Saat sedang asyik berbincang dengan dua putrinya sambil menikmati steak, Dewo tiba-tiba merasa terganggu dengan sikap gelisah Agnia yang duduk di sampingnya. [ Lusa aku jadi ke kotamu. Kamu benar-benar nggak ingin bertemu denganku?]Sebuah notifikasi dari pesan messenger membuat Agnia tertegun hingga tak bisa menyembunyikan kegelisahannya di depan suaminya.“Ada apa? Kenapa nggak dimakan?” Dewo yang penasaran, tak bisa menahan tanya.“Enggak Mas, nggak apa-apa. Perutku tiba-tiba mules aja,” dalihnya.“Oh, dimakan dulu aja. Nanti pulangnya kita mampir apotek nyari obat. Persediaan obat di rumah habis kan?” Dewo mengulurkan sebotol air putih di dekatnya pada sang istri. Agnia sedikit keheranan karena baru kali ini suaminya sangat paham soal printilan di rumah mereka.“Tahu dari mana, Mas? Tumben kamu tahu rumah lagi nggak ada obat?” Agnia memicing ke arah suaminya usai menelan suapan pertama.“Kemarin itu pas kamu di rumah sakit, Naya sakit perut. Aku nyari-nyari minyak angin di kotak
Lelaki itu berguling ke sebelah istrinya usai melampiaskan hasrat. Wajahnya tampak begitu puas melihat wanita itu akhirnya tak bisa melakukan perlawanan apapun di bawah tekanannya. Dewo menggaulinya dengan sangat kasar dan tak pantas dilakukan oleh seorang suami. Susah payah tenaga yang dikeluarkan Agnia untuk melawan lelaki itu pada akhirnya hanya mendapatkan tertawaan puas.Seharusnya dia bahagia melakukan kewajiban mulia itu. Tapi bertahun-tahun memang dia melakukannya hanya karena terpaksa dan pura-pura bahagia setelahnya. Namun rupanya, semua keterpaksaan yang dilakukan Agnia selama ini belum ada apa-apanya dari rasa sakit dipaksa melayani Dewo setelah dirinya mengetahui hubungan lelaki itu dengan wanita lain. Agnia baru akan bergerak untuk bangkit, saat tangan kekar Dewo meraih pundaknya. Tak ingin melihat raut kepuasan yang menjijikkan di wajah sang suami, Agnia pun memejamkan mata.“Mau kemana? Istirahat saja, Sayang,” ucap lelaki itu lembut usai sebuah kecupan mendarat pan
“Motor Ibu dimana?” Aqilla langsung celingukan saat sampai di luar gerbang sekolah. Naya pun tak mau ketinggalan mengikuti adiknya mencari-cari.“Ibu nggak bawa motor. Tadi ibu naik taksi online. Badan ibu masih belum kuat, Sayang.” Agnia menggandeng dua bahu anaknya untuk diajak menepi di sebuah pohon yang cukup rindang. “Sebentar ya ibu pesen taksi dulu,” lanjutnya kemudian, sebelum akhirnya mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya. Sementara ibunya sibuk dengan aplikasi transportasi online, dua anak itu tampak sibuk menyapa teman-teman yang lalu lalang terlihat masih lalu lalang di depan mereka.Sambil memperhatikan layar ponselnya, beberapa kali wanita itu terlihat putus asa karena karena harus mengulang kembali orderannya. Tak ada satu driver pun yang tersedia untuk mem-pick up mereka siang itu.“Kenapa, Bu?” Naya yang sempat memperhatikan ibunya pun langsung bertanya. “Enggak apa-apa. Pak Drivernya lag pada sibuk kayaknya, Kak. Nunggu dulu nggak apa-apa ya, sayang?”“Ng
Beberapa kali Agnia melirik ke arah spion, memindai jalanan di belakang taksi online dengan gelisah. Setelah yakin bahwa Narendra tidak membuntuti, wanita itu baru bisa sedikit bernafas lega.“Ada apa sih, Bu? Apa Om tadi itu orang jahat?” Suara Aqilla segera mengurai kekhawatirannya. Menurutnya, saat ini sepertinya jauh lebih penting memberi pengertian pada anak-anaknya bahwa tidak pernah ada kejadian apapun beberapa saat yang lalu dengan orang asing dibanding harus mengkhawatirkan keberadaan Narendra mengganggu pikirannya.“Ibu nggak tahu, Sayang. Ibu juga nggak kenal kok siapa orang tadi,” bohongnya. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini, dia harus memastikan bahwa anak-anaknya tidak akan membahas pertemuan mereka dengan Narendra pada ayahnya saat lelaki itu pulang dari luar kota nanti. “Oh, aku kira tadi temannya Ibu.” Kali ini Naya yang bicara. Tatap tajam mata anak itu sedikit membuat Agnia khawatir. Dibanding adiknya, Naya tentu lebih paham dengan apa yang sedang terja
“Bagaimana mungkin? Kita pernah satu sekolah?” Mata Agnia membelalak lebar. Rasanya dia tak mungkin bisa percaya jika saja tak dilihat dengan mata kepalanya sendiri namanya dan nama Alfa berada dalam satu halaman di sebuah buku kenangan sebuah Sekolah Dasar yang terletak di dekat tempat kediaman orang tuanya.“Itu buktinya kan?” Lelaki di depannya justru terkekeh. Dahi Agnia pun makin mengernyit sambil terus memandangi buku dan pemiliknya itu secara bergantian.“Tapi kenapa aku tak bisa mengingat apapun ya?” Wanita itu lalu bergumam.“Mungkin kenangan di antara kita tidak ada yang spesial untukmu, makanya kamu tidak ingat.”Karena tak enak hati dengan ucapan sebelumnya, Agnia pun segera meralat. ”Bukan begitu maksudku, Alfa. Mungkin kamu bisa mengatakan sesuatu yang bisa mengingatkanku tentang kita?” Dia mengumbar senyuman demi membuat lelaki di depannya tak tersinggung dengan ucapannya. Namun rupanya Agnia salah, karena Alfa bukan orang yang mudah meradang hanya dengan sebuah ucapan.
