan suaminya.“Ada apa? Kenapa nggak dimakan?” Dewo yang penasaran, tak bisa menahan tanya.“Enggak Mas, nggak apa-apa. Perutku tiba-tiba mules aja,” dalihnya.“Oh, dimakan dulu aja. Nanti pulangnya kita mampir apotek nyari obat. Persediaan obat di rumah habis kan?” Dewo mengulurkan sebotol air putih di dekatnya pada sang istri. Agnia sedikit keheranan karena baru kali ini suaminya sangat paham soal printilan di rumah mereka.“Tahu dari mana, Mas? Tumben kamu tahu rumah lagi nggak ada obat?” Agnia memicing ke arah suaminya usai menelan suapan pertama.“Kemarin itu pas kamu di rumah sakit, Naya sakit perut. Aku nyari-nyari minyak angin di kotak
Lelaki itu berguling ke sebelah istrinya usai melampiaskan hasrat. Wajahnya tampak begitu puas melihat wanita itu akhirnya tak bisa melakukan perlawanan apapun di bawah tekanannya. Dewo menggaulinya dengan sangat kasar dan tak pantas dilakukan oleh seorang suami. Susah payah tenaga yang dikeluarkan Agnia untuk melawan lelaki itu pada akhirnya hanya mendapatkan tertawaan puas.Seharusnya dia bahagia melakukan kewajiban mulia itu. Tapi bertahun-tahun memang dia melakukannya hanya karena terpaksa dan pura-pura bahagia setelahnya. Namun rupanya, semua keterpaksaan yang dilakukan Agnia selama ini belum ada apa-apanya dari rasa sakit dipaksa melayani Dewo setelah dirinya mengetahui hubungan lelaki itu dengan wanita lain. Agnia baru akan bergerak untuk bangkit, saat tangan kekar Dewo meraih pundaknya. Tak ingin melihat raut kepuasan yang menjijikkan di wajah sang suami, Agnia pun memejamkan mata.“Mau kemana? Istirahat saja, Sayang,” ucap lelaki itu lembut usai sebuah kecupan mendarat pan