Di sela kegiatan meetingnya, Dewo mendadak terganggu dengan beberapa kali getar notifikasi di ponselnya. Tangannya pun kemudian segera meraih benda yang sekian waktu tergeletak di atas meja di depannya itu. Melihat nama Simon yang ternyata sedang mengirimkan beberapa pesan, wajahnya langsung berubah merah padam. Tanpa harus membuka pesan itu pun, sebenarnya dia sudah tahu bahwa pesan-pesan itu pastilah tentang istrinya yang saat ini mungkin sedang bersama pria lain. Gigi-giginya mulai gemeretak menahan amarah, bahkan sebelum sempat mengetahui isi yang ada di dalam pesan itu. Tak ada kalimat apapun yang dituliskan Simon dalam pesannya. Hanya beberapa foto dan video yang beberapa di antaranya membuat dahi Dewo berkerut parah. Sebuah video menunjukkan padanya saat Istri dan kedua anaknya sedang berada di depan gedung sekolah. Lalu seorang pria yang sangat dikenalnya menghampiri mereka. Walau tak melihat sedikit pun keakraban yang terjadi antara istrinya dengan lelaki yang diketahuin
Sebuah mobil berhenti di depan rumah dengan pelataran luas. Setelah menempuh perjalanan lumayan jauh, akhirnya Sri sampai juga di tempat tersebut. Dengan diantar seorang teman wanita yang selama ini menjadi tempatnya berkelu kesahnya tentang Dewo, mata Sri menatap lega rumah besar yang terletak di daerah pesisir itu. “Benar ini rumahnya, Tun?” Sri bertanya sebelum keduanya turun dari mobil yang mereka sewa dari sebuah jasa persewaan transportasi tak jauh dari Rumah Makan Sri. “Bu, saya nunggu dimana?” Suara si sopir terdengar saat kedua wanita itu hampir melangkahkan kaki menuju ke arah pagar rumah besar dan megah di depan mereka.“Kami mungkin agak lama. Masnya cari makan dulu di sekitaran sini. Setauku ada beberapa warung kok. Kalau bingung, tanya warga saja,” sahut Atun pada lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan itu.Tanpa banyak tanya lagi, lelaki itu pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan mobil majikannya. Sejak perjalanan menjemput dua penyewanya tadi, lelaki itu ras
“Sudah, kamu manut saja to, Sri. Kalau kamu ragu-ragu, usaha kita nggak akan berhasil.” Di dalam mobil, berulang kali Atun mencoba meyakinkan Sri dalam perjalanan pulang.Sebenarnya Sri memang ragu, gara-gara si dukun mengatakan hal yang tak masuk akal tentang Dewo tadi. Tapi dia sudah kepalang basah. Dia tak mau perjalanannya yang jauh itu tak membawa hasil apa-apa. Lagipula, keinginannya untuk melenyapkan istrinya Dewo itu begitu kuat. Apapun yang terjadi, dia harus berhasil. Atun merapatkan diri ke tubuh sahabatnya, lalu menggenggam tangan Sri dengan erat. Sementara tangan yang digenggam itu justru mendekap tas di dadanya. Sesuai pesan dari si dukun bernama Karno tadi, Sri harus menjaga benda pemberian itu hingga sampai di tempat tujuan. Sri tidak tahu benda apa sebenarnya yang diberikan oleh si dukun tadi, tapi dia memang harus yakin bahwa itulah nanti yang akan membuat tujuannya berhasil.“Aku cuma bingung, Tun,” katanya kemudian. Mulutnya mengerucut menyiratkan isi pikirannya
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi